Skip to content

Tag: Hukuman Mati

Kematian Brigadir J: Proporsionalitas ancaman pidana mati terhadap Brigadir RR

Ancaman hukuman mati di kasus tewasnya almarhum Brigadir J menyeret aktor baru yaitu Brigadir RR sebagai ajudan atau sopir istri FS. Brigadir RR ditetapkan sebagai tersangka oleh Timsus pada Minggu, 7 Agustus 2022 dengan tuduhan pasal pembunuhan berencana (Pasal 340 Jo. Pasal 55 Jo. Pasal 56 KUHP) dengan ancaman pidana mati.

Pidana mati masih diakui dalam hukum pidana di Indonesia tetapi penerapannya kontradiktif dengan norma hak asasi manusia, yaitu hak hidup. Meskipun kasus ini menyebabkan terenggutnya nyawa Brigadir J, pemberian ancaman hukuman mati bukan sebagai saluran balas dendam. Terlebih Brigadir RR justru rentan menjadi pihak yang diperdaya oleh aktor utama yang memiliki kewenangan dan kekuasaan memberi perintah.

Penggunaan ancaman pidana mati terhadap Brigadir RR seolah menjadi solusi jitu untuk kasus ini. Padahal, kepastian akan peran Brigadir RR dalam kematian Brigadir J masih menjadi polemik di tengah ketidakjelasan keberadaan pelaku lain yang mungkin menjadi dalang dalam perkara ini. Belum jelas apakah ada pelaku lain dan bagaimana relasi pelaku tersebut dengan Brigadir RR. Di tengah ketidakjelasan ini, bukan tidak mungkin Brigadir RR memiliki peranan minor yang tingkat kesalahannya jauh di bawah pelaku utama.

Kemungkinan adanya relasi kuasa atas nama perintah atasan dapat memaksa Brigadir RR yang berstatus sebagai ajudan atau sopir istri FS bertindak bukan atas dasar kehendak dan nuraninya sendiri. Pada tahap ini, pelaku-pelaku minor seharusnya mendapat perlindungan agar dapat membantu mengungkap pelaku utama, daripada mengancam mereka dengan pidana mati secara tidak proporsional.

Berdasarkan uraian di atas, LBHM mendesak:
1. Kapolri untuk menghentikan penerapan pasal dengan ancaman pidana mati terhadap Brigadir RR dalam kasus kematian Brigadir J;
2. Timsus segera mengungkap kemungkinan adanya pelaku lain dan menjelaskan relasinya dengan Brigadir RR;
3. Memberikan perlindungan kepada saksi dan keluarga korban kasus pembunuhan Brigadir J untuk membantu mengungkap kejelasan perkara;
4. Menghormati standar hak asasi manusia dalam proses penyidikan kematian Brigadir J dan melakukan penyidikan secara transparan serta berbasis scientific crime investigation:
5. Melakukan investigasi secara proporsional dengan tidak hanya menyasar pelaku-pelaku pembantu dengan peran minor.

Jakarta, 8 Agustus 2022
LBHM

Pemuda Bekasi Dianggap Teroris: Penegakan Hukum Spekulatif Oleh Densus 88 Anti Teror Polri

Jakarta, 10 April 2020 – Pada 16 Februari 2022, Jon Sondang Saito Pakpahan ditangkap karena dituduh melakukan pelemparan molotov terhadap Pos Polisi di sekitar kolong Tol Jatiwarna, Bekasi, Jawa Barat. Warga yang melihat aksi Jon kemudian menangkapnya. Setelahnya, ia diserahkan kepada petugas kepolisian yang kebetulan sedang berpatroli untuk dibawa ke Polres Metro Bekasi Kota.

Awalnya, oleh Polres Metro Bekasi Kota Jon ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pembakaran. Namun tiba-tiba, Polres Metro Bekasi menyerahkan Jon ke Densus 88. Tindakan Jon dianggap sebagai terorisme yang kemudian membuatnya mendekam dalam sel Rutan Cabang Mako Brimob Cikeas atas dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan/atau 9 UU Terorisme dengan ancaman pidana mati.

Untuk memastikan keadaan Jon dan mengkonfirmasi apa yang dilakukannya, keluarga telah berulang kali datang ke Rutan Cabang Mako Brimob Cikeas, namun tidak diizinkan bertemu. Tak sampai disitu, keluarga telah menghubungi penyidik hingga menyurati Kepala Densus 88 AT Polri agar dapat bertemu dengan Jon. Namun, tidak mendapat respons apa pun. Keluarga juga tidak mendapatkan kepastian apakah Jon telah mendapatkan bantuan hukum dan berkualitas dalam proses hukum tersebut.

Berdasarkan kondisi di atas, Koalisi Reformasi Anti Teror mengecam keras tindakan Densus 88 AT Polri yang menggunakan UU Terorisme dengan dalih penegakan hukum tindak pidana terorisme terhadap Jon beserta berbagai pelanggaran HAM dalam prosesnya.

Pertama, Densus 88 AT secara serampangan menerapkan UU Terorisme terhadap Jon. Tidak ada suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas; atau korban yang bersifat massal yang ditimbulkan akibat perbuatan Jon sebagaimana unsur dalam Pasal 6 dan 9 UU Terorisme. Perbuatan Jon hingga saat ini bahkan masih simpang siur. Kuat dugaan bahwa dilakukan oleh Densus 88 AT ini merupakan kriminalisasi, karena sebelumnya Jon ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pembakaran oleh Polres Metro Bekasi Kota. Namun, tiba-tiba ia diserahkan kepada Densus 88 AT.

Kedua, Penggunaan UU Terorisme akan menjadi tren buruk penegakan hukum tindak pidana terorisme yang menyasar aksi-aksi protes terhadap kebijakan dan tindak tanduk Pemerintah. Ancamannya tak main-main, pidana mati. Hal ini kian menunjukkan ekses pemberlakuan UU Terorisme yang sejak awal telah dikritik oleh masyarakat sipil. Sejak pembahasannya, masyarakat sipil khawatir bahwa UU Terorisme berpotensi memberangus orang atau kelompok yang kritis terhadap kekuasaan ketimbang menyasar organisasi teroris.

Ketiga, terjadi pelanggaran hak Jon sebagai tersangka untuk dikunjungi oleh keluarganya sebagaimana dijamin oleh Pasal 61 KUHAP. Pelanggaran tersebut merupakan bentuk incommunicado detention (penahanan tanpa akses terhadap dunia luar) yang membuka ruang bagi penyiksaan dan bahkan penghilanggan orang secara paksa. Praktik-praktik kuno macam ini seharusnya sudah tidak mendapat ruang dalam penegakan hukum di Indonesia.

Keempat, Dalam hal bantuan hukum, Jon tidak mendapatkan bantuan hukum yang laik. Padahal, Pasal 14 ayat (3) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Republik Indonesia melalui UU 12 Nomor 2005  menetapkan jaminan minimal bagi setiap orang yang sedang dalam proses hukum, salah satunya adalah akses terhadap bantuan hukum. Lebih lanjut Pasal 54 KUHAP memberikan jaminan pemenuhan hak bagi setiap tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum di setiap tingkatan proses peradilan pidana. Pelanggaran hak atas bantuan hukum ini justru merupakan pintu masuk ke dalam praktik-praktik peradilan sesat.

Kelima, kasus ini menambah daftar panjang pelanggaran prosedur dalam penegakan hukum tindak pidana terorisme yang diduga dilakukan Densus 88 AT Polri.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menurut kami tindakan-tindakan tersebut bukan merupakan penegakan hukum, melainkan tak lebih dari aksi mempertontonkan kekuasaan. Untuk itu kami mendesak agar:

  1. Kapolri memerintahkan Kadensus 88 AT Polri untuk memerintahkan jajarannya yang melakukan penyidikan dalam kasus ini untuk segera membuka akses keluarga untuk berkunjung serta memenuhi hak Jon untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum yang ia tunjuk sendiri;
  2. Kapolri segara melakukan evaluasi terhadap tugas, fungsi, dan kerja-kerja Densus 88 AT Polri secara objektif dan menyeluruh, serta melibatkan seluas-luasnya partisipasi masyarakat sipil dalam prosesnya;
  3. Presiden dan DPR segera melakukan revisi terhadap UU Terorisme yang masih memuat ketentuan-ketentuan pidana dengan ancaman pidana mati yang berpotensi menyasar orang atau kelompok yang melakukan aksi-aksi protes terhadap Pemerintah serta melakukan revisi terhadap “Pasal-Pasal Guantanamo” dalam UU Terorisme yang memungkinkan adanya penahanan tanpa akses terhadap dunia luar dan penghalang-halangan akses bantuan hukum;
  4. Komnas HAM, Ombudsman RI, dan Kompolnas secara aktif melakukan pemantauan dan pemeriksaan terhadap dugaan-dugaan pelanggaran HAM, Maladministrasi, dan berbagai pelanggaran prosedur lainnya pada kasus ini.

Koalisi Reformasi Anti Teror
LBH Jakarta dan LBH Masyarakat

Laporan Masyarakat Sipil: Universal Periodic Review Indonesia 2022 tentang Hukuman Mati

Selasa, 8 April 2022 – Pada hari Selasa, 29 Maret 2022 Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) mengirimkan laporan gabungan untuk Universal Periodic Review (UPR) Indonesia tahun 2002 tentang hukuman mati. Dalam laporan tersebut, Koalisi HATI melaporkan situasi hukuman mati di Indonesia sejak laporan terakhir di tahun 2017. Pada periode UPR sebelumnya, Indonesia mendapatkan 14 rekomendasi dari 27 negara terkait hukuman mati. Indonesia menerima 2 (dua) dari 14 rekomendasi UPR, yaitu rekomendasi nomor 141.52 dan 141.60 tentang moratorium dan pemantauan fair trial.

Di UPR 2022, Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati, menyampaikan beberapa masalah terkait praktik hukuman mati di Indonesia, di antaranya:

  • Rendahnya transparansi dan akuntabilitas data dan informasi terkati hukuman mati. Angka
    terpidana mati terus meningkat setiap tahunnya, angka ini dikumpulkan oleh kelompok
    masyarakat sipil melalui media monitoring karena minimnya akuntabilitas dari pemerintah
    terkait hukuman mati sehingga tidak ada data resmi yang akurat yang dapat diakses oleh publik
    sehingga pemenuhan hak-hak terpidana mati menjadi diragukan.
  • Pendekatan ” War on Drugs” didasarkan pada data yang tidak tepat sehingga malah hanya
    menambah jumlah vonis mati. Mayoritas terpidana mati adalah mereka dengan kejahatan narkotika.
    Tak hanya dalam kasus hukuman mati secara umum mayoritas penghuni Lapas juga mereka yang
    melakukan kejahatan narkotika. Karena itu, kebijakan “war on drugs” yang salah dan keliru itu
    hanya membuat penjara menjadi over kapasitas.
  • Hak-hak terpidana mati di dalam Lapas tidak terpenuhi. Terpidana mati di Lapas
    mengalami diskriminasi karena statusnya yang bukan sebagai “narapidana/ warga binaa”,
    sehingga banyak hak mereka yang tidak terpenuhi. Berdasarkan undang-undang Pemasyarakatan
    terpidana mati tidak bisa disebut sebagai narapidana. Sehingga mereka tidak mendapatkan
    Perhatian dari Lapas ketika mereka sedang menjalani masa tunggu eksekusi di lembaga
    pemasyarakatan. Keikutsertaan mereka dalam aktivitas seperti program pembinaan, olahraga atau
    berbagai pelatihan sangat bergantung pada kesadaran mereka sendiri. karena tidak diwajibkan,
    banyak terpidana mati yang menghabiskan waktu mereka dengan bermuram durja, menyendiri
    hingga berakhir pada depresi akut. Mereka juga tidak memiliki program yang memberikan
    kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik, maka dari itu tidak heran ketika terpidana mati yang
    berada di dalam Lapas kembali melakukan kejahatan yang sama.
  • Hukuman mati dijatuhkan melalui sidang virtual di masa pandemi yang memiliki banyak
    kelemahan untuk keadilan substansial. Persidangan virtual tentu saja memberikan ruang yang lebih
    besar untuk persidangan yang tidak adil, seperti kualitas bantuan hukum yang buruk yang dapat
    diberikan, cara penyampaian informasi yang terbatas, masalah teknis dengan internet dan perangkat
    yang digunakan di pengadilan, pembelaan yang tidak optimal, dan masih banyak lagi masalah.
  • Hukuman mati juga menyasar kelompok rentan: lansia, orang miskin, perempuan, buruh
    migran, dan anak-anak. Hukuman mati dilarang untuk diberikan kepada anak-anak. Namun di
    Indonesia masih terjadi penuntutan hukuman mati kepada usia anak seperti yang dialami oleh
    Mispo Gwijangge (MG) beberapa waktu yang lalu. Hukuman mati juga sering kali diskriminatif
    kepada mereka yang rentan seperti kelompok buruh migran Yang Tak jarang juga menjadi korban
    perdagangan orang. Saat ini ada seorang kakek bernama Isnardi berusia 76 tahun yang sedang
    menunggu eksekusi mati di Lapas Binjai karena terjerat kasus narkotika. Ini adalah kali pertama
    kakek Isnardi berurusan dengan hukum. Sehari-hari beliau bekerja sebagai pengembala sapi dan
    kambing milik orang lain. Kakek Isnardi, dan mungkin juga banyak kurir narkotika lainnya adalah
    korban kemiskinan dan situasi terdesak.
  • Kebijakan Grasi yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi tidak memiliki parameter yang jelas. UU Grasi tidak memberikan pedoman maupun standar kepada Presiden dan Mahkamah Agung dalam memutus permohonan Grasi. Dalam banyak perkara permohonan grasi, rekomendasi Mahkamah Agung terlihat hanya mengulang bunyi putusan proses hukum sebelumnya. Tidak adanya perbedaan pertimbangan rekomendasi MA untuk grasi dan putusan hukum sebelumnya membuat urgensi rekomendasi dari MA dalam sebuah grasi khususnya pidana mati perlu dipertanyakan.

Berangkat dari berbagai permasalahan diatas, kami koalisi untuk hapus hukuman mati mendorong Badan
HAM PBB untuk mendorong pemerintah Indonesia agar:

  1. Menandatangani dan meratifikasi Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil
    dan Politik, yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati;
  1. Membuat keputusan resmi untuk menetapkan secara de jure moratorium eksekusi dengan
    memerintahkan Jaksa Agung untuk tidak menuntut hukuman mati dalam penuntutan untuk semua
    jenis kejahatan dan tidak melakukan eksekusi;
  2. Mempublikasi data terkait perkara pidana mati oleh kejaksaan, pengadilan, dan direktorat jenderal
    pemasyarakatan secara berkala, baik diminta maupun tidak diminta;
  3. Menghentikan narasi “perang terhadap narkoba” yang berkontribusi pada tingginya angka
    hukuman mati dalam kasus narkoba dan mengedepankan kebijakan berbasis bukti dan memenuhi
    standar hak asasi manusia yang termasuk dalam pembahasan revisi undang-undang narkotika;
  4. Melakukan perubahan hukuman secara masal terhadap terpidana mati yang menjalani pidana
    penjara lebih dari 10 (sepuluh) tahun;
  5. Melakukan penelaahan terhadap rancangan revisi KUHP terkait dengan perubahan pidana mati
    yang dilakukan secara otomatis terhadap terpidana mati yang menjalani hukuman 10 tahun penjara;
  6. Memberikan pelatihan bagi hakim dan penuntut umum tentang hal-hal yang berkaitan dengan hak
    asasi manusia untuk mencegah, atau setidaknya meminimalkan, penerapan hukuman mati dan
    menghindari hukuman mati untuk dijatuhkan lebih dari satu kali;
  7. Meninjau kembali kebijakan pemidanaan di Indonesia agar tidak hanya fokus pada pidana penjara
    tetapi juga mencari alternatif pidana lain yang sesuai dengan prinsip dan standar HAM dan keadilan
    restoratif;
  8. Menghilangkan ketentuan pidana mati dalam revisi UU Narkotika karena tidak sesuai dengan
    ICCPR dan instrumen hukum internasional terkait narkotika;
  9. Menghentikan penuntutan dan eksekusi selama pandemi Covid-19 karena proses hukum yang
    terjadi selama pandemi Covid-19 tidak menjamin prinsip fair trial dijalankan dengan baik;
  10. Membangun sistem pengawasan dan jaminan peradilan yang adil untuk kasus-kasus yang
    berpotensi hukuman mati, termasuk dengan meningkatkan akses bantuan hukum dan memberikan
    bantuan hukum yang berkualitas, terutama bagi terdakwa yang diancam dengan hukuman mati,
    penyediaan bantuan juru bahasa dan konsuler;
  11. Mendorong terselenggaranya sidang secara daring yang dilakukan atas persetujuan terdakwa (tanpa
    paksaan) dan memastikan proses sidang daring tersebut berjalan secara adil, tanpa ada tekanan, dan
    menjamin hak-hak tersangka/terdakwa;
  12. Membuka akses kunjungan langsung maupun virtual bagi penasehat hukum, perwakilan
    diplomatik, juru bahasa, penasehat rohani, maupun keluarga di setiap tingkat pemeriksaan atau
    tempat penahanan terpidana mati;
  13. Menjamin bahwa hukuman mati tidak diterapkan pada kelompok rentan, terutama anak-anak, orang
    dengan gangguan kesehatan jiwa, wanita hamil, dan lainnya yang dilarang menurut ketentuan
    hukum internasional;
  14. Menciptakan penanganan kasus oleh aparat penegak hukum, khususnya Polri dan Badan Narkotika
    Nasional (BNN) yang tidak hanya mengejar kuantitas penanganan kasus tetapi juga sesuai dengan
    prinsip peradilan yang adil dan penghormatan terhadap hak asasi manusia;
  15. Mengubah pemidanaan bagi terpidana mati melalui skema grasi dengan membuka pertimbangan
    grasi yang diajukan oleh terpidana mati/perwakilan hukum/ keluarga/perwakilan diplomatik;
  16. Meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman
    Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau merendahkan martabat, dan membentuk mekanisme
    pencegahan nasional terhadap penyiksaan;
  17. Merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
    22 Tahun 2002 tentang Grasi untuk memberikan pedoman dan alat ukur yang jelas kepada
    Mahkamah Agung dan Presiden dalam pertimbangan pemberian grasi, khususnya kepada terpidana
    mati di Indonesia;
  18. Membentuk tim yang independen dan tidak memihak untuk mengevaluasi keputusan hukum
    terhadap semua kasus hukuman mati untuk tujuan permohonan grasi sebagai program pengurangan massal untuk kasus hukuman mati di Indonesia.

Koalisi HATI:
LBH Masyarakat, IMPARSIAL, HRWG, LBH Jakarta, YLBHI, Migrant Care, ICJR, ELSAM,
Yayasan Satu Keadilan, SETARA Institute, LBH Pers, IKOHI, KontraS, PBHI, dan INFID

Universal Periodic Review – Joint Stakeholders\’ Report on the 4th UPR of Indonesia on Issues Relating to the Death Penalty

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu dan permasalahan Hak Asasi Manusia yang terjadi.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Anti Hukuman Mati (Kohati), pada tanggal 31 Maret lalu sudah mengirimkan laporan temuan tentang pelanggaran HAM dalam isu hukuman mati di Indonesia.

Salah satu temuan dalam laporan ini adalah perihal kurangnya transparasi yang dilakukan pemerintah ketika menjalankan eksekusi mati, selain itu permasalahan hukuman mati pada kasus narkotika juga menjadi perhatian karena ” war on drugs” dijadikan alat untuk mendorong adanya hukuman mati dalam kasus narkotika di Indonesia, yang dimana banyak menyasar korban.

Laporan lengkapnya dapat dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review – Joint Stakeholders\’ Report on the 4th UPR of Indonesia on Issues Relating to the Death Penalty

Vonis Mati Herry Wirawan: Negara Lalai, Hak Korban Diabaikan!

Jakarta, 5 April 2022 – Herry Wirawan (HW) seorang terdakwa kasus perkosaan terhadap 13 anak santri di Bandung diputus pidana mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung pada 4 April 2022. Tidak dapat dipungkiri bahwa perbuatan HW mengundang perhatian dan gelombang amarah di kalangan masyarakat. Namun, secara prinsip LBHM memandang putusan tersebut tidak dapat dibenarkan, mengingat hak hidup yang bersifat prinsipil dan putusan tersebut cenderung bermuatan emosi publik semata. Perlu diingat dalam mengadili perkara tindak pidana kekerasan seksual, Aparat Penegak Hukum (APH) harus memberikan perhatian lebih terhadap kebutuhan korban, bukan kepada kemarahan yang tidak berdampak kepada korban.

Oleh karena itu, LBHM berpandangan sebagai berikut:

1. Vonis Pidana Mati Tidak Memberikan Efek Jera Terhadap Pelaku.
Indonesia merupakan salah satu negara yang rajin memberikan hukuman mati pada beberapa jenis tindak pidana, dimana vonis pidana mati paling banyak dijatuhkan terhadap kasus narkotika. Berdasarkan dokumentasi yang dilakukan oleh Reprieve, sepanjang 2017-2021 terdapat 367 vonis pidana mati untuk semua tindak pidana, dan sebanyak 279 vonis pidana mati adalah kasus narkotika. Namun tingginya vonis pidana mati dalam kasus narkotika tidak menyurutkan peredaran gelap narkotika. Berangkat dari konstruksi tersebut, vonis pidana mati yang dijatuhkan kepada HW yang diklaim sebagai efek jera sesungguhnya merupakan ilusi;

2. Kasus Perkosaan yang Menjerat HW merupakan Simbol atas Puncak Gunung Es.
Kasus perkosaan maupun kekerasan seksual nerupakan persoalan struktural yang tidak dapat dipandang selesai melalui penjatuhan hukuman mati. Sebab di akar rumput masih banyak kasus perkosaan yang bungkam untuk dilaporkan. Akar masalah atas hal ini karena korban perkosaan kerap mendapat stigma dan berpotensi dituntut balik oleh pelaku. Tantangan ini menciutkan nyali korban untuk melapor. Pada sisi lain, RUU TPKS yang saat ini dibahas menghilangkan beberapa kekerasan seksual yang dalam praktiknya berpotensi tidak mengakomodasi kebutuhan perlindungan korban;

3. Vonis Pidana Mati Terhadap HW Justru Menghilangkan Peran Negara Memberikan Jaminan Perlindungan Terhadap Ruang Aman yang Semakin Kesini Semakin Sulit.
Proses hukum dan perlindungan terhadap korban kekerasan dan pelecehan seksual masih dirasa sangat minim. Oleh karena itu vonis pidana terhadap HW bukan jawaban terhadap kebutuhan korban dan seharusnya kasus ini merupakan notifikasi bagi Pemerintah untuk lebih maksimal dalam merealisasikan perlindungan bagi korban, bukan dengan menjatuhkan vonis pidana mati. Dalam hal penjatuhan hukuman, hakim juga telah lalai dalam mempertimbangkan pasal 67 pada KUHP yang membatasi jenis pemidanaan apabila hukuman mati atau seumur hidup diberikan kepada pelaku tindak pidana. Akrobatik hukum yang dilakukan oleh majelis hakim dalam memutus perkara HW di tingkat banding ini justru mengaburkan prinsip-prinsip dasar hukum pidana di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, LBHM meminta:

  • Mahkamah Agung menguji kembali melalui upaya hukum untuk menolak tuntutan pidana mati oleh Penuntut Umum dan putusan Pengadilan Tinggi Bandung;
  • Pemerintah bersama DPR segera mengesahkan RUU TPKS yang akomodatif terhadap pemenuhan jaminan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan seksual serta berpihak terhadap korban dalam mendapatkan hak atas keadilan;
  • APH tidak melakukan penolakan atas pengaduan tindak pidana kekerasan seksual oleh anak, perempuan dan kelompok minoritas lainnya, serta memberikan layanan yang ramah terhadap korban dan saksi tindak pidana kekerasan seksual melalui peraturan dan pedoman.

Narahubung:
Yosua Octavian: 0812 9778 9301
A’isyah Humaida: 0822 6452 7724

Laporan Kerja (Annual Report) LBHM Tahun 2021

2 tahun sudah Indonesia mengalami pandemi COVID-19, hal ini juga berpengaruh kepada tatanan sosial di masyarakat secara signifikan. Salah satunya terhadap kelompok rentan dan termarjinalkan. Kelompok ini mengalami tantangan berganda, mulai dari dampak ekonomi hingga tidak terpenuhinya Hak Asasi Manusia mereka yang membuat mereka hidup dalam bayang-bayang pelanggarang HAM.

Akses bantuan hukum yang tidak memadai, masih adanya peraturan diskriminatif, ketidakmerataan keadilan sosial adalah sebagian kecil dampak dari sekian banyak dampak lainnya yang dihadapi oleh kelompok rentan sehingga berada pada situasi tidak \’menguntungkan\’. LBHM secara gigih masih berdiri bersama kelompok rentan, berjuang bersama untuk memajukan dan mendapatkan hak-hak mereka secara penuh lewat dampingan hukum, riset dan kampanye publik.

LBHM mendokumentasikan perjuangan dan pekerjaan kami dalam Laporan Kerja (2021). Laporan ini merupakan pertanggung jawaban LBHM kepada publik dalam menginformasikan kerja-kerja yang sudah dilakukan oleh LBHM sepanjang tahun 2021 — sekaligus juga menjadi refleksi kerja-kerja LBHM selama satu tahun kebelakang. Kami menganalisa situasi serta tantangan HAM selama 2021 dan tahun yang akan datang. Laporan ini dapat tersusun, berkat dukungan pihak-pihak yang telah menudukung jerih payah LBHM.

Laporan Kerja (Annual Report) Tahun 2021 kami dapat dibaca pada tautan di bawah ini:

LBHM Annual Report 2021

Catatan Untuk Hakim Dalam Memperingati Hari Kehakiman Nasional

Jakarta,1 Maret 2022 – Hari Kehakiman Nasional yang jatuh pada 1 Maret 2022 lalu, menjadi momentum penting bagi masyarakat sipil untuk menyuarakan refleksi terkait situasi faktual pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Terdapat beberapa hal yang menjadi catatan LBH Jakarta dan LBH Masyarakat (LBHM) untuk Mahkamah Agung Republik Indonesia beserta lembaga peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi selaku pelaksana kekuasaan kehakiman. Catatan ini berangkat dari hasil kajian, pemantauan, serta pengalaman pendampingan masyarakat miskin, buta hukum, rentan, dan tertindas dalam proses persidangan di pengadilan.

Bagi Mahkamah Agung Republik Indonesia beserta lembaga peradilan di bawahnya, berikut catatan kami:

A. Hakim Masih Terlibat dalam Praktik-Praktik Judicial Corruption

Meskipun belum ada data mutakhir mengenai jumlah hakim yang terlibat kasus-kasus korupsi, bukan berarti keterlibatan hakim dalam praktik-praktik kotor judicial corruption berhenti. Dalam setahun ini setidaknya terdapat 2 kasus yang tersorot, yaitu: (1) Majelis Hakim Tipikor Pengadilan Tinggi Jakarta yang mengkorting hukuman Jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi kurang dari separuhnya dan (2) Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Itong Isnaeni Hidayat, selaku Hakim Pengadilan Negeri Surabaya beserta seorang Panitera Pengganti dan Advokat terkait suap permohonan pembubaran PT. SGP. Beberapa peristiwa tersebut setidak-tidaknya memberikan kita gambaran bagaimana judicial corruption masih menjadi batu sandungan bagi cita-cita penegakan hukum yang jujur, adil, serta menjunjung tinggi HAM;

B. Standar Ganda Sidang Virtual yang Banyak Melanggar Hak Terdakwa

Persidangan secara virtual memang merupakan salah satu solusi di tengah pandemi. Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan persidangan secara virtual—khususnya dalam perkara pidana—diikuti dengan berbagai pelanggaran hak Terdakwa, terutama pada agenda pembuktian atau pemeriksaan pokok perkara. Hal tersebut jelas berdampak pada proses pencarian kebenaran materiil karena terdakwa dan penasihat hukumnya tidak leluasa melakukan pembelaan.

Kasus kriminalisasi aktivis KAMI, Jumhur Hidayat yang didampingi oleh LBH Jakarta, LBHM, dan organisasi masyarakat sipil lain yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), menunjukan dengan jelas bagaimana sikap Majelis Hakim melakukan penolakan pelaksanaan persidangan secara tatap muka, padahal di sisi lain Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menyelenggarakan sidang terdakwa kasus korupsi red notice, Irjen Pol. Napoleon Bonaparte secara tatap muka.

Pasal 2 ayat (1) pada Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 4 tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik (Perma 4/2020), mengatur bahwa ”persidangan dilaksanakan di ruang sidang Pengadilan dengan dihadiri Penuntut dan Terdakwa dengan didampingi/tidak didampingi oleh Penasihat Hukum, kecuali ditentukan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Kemudian pasal 2 ayat (2) pada Perma tersebut menyatakan “dalam keadaan tertentu, baik sejak awal persidangan perkara maupun pada saat persidangan perkara sedang berlangsung, Hakim/Majelis Hakim karena jabatannya atau karena atas permintaan dari Penuntut dan/atau Terdakwa atau Penasihat Hukum dapat menetapkan persidangan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maupun secara elektronik.”

Ketentuan di atas dapat diartikan bahwa penting memperoleh persetujuan Terdakwa dalam menentukan metode persidangan. Selain itu, kami menilai persidangan secara virtual yang dilaksanakan tanpa meminta persetujuan Terdakwa terlebih dahulu sangat berpotensi melahirkan peradilan sesat (miscarriage of justice) dan keliru mengambil keputusan. Menurut kami, sudah semestinya Hakim menginisiasi sidang secara tatap muka karena salah satu bukti petunjuk selama persidangan adalah pengamatan hakim sendiri (eigen waarning va de revhter). Hal yang mana tidak mungkin dapat dilakukan ketika persidangan digelar secara virtual oleh karena beberapa gangguan.

Namun, hal tersebut kerap diabaikan oleh Majelis Hakim yang secara sepihak menetapkan metode pelaksanaan sidang secara virtual. Pengabaian persetujuan terdakwa ini jelas merupakan pelanggaran prinsip equal arms sekaligus menunjukan watak Inquisitorial sistem peradilan pidana kita.

LBHM di akhir 2021 mendata 146 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang pernah menjalani proses persidangan pidana periode Januari, 2020 – September, 2021, sebagai berikut:

  • 1% WBP menjalani persidangan secara virtual;
  • 4,8% WBP disidangkan hanya sebanyak 2 kali;
  • 58,4% WBP disidangkan tanpa didampingi oleh Penasihat Hukum. Selanjutnya, 24% WBP didampingi oleh Penasihat Hukum yang ditunjuk oleh Hakim dan WBP tersebut tidak pernah bertemu dan berkomunikasi dengan Penasihat Hukum. Maka, 82,4% WBP tidak mendapatkan hak atas bantuan hukum yang layak selama proses persidangan;
  • 41,1% WBP mengikuti persidangan secara virtual dengan perangkat dan jaringan yang tidak bagus;
  • 71,2% WBP menjalani persidangan secara virtual dengan diawasi oleh petugas kepolisian, sehingga ada kondisi tidak bebas dalam menyampaikan keterangan;
  • 45,9% WBP menjelaskan saksi dalam perkaranya diperiksa secara online;
  • 42,5% WBP tidak dapat menanggapi keterangan yang disampaikan oleh saksi karena beberapa hal, seperti: (a) suara saksi tidak jelas; (b) tidak diberikan kesempatan oleh Hakim; (c) diarakah untuk menanggapi dalam agenda pembelaan; dan (d) tidak berani menanggapi keterangan saksi (penangkap) karena disidangkan dalam satu ruangan yang sama;
  • 41,1% WBP tidak diberikan hak untuk menyampaikan pembelaan secara maksimal;
  • 3,4% WBP ditagih biaya oleh petugas karena ketika sidang secara virtual menggunakan perangkat milik petugas itu sendiri;
  • 79,4% WBP tidak puas dengan mekanisme persidangan secara virtual, dengan alasan seperti: (a) perangkat dan jaringan yang buruk; (b) hilangnya hak-hak Terdakwa; dan (c) tidak dapat bertemu dan berkomunikasi dengan Penasihat Hukum.

C. Hukuman Mati Masih Kerap Dijatuhkan

Berdasarkan Laporan Hukuman Mati 2021 yang dirilis oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), setidaknya terdapat 35 vonis hukuman mati yang dijatuhkan di Indonesia. Data tersebut dihimpun melalui pemantauan media mengingat publikasi data mengenai jumlah pasti penjatuhan hukuman mati di Indonesia sangat terbatas.

Sistem peradilan pidana yang dioperasionalkan oleh manusia, tentu tidak imun terhadap kesalahan. Terlebih, tren penjatuhan pidana mati dalam kondisi pandemi tidak lepas dari pelaksanaan sidang virtual yang rentan kendala teknis dan tidak maksimalnya pembuktian dalam persidangan,

sehingga potensi kesalahan dalam penjatuhan hukuman mati menjadi suatu hal yang tak terhindarkan.

Selama ini tidak ada bukti sahih bahwa hukuman mati paralel dengan penurunan angka kejahatan. Hukuman mati justru hanya berperan sebagai efek plasebo dan menunjukan kegagalan politik hukum pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Spesifik pada kerentanan Perempuan, absennya analisis gender dalam proses peradilan merupakan suatu hal yang jamak. Seringkali hakim mengabaikan ketimpangan relasi kuasa dan kerentanan Perempuan yang terjerumus dalam pusaran tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati.

D. Permasalahan Implementasi Perma 2/2019 yang Membatasi Akses Terhadap Keadilan Masyarakat

Sejak diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) (Perma 2/2019), terdapat beberapa permasalahan yang berdampak pada akses terhadap keadilan masyarakat. Berkaca pada pengalaman advokasi kami, berikut permasalahan implementasi Perma 2/2019:

  • Perma 2/2019 tidak mengatur secara jelas batasan-batasan pemisahan kewenangan pengadilan negeri dengan pengadilan tata usaha negara terkait dengan sengketa perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Dampaknya, terdapat disparitas putusan hakim akibat ketidakjelasan norma;
  • Tenggat waktu pengajuan gugatan selama 90 hari sejak tindakan badan dan/atau pejabat pemerintahan dilakukan sangat membatasi akses keadilan masyarakat. Sebab karakteristik dan kompleksitas dampak kerugian masyarakat berbeda-beda; dan
  • Ganti kerugian pada peradilan tata usaha negara paling sedikit hanya Rp 250.000, dan paling banyak Rp. 5.000.000.

Terdapat contoh kasus yang diadvokasi oleh LBH Jakarta terkait dengan permasalahan yang diuraikan di atas. Dalam kasus penggusuran paksa yang dilakukan Pemerintah Kota Bekasi dengan dasar pemulihan aset milik BUMN Jasa Tirta terhadap tanah dan bangunan warga Pekayon. Dimensi keperdataan pada kasus ini lebih kental ketimbang dimensi tata usaha negaranya. Akibat kerugian yang diderita warga, diajukan gugatan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata di Pengadilan Negeri Bekasi. Namun Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bekasi yang memeriksa dan memutus perkara nomor 74/PDT.G/2021/PN.BKS menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Bekasi tidak berwenang mengadili perkara tersebut berdasarkan pasal 11 pada Perma 2/2019. Dengan demikian, akses keadilan bagi warga Pekayon menjadi terbatas akibat putusan tersebut yang mendasarkan pertimbangannya pada Perma 2/2019.

E. Permasalahan Pengadilan Militer

Hukum pidana militer mengenal bentuk tindak pidana yaitu tindak pidana militer murni (zuiver militaire delict), seperti Desersi, Tindak Pidana Insubordinasi, dan meninggalkan pos penjagaan yang tunduk pada yurisdiksi peradilan militer. Namun, dalam hal Prajurit TNI melakukan tindak pidana yang tunduk pada yurisdiksi peradilan umum, sudah seharusnya diadili pada ranah peradilan umum/sipil. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia yang menyebutkan bahwa:

“prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia – pasal 65 ayat (2)

Hingga saat ini, permasalahannya adalah bahwa Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum masih diadili di peradilan militer. Dalam praktiknya, hakim peradilan militer tak jarang menjadi bagian dari mata rantai impunitas bagi Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana. Hal tersebut juga tak lepas dari suasana kultur jiwa korsa (esprit de corps) dalam prosesnya. Dengan demikian, prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana termaktub dalam pasal 27 ayat (1) dan pasal 28 ayat (1) huruf d UUD NRI 1945 menjadi tidak bermakna.

Dalam konteks lain, hakim peradilan militer kerap mengabaikan hak atas keadilan korban tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI. Dalam beberapa kasus yang kami tangani, terbatasnya akses informasi proses penanganan perkara; serta tuntutan oditur dan vonis hakim yang rendah menjadi fenomena yang kerap terjadi dalam pelaksanaan peradilan militer.

F. Mekanisme Pelaporan/Pengaduan Aparat Pengadilan Tidak Transparan, Imparsial, Efektif, dan Akuntabel

Berdasarkan Refleksi Akhir Tahun Komisi Yudisial (KY) Bidang Pengawasan Hakim Tahun 2021. Sepanjang periode 2 Januari – 30 November 2021. Terdapat kenaikan jumlah laporan sekitar 6,4 persen dari tahun sebelumnya. Laporan masyarakat yang diterima KY periode 2 Januari – 30 November 2021 ini sebanyak 1346 laporan, mayoritas disampaikan melalui jasa pengiriman surat sebanyak 699 laporan. Sedangkan, pelapor yang datang langsung ke kantor KY ada 378 laporan. Sementara 248 laporan lainnya disampaikan secara daring dan 21 laporan sisanya berupa informasi atas dugaan pelanggaran perilaku hakim. Sejalan dengan pengalaman LBH Jakarta dan LBHM dalam melakukan pendampingan di persidangan, mekanisme pelaporan/pengaduan ke badan pengawas hakim baik internal maupun eksternal merupakan upaya yang sering ditempuh. Temuan pelanggaran hak terdakwa yang dilakukan dan dibiarkan oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara merupakan dasar pelaporan/pengaduan sekaligus sebagai bentuk partisipasi masyarakat untuk mewujudkan pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang yang jujur, adil, serta menjunjung tinggi HAM. Namun, harapan tersebut menjadi jauh panggang dari api ketika dihadapkan pada proses penanganan pelaporan/pengaduan hakim ataupun aparat pengadilan yang cenderung tidak transparan, imparsial, efektif, dan akuntabel.

Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY) kerap lambat dalam memproses laporan/pengaduan yang diajukan. Dalam beberapa kesempatan, laporan/pengaduan yang diajukan ke KY tidak ditindaklanjuti dengan alasan tidak ditemukan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) tanpa uraian lebih lanjut atau laporan/pengaduan diteruskan kepada BAWAS MA dengan alasan teknis yudisial. Di sisi lain, Bawas MA cenderung defensif dan seolah-olah membela hakim maupun aparat pengadilan. Pihak pengadu hanya dipanggil sekali setelah itu tidak jelas apa yang ditemukan dalam proses investigasi karena memang tidak dijelaskan, lalu tiba-tiba muncul ‘hasil investigasi’ yang menemukan tidak ada pelanggaran.. Bawas MA juga enggan mengumumkan putusan atas laporan tersebut kepada publik karena pengaturan melarang pengumuman.

G. Eksekusi Putusan Tata Usaha Negara yang Buntu

Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa maupun pelanggaran hukum. Dengan demikian kinerja pengadilan tidak hanya diukur dari bagaimana putusannya, termasuk dalam menuntaskan proses eksekusinya. Eksekusi putusan di lingkungan Peradilan TUN merupakan pelaksanaan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang bersifat penghukuman (condemnatoir), baik yang dilakukan secara sukarela oleh tergugat, eksekusi otomatis ataupun dengan penerapan upaya paksa (dwang middelen) yang dapat dilakukan apabila pejabat pemerintahan tidak melaksanakan putusan

Namun yang terjadi adalah banyak pejabat arogan yang tidak mau melaksanakan putusan tata usaha negara. Sebaliknya, Mahkamah Agung sebagai lembaga yudisial tidak memiliki kewenangan memaksa agar pejabat pemerintahan melaksanakan putusan. Akibatnya, sengketa tata usaha negara yang sudah susah payah dijalani dengan tenaga, waktu hingga bertahun-tahun tidak dapat dilaksanakan dan tidak ada gunanya bagi para pencari keadilan.

Mahkamah Agung harus mengajukan revisi UU PTUN dan undang-undang terkait lainnya sehingga mencantumkan sanksi pidana bagi pejabat yang tidak melaksanakan putusan tata usaha negara yang sudah berkekuatan hukum tetap sampai uang paksa. Pelaksanaan putusan menjadi taruhan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.

Selain itu, bagi Mahkamah Konstitusi, berikut catatan kami:

H. Hakim Konstitusi dalam Pusaran Konflik Kepentingan

Terdapat beberapa peristiwa yang mencoreng nama Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of Constitution. Pada 11 November 2020, Presiden Joko Widodo memberikan tanda jasa dan tanda kehormatan berupa Bintang Mahaputra Adipradana kepada 3 orang Hakim Konstitusi, yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Aswanto, serta Bintang Mahaputra Utama kepada 3 orang Hakim Konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Manahan M.P. Sitompul.

Jika dilihat, pemberian tersebut merupakan suatu hal yang tak lazim diberikan kepada Hakim Konstitusi yang masih aktif menjabat. Pemberian tanda jasa dan tanda kehormatan oleh Presiden Joko Widodo tersebut justru akan berdampak pada independensi dan konflik kepentingan, terlebih pada saat pemberian, 6 Hakim Konstitusi tengah memeriksa judicial review beberapa Undang- Undang kontroversial, seperti UU KPK dan UU Ciptaker.

Apabila ditinjau dari sudut pandang antikorupsi, pemberian tanda jasa dan tanda kehormatan merupakan gratifikasi. Hal tersebut karena Pemerintah, dalam hal ini Presiden merupakan pihak yang berkepentingan dalam semua perkara pengujian undang-undang yang menjadi salah satu wewenang MK. Sehingga menjadi wajar ketika publik menyangsikan beberapa putusan MK terkait judicial review UU kontroversial didasarkan pada pertimbangan yang objektif.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, kami meminta dan mendesak:

  1. Ketua Mahkamah Agung memberikan sanksi maksimal kepada seluruh Hakim dan Pegawai Pengadilan yang terlibat dalam praktik korupsi;
  2. Ketua Mahkamah Agung melakukan evaluasi terkait mekanisme persidangan secara virtual, mengingat banyaknya pelanggaran hak yang diterima oleh Terdakwa;
  3. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat RI segera melaksanakan reformasi peradilan militer melalui revisi undang-undang No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer;
  4. Mahkamah Agung merevisi Perma 2/2019 agar secara jelas mengatur batasan-batasan pemisahan kewenangan pengadilan negeri dengan pengadilan tata usaha negara terkait dengan sengketa perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, serta jangka waktu pengajuan gugatan yang patut;
  5. Pemerintah dan DPR RI mengevaluasi pelaksanaan hukuman mati dan mereformasi kebijakan hukuman mati di Indonesia berdasarkan mandat UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak- hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional Sipil, dan Politik dan Konvensi Anti Penyiksaan;
  6. Mahkamah Agung melakukan evaluasi menyeluruh terkait pelaksanaan putusan tata usaha negara dan mengajukan revisi UU PTUN dan undang-undang terkait lainnya sehingga mencantumkan sanksi pidana bagi pejabat yang tidak melaksanakan putusan tata usaha negara;
  7. Mahkamah Konstitusi menolak segala bentuk pemberian dari pihak-pihak yang berperkara termasuk Presiden RI, demi menghindari konflik kepentingan dan marwah Mahkamah Konstitusi.

Pernyataan Besama:
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, LBHM, PBHI Nasional

Pernyataan Bersama Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) Terkait Eksekusi Mati 2 Terpidana Mati di Singapura


Jakarta, 16 Februari 2022 – Tepat hari ini Pemerintah Singapura akan melaksanakan eksekusi mati dengan hukuman gantung terhadap dua terpidana mati yang bernama Roslan bin Bakar dan Pausi bin Jefridin. Keduanya merupakan terpidana mati yang divonis mati karena kepemilikan narkotika. Kami mengecam keras rencana eksekusi mati terhadap kedua terpidana narapidana tersebut.

Menurut data terakhir, kedua terpidana tersebut ditengarai merupakan orang dengan disabilitas intelektual. Pihak pengadilan telah mengakui jika keduanya memiliki permasalahan dengan kemampuan berpikirnya, ditunjukkan dari IQ rendah yang dimiliki oleh para terdakwa. Kedua kasus ini memiliki kemiripan dengan kasus Nagethran (WN Malaysia) yang pada akhir tahun lalu diprotes publik karena memiliki permasalahan kesehatan jiwa dan akan dijadwalkan untuk dieksekusi.

Sebagai organisasi masyarakat sipil yang fokus di isu hukuman mati, kami mendorong Pemerintah Singapura untuk kembali mempertimbangkan eksekusi ini, mengingat latar belakang kedua terpidana mati merupakan orang dengan disabilitas intelektual, yang mana berdasarkan hukum internasional tidak seharusnya dieksekusi mati sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang berbunyi:

“Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa setiap manusia memiliki hak yang melekat untuk hidup dan wajib mengambil seluruh langkah yang diperlukan untuk menjamin pemenuhan secara efektif oleh penyandang disabilitas atas dasar kesamaan dengan manusia lain.”

Hal ini juga didukung dengan Resolusi PBB (UN General Assembly resolution 75/183) pada Desember 2020 yang mengatakan bahwa negara-negara tidak seharusnya menjatuhkan hukuman mati terhadap seseorang yang memiliki permasalahan kesehatan jiwa.

Kami sekali lagi mendorong Pemerintah Singapura untuk tidak melakukan eksekusi mati ini dan tidak untuk melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan Pemerintah Indonesia yakni mengeksekusi seorang disabilitas psikososial (Skizofrenia) pada tahun 2016. Setidaknya Pemerintah Singapura menyediakan akses ke psikiater untuk menilai kondisi kesehatan jiwanya dan memberikan perawatan yang optimal bagi kedua terpidana. 


English Version:

Joint Statement of the Coalition to Abolish the Death Penalty (Koalisi HATI) Regarding The Execution of 2 Death Row Inmates in Singapore

Jakarta, February 16, 2022 – Today, the Singaporean government will carry out the execution by hanging for two death row convicts, Roslan bin Bakar and Pausi bin Jefridin. Both are death row inmates who were sentenced to death for possession of narcotics. We strongly condemn the planned execution of the two convicts.

According to the latest information, the two convicts are suspected to be people with intellectual disabilities. The court has admitted that both of them have problems with their thinking skills, as indicated by the low IQs of the defendants. These two cases have similarities with the case of Nagethran (Malaysian) which at the end of last year was publicly protested for having mental health problems and was scheduled to be executed.

As a civil society organization that focuses on the issue of the death penalty, we encourage the Singaporean Government to re-consider this execution, given the backgrounds of the two death row convicts are people with intellectual disabilities, which under international law should not be executed as stated in Article 10 of the International Convention on Human Rights. – Rights of Persons with Disabilities which reads:

“States Parties reaffirm that every human being has an inherent right to life and shall take all necessary steps to ensure the effective fulfillment of persons with disabilities on an equal basis with other human beings.”

This is also supported by the UN General Assembly resolution 75/183 in December 2020 which said that countries should not impose the death penalty on someone who has mental health problems.

We once again urge the Government of Singapore not to carry out this execution and not to commit the same mistake that the Government of Indonesia made of executing a psychosocial disability (Schizophrenia) in 2016. At least the Singapore Government provides access to a psychiatrist to assess his mental health condition and provide optimal care for the two convicts.

Koalisi HATI members:

  1. Human Rights Working Group (HRWG)
  2. Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)
  3. Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor)
  4. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
  5. International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)
  6. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  7. LBH Jakarta
  8. LBH Masyarakat (LBHM)
  9. LBH Pers
  10. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)
  11. Migrant Care
  12. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
  13. Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI)
  14. PILNET (Public Interest Lawyer Network)
  15. SETARA Institute
  16. The Association for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST)
  17. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  18. Yayasan Satu Keadilan

Modul – Pelatihan Untuk Pendampingan Orang yang Berhadapan dengan Hukuman Mati

Hukuman mati masih merupakan salah satu persoalan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Lebih dari separuh negara di dunia telah menghapus praktik hukuman ini dan tren global menunjukan penurunan vonis mati pada tahun 2020. Namun, di Indonesia jumlah penjatuhan hukuman mati tetap tinggi.

Sikap pemerintah Indonesia mendua dalam hukuman mati karena memberlakukan hukuman mati secara keras di dalam negeri, namun, berupaya untuk membebaskan warganya yang divonis mati di luar negeri. Bahkan dalam situasi pandemi Covid-19 dengan pelaksanaan sidang secara virtual dengan penuh keterbatasan, penjatuhan hukuman mati tetap saja dilakukan.

Menghapus hukuman yang keji seperti hukuman mati akan menjadi sebuah perjalanan yang panjang.

Untuk mewujudkan ini tentunya perlu dilakukan kolaborasi atau kerjasama dari berbagai elemen baik dari pemerintah maupun masyarakat sipil itu sendiri. Salah satunya hal yang bisa dimulai untuk mewujudkan itu adalah dengan memberikan pendampingan hukum (litigasi) terhadap mereka yang dihukum mati.

LBH Masyarakat telah melakukan hal ini sejak lama, dan untuk memperkuat litigasi atau pendampingan hukum bagi warga yang berhadapan dengan sanksi pidana mati kami membuat modul Pelatihan untuk Pendampingan Orang yang Berhadapan Dengan Hukuman Mati.

Modul pelatihan dapat rekan-rekan unduh dengan mengklik tautan di bawah ini:

Modul Pelatihan Untuk Pendampingan Orang yang Berhadapan dengan Hukuman Mati

Hentikan Pendekatan Punitif Dalam Kasus Narkotika & Penjatuhan Hukuman Mati

Oleh LBH Masyarakat (LBHM)

14 Januari 2022 – LBH Masyarakat (LBHM) merupakan organisasi non-profit yang aktif melakukan advokasi kasus serta reformasi kebijakan narkotika dan hukuman mati di Indonesia. Hal ini tidak terlepas pada dua kasus yang marak dalam pemberitaan media belakangan ini. Pertama, kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Herry Wirawan pada Pengadilan Negeri Bandung. Kedua, kasus penyalahgunaan narkotika yang dialami oleh Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

LBHM mengecam keras seluruh pelaku kekerasan seksual dan tidak mentoleransi tindakan tersebut, termasuk pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Herry Wirawan terhadap 13 santriwati di daerah Bandung. LBHM senantiasa mendorong seluruh aparat penegak hukum agar setiap pelaku kekerasan seksual diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalamnya. Namun, LBHM menyatakan tidak sepakat dengan tuntutan maupun hukuman mati yang dijatuhkan dalam kasus tersebut.

Pasal 67 KUHP menegaskan bahwa bagi setiap orang yang dijatuhi hukuman mati dan hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhi pidana lain lagi selain pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim. Menuntut maupun menjatuhkan hukuman mati bagi Herry Wirawan akan menjauhkan upaya pemulihan bagi korban dalam memperoleh restitusi baik secara materil maupun immateril. Penjatuhan hukuman sepatutnya menggunakan pendekatan yang rehabilitatif dan tidak bersifat retributif atau pembalasan semata. Mengedepankan opsi hukuman mati menegaskan kegagalan peran negara dalam menjawab persoalan kekerasan seksual yang menjamur di lingkungan masyarakat.

LBHM menyayangkan putusan yang diberikan oleh majelis hakim kepada Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie pada nomor perkara: 770/PID.SUS/2021/JKT.PST. Setiap orang yang mengalami permasalahan adiksi narkotika seharusnya menerima layanan rehabilitasi medis maupun sosial, hal ini berlaku universal sebagaimana tertuang dalam Pasal 54 UU Narkotika. Pendekatan punitif yang dipertahankan dalam kebijakan dan penanganan kasus narkotika telah secara nyata tidak menurunkan angka penyalahguna narkotika di Indonesia. Kondisi adiksi seseorang tidak akan terjawab melalui hukuman pemenjaraan. Selain menjauhkan dari layanan rehabilitasi, persoalan pada kebijakan punitif pada akhirnya akan berdampak pada penuhnya lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Hal ini berkonsekuensi pada pembinaan dan pengawasan yang tidak optimal di setiap lapas di Indonesia. Pendekatan medis melalui rehabilitasi medis maupun sosial seharusnya menjadi opsi utama dan pertama atas kondisi adiksi seseorang. Indonesia sepatutnya belajar dari negara-negara yang gagal dalam mengedepankan kebijakan war on drugs (perang terhadap narkotika) dan bertransformasi pada pendekatan medis yang humanis.

Narahubung:
0822-4114-8034