Pemuda Bekasi Dianggap Teroris: Penegakan Hukum Spekulatif Oleh Densus 88 Anti Teror Polri

Jakarta, 10 April 2020 – Pada 16 Februari 2022, Jon Sondang Saito Pakpahan ditangkap karena dituduh melakukan pelemparan molotov terhadap Pos Polisi di sekitar kolong Tol Jatiwarna, Bekasi, Jawa Barat. Warga yang melihat aksi Jon kemudian menangkapnya. Setelahnya, ia diserahkan kepada petugas kepolisian yang kebetulan sedang berpatroli untuk dibawa ke Polres Metro Bekasi Kota.

Awalnya, oleh Polres Metro Bekasi Kota Jon ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pembakaran. Namun tiba-tiba, Polres Metro Bekasi menyerahkan Jon ke Densus 88. Tindakan Jon dianggap sebagai terorisme yang kemudian membuatnya mendekam dalam sel Rutan Cabang Mako Brimob Cikeas atas dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan/atau 9 UU Terorisme dengan ancaman pidana mati.

Untuk memastikan keadaan Jon dan mengkonfirmasi apa yang dilakukannya, keluarga telah berulang kali datang ke Rutan Cabang Mako Brimob Cikeas, namun tidak diizinkan bertemu. Tak sampai disitu, keluarga telah menghubungi penyidik hingga menyurati Kepala Densus 88 AT Polri agar dapat bertemu dengan Jon. Namun, tidak mendapat respons apa pun. Keluarga juga tidak mendapatkan kepastian apakah Jon telah mendapatkan bantuan hukum dan berkualitas dalam proses hukum tersebut.

Berdasarkan kondisi di atas, Koalisi Reformasi Anti Teror mengecam keras tindakan Densus 88 AT Polri yang menggunakan UU Terorisme dengan dalih penegakan hukum tindak pidana terorisme terhadap Jon beserta berbagai pelanggaran HAM dalam prosesnya.

Pertama, Densus 88 AT secara serampangan menerapkan UU Terorisme terhadap Jon. Tidak ada suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas; atau korban yang bersifat massal yang ditimbulkan akibat perbuatan Jon sebagaimana unsur dalam Pasal 6 dan 9 UU Terorisme. Perbuatan Jon hingga saat ini bahkan masih simpang siur. Kuat dugaan bahwa dilakukan oleh Densus 88 AT ini merupakan kriminalisasi, karena sebelumnya Jon ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pembakaran oleh Polres Metro Bekasi Kota. Namun, tiba-tiba ia diserahkan kepada Densus 88 AT.

Kedua, Penggunaan UU Terorisme akan menjadi tren buruk penegakan hukum tindak pidana terorisme yang menyasar aksi-aksi protes terhadap kebijakan dan tindak tanduk Pemerintah. Ancamannya tak main-main, pidana mati. Hal ini kian menunjukkan ekses pemberlakuan UU Terorisme yang sejak awal telah dikritik oleh masyarakat sipil. Sejak pembahasannya, masyarakat sipil khawatir bahwa UU Terorisme berpotensi memberangus orang atau kelompok yang kritis terhadap kekuasaan ketimbang menyasar organisasi teroris.

Ketiga, terjadi pelanggaran hak Jon sebagai tersangka untuk dikunjungi oleh keluarganya sebagaimana dijamin oleh Pasal 61 KUHAP. Pelanggaran tersebut merupakan bentuk incommunicado detention (penahanan tanpa akses terhadap dunia luar) yang membuka ruang bagi penyiksaan dan bahkan penghilanggan orang secara paksa. Praktik-praktik kuno macam ini seharusnya sudah tidak mendapat ruang dalam penegakan hukum di Indonesia.

Keempat, Dalam hal bantuan hukum, Jon tidak mendapatkan bantuan hukum yang laik. Padahal, Pasal 14 ayat (3) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Republik Indonesia melalui UU 12 Nomor 2005  menetapkan jaminan minimal bagi setiap orang yang sedang dalam proses hukum, salah satunya adalah akses terhadap bantuan hukum. Lebih lanjut Pasal 54 KUHAP memberikan jaminan pemenuhan hak bagi setiap tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum di setiap tingkatan proses peradilan pidana. Pelanggaran hak atas bantuan hukum ini justru merupakan pintu masuk ke dalam praktik-praktik peradilan sesat.

Kelima, kasus ini menambah daftar panjang pelanggaran prosedur dalam penegakan hukum tindak pidana terorisme yang diduga dilakukan Densus 88 AT Polri.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menurut kami tindakan-tindakan tersebut bukan merupakan penegakan hukum, melainkan tak lebih dari aksi mempertontonkan kekuasaan. Untuk itu kami mendesak agar:

  1. Kapolri memerintahkan Kadensus 88 AT Polri untuk memerintahkan jajarannya yang melakukan penyidikan dalam kasus ini untuk segera membuka akses keluarga untuk berkunjung serta memenuhi hak Jon untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum yang ia tunjuk sendiri;
  2. Kapolri segara melakukan evaluasi terhadap tugas, fungsi, dan kerja-kerja Densus 88 AT Polri secara objektif dan menyeluruh, serta melibatkan seluas-luasnya partisipasi masyarakat sipil dalam prosesnya;
  3. Presiden dan DPR segera melakukan revisi terhadap UU Terorisme yang masih memuat ketentuan-ketentuan pidana dengan ancaman pidana mati yang berpotensi menyasar orang atau kelompok yang melakukan aksi-aksi protes terhadap Pemerintah serta melakukan revisi terhadap “Pasal-Pasal Guantanamo” dalam UU Terorisme yang memungkinkan adanya penahanan tanpa akses terhadap dunia luar dan penghalang-halangan akses bantuan hukum;
  4. Komnas HAM, Ombudsman RI, dan Kompolnas secara aktif melakukan pemantauan dan pemeriksaan terhadap dugaan-dugaan pelanggaran HAM, Maladministrasi, dan berbagai pelanggaran prosedur lainnya pada kasus ini.

Koalisi Reformasi Anti Teror
LBH Jakarta dan LBH Masyarakat

Laporan Masyarakat Sipil: Universal Periodic Review Indonesia 2022 tentang Hukuman Mati

Selasa, 8 April 2022 – Pada hari Selasa, 29 Maret 2022 Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) mengirimkan laporan gabungan untuk Universal Periodic Review (UPR) Indonesia tahun 2002 tentang hukuman mati. Dalam laporan tersebut, Koalisi HATI melaporkan situasi hukuman mati di Indonesia sejak laporan terakhir di tahun 2017. Pada periode UPR sebelumnya, Indonesia mendapatkan 14 rekomendasi dari 27 negara terkait hukuman mati. Indonesia menerima 2 (dua) dari 14 rekomendasi UPR, yaitu rekomendasi nomor 141.52 dan 141.60 tentang moratorium dan pemantauan fair trial.

Di UPR 2022, Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati, menyampaikan beberapa masalah terkait praktik hukuman mati di Indonesia, di antaranya:

  • Rendahnya transparansi dan akuntabilitas data dan informasi terkati hukuman mati. Angka
    terpidana mati terus meningkat setiap tahunnya, angka ini dikumpulkan oleh kelompok
    masyarakat sipil melalui media monitoring karena minimnya akuntabilitas dari pemerintah
    terkait hukuman mati sehingga tidak ada data resmi yang akurat yang dapat diakses oleh publik
    sehingga pemenuhan hak-hak terpidana mati menjadi diragukan.
  • Pendekatan ” War on Drugs” didasarkan pada data yang tidak tepat sehingga malah hanya
    menambah jumlah vonis mati. Mayoritas terpidana mati adalah mereka dengan kejahatan narkotika.
    Tak hanya dalam kasus hukuman mati secara umum mayoritas penghuni Lapas juga mereka yang
    melakukan kejahatan narkotika. Karena itu, kebijakan “war on drugs” yang salah dan keliru itu
    hanya membuat penjara menjadi over kapasitas.
  • Hak-hak terpidana mati di dalam Lapas tidak terpenuhi. Terpidana mati di Lapas
    mengalami diskriminasi karena statusnya yang bukan sebagai “narapidana/ warga binaa”,
    sehingga banyak hak mereka yang tidak terpenuhi. Berdasarkan undang-undang Pemasyarakatan
    terpidana mati tidak bisa disebut sebagai narapidana. Sehingga mereka tidak mendapatkan
    Perhatian dari Lapas ketika mereka sedang menjalani masa tunggu eksekusi di lembaga
    pemasyarakatan. Keikutsertaan mereka dalam aktivitas seperti program pembinaan, olahraga atau
    berbagai pelatihan sangat bergantung pada kesadaran mereka sendiri. karena tidak diwajibkan,
    banyak terpidana mati yang menghabiskan waktu mereka dengan bermuram durja, menyendiri
    hingga berakhir pada depresi akut. Mereka juga tidak memiliki program yang memberikan
    kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik, maka dari itu tidak heran ketika terpidana mati yang
    berada di dalam Lapas kembali melakukan kejahatan yang sama.
  • Hukuman mati dijatuhkan melalui sidang virtual di masa pandemi yang memiliki banyak
    kelemahan untuk keadilan substansial. Persidangan virtual tentu saja memberikan ruang yang lebih
    besar untuk persidangan yang tidak adil, seperti kualitas bantuan hukum yang buruk yang dapat
    diberikan, cara penyampaian informasi yang terbatas, masalah teknis dengan internet dan perangkat
    yang digunakan di pengadilan, pembelaan yang tidak optimal, dan masih banyak lagi masalah.
  • Hukuman mati juga menyasar kelompok rentan: lansia, orang miskin, perempuan, buruh
    migran, dan anak-anak. Hukuman mati dilarang untuk diberikan kepada anak-anak. Namun di
    Indonesia masih terjadi penuntutan hukuman mati kepada usia anak seperti yang dialami oleh
    Mispo Gwijangge (MG) beberapa waktu yang lalu. Hukuman mati juga sering kali diskriminatif
    kepada mereka yang rentan seperti kelompok buruh migran Yang Tak jarang juga menjadi korban
    perdagangan orang. Saat ini ada seorang kakek bernama Isnardi berusia 76 tahun yang sedang
    menunggu eksekusi mati di Lapas Binjai karena terjerat kasus narkotika. Ini adalah kali pertama
    kakek Isnardi berurusan dengan hukum. Sehari-hari beliau bekerja sebagai pengembala sapi dan
    kambing milik orang lain. Kakek Isnardi, dan mungkin juga banyak kurir narkotika lainnya adalah
    korban kemiskinan dan situasi terdesak.
  • Kebijakan Grasi yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi tidak memiliki parameter yang jelas. UU Grasi tidak memberikan pedoman maupun standar kepada Presiden dan Mahkamah Agung dalam memutus permohonan Grasi. Dalam banyak perkara permohonan grasi, rekomendasi Mahkamah Agung terlihat hanya mengulang bunyi putusan proses hukum sebelumnya. Tidak adanya perbedaan pertimbangan rekomendasi MA untuk grasi dan putusan hukum sebelumnya membuat urgensi rekomendasi dari MA dalam sebuah grasi khususnya pidana mati perlu dipertanyakan.

Berangkat dari berbagai permasalahan diatas, kami koalisi untuk hapus hukuman mati mendorong Badan
HAM PBB untuk mendorong pemerintah Indonesia agar:

  1. Menandatangani dan meratifikasi Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil
    dan Politik, yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati;
  1. Membuat keputusan resmi untuk menetapkan secara de jure moratorium eksekusi dengan
    memerintahkan Jaksa Agung untuk tidak menuntut hukuman mati dalam penuntutan untuk semua
    jenis kejahatan dan tidak melakukan eksekusi;
  2. Mempublikasi data terkait perkara pidana mati oleh kejaksaan, pengadilan, dan direktorat jenderal
    pemasyarakatan secara berkala, baik diminta maupun tidak diminta;
  3. Menghentikan narasi “perang terhadap narkoba” yang berkontribusi pada tingginya angka
    hukuman mati dalam kasus narkoba dan mengedepankan kebijakan berbasis bukti dan memenuhi
    standar hak asasi manusia yang termasuk dalam pembahasan revisi undang-undang narkotika;
  4. Melakukan perubahan hukuman secara masal terhadap terpidana mati yang menjalani pidana
    penjara lebih dari 10 (sepuluh) tahun;
  5. Melakukan penelaahan terhadap rancangan revisi KUHP terkait dengan perubahan pidana mati
    yang dilakukan secara otomatis terhadap terpidana mati yang menjalani hukuman 10 tahun penjara;
  6. Memberikan pelatihan bagi hakim dan penuntut umum tentang hal-hal yang berkaitan dengan hak
    asasi manusia untuk mencegah, atau setidaknya meminimalkan, penerapan hukuman mati dan
    menghindari hukuman mati untuk dijatuhkan lebih dari satu kali;
  7. Meninjau kembali kebijakan pemidanaan di Indonesia agar tidak hanya fokus pada pidana penjara
    tetapi juga mencari alternatif pidana lain yang sesuai dengan prinsip dan standar HAM dan keadilan
    restoratif;
  8. Menghilangkan ketentuan pidana mati dalam revisi UU Narkotika karena tidak sesuai dengan
    ICCPR dan instrumen hukum internasional terkait narkotika;
  9. Menghentikan penuntutan dan eksekusi selama pandemi Covid-19 karena proses hukum yang
    terjadi selama pandemi Covid-19 tidak menjamin prinsip fair trial dijalankan dengan baik;
  10. Membangun sistem pengawasan dan jaminan peradilan yang adil untuk kasus-kasus yang
    berpotensi hukuman mati, termasuk dengan meningkatkan akses bantuan hukum dan memberikan
    bantuan hukum yang berkualitas, terutama bagi terdakwa yang diancam dengan hukuman mati,
    penyediaan bantuan juru bahasa dan konsuler;
  11. Mendorong terselenggaranya sidang secara daring yang dilakukan atas persetujuan terdakwa (tanpa
    paksaan) dan memastikan proses sidang daring tersebut berjalan secara adil, tanpa ada tekanan, dan
    menjamin hak-hak tersangka/terdakwa;
  12. Membuka akses kunjungan langsung maupun virtual bagi penasehat hukum, perwakilan
    diplomatik, juru bahasa, penasehat rohani, maupun keluarga di setiap tingkat pemeriksaan atau
    tempat penahanan terpidana mati;
  13. Menjamin bahwa hukuman mati tidak diterapkan pada kelompok rentan, terutama anak-anak, orang
    dengan gangguan kesehatan jiwa, wanita hamil, dan lainnya yang dilarang menurut ketentuan
    hukum internasional;
  14. Menciptakan penanganan kasus oleh aparat penegak hukum, khususnya Polri dan Badan Narkotika
    Nasional (BNN) yang tidak hanya mengejar kuantitas penanganan kasus tetapi juga sesuai dengan
    prinsip peradilan yang adil dan penghormatan terhadap hak asasi manusia;
  15. Mengubah pemidanaan bagi terpidana mati melalui skema grasi dengan membuka pertimbangan
    grasi yang diajukan oleh terpidana mati/perwakilan hukum/ keluarga/perwakilan diplomatik;
  16. Meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman
    Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau merendahkan martabat, dan membentuk mekanisme
    pencegahan nasional terhadap penyiksaan;
  17. Merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
    22 Tahun 2002 tentang Grasi untuk memberikan pedoman dan alat ukur yang jelas kepada
    Mahkamah Agung dan Presiden dalam pertimbangan pemberian grasi, khususnya kepada terpidana
    mati di Indonesia;
  18. Membentuk tim yang independen dan tidak memihak untuk mengevaluasi keputusan hukum
    terhadap semua kasus hukuman mati untuk tujuan permohonan grasi sebagai program pengurangan massal untuk kasus hukuman mati di Indonesia.

Koalisi HATI:
LBH Masyarakat, IMPARSIAL, HRWG, LBH Jakarta, YLBHI, Migrant Care, ICJR, ELSAM,
Yayasan Satu Keadilan, SETARA Institute, LBH Pers, IKOHI, KontraS, PBHI, dan INFID

Universal Periodic Review – Joint Stakeholders\’ Report on the 4th UPR of Indonesia on Issues Relating to the Death Penalty

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu dan permasalahan Hak Asasi Manusia yang terjadi.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Anti Hukuman Mati (Kohati), pada tanggal 31 Maret lalu sudah mengirimkan laporan temuan tentang pelanggaran HAM dalam isu hukuman mati di Indonesia.

Salah satu temuan dalam laporan ini adalah perihal kurangnya transparasi yang dilakukan pemerintah ketika menjalankan eksekusi mati, selain itu permasalahan hukuman mati pada kasus narkotika juga menjadi perhatian karena ” war on drugs” dijadikan alat untuk mendorong adanya hukuman mati dalam kasus narkotika di Indonesia, yang dimana banyak menyasar korban.

Laporan lengkapnya dapat dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review – Joint Stakeholders\’ Report on the 4th UPR of Indonesia on Issues Relating to the Death Penalty

Vonis Mati Herry Wirawan: Negara Lalai, Hak Korban Diabaikan!

Jakarta, 5 April 2022 – Herry Wirawan (HW) seorang terdakwa kasus perkosaan terhadap 13 anak santri di Bandung diputus pidana mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung pada 4 April 2022. Tidak dapat dipungkiri bahwa perbuatan HW mengundang perhatian dan gelombang amarah di kalangan masyarakat. Namun, secara prinsip LBHM memandang putusan tersebut tidak dapat dibenarkan, mengingat hak hidup yang bersifat prinsipil dan putusan tersebut cenderung bermuatan emosi publik semata. Perlu diingat dalam mengadili perkara tindak pidana kekerasan seksual, Aparat Penegak Hukum (APH) harus memberikan perhatian lebih terhadap kebutuhan korban, bukan kepada kemarahan yang tidak berdampak kepada korban.

Oleh karena itu, LBHM berpandangan sebagai berikut:

1. Vonis Pidana Mati Tidak Memberikan Efek Jera Terhadap Pelaku.
Indonesia merupakan salah satu negara yang rajin memberikan hukuman mati pada beberapa jenis tindak pidana, dimana vonis pidana mati paling banyak dijatuhkan terhadap kasus narkotika. Berdasarkan dokumentasi yang dilakukan oleh Reprieve, sepanjang 2017-2021 terdapat 367 vonis pidana mati untuk semua tindak pidana, dan sebanyak 279 vonis pidana mati adalah kasus narkotika. Namun tingginya vonis pidana mati dalam kasus narkotika tidak menyurutkan peredaran gelap narkotika. Berangkat dari konstruksi tersebut, vonis pidana mati yang dijatuhkan kepada HW yang diklaim sebagai efek jera sesungguhnya merupakan ilusi;

2. Kasus Perkosaan yang Menjerat HW merupakan Simbol atas Puncak Gunung Es.
Kasus perkosaan maupun kekerasan seksual nerupakan persoalan struktural yang tidak dapat dipandang selesai melalui penjatuhan hukuman mati. Sebab di akar rumput masih banyak kasus perkosaan yang bungkam untuk dilaporkan. Akar masalah atas hal ini karena korban perkosaan kerap mendapat stigma dan berpotensi dituntut balik oleh pelaku. Tantangan ini menciutkan nyali korban untuk melapor. Pada sisi lain, RUU TPKS yang saat ini dibahas menghilangkan beberapa kekerasan seksual yang dalam praktiknya berpotensi tidak mengakomodasi kebutuhan perlindungan korban;

3. Vonis Pidana Mati Terhadap HW Justru Menghilangkan Peran Negara Memberikan Jaminan Perlindungan Terhadap Ruang Aman yang Semakin Kesini Semakin Sulit.
Proses hukum dan perlindungan terhadap korban kekerasan dan pelecehan seksual masih dirasa sangat minim. Oleh karena itu vonis pidana terhadap HW bukan jawaban terhadap kebutuhan korban dan seharusnya kasus ini merupakan notifikasi bagi Pemerintah untuk lebih maksimal dalam merealisasikan perlindungan bagi korban, bukan dengan menjatuhkan vonis pidana mati. Dalam hal penjatuhan hukuman, hakim juga telah lalai dalam mempertimbangkan pasal 67 pada KUHP yang membatasi jenis pemidanaan apabila hukuman mati atau seumur hidup diberikan kepada pelaku tindak pidana. Akrobatik hukum yang dilakukan oleh majelis hakim dalam memutus perkara HW di tingkat banding ini justru mengaburkan prinsip-prinsip dasar hukum pidana di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, LBHM meminta:

  • Mahkamah Agung menguji kembali melalui upaya hukum untuk menolak tuntutan pidana mati oleh Penuntut Umum dan putusan Pengadilan Tinggi Bandung;
  • Pemerintah bersama DPR segera mengesahkan RUU TPKS yang akomodatif terhadap pemenuhan jaminan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan seksual serta berpihak terhadap korban dalam mendapatkan hak atas keadilan;
  • APH tidak melakukan penolakan atas pengaduan tindak pidana kekerasan seksual oleh anak, perempuan dan kelompok minoritas lainnya, serta memberikan layanan yang ramah terhadap korban dan saksi tindak pidana kekerasan seksual melalui peraturan dan pedoman.

Narahubung:
Yosua Octavian: 0812 9778 9301
A’isyah Humaida: 0822 6452 7724

Laporan Kerja (Annual Report) LBHM Tahun 2021

2 tahun sudah Indonesia mengalami pandemi COVID-19, hal ini juga berpengaruh kepada tatanan sosial di masyarakat secara signifikan. Salah satunya terhadap kelompok rentan dan termarjinalkan. Kelompok ini mengalami tantangan berganda, mulai dari dampak ekonomi hingga tidak terpenuhinya Hak Asasi Manusia mereka yang membuat mereka hidup dalam bayang-bayang pelanggarang HAM.

Akses bantuan hukum yang tidak memadai, masih adanya peraturan diskriminatif, ketidakmerataan keadilan sosial adalah sebagian kecil dampak dari sekian banyak dampak lainnya yang dihadapi oleh kelompok rentan sehingga berada pada situasi tidak \’menguntungkan\’. LBHM secara gigih masih berdiri bersama kelompok rentan, berjuang bersama untuk memajukan dan mendapatkan hak-hak mereka secara penuh lewat dampingan hukum, riset dan kampanye publik.

LBHM mendokumentasikan perjuangan dan pekerjaan kami dalam Laporan Kerja (2021). Laporan ini merupakan pertanggung jawaban LBHM kepada publik dalam menginformasikan kerja-kerja yang sudah dilakukan oleh LBHM sepanjang tahun 2021 — sekaligus juga menjadi refleksi kerja-kerja LBHM selama satu tahun kebelakang. Kami menganalisa situasi serta tantangan HAM selama 2021 dan tahun yang akan datang. Laporan ini dapat tersusun, berkat dukungan pihak-pihak yang telah menudukung jerih payah LBHM.

Laporan Kerja (Annual Report) Tahun 2021 kami dapat dibaca pada tautan di bawah ini:

LBHM Annual Report 2021

Perlunya Perubahan Besar Dalam Undang-Undang Narkotika

Jakarta, 2 April 2022 – Pada 6 Desember 2021 lalu, disepakati Daftar Prolegnas Prioritas 2022, dengan salah satu daftar revisi UU tersebut adalah revisi UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika). Per 14 Januari 2022, Pemerintah mengirimkan RUU Narkotika kepada DPR untuk dibahas.

Tindak lanjut hal tersebut, Kamis, 31 Maret 2022, Komisi DPR RI mengelar Rapat Kerja dengan Menteri Hukum dan HAM tentang isi RUU tersebut.

JRKN mencermati RUU yang diberikan oleh Pemerintah kepada DPR dan pembahasan antara pemerintah dan DPR dalam Rapat Kerja tersebut. Terdapat sejumlah catatan:

Pertama, pendekatan dalam reformasi kebijakan Narkotika mesti sejalan dengan konstitusi negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, kesehatan publik dan pengurangan dampak buruk atau harm reduction. Dengan pendekatan ini, intervensi bagi pengguna Narkotika hanya dan hanya boleh dengan berbasis kesehatan dan ilmu pengetahuan (science), dan sama sekali tidak dengan pendekatan hukuman (bersifat punitif). Pemerintah telah tepat melihat masalah utama kebijakan karena memberi dampak pada overcrowding rutan dan lapas. Namun, pemerintah lantas memberikan solusi dengan rehabilitasi proses hukum, yang mana merupakan rehabilitasi berbasis hukuman. JRKN ingatkan bahwa konsep ini hanya akan memindahkan overcrowding rutan dan lapas ke overcrowding tempat-tempat rehabilitasi. Rehabilitasi wajib bagi pengguna Narkotika bertentangan dengan pendekatan hak asasi manusia, kesehatan masyarakat dan bertentangan dengan pendekatan pengurangan dampak buruk.

Kedua, penggunaan Narkotika harusnya didekriminaliasi, tidak semua membutuhkan rehabilitasi. Negara-negara yang berhasil mereformasi kebijakan narkotikanya tidak menghadirkan rehabilitasi wajib. Namun mengedepankan penilaian derajat keparahan yang bersifat komprehensif pada domain kesehatan, sosial, ekonomi untuk menentukan intervensi yang tepat. World Drug Report 2021 menjelaskan bahwa hanya 13% pengguna Narkotika yang penggunaannya bermasalah, sehingga tidak semua pengguna Narkotika membutuhkan rehabilitasi wajib yang dikonsepkan Pemerintah. Skema dekriminaliasi yang JRKN perkenalkan, mengatur rentang ambang batas, untuk menentukan kepemilikan untuk kepentingan pribadi. Dalam rentang tersebut, pengguna Narkotika menjadi subjek penilaian panel asesmen, yang berada di layanan kesehatan hingga ke tingkat puskesmas, dinilai oleh tenaga kesehatan dan konselor adiksi untuk menentukan intervensi yang tepat, tanpa adanya anggota tim dari aparat penegak hukum. Penilai ini berada di fasilitas kesehatan yang sistemnya sudah ajeg hingga ke tingkat kecamatan, sehingga RUU tidak memerlukan penguatan khusus pada kelembagaan BNN khususnya Tim Asesement Terdapu. Komponen asesmen tersebut bisa ditempel dengan sistem kesehatan yang sudah tersedia saat ini. BNN kedepannya dapat berfokus pada penanganan perkara yang lebih terorganisir, sedangkan layanan bagi pengguna narkotika murni menjadi domain kementerian kesehatan.

Ketiga, ketentuan pidana harusnya diubah dan ancaman pidana penjara minimum khusus dan pidana mati harus dihapuskan. Pemerintah menyatakan tidak akan mengirimkan pengguna Narkotika ke penjara, namun justru luput memperbaiki kontradiksi pasal-pasal UU Narkotika antara Pasal 111 tentang Penguasaan Narkotika Golongan I jenis tanaman, Pasal 112, Pasal 117 dan Pasal 122 tentang Penguasaan Narkotika, Pasal 114, Pasal 119, Pasal 124 tentang membeli Narkotika, dengan Pasal 127 tentang penyalahgunaan Narkotika. Setiap pengguna pasti akan mudah terjerat dengan pasal penguasaan dan pembelian Narkotika. Hal ini menjadi dasar mengapa banyak pemenjaraan bagi pengguna, masing-masing pasal tersebut juga memuat ketentuan minumum khusus. Namun, malah pemerintah tidak mengajukan sama sekali revisi ketentuan pidana ini.

Keempat, aturan tentang penggolongan Narkotika. Pemerintah luput memperhatikan kebutuhan akan perlunya revisi aturan tentang larangan golongan Narkotika golongan I untuk kesehatan, yang seharusnya menjadi diperbolehkan. Lalu berkaitan dengan tata cara pengubahan golongan, hingga saat ini tidak ada aturan jelas mengenai batasan negara dapat mengubah/mengeluarkan/memasukkan suatu zat ke dalam Narkotika golongan tertentu. Sehingga ketentuan mengenai perlunya Peraturan Pemerintah soal ini harus dimunculkan dalam revisi UU Narkotika. Sayang, pemerintah tak menjangkau hal ini.

Kelima, pengaturan Zat Psikotropika Baru (ZPB), dalam Pasal 148A RUU Narkotika usulan pemerintah, diperkenalkan pasal yang dapat mengkriminaliasi perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Zat Psikoaktif Baru, dengan ancaman pidana 2-10 tahun. Hal ini bertentangan dengan asas legalitas, karena orang dapat dipidana atas kepemilikan suatu zat yang belum ditentukan sebagai Narkotika, artinya orang dikriminalisasi atas ketentuan yang belum diatur, hal ini bertentang dengan asas legalitas yang paling dasar dalam hukum pidana, sesuai dengan asas dalam Pasal 1 KUHP. Sungguh memprihatikan.

Pengaturan tentang Zat Psikoaktif Baru dalam UU Narkotika harusnya hanya menjangkau sampai aspek ZPB ini ditentukan sebagai Narkotika, tidak untuk pelarangan kepemilikan dan penguasaan. Hal ini dapat diatur jika pemerintah membentuk peraturan pemerintah soal tata cara penggolongan Narkotika.

Memang masalah utama kebijakan Narkotika membawa dampak overcrowding, namun solusinya bukan dengan rehabilitasi berbasis hukuman. Yang perlu dikedepankan adalah perbaikan tata kelola Narkotika yang tepat dengan berdasarkan penghormatan HAM, kesehatan masyarakat dan pengurangan dampak buruk (harm reduction).

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN):
ICJR, Rumah Cemara, Dicerna, IJRS, LBH Masyarakat, PKNI, PBHI, CDS, LGN, YSN, LeIP, WHRIN, Aksi Keadilan, PEKA, LBH Makassar, PPH Unika Atma Jaya, Yakeba.

Universal Periodic Review – Joint Submission Human Rights Situation in Indonesia With Specific focus on Vulnerable Groups

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu dan permasalahan Hak Asasi Manusia yang terjadi.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Nasional Anti Diskriminasi Kelompok Rentan, baru saja mengirimkan laporan temuan tentang pelanggaran HAM pada kelompok rentan dan termarjinalkan di Indonesia.

Salah satu temuan dalam laporan ini adalah perihal kurangnya usaha pemerintah dalam memberikan upaya perlindungan secara hukum terhadap kelompok rentan yang termarjinalkan.

Temuan lengkapnya dapat dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review – Joint Submission Human Rights Situation in Indonesia With Specific focus on Vulnerable Groups

Universal Periodic Review – Joint Submission on LGBTIQ Right for Indonesia

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Nasional Anti Diskriminasi Kelompok Rentan Berbasiskan Orientasi Seksual dan Identitas Gender, baru saja mengirimkan laporan temuan tentang pemenuhan HAM kelompok minoritas gender dan seksual di Indonesia.

Dalam laporan ini salah satu yang menjadi perhatian adalah perihal kekerasan terhadap kelompok LGBTIQA+ yang dialami selama masa pandemi COVID-19.

Dokumen lengkapnya dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review Indonesia – Joint Submission on LGBTIQ Rights for Indonesia (English)

Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual: Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Kami Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Keberagaman Gender dan Seksual (Kami Berani) yang terdiri dari Arus Pelangi, ASEAN SOGIE Caucus, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, PKBI, SGRC Indonesia, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Sanggar SWARA dan Human Rights Working Group (HRWG) bersamasama dengan 140 organisasi masyarakat sipil lainnya menyatakan kecewa atas Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual.

Pada tanggal 21 Desember 2021 DPRD Kota Bogor dan Walikota Bogor telah menetapkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (p4s). Koalisi menilai, Perda ini mengandung unsur pelanggaran HAM yang memperparah terjadinya kekerasan dan diskriminasi pada kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender di Kota Bogor. Pasalnya, pada Bab III pasal 6 menyebutkan bahwa kelompok dan perilaku yang dimaksudkan adalah homoseksual, lesbian dan waria.

Perda ini bertentangan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Di dalam PPDGJ poin F66 disebutkan:

“Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai sebuah gangguan”.

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan (Poin F66)

Dalam klasifikasi internasional yakni International Classification of Diseases revisi ke-11, telah menyatakan bahwa transgender bukan merupakan gangguan kejiwaan.

Sebagai konsekuensi, segala hal yang dikategorikan sebagai perilaku penyimpangan seksual di dalam Perda ini akan dikenakan upaya pencegahan dan penanggulangan, di mana di dalamnya termasuk juga tindakan pengamanan dan rehabilitasi. Hal ini dapat berdampak pelibatan bukan hanya dari aparatur pemerintahan daerah namun juga masyarakat. Perda ini berpotensi meningkatkan kasus kekerasan terhadap kelompok kelompok minoritas seksual dan gender. Selain itu, Perda ini mengamanatkan pembentukan sebuah komisi penanggulangan yang pembiayaannya akan dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Koalisi menilai Perda ini merupakan bentuk pelanggaran HAM pada warga negara tertentu berpotensi menghancurkan martabat, kehormatan dan rasa aman. Berikut adalah dampak langsung dari Perda ini:

  1. Dampak kekerasan psikis dan tertutupnya akses kesehatan

    Perda menjadi legitimasi untuk mengkategorikan kelompok LGBT sebagai kelompok yang dapat disembuhkan dengan tindakan rehabilitasi dan penanggulangan. Petugas kesehatan, penyedia layanan kesehatan, aparatur daerah dan masyarakat secara umum dapat mengirim individu baik anggota keluarga maupun anggota masyarakat ke pusat rehabilitasi. Perda ini juga bertentangan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menghapus segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang diskriminatif terhadap orang dengan HIV dan kelompok populasi kunci, yang tertuang di dalam Deklarasi Politik PBB tentang HIV/AIDS tahun 2021. Kebijakan seperti ini, akan menjadi hambatan yang besar terhadap respon HIV yang efektif menuju Indonesia bebas AIDS pada 2030.
  2. Dampak kekerasan bernuansa terapi konversi/upaya korektif

    Pada pasal 9, 12, 15 dan 18 secara spesifik mengatakan bahwa salah satu cara pencegahan dan penanganan yang digunakan adalah rehabilitasi. Hal ini akan berpotensi semakin maraknya aktivitas pemaksaan upaya perubahan orientasi seksual dan identitas gender seseorang. Victor Madrigal Borloz, Ahli Independen Prosedur Khusus PBB tentang SOGI dalam laporan tematiknya menyebut upaya ini sebagai bentuk penyiksaan.
  3. Dampak kekerasan fisik (penangkapan sewenang-wenang)

    Ketiadaan payung hukum anti-diskrimnasi yang melindungi kelompok LGBT telah menjauhkan kelompok LGBT dari akses keadilan ketika mengalami kekerasan, diskriminasi dan pengusiran dari rumah, perda ini memperkuat aksi-aksi tersebut. Sebagai bentuk proses pencegahan, aktivitas penangkapan sewenang-wenang dan persekusi semakin marak di Kota Bogor terhadap kelompok minoritas seksual dan gender. Perda ini juga mengamantkan Pemerintah Kota Bogor untuk membentuk lembaga lintas sektoral (pasal 8) dalam memaksimalkan implementasi Perda ini.
  4. Dampak informasi yang keliru (miss-information) terkait minoritas seksual dan gender

    Pasal 15 menyebutkan bahwa salah satu langkah yang akan dilakukan untuk pencegahan adalah melalui edukasi dan penyebaran informasi terkait 15 kelompok dan perilaku pada pasal 6. Tindakan ini akan berpotensi semakin meningkatkan adanya informasi yang keliru tentang orientasi seksual dan identitas gender yang berpotensi meningkatkan kebencian dan penolakan.
  5. Dampak kehilangan sumber ekonomi

    Atas dampak-dampak yang telah kami sebutkan di atas, secara langsung akan menutup akses bagi kelompok LGBT untuk bekerja dan mendapatkan sumber penghasilan sehari-hari.

Untuk itu Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keberagaman Gender dan Seksual meminta secara
mendesak:

  • Walikota Bogor, Gubernur Jawa Barat dan Kementerian Dalam Negeri untuk berkoordinasi dan segera membatalkan Perda No 10 tahun 2020 Kota Bogor;
  • Komnas HAM untuk mengeluarkan pernyataan resmi menyikapi Perda Diskriminatif ini dan menyurati DPRD, Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat guna peninjauan kembali.
  • Kantor Staf Presiden sebagai penyelenggara Program Kabupaten dan Kota Ramah HAM untuk mencabut Kota Bogor dari klasifikasi Kota Ramah HAM dan tidak menjadikan Kota Bogor ataupun daerah di Jawa Barat sebagai tuan rumah pelaksanaan kegiatan karena Perda yang dihasilkan bertentangan dengan HAM itu sendiri.

Dokumen (.PDF) Siaran Pers Koalisi Kami Berani dapat diunduh rekan-rekan pada tautan berikut:
Pernyataan Sikap – Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual: Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Catatan Untuk Hakim Dalam Memperingati Hari Kehakiman Nasional

Jakarta,1 Maret 2022 – Hari Kehakiman Nasional yang jatuh pada 1 Maret 2022 lalu, menjadi momentum penting bagi masyarakat sipil untuk menyuarakan refleksi terkait situasi faktual pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Terdapat beberapa hal yang menjadi catatan LBH Jakarta dan LBH Masyarakat (LBHM) untuk Mahkamah Agung Republik Indonesia beserta lembaga peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi selaku pelaksana kekuasaan kehakiman. Catatan ini berangkat dari hasil kajian, pemantauan, serta pengalaman pendampingan masyarakat miskin, buta hukum, rentan, dan tertindas dalam proses persidangan di pengadilan.

Bagi Mahkamah Agung Republik Indonesia beserta lembaga peradilan di bawahnya, berikut catatan kami:

A. Hakim Masih Terlibat dalam Praktik-Praktik Judicial Corruption

Meskipun belum ada data mutakhir mengenai jumlah hakim yang terlibat kasus-kasus korupsi, bukan berarti keterlibatan hakim dalam praktik-praktik kotor judicial corruption berhenti. Dalam setahun ini setidaknya terdapat 2 kasus yang tersorot, yaitu: (1) Majelis Hakim Tipikor Pengadilan Tinggi Jakarta yang mengkorting hukuman Jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi kurang dari separuhnya dan (2) Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Itong Isnaeni Hidayat, selaku Hakim Pengadilan Negeri Surabaya beserta seorang Panitera Pengganti dan Advokat terkait suap permohonan pembubaran PT. SGP. Beberapa peristiwa tersebut setidak-tidaknya memberikan kita gambaran bagaimana judicial corruption masih menjadi batu sandungan bagi cita-cita penegakan hukum yang jujur, adil, serta menjunjung tinggi HAM;

B. Standar Ganda Sidang Virtual yang Banyak Melanggar Hak Terdakwa

Persidangan secara virtual memang merupakan salah satu solusi di tengah pandemi. Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan persidangan secara virtual—khususnya dalam perkara pidana—diikuti dengan berbagai pelanggaran hak Terdakwa, terutama pada agenda pembuktian atau pemeriksaan pokok perkara. Hal tersebut jelas berdampak pada proses pencarian kebenaran materiil karena terdakwa dan penasihat hukumnya tidak leluasa melakukan pembelaan.

Kasus kriminalisasi aktivis KAMI, Jumhur Hidayat yang didampingi oleh LBH Jakarta, LBHM, dan organisasi masyarakat sipil lain yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), menunjukan dengan jelas bagaimana sikap Majelis Hakim melakukan penolakan pelaksanaan persidangan secara tatap muka, padahal di sisi lain Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menyelenggarakan sidang terdakwa kasus korupsi red notice, Irjen Pol. Napoleon Bonaparte secara tatap muka.

Pasal 2 ayat (1) pada Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 4 tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik (Perma 4/2020), mengatur bahwa ”persidangan dilaksanakan di ruang sidang Pengadilan dengan dihadiri Penuntut dan Terdakwa dengan didampingi/tidak didampingi oleh Penasihat Hukum, kecuali ditentukan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Kemudian pasal 2 ayat (2) pada Perma tersebut menyatakan “dalam keadaan tertentu, baik sejak awal persidangan perkara maupun pada saat persidangan perkara sedang berlangsung, Hakim/Majelis Hakim karena jabatannya atau karena atas permintaan dari Penuntut dan/atau Terdakwa atau Penasihat Hukum dapat menetapkan persidangan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maupun secara elektronik.”

Ketentuan di atas dapat diartikan bahwa penting memperoleh persetujuan Terdakwa dalam menentukan metode persidangan. Selain itu, kami menilai persidangan secara virtual yang dilaksanakan tanpa meminta persetujuan Terdakwa terlebih dahulu sangat berpotensi melahirkan peradilan sesat (miscarriage of justice) dan keliru mengambil keputusan. Menurut kami, sudah semestinya Hakim menginisiasi sidang secara tatap muka karena salah satu bukti petunjuk selama persidangan adalah pengamatan hakim sendiri (eigen waarning va de revhter). Hal yang mana tidak mungkin dapat dilakukan ketika persidangan digelar secara virtual oleh karena beberapa gangguan.

Namun, hal tersebut kerap diabaikan oleh Majelis Hakim yang secara sepihak menetapkan metode pelaksanaan sidang secara virtual. Pengabaian persetujuan terdakwa ini jelas merupakan pelanggaran prinsip equal arms sekaligus menunjukan watak Inquisitorial sistem peradilan pidana kita.

LBHM di akhir 2021 mendata 146 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang pernah menjalani proses persidangan pidana periode Januari, 2020 – September, 2021, sebagai berikut:

  • 1% WBP menjalani persidangan secara virtual;
  • 4,8% WBP disidangkan hanya sebanyak 2 kali;
  • 58,4% WBP disidangkan tanpa didampingi oleh Penasihat Hukum. Selanjutnya, 24% WBP didampingi oleh Penasihat Hukum yang ditunjuk oleh Hakim dan WBP tersebut tidak pernah bertemu dan berkomunikasi dengan Penasihat Hukum. Maka, 82,4% WBP tidak mendapatkan hak atas bantuan hukum yang layak selama proses persidangan;
  • 41,1% WBP mengikuti persidangan secara virtual dengan perangkat dan jaringan yang tidak bagus;
  • 71,2% WBP menjalani persidangan secara virtual dengan diawasi oleh petugas kepolisian, sehingga ada kondisi tidak bebas dalam menyampaikan keterangan;
  • 45,9% WBP menjelaskan saksi dalam perkaranya diperiksa secara online;
  • 42,5% WBP tidak dapat menanggapi keterangan yang disampaikan oleh saksi karena beberapa hal, seperti: (a) suara saksi tidak jelas; (b) tidak diberikan kesempatan oleh Hakim; (c) diarakah untuk menanggapi dalam agenda pembelaan; dan (d) tidak berani menanggapi keterangan saksi (penangkap) karena disidangkan dalam satu ruangan yang sama;
  • 41,1% WBP tidak diberikan hak untuk menyampaikan pembelaan secara maksimal;
  • 3,4% WBP ditagih biaya oleh petugas karena ketika sidang secara virtual menggunakan perangkat milik petugas itu sendiri;
  • 79,4% WBP tidak puas dengan mekanisme persidangan secara virtual, dengan alasan seperti: (a) perangkat dan jaringan yang buruk; (b) hilangnya hak-hak Terdakwa; dan (c) tidak dapat bertemu dan berkomunikasi dengan Penasihat Hukum.

C. Hukuman Mati Masih Kerap Dijatuhkan

Berdasarkan Laporan Hukuman Mati 2021 yang dirilis oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), setidaknya terdapat 35 vonis hukuman mati yang dijatuhkan di Indonesia. Data tersebut dihimpun melalui pemantauan media mengingat publikasi data mengenai jumlah pasti penjatuhan hukuman mati di Indonesia sangat terbatas.

Sistem peradilan pidana yang dioperasionalkan oleh manusia, tentu tidak imun terhadap kesalahan. Terlebih, tren penjatuhan pidana mati dalam kondisi pandemi tidak lepas dari pelaksanaan sidang virtual yang rentan kendala teknis dan tidak maksimalnya pembuktian dalam persidangan,

sehingga potensi kesalahan dalam penjatuhan hukuman mati menjadi suatu hal yang tak terhindarkan.

Selama ini tidak ada bukti sahih bahwa hukuman mati paralel dengan penurunan angka kejahatan. Hukuman mati justru hanya berperan sebagai efek plasebo dan menunjukan kegagalan politik hukum pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Spesifik pada kerentanan Perempuan, absennya analisis gender dalam proses peradilan merupakan suatu hal yang jamak. Seringkali hakim mengabaikan ketimpangan relasi kuasa dan kerentanan Perempuan yang terjerumus dalam pusaran tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati.

D. Permasalahan Implementasi Perma 2/2019 yang Membatasi Akses Terhadap Keadilan Masyarakat

Sejak diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) (Perma 2/2019), terdapat beberapa permasalahan yang berdampak pada akses terhadap keadilan masyarakat. Berkaca pada pengalaman advokasi kami, berikut permasalahan implementasi Perma 2/2019:

  • Perma 2/2019 tidak mengatur secara jelas batasan-batasan pemisahan kewenangan pengadilan negeri dengan pengadilan tata usaha negara terkait dengan sengketa perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Dampaknya, terdapat disparitas putusan hakim akibat ketidakjelasan norma;
  • Tenggat waktu pengajuan gugatan selama 90 hari sejak tindakan badan dan/atau pejabat pemerintahan dilakukan sangat membatasi akses keadilan masyarakat. Sebab karakteristik dan kompleksitas dampak kerugian masyarakat berbeda-beda; dan
  • Ganti kerugian pada peradilan tata usaha negara paling sedikit hanya Rp 250.000, dan paling banyak Rp. 5.000.000.

Terdapat contoh kasus yang diadvokasi oleh LBH Jakarta terkait dengan permasalahan yang diuraikan di atas. Dalam kasus penggusuran paksa yang dilakukan Pemerintah Kota Bekasi dengan dasar pemulihan aset milik BUMN Jasa Tirta terhadap tanah dan bangunan warga Pekayon. Dimensi keperdataan pada kasus ini lebih kental ketimbang dimensi tata usaha negaranya. Akibat kerugian yang diderita warga, diajukan gugatan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata di Pengadilan Negeri Bekasi. Namun Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bekasi yang memeriksa dan memutus perkara nomor 74/PDT.G/2021/PN.BKS menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Bekasi tidak berwenang mengadili perkara tersebut berdasarkan pasal 11 pada Perma 2/2019. Dengan demikian, akses keadilan bagi warga Pekayon menjadi terbatas akibat putusan tersebut yang mendasarkan pertimbangannya pada Perma 2/2019.

E. Permasalahan Pengadilan Militer

Hukum pidana militer mengenal bentuk tindak pidana yaitu tindak pidana militer murni (zuiver militaire delict), seperti Desersi, Tindak Pidana Insubordinasi, dan meninggalkan pos penjagaan yang tunduk pada yurisdiksi peradilan militer. Namun, dalam hal Prajurit TNI melakukan tindak pidana yang tunduk pada yurisdiksi peradilan umum, sudah seharusnya diadili pada ranah peradilan umum/sipil. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia yang menyebutkan bahwa:

“prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia – pasal 65 ayat (2)

Hingga saat ini, permasalahannya adalah bahwa Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum masih diadili di peradilan militer. Dalam praktiknya, hakim peradilan militer tak jarang menjadi bagian dari mata rantai impunitas bagi Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana. Hal tersebut juga tak lepas dari suasana kultur jiwa korsa (esprit de corps) dalam prosesnya. Dengan demikian, prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana termaktub dalam pasal 27 ayat (1) dan pasal 28 ayat (1) huruf d UUD NRI 1945 menjadi tidak bermakna.

Dalam konteks lain, hakim peradilan militer kerap mengabaikan hak atas keadilan korban tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI. Dalam beberapa kasus yang kami tangani, terbatasnya akses informasi proses penanganan perkara; serta tuntutan oditur dan vonis hakim yang rendah menjadi fenomena yang kerap terjadi dalam pelaksanaan peradilan militer.

F. Mekanisme Pelaporan/Pengaduan Aparat Pengadilan Tidak Transparan, Imparsial, Efektif, dan Akuntabel

Berdasarkan Refleksi Akhir Tahun Komisi Yudisial (KY) Bidang Pengawasan Hakim Tahun 2021. Sepanjang periode 2 Januari – 30 November 2021. Terdapat kenaikan jumlah laporan sekitar 6,4 persen dari tahun sebelumnya. Laporan masyarakat yang diterima KY periode 2 Januari – 30 November 2021 ini sebanyak 1346 laporan, mayoritas disampaikan melalui jasa pengiriman surat sebanyak 699 laporan. Sedangkan, pelapor yang datang langsung ke kantor KY ada 378 laporan. Sementara 248 laporan lainnya disampaikan secara daring dan 21 laporan sisanya berupa informasi atas dugaan pelanggaran perilaku hakim. Sejalan dengan pengalaman LBH Jakarta dan LBHM dalam melakukan pendampingan di persidangan, mekanisme pelaporan/pengaduan ke badan pengawas hakim baik internal maupun eksternal merupakan upaya yang sering ditempuh. Temuan pelanggaran hak terdakwa yang dilakukan dan dibiarkan oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara merupakan dasar pelaporan/pengaduan sekaligus sebagai bentuk partisipasi masyarakat untuk mewujudkan pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang yang jujur, adil, serta menjunjung tinggi HAM. Namun, harapan tersebut menjadi jauh panggang dari api ketika dihadapkan pada proses penanganan pelaporan/pengaduan hakim ataupun aparat pengadilan yang cenderung tidak transparan, imparsial, efektif, dan akuntabel.

Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY) kerap lambat dalam memproses laporan/pengaduan yang diajukan. Dalam beberapa kesempatan, laporan/pengaduan yang diajukan ke KY tidak ditindaklanjuti dengan alasan tidak ditemukan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) tanpa uraian lebih lanjut atau laporan/pengaduan diteruskan kepada BAWAS MA dengan alasan teknis yudisial. Di sisi lain, Bawas MA cenderung defensif dan seolah-olah membela hakim maupun aparat pengadilan. Pihak pengadu hanya dipanggil sekali setelah itu tidak jelas apa yang ditemukan dalam proses investigasi karena memang tidak dijelaskan, lalu tiba-tiba muncul ‘hasil investigasi’ yang menemukan tidak ada pelanggaran.. Bawas MA juga enggan mengumumkan putusan atas laporan tersebut kepada publik karena pengaturan melarang pengumuman.

G. Eksekusi Putusan Tata Usaha Negara yang Buntu

Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa maupun pelanggaran hukum. Dengan demikian kinerja pengadilan tidak hanya diukur dari bagaimana putusannya, termasuk dalam menuntaskan proses eksekusinya. Eksekusi putusan di lingkungan Peradilan TUN merupakan pelaksanaan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang bersifat penghukuman (condemnatoir), baik yang dilakukan secara sukarela oleh tergugat, eksekusi otomatis ataupun dengan penerapan upaya paksa (dwang middelen) yang dapat dilakukan apabila pejabat pemerintahan tidak melaksanakan putusan

Namun yang terjadi adalah banyak pejabat arogan yang tidak mau melaksanakan putusan tata usaha negara. Sebaliknya, Mahkamah Agung sebagai lembaga yudisial tidak memiliki kewenangan memaksa agar pejabat pemerintahan melaksanakan putusan. Akibatnya, sengketa tata usaha negara yang sudah susah payah dijalani dengan tenaga, waktu hingga bertahun-tahun tidak dapat dilaksanakan dan tidak ada gunanya bagi para pencari keadilan.

Mahkamah Agung harus mengajukan revisi UU PTUN dan undang-undang terkait lainnya sehingga mencantumkan sanksi pidana bagi pejabat yang tidak melaksanakan putusan tata usaha negara yang sudah berkekuatan hukum tetap sampai uang paksa. Pelaksanaan putusan menjadi taruhan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.

Selain itu, bagi Mahkamah Konstitusi, berikut catatan kami:

H. Hakim Konstitusi dalam Pusaran Konflik Kepentingan

Terdapat beberapa peristiwa yang mencoreng nama Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of Constitution. Pada 11 November 2020, Presiden Joko Widodo memberikan tanda jasa dan tanda kehormatan berupa Bintang Mahaputra Adipradana kepada 3 orang Hakim Konstitusi, yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Aswanto, serta Bintang Mahaputra Utama kepada 3 orang Hakim Konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Manahan M.P. Sitompul.

Jika dilihat, pemberian tersebut merupakan suatu hal yang tak lazim diberikan kepada Hakim Konstitusi yang masih aktif menjabat. Pemberian tanda jasa dan tanda kehormatan oleh Presiden Joko Widodo tersebut justru akan berdampak pada independensi dan konflik kepentingan, terlebih pada saat pemberian, 6 Hakim Konstitusi tengah memeriksa judicial review beberapa Undang- Undang kontroversial, seperti UU KPK dan UU Ciptaker.

Apabila ditinjau dari sudut pandang antikorupsi, pemberian tanda jasa dan tanda kehormatan merupakan gratifikasi. Hal tersebut karena Pemerintah, dalam hal ini Presiden merupakan pihak yang berkepentingan dalam semua perkara pengujian undang-undang yang menjadi salah satu wewenang MK. Sehingga menjadi wajar ketika publik menyangsikan beberapa putusan MK terkait judicial review UU kontroversial didasarkan pada pertimbangan yang objektif.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, kami meminta dan mendesak:

  1. Ketua Mahkamah Agung memberikan sanksi maksimal kepada seluruh Hakim dan Pegawai Pengadilan yang terlibat dalam praktik korupsi;
  2. Ketua Mahkamah Agung melakukan evaluasi terkait mekanisme persidangan secara virtual, mengingat banyaknya pelanggaran hak yang diterima oleh Terdakwa;
  3. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat RI segera melaksanakan reformasi peradilan militer melalui revisi undang-undang No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer;
  4. Mahkamah Agung merevisi Perma 2/2019 agar secara jelas mengatur batasan-batasan pemisahan kewenangan pengadilan negeri dengan pengadilan tata usaha negara terkait dengan sengketa perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, serta jangka waktu pengajuan gugatan yang patut;
  5. Pemerintah dan DPR RI mengevaluasi pelaksanaan hukuman mati dan mereformasi kebijakan hukuman mati di Indonesia berdasarkan mandat UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak- hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional Sipil, dan Politik dan Konvensi Anti Penyiksaan;
  6. Mahkamah Agung melakukan evaluasi menyeluruh terkait pelaksanaan putusan tata usaha negara dan mengajukan revisi UU PTUN dan undang-undang terkait lainnya sehingga mencantumkan sanksi pidana bagi pejabat yang tidak melaksanakan putusan tata usaha negara;
  7. Mahkamah Konstitusi menolak segala bentuk pemberian dari pihak-pihak yang berperkara termasuk Presiden RI, demi menghindari konflik kepentingan dan marwah Mahkamah Konstitusi.

Pernyataan Besama:
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, LBHM, PBHI Nasional