Category: Isu

Isu LBHM

PRAKTIK KORUPSI DALAM PIDANA MATI

Praktik korup dan pelanggaran etik dalam pemeriksaan perkara di institusi penegak hukum masih marak terjadi. Sepanjang 2010-2022, menurut informasi media terdapat 23 hakim ditangkap terkait korupsi.[1] Bahkan beberapa waktu terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 2 Hakim Agung sebagai tersangka korupsi yang baru terjadi sepanjang orde reformasi.

Komisi Yudisial sebagai lembaga yudikatif yang berwenang di bidang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) menyebutkan bahwa sepanjang 2021 terdapat 85 Hakim yang dijatuhi sanksi etik karena terbukti melanggar KEPPH.[2] KUHP yang baru disahkan oleh Presiden dan DPR nyatanya masih mempertahankan pidana mati, ini adalah legitimasi perampasan hak hidup di tengah rapuhnya sistem peradilan pidana di Indonesia.

Berdasarkan catatan yang dikumpulkan oleh organisasi masyarakat sipil yang fokus terhadap isu pidana mati, terdapat lebih dari 400 orang yang saat ini berstatus sebagai terpidana mati di Indonesia, dan 70% diantaranya merupakan warga negara Indonesia (WNI). Data dari Kementerian Luar Negeri per 30 September 2022, terdapat 233 WNI yang terancam pidana mati di luar negeri.[3] Kebijakan pidana mati yang diadopsi dalam hukum pidana memperbesar hambatan diplomasi dan pengerahan sumber daya politik dalam penyelamatan WNI di luar negeri.

Problem pidana mati semakin tragis dengan meningkatnya jumlah deret tunggu kematian yang dihadapi terpidana mati dalam menunggu eksekusi mati. Di titik ini, terpidana mati menjalani pemenjaraan yang lama sehingga hukuman yang dijalani terpidana menimbulkan hukuman ganda yang dijalani di tengah buruknya infrastruktur Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang berkontribusi menggerus kondisi fisik, psikologis, dan mental terpidana mati.

Praktik penghukuman tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia ini dalam konteks deret tunggu kematian dibayang-bayangi dengan munculnya kerugian yang dipikul negara. Terlebih, fenomena deret tunggu kematian dijalani lebih dari 20 tahun pemenjaraan yang secara hukum illegal karena melebihi durasi pidana penjara yang diatur KUHP.

Secara konkret, praktik tersebut dialami oleh Merri Utami. Beliau adalah terpidana mati perempuan yang sudah mendekam selama 21 tahun di penjara. Sehingga praktik deret tunggu kematian yang melebihi durasi pemenjaraan yang dialami Merri Utami di tenggat waktu 1 tahun terakhir ini syarat dengan praktik korupsi yang menimbulkan kerugian negara.

Dalam regulasi, Kementerian Hukum dan HAM menyebutkan bahwa dalam 1 hari negara menyediakan anggaran sebesar Rp 17.000 untuk biaya makan terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP). Dikaitkan dengan praktik illegal pemenjaraan yang dialami oleh Merri Utami dalam 1 tahun terakhir ini, maka negara mengeluarkan biaya Rp 6.205.000. Kerugian keuangan negara ini diperparah dengan beban anggaran eksekusi mati. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung menyampaikan dalam pelaksanaan eksekusi mati negara harus mengeluarkan anggaran kurang lebih sebesar Rp 200.000.000 terhadap 1 orang terpidana mati.

Berdasarkan UU PNPS No. 2 Tahun 1964 dan Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010, eksekusi mati juga dijalankan oleh Polri, sehingga anggaran yang menyedot keuangan negara berada di 2 instansi, yaitu Kejaksaan Agung dan Polri. Double anggaran ini tidak menutup kemungkinan membuka ruang penyelewengan anggaran yang dilakukan oleh institusi tersebut. Di sisi lain anggaran eksekusi mati sering kali tidak transparan disampaikan ke publik oleh Pemerintah (dalam hal ini Kejaksaan dan Polri), padahal anggaran yang dikelola memiliki angka besar. Ombudsman Republik Indonesia pernah memberikan menyatakan terdapat maladministrasi dalam pelaksanaan eksekusi mati gelombang III pada 2016 lalu. Hal ini semakin mengindikasikan terjadinya penyelewengan pelaksanaan eksekusi mati yang menimbulkan kerugian keuangan negara.

Berdasarkan hal tersebut, LBHM mendesak KPK untuk (1) menyelidiki adanya potensi kerugian negara dalam pemenjaraan terpidana mati yang menjalani pemenjaraan melebihi durasi pemenjaraan, sebagaimana diatur dalam KUHP dan (2) mengusut potensi penyelewengan anggaran negara dalam pelaksanaan eksekusi mati selama ini.

Jakarta, 9 Desember 2022
Hormat kami,

LBHM

Narahubung:
Yosua: 081297789301

Panduan Pertolongan Pertama Psikologis bagi Pembela HAM LGBTIQ+

Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) adalah salah satu kelompok yang sering mendapatkan ancaman keselamatan ketika sedang menjalankan tugas-tugasnya. Persekusi dari aktor negara ataupun aktor privat berdampak pada kesehatan fisik dan psikis dari para pembela HAM. Hal yang sama terjadi kepada pembela HAM yang fokus pada individu-individu LGBTIQ+ di Indonesia. Tingginya kasus krisis yang dialami oleh individu LGBTIQ+— paralegal Konsorsium CRM mencatat 51 kasus pada tahun 2021—menimbulkan beban fisik dan mental bagi pembela HAM LGBTIQ+/

Berangkat dari hal tersebut, Konsorsium CRM bersama dengan Jaringan Transgender Indonesia dan perEMPUan melalui dukungan Program Voice Indonesia memproduksi Panduan Pertolongan Pertama Psikologis bagi Pembela HAM LGBTIQ+ di Indonesia. Kami berharap panduan ini bisa digunakan seluas-luasnya ketika pembela HAM LGBTIQ+ mengalami dampak negatif stress ketika menjalankan tugasnya. Selain memberikan panduan praktis untuk mencegah timbulnya gangguan kesehatan mental yang lebih buruk, panduan ini juga memberikan kontak layanan lanjutan kesehatan mental yang ramah LGBTIQ+ di Indonesia.

Unduh laporan selengkapnya dengan menekan tautan di bawah:

Panduan Pertolongan Pertama Psikologis bagi Pembela HAM LGBTIQ+ di Indonesia

Rantai Panjang Pelanggaran Fair Trial – Pendokumentasian di Tiga Rutan

Hak atas peradilan yang jujur dan adil (fair trial) merupakan prinsip dasar dan bentuk manifestasi dari perlindungan hak asasi manusia. Prinsip ini mutlak harus menjadi pondasi dalam berjalannya sistem peradilan pidana secara terpadu di Indonesia sebagaimana yang telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Sayangnya, fakta dan realitas justru berkata lain. Berbagai hak dasar seorang tersangka maupun terdakwa yang berhadapan dengan proses hukum kerap terlanggar, mulai dari pemeriksaan tingkat kepolisian sampai dengan tingkat pengadilan. Pandemi COVID-19 yang menyebabkan penumpukan jumlah tahanan di Rutan Kepolisian turut berkontribusi pada pelanggaran hak-hak ini.

Pada semester pertama tahun 2021, LBHM telah mempublikasi hasil dokumentasi kegiatan penyuluhan dan konsultasi hukum di 2 (dua) rumah tahanan di Jakarta, yakni Rumah Tahanan Kelas I Cipinang (Rutan Cipinang) dan Rumah Tahanan Kelas IIA Jakarta Timur (Rutan Pondok Bambu). Publikasi kali ini merupakan kelanjutan dari hasil kegiatan penyuluhan hukum yang terakumulasi pada periode kedua, yakni bulan Juli sampai dengan Desember 2021, yang mengumpulkan 350 responden.

Keterangan para responden memberikan indikasi pelanggaran hak atas bantuan hukum, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk peradilan yang adil dan bersih. Selain itu, masifnya penindakan perkara narkotika pada periode ini turut membuat kita berpikir ulang apakah sistem penegak hukum telah secara serius berupaya mengedepankan keadilan restoratif dan mengatasi kelebihan kapasitas di penjara-penjara Indonesia.

Publikasi ini dapat dibaca lebih lanjut pada tautan berikut:

Rantai Panjang Pelanggaran Fair Trial: Pendokumentasian Kegiatan Penyuluhan dan Konsultasi Hukum di Tiga Rumah Tahanan Wilayah DKI Jakarta Sepanjang Tahun 2021

Universal Periodic Review – Joint Stakeholders\’ Report on the 4th UPR of Indonesia on Issues Relating to the Death Penalty

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu dan permasalahan Hak Asasi Manusia yang terjadi.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Anti Hukuman Mati (Kohati), pada tanggal 31 Maret lalu sudah mengirimkan laporan temuan tentang pelanggaran HAM dalam isu hukuman mati di Indonesia.

Salah satu temuan dalam laporan ini adalah perihal kurangnya transparasi yang dilakukan pemerintah ketika menjalankan eksekusi mati, selain itu permasalahan hukuman mati pada kasus narkotika juga menjadi perhatian karena ” war on drugs” dijadikan alat untuk mendorong adanya hukuman mati dalam kasus narkotika di Indonesia, yang dimana banyak menyasar korban.

Laporan lengkapnya dapat dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review – Joint Stakeholders\’ Report on the 4th UPR of Indonesia on Issues Relating to the Death Penalty

Perlunya Perubahan Besar Dalam Undang-Undang Narkotika

Jakarta, 2 April 2022 – Pada 6 Desember 2021 lalu, disepakati Daftar Prolegnas Prioritas 2022, dengan salah satu daftar revisi UU tersebut adalah revisi UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika). Per 14 Januari 2022, Pemerintah mengirimkan RUU Narkotika kepada DPR untuk dibahas.

Tindak lanjut hal tersebut, Kamis, 31 Maret 2022, Komisi DPR RI mengelar Rapat Kerja dengan Menteri Hukum dan HAM tentang isi RUU tersebut.

JRKN mencermati RUU yang diberikan oleh Pemerintah kepada DPR dan pembahasan antara pemerintah dan DPR dalam Rapat Kerja tersebut. Terdapat sejumlah catatan:

Pertama, pendekatan dalam reformasi kebijakan Narkotika mesti sejalan dengan konstitusi negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, kesehatan publik dan pengurangan dampak buruk atau harm reduction. Dengan pendekatan ini, intervensi bagi pengguna Narkotika hanya dan hanya boleh dengan berbasis kesehatan dan ilmu pengetahuan (science), dan sama sekali tidak dengan pendekatan hukuman (bersifat punitif). Pemerintah telah tepat melihat masalah utama kebijakan karena memberi dampak pada overcrowding rutan dan lapas. Namun, pemerintah lantas memberikan solusi dengan rehabilitasi proses hukum, yang mana merupakan rehabilitasi berbasis hukuman. JRKN ingatkan bahwa konsep ini hanya akan memindahkan overcrowding rutan dan lapas ke overcrowding tempat-tempat rehabilitasi. Rehabilitasi wajib bagi pengguna Narkotika bertentangan dengan pendekatan hak asasi manusia, kesehatan masyarakat dan bertentangan dengan pendekatan pengurangan dampak buruk.

Kedua, penggunaan Narkotika harusnya didekriminaliasi, tidak semua membutuhkan rehabilitasi. Negara-negara yang berhasil mereformasi kebijakan narkotikanya tidak menghadirkan rehabilitasi wajib. Namun mengedepankan penilaian derajat keparahan yang bersifat komprehensif pada domain kesehatan, sosial, ekonomi untuk menentukan intervensi yang tepat. World Drug Report 2021 menjelaskan bahwa hanya 13% pengguna Narkotika yang penggunaannya bermasalah, sehingga tidak semua pengguna Narkotika membutuhkan rehabilitasi wajib yang dikonsepkan Pemerintah. Skema dekriminaliasi yang JRKN perkenalkan, mengatur rentang ambang batas, untuk menentukan kepemilikan untuk kepentingan pribadi. Dalam rentang tersebut, pengguna Narkotika menjadi subjek penilaian panel asesmen, yang berada di layanan kesehatan hingga ke tingkat puskesmas, dinilai oleh tenaga kesehatan dan konselor adiksi untuk menentukan intervensi yang tepat, tanpa adanya anggota tim dari aparat penegak hukum. Penilai ini berada di fasilitas kesehatan yang sistemnya sudah ajeg hingga ke tingkat kecamatan, sehingga RUU tidak memerlukan penguatan khusus pada kelembagaan BNN khususnya Tim Asesement Terdapu. Komponen asesmen tersebut bisa ditempel dengan sistem kesehatan yang sudah tersedia saat ini. BNN kedepannya dapat berfokus pada penanganan perkara yang lebih terorganisir, sedangkan layanan bagi pengguna narkotika murni menjadi domain kementerian kesehatan.

Ketiga, ketentuan pidana harusnya diubah dan ancaman pidana penjara minimum khusus dan pidana mati harus dihapuskan. Pemerintah menyatakan tidak akan mengirimkan pengguna Narkotika ke penjara, namun justru luput memperbaiki kontradiksi pasal-pasal UU Narkotika antara Pasal 111 tentang Penguasaan Narkotika Golongan I jenis tanaman, Pasal 112, Pasal 117 dan Pasal 122 tentang Penguasaan Narkotika, Pasal 114, Pasal 119, Pasal 124 tentang membeli Narkotika, dengan Pasal 127 tentang penyalahgunaan Narkotika. Setiap pengguna pasti akan mudah terjerat dengan pasal penguasaan dan pembelian Narkotika. Hal ini menjadi dasar mengapa banyak pemenjaraan bagi pengguna, masing-masing pasal tersebut juga memuat ketentuan minumum khusus. Namun, malah pemerintah tidak mengajukan sama sekali revisi ketentuan pidana ini.

Keempat, aturan tentang penggolongan Narkotika. Pemerintah luput memperhatikan kebutuhan akan perlunya revisi aturan tentang larangan golongan Narkotika golongan I untuk kesehatan, yang seharusnya menjadi diperbolehkan. Lalu berkaitan dengan tata cara pengubahan golongan, hingga saat ini tidak ada aturan jelas mengenai batasan negara dapat mengubah/mengeluarkan/memasukkan suatu zat ke dalam Narkotika golongan tertentu. Sehingga ketentuan mengenai perlunya Peraturan Pemerintah soal ini harus dimunculkan dalam revisi UU Narkotika. Sayang, pemerintah tak menjangkau hal ini.

Kelima, pengaturan Zat Psikotropika Baru (ZPB), dalam Pasal 148A RUU Narkotika usulan pemerintah, diperkenalkan pasal yang dapat mengkriminaliasi perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Zat Psikoaktif Baru, dengan ancaman pidana 2-10 tahun. Hal ini bertentangan dengan asas legalitas, karena orang dapat dipidana atas kepemilikan suatu zat yang belum ditentukan sebagai Narkotika, artinya orang dikriminalisasi atas ketentuan yang belum diatur, hal ini bertentang dengan asas legalitas yang paling dasar dalam hukum pidana, sesuai dengan asas dalam Pasal 1 KUHP. Sungguh memprihatikan.

Pengaturan tentang Zat Psikoaktif Baru dalam UU Narkotika harusnya hanya menjangkau sampai aspek ZPB ini ditentukan sebagai Narkotika, tidak untuk pelarangan kepemilikan dan penguasaan. Hal ini dapat diatur jika pemerintah membentuk peraturan pemerintah soal tata cara penggolongan Narkotika.

Memang masalah utama kebijakan Narkotika membawa dampak overcrowding, namun solusinya bukan dengan rehabilitasi berbasis hukuman. Yang perlu dikedepankan adalah perbaikan tata kelola Narkotika yang tepat dengan berdasarkan penghormatan HAM, kesehatan masyarakat dan pengurangan dampak buruk (harm reduction).

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN):
ICJR, Rumah Cemara, Dicerna, IJRS, LBH Masyarakat, PKNI, PBHI, CDS, LGN, YSN, LeIP, WHRIN, Aksi Keadilan, PEKA, LBH Makassar, PPH Unika Atma Jaya, Yakeba.

Universal Periodic Review – Joint Submission Human Rights Situation in Indonesia With Specific focus on Vulnerable Groups

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu dan permasalahan Hak Asasi Manusia yang terjadi.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Nasional Anti Diskriminasi Kelompok Rentan, baru saja mengirimkan laporan temuan tentang pelanggaran HAM pada kelompok rentan dan termarjinalkan di Indonesia.

Salah satu temuan dalam laporan ini adalah perihal kurangnya usaha pemerintah dalam memberikan upaya perlindungan secara hukum terhadap kelompok rentan yang termarjinalkan.

Temuan lengkapnya dapat dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review – Joint Submission Human Rights Situation in Indonesia With Specific focus on Vulnerable Groups

Universal Periodic Review – Joint Submission on LGBTIQ Right for Indonesia

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Nasional Anti Diskriminasi Kelompok Rentan Berbasiskan Orientasi Seksual dan Identitas Gender, baru saja mengirimkan laporan temuan tentang pemenuhan HAM kelompok minoritas gender dan seksual di Indonesia.

Dalam laporan ini salah satu yang menjadi perhatian adalah perihal kekerasan terhadap kelompok LGBTIQA+ yang dialami selama masa pandemi COVID-19.

Dokumen lengkapnya dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review Indonesia – Joint Submission on LGBTIQ Rights for Indonesia (English)

Laporan Pendokumentasian: Pendampingan Kasus Focal Point Konsorsium Crisis Resnponse Mechanism

Pandemi COVID-19 yang terjadi sejak awal 2020 secara global, termasuk Indonesia tidak hanya berimplikasi pada persoalan kesehatan masyarakat, tetapi juga menyebabkan rentetan krisis pada berbagai sektor kehidupan masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan yang selama ini sudah ditempatkan dalam kondisi yang krisis dan juga keterbatasan terhadap akses hak-hak dasarnya. Salah satu kelompok yang paling terdampak adalah kelompok LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks dan Queer).

Berbagai kasus stigma, diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBTIQ selama pandemi COVID-19 semakin memperdalam jurang keterbatasan pemenuhan hak-hak kelompok LGBTIQ di Indonesia. Hal ini lah yang mendorong Konsorsium CRM semakin memperkuat respon dan strategi respon krisis terhadap kasuskasus yang dialami oleh kelompok LGBTIQ. Salah satunya melalui penguatan penanganan krisis berbasis komunitas yang melibatkan 13 paralegal LGBTIQ atau yang disebut sebut sebagai focal point Konsorsium CRM yang tersebar di provinsi di Indonesia.

Selama 6 bulan, Konsorsium CRM melakukan penguatan dan pemberdayaan terhadap paralegal-paralegal untuk mampu mendokumentasikan dan menangani kasus-kasus yang dialami komunitas LGBTIQ. Laporan ini merupakan hasil dari kerja-kerja bersama dan tentunya paralegal Focal Point CRM.

Laporan ini bisa menjadi alat penyambung lidah komunitas LGBTIQ kepada pemerintah, masyarakat dan setiap orang yang membacanya, untuk menyampaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh komunitas LGBTIQ selama pandemi COVID-19, upaya-upaya yang dilakukan oleh komunitas ini sendiri untuk menyelesaikan persoalan tersebut, serta tantangan dan pembelajaran yang dihasilkan dari proses pendampingan kasus-kasus ini. Sehingga dapat mendorong menguatkan dukungan dan komitmen dalam pemenuhan dan penghormatan Hak Asasi Manusia kelompok LGBTIQ di Indonesia.

Reka-rekan dapat membaca laporan lengkapnya pada tautan di bawah ini:

Laporan Pendokumentasian: Pendampingan Kasus Focal Point Konsorsium Crisis Resnponse Mechanism

Fact Sheet: Penahanan Sewenang-wenang Berkaitan dengan Kebijakan Narkotika

Sejak tahun 1991, Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang (The Working Group on Arbitrary Detention) yang dibentuk oleh Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah melakukan penyelidikan khusus kasus-kasus perampasan kebebasan yang dilakukan secara sewenang-wenang atau bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, atau instrumen hukum internasional yang diakui oleh suatu negara. Salah satunya adalah permasalahan penahanan dalam kasus Narkotika.

Dalam studi yang dilakukan oleh Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang untuk Indonesia, ditemukan jika orang yang menggunakan narkotika memiliki resiko yang tinggi untuk ditahan secara sewenang-wenang. Hal ini terlihat dari jumlah pengguna narkotika yang banyak menghuni penjara di Indonesia.

Setidaknya dalam temuannya disebutkan jika 1 dari 5 orang yang yang ada di penjara di seluruh dunia saat ini dipidana karena tindak pidana narkotika.

Masih banyak lagi temuan dari Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang terkait proses penahanan yang sewenang-wenang dalam kasus Narkotika.

Laporan lengkapnya dapat rekan-rekan unduh dengan mengklik tautan di bawah ini:

Fact Sheet: Penahanan Sewenang-wenang Berkaitan dengan Kebijakan Narkotika

Modul – Pelatihan Untuk Pendampingan Orang yang Berhadapan dengan Hukuman Mati

Hukuman mati masih merupakan salah satu persoalan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Lebih dari separuh negara di dunia telah menghapus praktik hukuman ini dan tren global menunjukan penurunan vonis mati pada tahun 2020. Namun, di Indonesia jumlah penjatuhan hukuman mati tetap tinggi.

Sikap pemerintah Indonesia mendua dalam hukuman mati karena memberlakukan hukuman mati secara keras di dalam negeri, namun, berupaya untuk membebaskan warganya yang divonis mati di luar negeri. Bahkan dalam situasi pandemi Covid-19 dengan pelaksanaan sidang secara virtual dengan penuh keterbatasan, penjatuhan hukuman mati tetap saja dilakukan.

Menghapus hukuman yang keji seperti hukuman mati akan menjadi sebuah perjalanan yang panjang.

Untuk mewujudkan ini tentunya perlu dilakukan kolaborasi atau kerjasama dari berbagai elemen baik dari pemerintah maupun masyarakat sipil itu sendiri. Salah satunya hal yang bisa dimulai untuk mewujudkan itu adalah dengan memberikan pendampingan hukum (litigasi) terhadap mereka yang dihukum mati.

LBH Masyarakat telah melakukan hal ini sejak lama, dan untuk memperkuat litigasi atau pendampingan hukum bagi warga yang berhadapan dengan sanksi pidana mati kami membuat modul Pelatihan untuk Pendampingan Orang yang Berhadapan Dengan Hukuman Mati.

Modul pelatihan dapat rekan-rekan unduh dengan mengklik tautan di bawah ini:

Modul Pelatihan Untuk Pendampingan Orang yang Berhadapan dengan Hukuman Mati