Tag: LBHM

Somasi Terbuka – Kelangkaan Tabung dan Kenaikan Harga Oksigen

Salam Darurat Kesehatan Masyarakat!
Situasi pandemi Covid-19 yang masih belum terkendali dengan angka kasus yang masih cukup tinggi, membuat masyarakat khawatir. Terlebih di bulan lalu, kondisi Rumah Sakit mengalami overkapasitas, dan mengalami kekurangan alat kesehatan seperti tabung oksigen dan pasokan oksigen. Dengan kondisi seperti saat ini, sayangnya, Pemerintah masih belum cukup bergerak cepat untuk menangani permasalahan-permasalahan ini.

Kondisi krisis yang sempat terjadi seharusnya menjadi alarm bagi Pemerintah untuk bergerak cepat menangani kondisi krisis yang terjadi. Oleh karena lambatnya penanganan pemerintah masyarakat sipil yang terdiri dari:

YLBHI; Indonesia Corruption Watch (ICW); #BersihkanIndonesia; LBH Samarinda; LBH Manado; LBH Palembang; LBH Medan; LBH Pekanbaru; LBH Bali; LBH Palangka Raya; LBH Semarang; LBH Bandung; LBH Jakarta; LBH Surabaya; LBH Yogyakarta; LBH Makassar; LBH Padang; LBH Bandar Lampung; Sajogyo Institute; Greenpeace Indonesia; Enter Nusantara; Yayasan Perlindungan Insani Indonesia; Jala PRT; Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI); LaporCovid-19; LBH Masyarakat (LBHM); Aliansi Jurnalis Independen (AJI); FSBPI; Perempuan Mahardhika; AJAR; RUMPUN Tjoet Njak Dien; IDEA (Ide dan Analitika Indonesia) Yogyakarta; KontraS; Lokataru Foundation; UPC; JERAMI Jaringan Rakyat Miskin Indonesia; JRMK Jaringan Rakyat Miskin Kota; IWE (Institut of Women Empowerment); Jaringan Perempuan Pesisir Sultra; Circle Indonesia; Pamflet Generasi; Forum Akar Rumput Indonesia; PERHIMPUNAN PENDIDIKAN DEMOKRASI; Kalyanamitra; PEKKA.

Bersama ini kami masyarakat sipil ingin menyampaikan somasi kepada penerima mandat Rakyat sebagai pengurus publik:

  1. Presiden RI, Bapak Ir. Joko Widodo;
  2. Menteri Perdagangan RI, Bapak Muhammad Lutfi;
  3. Menteri Kesehatan RI, Bapak Budi Gunadi Sadikin.

Adapun alasan Somasi ini dilayangkan karena:

  1. Kelangkaan tabung Oksigen;
  2. Kelangkaan Oksigen;
  3. Naiknya harga tabung Oksigen dan perlengkapan pendukungnya.

Dokumen Somasi Terbuka dapat di lihat pada link berikut:
Somasi Terbuka Masyarakat Sipil Terkait Oksigen

[Policy Paper] Potret Penahanan: Minim Bantuan Hukum, Masih Terjadi Penyiksaan, dan Pemerasan

Berdasarkan pasal 1 angka 21 pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), Penahanan merupakan penempatan tersangka atau terdakwa di suatu tempat tertentu oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Mengacu pengertian tersebut, penahanan hanya diberlakukan pada seseorang yang sudah jelas statusnya sebagai tersangka atau terdakwa.

Sayangnya, kerap kali Aparat Penegak Hukum (APH) melakukan penangkapan tanpa tanpa melihat faktor-faktor situasional hal ini tentunya dapat melahirkan kemungkinan terjadinya praktik korupsi atau pemerasan di wilayah penahanan itu sendiri. Perlu diketahui jika angka/jumlah orang yang dilakukan penahanan terus meningkat dan menyebabkan penuhnya tempat penahanan. KUHAP sendiri sangat jelas menghadirkan alternatif penahanan, yakni penahanan tidak harus dilakukan di tempat penahanan atau biasa disebut dengan rumah tahanan negara (rutan) yang dikelola kepolisian, kejaksaan atau pengadilan. Lebih tepatnya dalam Pasal 22 ayat (1) pada KUHAP menjelaskan jika terdapat tiga jenis penahanan, yaitu: penahanan rutan, penahanan rumah, dan penahanan kota.

Dalam kertas kebijakan terkait penahanan yang ditulis oleh LBHM menemukan beberapa temuan, seperti masih adanya praktik penyiksaan dan kekerasan terhadapa tahanan, selain itu masih banyak tahanan yang belum memiliki akses ke bantuan hukum yang layak. Padahal para narapidana pun juga memiliki hak atas peradila yang adil, dan hal ini dijamin di dalam Undang-Undang itu sendiri.

Kertas Kebijakan dapat dibaca secara lengkap pada link di bawah ini:
Potret Penahanan: Minim Bantuan Hukum, Masih Terjadi Penyiksaan, dan Pemerasan

Kasus Nia Ramadhani: Potret Si Buruk Rupa Kepolisian

Sabtu, 10 Juli, di Polres Metro Jakarta Pusat (Polres Metro Jakpus), melalui konferensi pers, Nia Ramadhani mengucapkan maaf kepada publik atas kasus narkotika yang menimpanya. Polisi menangkap Nia pasca menemukan 0.78 gram sabu pada supir Nia, Zen Vivanto, serta mendapatkan alat isap, bong di kediaman Nia. Kemudian Ardi Bakrie, suami Nia, yang tidak memiliki barang bukti apapun, turut menyerahkan diri karena kerap memakai sabu bersama dengan Nia.

Konferensi pers ini adalah yang kedua. Polres Metro Jakpus sebelumnya telah menggelar konferensi pers pertama pada Kamis, 8 Juli, tapi tanpa kehadiran mereka. Publik menganggap tidak adil jika Nia, Ardi, dan Vivanto tidak ditampilkan, seperti publik figur serupa yang tersandung kasus narkotika. Namun apakah sebenarnya publik memerlukan permohonan maaf mereka, terutama Nia Ramadhani? Atau jika pertanyaannya dibalik, apakah Nia perlu meminta maaf atas kasus penggunaan narkotikanya?

Permohonan maaf itu tidak sepatutnya ada. Ini bukan cuma pada kasus Nia, tapi pengguna narkotika lain yang diminta untuk memohon maaf kepada publik melalui konferensi pers. Publik tidak mengalami kerugian apapun atas perbuatan mereka. Justru yang menjadi masalah, situasi ini menyalahi asas praduga tidak bersalah, sebab orang-orang ramai ‘menghakimi’ mereka, bahkan sebelum pengadilan memeriksa kasus mereka. Penggunaan narkotika adalah tindakan tanpa korban, dan tidak dapat disamakan kejahatan dengan kekerasan (violent crime). Namun melalui permohonan maaf publik, pengguna narkotika seolah ditempatkan sebagai pendosa besar dan meyalahi kepentingan banyak orang.

Sesungguhnya apa yang polisi ingin capai dari penyelenggaraan konferensi pers semacam itu? Apakah polisi ingin melanggengkan citra pengguna narkotika adalah kriminal, bahwa penggunaan narkotika perlu dihindari karena merusak,  atau sebuah tontonan untuk memberitahukan kepada khalayak betapa kerasnya hukum narkotika di negeri ini?

Setidaknya ada empat persoalan yang mengemuka dari penanganan polisi di kasus ini.

Pertama, terkait perempuan dan narkotika. Di kasus ini, Nia-lah yang paling banyak disorot media dan publik. Bukan hanya karena Nia dianggap sebagai figur publik dan memberi contoh yang tercela. Tetapi juga ada sisi di mana Nia adalah seorang perempuan sekaligus ibu, dan muncullah seribu alasan untuk menyalahkannya. Nia dicap gagal menjadi istri yang baik bagi Ardi dan malah menjerumuskannya, serta ibu yang buruk bagi anak-anaknya.

Perempuan yang terlibat tindak pidana narkotika memiliki beban moral lebih tinggi daripada laki-laki dan kerap mengalami stigma dan diskriminasi yang berlapis. Alasan-alasan perempuan menggunakan narkotika, seperti doping, atau penghilang stress selalu dianggap tidak valid. Perempuan kerap dianggap kehabisan akal dan tidak berpikir jangka panjang, jika memutuskan untuk mengonsumsi narkotika ketika menghadapi masalah. Namun latar belakang penggunaan narkotika pada perempuan jarang terungkap. Pun terangkat, hal itu tidak terdokumentasikan. Jika polisi dapat menggali alasan Nia menggunakan narkotika dan menuangkannya ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), seharusnya perempuan lain di kasus serupa juga memiliki hak yang sama. Hal itu penting untuk memberikan intervensi atau rekomendasi yang tepat, serta mencapai keadilan gender yang proporsional. 

Kedua, mengenai penggunaan narkotika. Seperti diberitakan di sejumlah media, kepolisian menyebut bahwa Nia menggunakan sabu ketika sedang sibuk syuting stripping dan membantunya ketika sedang banyak tekanan. Hal ini penting untuk diperhatikan. Sebab, hal ini berarti bahwa Nia tidak sedang menggunakan narkotika dalam konteks rekreasional (untuk bersenang-senang), dan juga tidak bersifat ketergantungan. Penggunaan sabunya itu justru untuk membantu staminanya selama syuting. Jika benar Nia menggunakan sabu untuk menunjang dirinya menjalani syuting, publik juga kemudian menikmati hasil karyanya dan bisa melihat kemampuannya dalam berakting. Kasus ini menunjukkan kepada kita betapa spektrum penggunaan narkotika itu luas, dan tidak sehitam-putih rekreasional versus adiksi.

Ketiga, perlakuan diskriminatif kepolisian. Senin, 11 Juli – selang satu hari setelah konferensi pers kedua – berdasarkan rekomendasi dari tim asesmen terpadu Badan Narkotika Nasional (BNN), polisi menempatkan Nia, Ardi, dan supirnya ke lembaga rehabilitasi. Tidak sulit bagi publik untuk menyimpulkan bahwa polisi pilih kasih di kasus ini yang akan memudahkan mereka lolos dari jerat hukum. Nia dan Ardi memiliki posisi sosial tinggi, tenar, kaya, dan punya kuasa. Kepolisian seharusnya wawas diri atas kritik publik ini.

Tindakan polisi memang sejalan dengan SE Bareskrim Nomor: SE/01/II/2018 tentang Petunjuk Rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, yakni memberikan hak rehabilitasi bagi pengguna. Tapi kegusaran publik terletak pada fakta bahwa di kasus pengguna lainnya yang miskin dan tidak punya kuasa, polisi cenderung lambat atau berbelit-belit mengalihkan mereka ke proses rehabilitasi. Kalaupun polisi mengarahkan pengguna narkotika ke fasilitas rehabilitasi, dan tidak diproses secara hukum, nampaknya hal itu terjadi karena adanya praktik jual beli pasal penggunaan narkotika.

Keempat, inkonsistensi penggunaan pasal. Banyak media melaporkan bahwa Nia dan Ardi hanya akan didakwa dengan Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika terkait penyalahgunaan narkotika. Pasal 127 memungkinkan seorang pengguna mendapatkan vonis rehabilitasi. Biasanya di kasus-kasus yang tidak melibatkan figur publik, kedapatan 0.78 gram sabu akan disertai dengan Pasal 112 ayat (1) tentang kepemilikan atau penguasaan narkotika. 

Keberadaan Pasal 112 dan Pasal 127 sendiri tidak akan melepas pengguna dari ancaman hukuman penjara. Sebab, Pasal 127 (1) diikuti dengan ancaman maksimal empat tahun penjara, sedangkan Pasal 112 ayat (1) dengan minimum empat tahun penjara. Bahkan kepemilikan sabu yang tidak lebih dari 1 gram ini juga sangat mungkin untuk mendakwa pengguna dengan Pasal 114, yang identik dengan pengedaran narkotika (‘bandar’). Di kasus ini Nia, Ardi, dan Vivanto beruntung jika hanya didakwa dengan Pasal 127, tetapi tidak bagi pengguna narkotika lainnya yang berasal dari masyarakat menengah ke bawah. Keberadaan pengacara yang kompeten tentu turut membantu hak Nia mendapatkan asesmen dan rekomendasi rehabilitasi terpenuhi. Namun, bagi pengguna narkotika dengan gramatur yang sama di kasus Nia, tetapi  tidak mampu atau tidak didampingi oleh pengacara, peluang mereka mendapatkan akses rehabilitasi sangat kecil.[1]

Inkonsistensi kepolisian atas aturan-aturan yang mereka buat sendiri juga terlihat dalam proses pemberian asesmen rehabilitasi untuk menilai ketiganya adalah pengguna atau bukan. Polisi menyebut permohonan asesmen harus datang dari keluarga. Meski pernyataan ini kurang tepat, namun Peraturan BNN Nomor 11 Tahun 2014 memang memberi ruang untuk keluarga mengajukan permohonan asesmen melalui penyidik. Pernyataan polisi ini seolah menggambarkan bahwa penyidik tidak memiliki wewenang untuk mengajukan asesmen. Sementara berdasarkan Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi, yang disepakati oleh tujuh lembaga, termasuk lembaga kepolisian, menyebutkan bahwa polisi berwenang untuk mengajukan asesmen rehabilitasi. 

Di luar keempat persoalan tersebut, ada hal yang lebih mendasar dan mendesak untuk direspon, yakni sudah waktunya Indonesia mendekriminalisasi penggunaan narkotika. Artinya, penggunaan narkotika – maupun kepemilikan, penguasaan, atau pembelian narkotika untuk kepentingan pribadi (atas alasan apapun) – tidak sepatutnya dikenakan pidana penjara. Energi dan sumber daya penegak hukum lebih baik diarahkan untuk menangani kasus-kasus besar yang jauh lebih membahayakan kepentingan publik. Dekriminalisasi penggunaan narkotika juga akan membantu mendorong pengguna narkotika mengakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan, tanpa rasa malu akan stigma sebagai penjahat. Pengguna narkotika membutuhkan dukungan, bukan hukuman.

Tulisan opini ini merupakan respon dari Kasus Penangkapan Artis Nia Ramadhani yang terjerat hukum karena narkotika. Tulisan ini ditulis oleh Aisya Humaida – Tim Penanganan Kasus LBH Masyarakat.


[1] Kondisi ini bersesuaian dengan temuan LBHM, di mana 43% dari 103 tahanan narkotika adalah mereka dengan kepemilikan narkotika di bawah 1 gram (Yosua Octavian & Aisya Humaida, 2021).

Rilis Pers – Tuduhan Kekerasan Tanpa Bukti Terhadap Dua Aktivis Papua

Pada Rabu, 30 Juni 2021, persidangan terhadap dua aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yakni Ruland Rudolof Karafir dan Finakat Molama (Kevin) dengan agenda persidangannya adalah Pembuktian. Pada persidangan tersebut hadir saksi korban, yakni Rajid Patiran, dengan saksi security dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), yakni Nurdiansyah dan Syahroni.

Pada persidangan tersebut, saksi-saksi didengarkan keterangannya mengenai dugaan tindakan pengeroyokan yang dilakukan oleh Ruland dan Kevin. Namun, di dalam keterangan yang bunyi di persidangan pada hari ini tidak ada satu pun keterangan meyakinkan yang dapat membuktikan bahwa Ruland dan Kevin lah yang melakukan pemukulan sehingga mengakibatkan Rajid Patiran luka-luka ringan. 221e46

Di dalam persidangan, pada intinya Rajid menyatakan bahwa dirinya mendapatkan tiga (3) pukulan, yang masing-masing didapatkan dari Ruland, Kevin, dan satu orang lagi yang dia tidak ketahui identitasnya. Berdasarkan kesaksian Rajid Patiran, pemukulan pertama dilakukan oleh Ruland dan mengenai bagian mata sebelah kirinya. Namun, keterangan tersebut disangkal oleh Ruland di persidangan dan menerangkan bahwa pukulannya tersebut tidak mengenai Rajid Patiran. Pemukulan Kedua, disangkakan kepada Kevin. Hal ini dikarenakan Rajid Patiran melihat video yang menampilkan Kevin. Namun, setelah video tersebut dipertontonkan di dalam persidangan, tidak ada satu video pun yang secara jelas memperlihatkan Kevin melakukan pemukulan kepada Rajid Patiran. Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Kevin di dalam persidangan bahwa dirinya tidak ada melakukan pemukulan kepada Rajid Patiran.

Selain itu, security BKN yang hadir hari ini pun menyatakan bahwa mereka tidak melihat secara langsung mengenai adanya pemukulan kepada Rajid Patiran dan tidak melihat adanya luka-luka pada Rajid Patiran. Bahkan para saksi ini menyatakan bahwa mereka tidak dapat mengidentifikasi siapa-siapa saja yang ada pada saat itu karena merasa orang-orang yang ada pada saat kejadian hampir mirip secara ciri-ciri fisiknya.

Atas hasil pemeriksaan saksi-saksi di atas, Tim Penasihat Hukum kedua aktivis Papua dari Tim Advokasi Papua, yang terdiri dari  LBH Masyarakat (LBHM), LBH Jakarta, serta Komisi untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menilai bahwa tidak ada satu pun keterangan meyakinkan yang dapat membuktikan bahwa Ruland dan Kevin lah yang melakukan pemukulan dan memiliki relasi sebab-akibat pada luka-luka yang dimiliki oleh Rajid Patiran.

Sedari awal, kami, Tim Advokasi Papua, sangat menyayangkan kasus ini bisa sampai sejauh ini masuk ke dalam persidangan yang mulia dengan alat bukti dan barang bukti yang sangat kabur, sehingga terkesan sangat dipaksakan. Selain itu, dalam kasus ini juga ditemukan kejanggalan-kejanggalan, dari proses penangkapan dan penetapan sebagai tersangka yang langsung diberikan kepada Ruland dan Kevin, tanpa memeriksa kedua aktivis AMP tersebut sebagai saksi sebagaimana biasanya dalam kasus tuduhan Pasal 170 KUHP. Maka dari itu, Tim Advokasi Papua menilai patut dipertanyakan apa sebenarnya yang menjadi motif untuk meneruskan kasus ini.

Kami khawatir proses hukum yang menimpa dua orang Aktivis Papua ini hanyalah upaya untuk meredam gerakan demonstrasi yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan oleh mahasiswa Papua untuk menuntut pertanggungjawaban negara atas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

Melihat hal-hal di atas, maka Tim Advokasi Papua menyatakan:

  1. Menghentikan segala diskriminasi dan Pelanggaran HAM terhadap warga Papua;
  2. Melakukan penegakan hukum secara adil dan bertanggungjawab sesuai dengan prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia;
  3. Menghentikan segala diskriminasi dan Pelanggaran HAM terhadap warga Papua;
  4. Meminta agar Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa perkara ke dua aktivis Papua memeriksa secara jernih dan mengabaikan segala intervensi serta mengedepankan kebenaran materil dalam menjatuhkan putusannya.

Tim Advokasi Papua:
LBH Masyarakat (LBHM), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Papua itu Kita.

[Laporan Penelitian] Mengungkap Sikap Publik Indonesia Terhadap Hukuman Mati

Penelitian baru yang mengungkap sikap publik Indonesia terhadap hukuman mati memberikan data baru yang dapat memfasilitasi wacana segar tentang masa depan hukuman mati di Indonesia

Penelitian yang dilakukan oleh The Death Penalty Project, dalam kemitraan dengan LBH Masyarakat dan Universitas Indonesia, dan dilakukan oleh Prof. Carolyn Hoyle dari Unit Penelitian Hukuman Mati di Universitas Oxford, menemukan bahwa pembentuk opini di Indonesia menginginkan untuk meninggalkan hukuman mati dan bahwa publik terbuka untuk berubah.

Penelitian ini menyelidiki kepercayaan yang diterima secara luas bahwa mayoritas orang Indonesia mendukung hukuman mati. Melalui penyelidikan yang bernuansa, penelitian ini hendak memahami lebih dalam sikap publik dan mengkaji seberapa mengakar pandangan tersebut untuk dapat memfasilitasi wacana yang konstruktif.

Studi ini menunjukkan bahwa semakin banyak informasi yang diberikan kepada masyarakat mengenai penerapan hukuman mati, semakin sedikit mereka mendukungnya. Demikian pula, ketika disajikan dengan faktor yang meringankan, dukungan publik terhadap hukuman mati turun drastis. Temuan menunjukkan bahwa masyarakat tidak menentang penghapusan, tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk dapat sepenuhnya memahami persoalan.

Laporan Penelitian lengkapnya dapat di unduh dengan mengklik link di bawah ini:

Versi Bahasa Indonesia

  1. Pandangan Para Pembentuk Opini tentang Hukuman Mati di Indonesia (Bagian Pertama)
  2. Opini Publik tentang Hukuman Mati di Indonesia (Bagian Kedua)

English Version

  1. Investigating Attitudes to the Death Penalty in Indonesia, (Part One): An Appetite for Change
  2. Investigating Attitudes to the Death Penalty in Indonesia, (Part Two): No Barrier to Abolition

Rilis Pers – Mengungkap Sikap Publik Indonesia Terhadap Hukuman Mati

Penelitian baru yang mengungkap sikap publik Indonesia terhadap hukuman mati memberikan data baru yang dapat memfasilitasi wacana segar tentang masa depan hukuman mati di Indonesia.

Studi dua bagian tersebut menyimpulkan bahwa pembentuk opini di Indonesia menginginkan untuk meninggalkan hukuman mati dan bahwa publik terbuka untuk berubah.

Penelitian ini ditugaskan oleh The Death Penalty Project, dalam kemitraan dengan LBH Masyarakat dan Universitas Indonesia, dan dilakukan oleh Prof. Carolyn Hoyle dari Unit Penelitian Hukuman Mati di Universitas Oxford untuk menyelidiki kepercayaan yang diterima secara luas bahwa mayoritas orang Indonesia mendukung hukuman mati. Melalui penyelidikan yang bernuansa, penelitian ini hendak memahami lebih dalam sikap publik dan mengkaji seberapa mengakar pandangan tersebut untuk dapat memfasilitasi wacana yang konstruktif. Studi ini menunjukkan bahwa semakin banyak informasi yang diberikan kepada masyarakat mengenai penerapan hukuman mati, semakin sedikit mereka mendukungnya. Demikian pula, ketika disajikan dengan faktor yang meringankan, dukungan publik terhadap hukuman mati turun drastis. Temuan menunjukkan bahwa masyarakat tidak menentang penghapusan, tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk dapat sepenuhnya memahami persoalan.

  • 67% pembentuk opini mendukung penghapusan hukuman mati;
  • 69% publik pada awalnya mendukung hukuman mati dipertahankan, tetapi hanya 35% yang sangat mendukungnya;
  • Hanya 2% publik yang merasa sangat mengetahui tentang hukuman mati dibandingkan dengan pembentuk opini yang pada umumnya lebih luas pengetahuannya tentang hukuman mati dan sistem peradilan pidana yang lebih luas;
  • Hanya 4% publik yang merasa sangat prihatin dengan persoalan ini.

Indonesia adalah salah satu dari minoritas negara yang masih mempertahankan hukuman mati dalam undang-undang. Ada beberapa kejahatan yang dapat dihukum mati, termasuk pembunuhan, perampokan, terorisme, dan tindak pidana narkoba. Lebih dari 60% hukuman mati yang dijatuhkan di negara ini, dan setengah dari semua eksekusi yang dilakukan dalam 20 tahun terakhir, adalah untuk tindak pidana terkait narkoba. Laporan tersebut juga menemukan bahwa dukungan untuk hukuman mati dalam skenario realistis lebih rendah daripada secara abstrak, dan ketika ditunjukkan kemungkinan bahwa orang yang tidak bersalah dapat dieksekusi, dukungan publik untuk abolisi meningkat dari 18% menjadi 48%.

Seperti banyak negara tetangganya di Asia Tenggara, Indonesia mempertahankan hukuman mati dengan asumsi bahwa hukuman ini berfungsi sebagai pencegah yang efektif terhadap kejahatan, khususnya perdagangan narkoba, namun belum ada penelitian akademis yang mendukung keyakinan tersebut.

Parvais Jabbar, Ko-Direktur Eksekutif dari The Death Penalty Project mengatakan; “Dukungan publik terus disebut-sebut oleh pemerintah Indonesia sebagai alasan untuk mempertahankan hukuman mati, tetapi temuan penelitian kami menunjukkan bahwa publik sebenarnya terbuka untuk perubahan kebijakan tentang persoalan penting ini. Ada dukungan yang jelas untuk abolisi di antara pembentuk opini dan temuan membuktikan bahwa semakin banyak publik tahu tentang hukuman mati, semakin sedikit mereka mendukungnya. Kami berharap data dan analisis yang dikumpulkan dalam kedua laporan ini dapat digunakan untuk memfasilitasi dialog konstruktif tentang masa depan hukuman mati di Indonesia.”

Muhammad Afif, Direktur LBH Masyarakat mengatakan; “Dua laporan ini menunjukkan bahwa mewujudkan penghapusan hukuman mati bukanlah hal yang mustahil di Indonesia. Pendapat publik dan elit memberikan harapan kepada terpidana mati bahwa suatu hari kita bisa mengakhiri adanya regu tembak.”

Rilis ini ditulis oleh The Death Penalty Project

Rilis Pers – Penghambatan Akses Kesehatan Terdakwa 2 Aktivis Mahasiswa Papua (AMP)

Penghambatan Akses Kesehatan Terdakwa 2 Aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Bentuk Diskriminasi Yang Melanggar HAM & Menambah Deretan Perlakuan Tidak Adil Terhadap Warga Papua Dihadapan Hukum.

Jakarta, 15 Juni 2021,
2 orang aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), yakni Ruland Rudolof Karafir yang merupakan Kepala Biro Pendidikan dan Pembinaan Pengurus Pusat AMP dan Finakat Molama yang merupakan Sekretaris Jenderal AMP, yang saat ini tengah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan di tahan di Polda Metro Jaya mengalami hambatan untuk mendapatkan pengobatan.

Sebelumnya, Penasihat Hukum kedua aktivis tersebut dari Tim Advokasi Papua, yang terdiri dari LBH Masyarakat (LBHM), LBH Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Papua itu Kita, dalam persidangan pada hari Rabu, 9 Juni 2021, telah meminta kepada Majelis Hakim agar dapat memberikan izin kepada keduanya untuk melakukan pengobatan karena memiliki kondisi penyakit khusus yang membutuhkan intervensi medis yang memadai. Pada persidangan tersebut Ketua Majelis Hakim telah memenuhi permintaan Tim Penasihat Hukum dan memberikan perintah kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Timur untuk memberikan akses agar Tim Penasehat Hukum bisa mendampingi terdakwa untuk mendapatkan pengobatan.

Selanjutnya, menindaklanjuti perintah Ketua Majelis Hakim tersebut, Tim Penasihat Hukum dan JPU menyepakati jadwal pengobatan ditentukan pada hari Senin, 14 Juni 2021. Tim Penasihat Hukum dan JPU kemudian menjadwalkan untuk bertemu di Polda Metro Jaya pukul 10.00 WIB. Akan tetapi, pada saat Tim Penasihat Hukum telah berada dan menunggu di Polda sejak dari Pukul 10.00, alih-alih bertemu JPU untuk diberikan akses agar kedua orang tersebut dapat dikeluarkan dari tahanan untuk mendapatkan pengobatan di tempat biasa berobat, JPU justru menginformasikan bahwa bagian tahanan Polda bisa mengeluarkan bila ada penetapan hakim. Setelah menginfromasikan hal tersebut kepada Tim Penasihat Hukum, Tim Penasihat Hukum menunggu hampir seharian tanpa kejelasan dan sampai rilis pers ini terbit belum ada kejelasan dari JPU mengenai upaya pengeluaran terdakwa dari tahanan Polda Metro Jaya untuk pengobatan.

Bahwa sepatutnya informasi yang didapatkan JPU tersebut tidak dapat dijadikan justifikasi sebagai alasan untuk menghalangi keduanya untuk dikeluarkan agar bisa berobat. Alasan tersebut hanya mengada-ada karena tidak didukung dasar hukum yang jelas. Justru sebaliknya, fakta bahwa terdakwa yang memiliki penyakit khusus sangat memerlukan intervensi medis yang memadai dan berkelanjutan, jelas merupakan alasan yang kuat agar terdakwa bisa dikeluarkan untuk mendapatkan pengobatan semaksimal mungkin untuk mengobati penyakit yang dideritanya.

Selain itu, jika merujuk butir 6 Surat Edaran Mahakamah Agung No. 1 Tahun 1989 bahkan untuk melakukan rawat inap di rumah sakit tidak perlu ada penetapan tersendiri dari Ketua Pengadilan Negeri. Oleh karena sebelumnya telah ada perintah dari Ketua Majelis Hakim dalam persidangan untuk memberikan akses kepada terdakwa berobat. Maka dari itu perintah dari Ketua Majelis Hakim sepatutnya dimaknai bahwa terdakwa yang telah diberikan izin untuk melakukan pengobatan dan telah memerintahkan JPU untuk membukakan akses kesehatan kepada terdakwa dihadapan persidangan yang terbuka untuk umum, tidak memerlukan lagi penetapan agar bisa mengeluarkan terdakwa dari tahanan untuk berobat.

Sejak awal Tim Advokasi Papua menilai bahwa kasus yang menimpa dua orang Aktivis Papua ini merupakan upaya untuk meredam gerakan demonstrasi yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan oleh mahasiswa Papua untuk menuntut pertanggungjawaban negara atas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Kondisi penghambatan akses kepada terdakwa untuk melakukan pengobatan jelas menambah deretan permasalahan pelanggaran HAM yang berkaitan dengan warga Papua, karena berdasarkan Pasal 28H ayat 1 UUD Negara RI Tahun 1945 menyebutkan bahwa hak atas pelayanan kesehatan sebagai hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi.

Bahwa proses hukum yang sedang dijalani oleh kedua orang aktivis tidak bisa dijadikan alasan untuk menghambat dan mengurangi hak atas pelayanan kesehatan sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi. Oleh karena itu, kami Tim Advokasi Papua menuntut kepada pimpinan kelembagaan aparat penegak hukum, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Mahkamah Agung Republik Indonesia Kepolisian Negara Republik Indonesia:

  1. Menghentikan segala diskriminasi dan Pelanggaran HAM terhadap warga Papua
  2. Melakukan penegakan hukum secara adil dan bertanggungjawab sesuai dengan prinsip negara
    hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia;
  3. Menghormati hak atas pelayanan kesehatan kedua orang aktivis Aliansi Mahasiswa Papua;
  4. Memerintahkan Jaksa Penuntut umum (JPU) dan Polda Metro Jaya membukakan akses kesehatan agar kedua Mahasiswa Papua dapat berobat dengan memadai dan berkelanjutan;
  5. Tidak mempersulit Tim Penasehat Hukum dalam memberikan bantuan hukum kepada ke dua orang aktivis Aliansi Mahasiswa Papua.

Hormat Kami,
Tim Advokasi Papua
[Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Papua itu Kita]

Narahubung:
1.Maruf Bajammal (081280505706)
2.Michael Hilman (082234750472)

Rilis Pers -RKUHP BUTUH DIBAHAS TERBUKA BUKAN SOSIALISASI SEARAH

Koalisi Nasional Reformasi KUHP Merespon, Diskusi Publik Rancangan KUHP KEMENKUMHAM Minim Pelibatan Masyarakat Secara Substansial: RKUHP Butuh Dibahas Terbuka Bukan Sosialisasi Searah Koalisi Nasional Reformasi KUHP Merespon

Kementerian Hukum dan HAM telah menyelenggarakan 11 kegiatan sosialisasi Rancangan KUHP (RKUHP), dan dimana senin, 14 Juni 2021 merupakan giliran sosialiasi RKUHP di Jakarta. Untuk merespon kegiatan ini, maka beberapa catatan Aliansi adalah sebagai berikut:

Pertama, dalam acara kegiatan ini, Aliansi tidak melihat ada perubahan dari susunan pembicara. Pemerintah tetap tidak melibatkan baik dari masyarakat sipil ataupun akademisi dari bidang ilmu dan perspektif berbeda untuk memberikan masukan pada RKUHP pada porsi yang berimbang dengan Pemerintah dan DPR. Acara diskusi ini lebih pada sosialisasi searah dari pada diskusi substansi yang lebih genting untuk dilakukan agar RKUHP tidak lagi mendapatkan penolakan dari masyarakat.

Beberapa anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP memang diketahui diundang dalam sosialisasi 14 Juni 2021 ini, namun, porsi masukan hanya dialokasikan 1 jam itupun di sesi tanya jawab, tidak seimbang dengan materi substansi yang melibatkan 6 pembicara dari tim perumus pemerintah dan DPR dengan alokasi waktu selama 3 jam lebih. Hal lain, tidak semua kalangan masyarakat sipil yang berpotensi terdampak diundang oleh Pemerintah, seperti dari kelompok penyandang disabilitas, kelompok advokasi Kesehatan reproduksi, kelompok rentan dan lain sebagainya.

Kedua, ketidakjelasan proses dan draf RKUHP yang akan dibahas. Baik Pemerintah dan DPR tidak secara jelas memberikan ketegasan apakah draf yang diedarkan pada acara sosialisasi RKUHP di Manado (Sosialisasi ke-11 sebelum Jakarta) merupakan draf terbaru atau hanya sosialisasi draf lama yang ditolak masyarakat pada September 2019. Apabila ini adalah draf terbaru, Aliansi tidak melihat adanya perubahan sedikitpun dalam draf tersebut, draf yang diedarkan masih merupakan draf versi September 2019 yang ditolak oleh masyarakat. Publik nampaknya perlu mengetahui proses kajian dan pembaruan RKUHP selama hampir 2 tahun ini paska penolakan September 2019 yang sudah dilakukan oleh Pemerintah. Apabila tidak ada perubahan, maka sosialisasi ini bukan mendengarkan masukan publik paska penolakan RKUHP September 2019 yang bahkan sampai memakan korban jiwa dan munculnya pernyataan Presiden untuk menunda dan mengkaji ulang RKUHP.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP jelas mendukung upaya-upaya pembaruan KUHP, kami juga sejalan dengan DPR dan Pemerintah yang ingin menciptakan KUHP baru yang jauh dari sifat kolonial, KUHP baru yang modern dan sesuai dengan konstitusi. Untuk itu, Pemerintah dan DPR nampaknya perlu diingatkan lagi bahwa dasar penundaan RKUHP adalah substansial, terkait dengan materi muatan RKUHP. Presiden sendiri yang menyatakan hal ini. Maka RKUHP butuh dibahas secara substansial dengan keterbukaan pemerintah dan DPR untuk adanya perubahan rumusan, penghapusan pasal atau bahkan koreksi pola pembahasan yang harusnya lebih inklusif melibatkan ahli tidak hanya ahli hukum pidana, bukan hanya sosialisasi searah terus menurus seakan masyarakat tidak paham masalah RKUHP. Dan apabila Pemerintah dan DPR masih ingkar, nampaknya penolakan masyarakat akan sulit untuk dibendung.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP:
ICJR, ELSAM, AJI, LBH Pers, Imparsial, KontraS, ICW, HuMA, PBHI, LeIP, LBH Jakarta, PKBI, PSHK, Arus Pelangi, HRWG, YLBHI, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, MaPPI FHUI, CDS, ILR, ICEL, Rumah Cemara, WALHI, Jatam, YPHA, Ecpat Indonesia, ILRC, Epistema Institute, Yayasan Kesehatan Perempuan, Aliansi Satu Visi, PKNI, PUSKAPA, AMAN Indonesia, AMAN Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, JKP3, OPSI, Pusat Kajian Gender dan Seks UI, Institut Perempuan, Lintas Feminis Jakarta, Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia, Pusham UII, OHANA, SEHATI Sukoharjo, Green Peace Indonesia, SAFEnet, IJRS, Pamflet.

Rilis Pers – Surat Dakwaan Terhadap Dua Aktivis Aliansi Mahasiswa Papua Tidak Dapat Diterima

Tim Advokasi Papua
Rabu, 2 Juni 2021, persidangan dua (2) orang aktivis Aliansi Mahasiswa Papua, yakni Ruland Rudolof Karafir yang merupakan Kepala Biro Pendidikan dan Pembinaan Pengurus Pusat Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Finakat Molama yang merupakan Sekretaris Jenderal Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Jakarta, telah memasuki agenda Pembacaan Eksepsi Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua.

Sejak awal Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua menilai bahwa kasus yang menimpa dua orang Aktivis Papua ini merupakan upaya untuk meredam gerakan demonstrasi yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan oleh mahasiswa Papua untuk menuntut pertanggungjawaban negara atas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

Maka dari itu, Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua mengajukan keberatan terhadap surat dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hal ini karena surat dakwaan tersebut disusun berdasarkan fakta yang keliru yang pada akhirnya membuat substansi dalam surat dakwaan No. Reg. Perkara: PDM-37/JKT-TM/EKU/04/2021 sangat kacau dan menyesatkan (misleading). Tidak hanya menyesatkan, tetapi dakwaan tersebut disusun dengan mengabaikan syarat materiil dalam penyusunan surat dakwaan, yakni harus disusun secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. JPU terkesan tidak mengerti secara jelas mengenai pemaknaan Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP yang dijadikan dasar proses persidangan dalam perkara a quo. Hal tersebut dapat tergambar dari tidak mampunya JPU menguraikan unsur Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP secara jelas, cermat dan lengkap mengenai perbuatan yang dilakukan oleh PARA TERDAKWA. Bahkan, ada beberapa unsur yang sama sekali tidak diuraikan dalam surat dakwaan. Hal ini diperparah lagi dengan prosedural penyusunan surat dakwaan No. Reg. Perkara: PDM-37/JKT-TM/EKU/04/2021 tersebut berdasarkan proses penyidikan, penangkapan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan yang tidak sah.

Untuk diketahui bersama, bahwa persidangan dua (2) aktivis Papua ini dilakukan secara online (daring). Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua sudah mengirimkan Surat Permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada tanggal 25 Mei 2021 untuk menghadirkan PARA TERDAKWA ke ruang persidangan secara langsung (tatap muka). Namun, hari ini, 2 Juni 2021, Ketua Majelis Hakim menyatakan secara lisan menolak permohonan tersebut tanpa membacakan penetapan di persidangan dan dasar hukum yang jelas, melainkan hanya berdalih bahwa semua persidangan se-Indonesia dilaksanakan secara daring.

Maka dari itu, atas alasan penolakan yang tidak dilandasi hukum tersebut Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua menyatakan keberatan. Hal ini didasari oleh karena sidang secara daring sangat bermasalah secara hukum dan HAM, yang secara teknis telah dan akan mempersulit PARA TERDAKWA untuk membela diri, sehingga berdampak pada tidak terpenuhinya hak PARA TERDAKWA untuk mendapatkan persidangan yang jujur dan adil (fair trial).

Selain itu, Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua berpendapat bahwa penolakan permohonan sidang tatap muka yang disampaikan secara lisan oleh Majelis Hakim tersebut sangat diskriminatif. Hal ini didasari adanya fakta bahwa sudah banyak sidang yang dilakukan secara tatap muka, misalnya dalam persidangan a.n. Habib Rizieq Shihab di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, persidangan a.n. Moh. Jumhur Hidayat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, persidangan a.n. Ahmad Shabri Lubis di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, persidangan a.n. Eddy Prabowo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, persidangan a.n. Ruslan Buton di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, serta persidangan a.n. Anton Permana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Untuk itu Tim Advokasi Papua meminta agar:

  1. Majelis Hakim membatalkan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum atau setidaknya menyatakan tidak dapat diterima;
  2. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur mencabut Penetapan Sidang Online dan melakukan sidang secara tatap muka jika proses persidangan akan dilanjutkan ke agenda berikutnya.

Narahubung:
Michael Himan (Papua Kita)
Ade Lita (KontraS)
Ma’ruf Bajamal (LBH Masyarakat)
Teo Reffelsen (LBH Jakarta)

Laporan Tahunan 2020

Tahun 2020 menjadi tahun yang cukup berat bagi semua masyarakat baik di Indonesia maupun global. Pandemi Covid-19 yang melanda global cukup berdampak signifikan pada semua sektor kehidupan, termasuk juga kepada sektor hukum. Salah satunya pemberlakuan sidang secara virtual, hal ini membuat kami harus mengubah strategi dan metode kerja kami agar lebih efektif, dan tentunya akan memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan situasi baru ini.

Sepanjang tahun 2020, kami juga terus berkolaborasi bersama dengan gerakan masyarakat sipil lintas isu dan elemen, seperti buruh, komunitas, paralegal, pelajar, jurnalis, akademis, tenaga kesehatan, dan mendorong pembaharuan hukum yang sistemik.

Annual Report ini merupakan pertanggung jawaban LBHM kepada publik dalam memberitahukan apa saja yang dikerjakan oleh LBHM sepanjang tahun 2020, sekaligus juga refleksi kerja-kerja LBHM selama satu tahun kebelakang. Kami menemukan tantangan dan meraih beberapa pencapaian. Semuanya, berkat dukungan pihak-pihak yang telah menudukung jerih payah kami.

Annual Report kami dapat teman-teman unduh pada link di bawah ini: