Tag: LBHM

Peringatan Darurat: Presiden Mesti Tarik Draf RUU KUHAP

Pada Kamis, 13 November 2025, Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Kementerian Sekretariat Negara telah selesai melakukan Pembahasan RUU KUHAP dan melakukan pengambilan keputusan Tingkat I hanya dalam waktu dua hari.

Artinya RUU KUHAP ini tinggal selangkah lagi untuk disahkan menunggu sidang paripurna yang rencananya akan dijadwalkan Minggu depan.

Selama pembahasan RUU KUHAP ini, kami Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai terdapat tumpukan masalah dari aspek proses pembahasan dan substansi yang diputuskan. Proses pembahasan nampak terburu-buru untuk mengejar pengesahan KUHAP agar dapat berlaku bersamaan dengan KUHP baru pada Januari 2026.

Terlebih surat Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan  KUHAP perihal  permohonan respons atas masukan selama Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU) maupun masukan tertulis  yang  disampaikan  langsung,  luput  direspons  bahkan   dipertimbangkan  dan diakomodir dalam pembahasan RUU KUHAP.

Pada sisi lain dari aspek substansi, pasal-pasal dalam RUU KUHAP yang sudah disetujui di tingkat I ini memuat pasal-pasal bermasalah, pasal karet, dan pasal yang menyuburkan praktik penyalahgunaan wewenang, di antaranya:

Semua Bisa Dijebak Aparat

Operasi undercover  buy (pembelian  terselubung)  & controlled  delivery (pengiriman  di bawah pengawasan) yang sebelumnya menjadi kewenangan penyidikan dan hanya untuk tindak pidana khusus yakni narkotika. Dalam RUU KUHAP kewenangan ini menjadi metode penyelidikan (menciptakan tindak pidana), dan bisa diterapkan untuk semua jenis tindak pidana, tidak punya batasan dan tidak diawasi hakim (Pasal 16).

Kewenangan luas tanpa pengawasan ini berpotensi membuka peluang penjebakan (entrapment) oleh aparat penegak hukum untuk menciptakan tindak pidana dan merekayasa siapa pelakunya yang memang menjadi tujuan tahap penyelidikan itu sendiri untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana.

Semua Bisa Kena Diamankan, Ditangkap, dan Ditahan Tanpa Kejelasan, Bahkan di Tahap Penyelidikan Saat Belum Ada Tindak Pidana

Semua bisa kena melalui pasal karet dengan dalih mengamankan khususnya pada tahap penyelidikan yang belum terkonfirmasi ada tidaknya tindak pidana (Pasal 5). Bahkan, jika dibandingkan dengan Pasal 5 KUHAP existing, tindakan yang bisa dilakukan pada tahap penyelidikan sangat terbatas, tidak sama sekali diperbolehkan untuk melakukan penahanan.

Namun dalam Pasal 5 RUU KUHAP, pada tahap penyelidikan, dapat dilakukan Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, Penggeledahan, dan bahkan Penahanan, padahal pada tahap ini tindak pidana belum terkonfirmasi.

Semua Bisa Kena Tangkap-Tahan Sewenang-Wenang Tanpa Izin Hakim

Upaya Paksa Penangkapan dan Penahanan sebagaimana saat ini membuka lebar ruang kesewenang-wenangan aparat karena tidak ada pengawasan oleh lembaga pengadilan melalui   pemeriksaan habeas   corpus,   serta   penyimpangan   aturan   mengenai   masa penangkapan yang terlalu panjang (lebih dari 1×24 jam) dalam undang-undang sektoral di luar KUHAP juga tidak diperbaiki dalam RUU KUHAP (Pasal 90, 93).

Semua Bisa Kena Geledah, Sita, Sadap, dan Blokir Menurut Subjektivitas Aparat Tanpa Izin Hakim

Pemblokiran bisa dilakukan tanpa izin pengadilan dengan alasan subjektif aparat (Pasal 105, 112A, 132A). RUU KUHAP juga memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa izin hakim dengan dilandaskan pada undang-undang yang bahkan belum terbentuk (Pasal 124).

Semua Bisa Kena Peras dan Dipaksa Damai dengan Dalih “RJ”, Bahkan di Ruang Gelap Penyelidikan

Dalam Pasal 74a RUU KUHAP dijelaskan bahwa kesepakatan damai antara pelaku dan korban dapat dilaksanakan pada tahapan belum terdapat tindak pidana (penyelidikan). Hal ini sangat dipertanyakan, bagaimana mungkin belum ada tindak pidana namun sudah ada subjek pelaku dan korban?

Selain itu hasil kesepakatan damai yang ditetapkan oleh pengadilan hanya surat penghentian penyidikan, sedangkan penghentian penyelidikan sama sekali tidak dilaporkan ke otoritas manapun, ini menjadi ruang gelap di penyelidikan.

RUU KUHAP gagal menjamin sistem check and balance oleh pengadilan dalam mekanisme keadilan restoratif (restorative justice/RJ) karena penetapan hakim untuk penghentian penyidikan  hanya  akan dianggap  stempel,  tanpa  memandatkan  kepada hakim untuk melakukan  pemeriksaan  secara  substansial  (judicial  scrutiny) dan  memberikan  opsi menolak untuk menetapkan kesepakatan RJ yang tidak sesuai ketentuan, termasuk jika ada indikasi pemaksaan, pemerasan, atau penyalahgunaan lainnya oleh aparat (Pasal 78, 79).

Semua Bisa Polisi Kuasai

Semua PPNS dan Penyidik Khusus di letakan di bawah koordinasi Polisi, menjadikan Polri lembaga superpower dengan kontrol sangat besar (Pasal 7 dan Pasal 8). Padahal selama ini masih memiliki beban tunggakan penyelesaian perkara setiap tahunnya dan belum optimal dalam menindaklanjuti laporan masyarakat untuk mengusut tindak pidana.

Semua Penyandang Disabilitas Bisa Tanpa Perlindungan

Pasal-pasal dalam RKUHAP masih bersifat ableistik karena tidak mewajibkan penyediaan akomodasi yang  layak bagi penyandang disabilitas  yang berhadapan  dengan  hukum, sehingga proses hukum berpotensi berjalan secara tidak setara dan diskriminatif. Lebih jauh, Pasal 137A membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual, dan secara implisit menempatkan keduanya sebagai pihak tanpa kapasitas hukum.

Pasal ini berpotensi melegitimasi perampasan kemerdekaan dan pengurungan sewenang- wenang (arbitrary detention), karena penjatuhan sanksi tidak diposisikan sebagai putusan pidana sehingga tidak memiliki standar jelas terkait batas waktu, mekanisme pengawasan, maupun penghentian tindakan. Situasi tersebut membuka ruang praktik koersif dengan dalih penegakan hukum.

Semua Bisa Kena, Semua Bisa Jadi Korban, Semua Bisa Direkayasa Jadi Tersangka, dan Semuanya Terjadi karena RKUHAP Dipaksakan Terburu-buru

RUU KUHAP berlaku tanpa masa transisi, langsung mengikat jutaan aparat dan warga tanpa kesiapan infrastruktur dan pengetahuan mulai 2 Januari 2026. Terdapat lebih dari 10 Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana yang akan dikebut dalam waktu setahun (Pasal 332 dan 334).

Artinya, potensi kekacauan praktik KUHAP Baru yang diterapkan tanpa adanya peraturan pelaksana akan sangat nyata terjadi setidaknya selama setahun ke depan. Koalisi juga sudah sering menyoroti bahwa kebutuhan mengakomodir perubahan krusial KUHP Baru ternyata juga belum diatur secara memadai dalam draf terakhir RUU KUHAP yang diputuskan dalam Tingkat I.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami menyerukan agar:

  1. Presiden menarik  draf  RUU KUHAP per 13 November 2025 untuk tidak dilanjutkan dalam pembahasan Tingkat II sidang paripurna;
  2. Pemerintah dan DPR merombak substansi  draf RUU KUHAP per 13 November 2025  dan membahas ulang arah konsep perubahan KUHAP untuk memperkuat judicial scrutiny dan mekanisme check   and   balances,   sebagaimana   usulan   konsep-konsep    dalam  Draf Tandingan  RUU KUHAP  versi Masyarakat Sipil ; dan
  3. Pemerintah dan DPR tidak menggunakan alasan yang menyesatkan publik terkait pemberlakuan KUHP Baru semata-mata untuk memburu-buru pengesahan RUU KUHAP yang masih sangat bermasalah.

 

Jakarta, 14 November 2025

-Hormat kami,

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP

 

We Are Hiring Staf Asisten Keuangan

Sekilas Informasi 

Semua kerja-kerja Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat didukung oleh tim yang menakjubkan, salah satunya Tim Operasional. Selama hampir 18 tahun, tim yang terdiri dari Koordinator Operasional, Kepala Keuangan, Staf Keuangan, Staf Asisten Keuangan dan Kepala Rumah Tangga ini memastikan keuangan dan administrasi LBH Masyarakat berjalan dengan baik.

Kami mengajak teman-teman yang memenuhi syarat untuk bergabung bersama LBH Masyarakat di Tim Operasional dan berkontribusi dalam kerja-kerja hak asasi manusia di Indonesia sebagai Staf Asisten Keuangan.

Adapun spesifikasi yang dibutuhkan sebagai Staf Asisten Keuangan LBH Masyarakat adalah sebagai berikut:

Kualifikasi

  • Minimal D3/S1 Akuntansi;
  • Fresh Graduate atau memiliki pengalaman bekerja minimal 1 tahun di bagian keuangan organisasi nirlaba;
  • Teliti, jujur, dan loyalitas tinggi serta bertanggung jawab;
  • Menguasai program Microsoft Office (Excel, Word, Power Point) dan program akuntansi;
  • Memahami prinsip-prinsip akuntansi ISAK 35;
  • Berorientasi pada detail dengan kemampuan analisis laporan keuangan yang baik;
  • Memiliki motivasi diri yang baik, proaktif dan mampu bekerja secara individual dan dalam tim;
  • Mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik;
  • Mengikuti peraturan perpajakan yang berlaku (nilai tambah).

Deskripsi Pekerjaan

  • Bekerjasama dan mendukung kerja-kerja tim penanganan kasus, tim program/advokasi, dan tim komunikasi dalam menjalankan pengelolaan keuangan;
  • Menyusun dan mendokumentasikan laporan keuangan program berdasarkan ketentuan pihak donor;
  • Menjalin hubungan yang baik dengan pihak ketiga yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan LBHM;
  • Mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam suatu program di dalam maupun di luar kota;
  • Membantu menyiapkan dokumen yang diperlukan untuk kepentingan audit organisasi tahunan sesuai dengan ISAK 35;
  • Bersama Staf Keuangan memastikan laporan program selaras dengan pencatatan di sistem lembaga.

Proses Rekrutmen

LBHM mengharapkan Staf Asisten Keuangan ini bisa bekerja mulai Desember 2025 di kantor LBHM di Jakarta.

Bagi kamu yang merasa tertantang dan menyanggupi pekerjaan ini serta tertarik menjadi salah satu anggota tim yang signifikan di LBH Masyarakat, silakan kirimkan:

  • Surat Lamaran (Cover Letter)
  • Curriculum Vitae (Terbaru)

Kirim dokumen di atas ke alamat email contact @lbhmasyarakat.org dengan subjek email: Aplikasi SAK_Nama Pelamar. Aplikasi ditunggu paling lambat Senin, 17 November 2025 pukul 23.59 WIB.

Langkah Antisipasi Yang Minim Partisipasi: Pernyataan Sikap Terhadap RANPERDA Kota Bandung Tentang Penyimpangan Seksual

Koalisi Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) mengecam upaya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota dan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung yang memasukkan ragam orientasi seksual homoseksual dalam Ranperda Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual. Upaya legislasi ini memperlihatkan adanya upaya untuk membuat kepanikan moral sebagai justifikasi membuat aturan punitif yang mengada-ada.

Ketua   Komisi   I   DPRD   Kota   Bandung,   Radea   Respati   menyatakan   bahwa   regulasi   ini mengantisipasi  potensi perilaku menyimpang di masyarakat, mengutip perilaku LGBT sebagai ancaman serius bagi generasi muda.   Walikota Bandung, Muhammad Farhan, juga menyetujui Ranperda ini lewat jawaban tertulis pada 7 Oktober 2025, dengan menyatakan siap mendukung Ranperda  tersebut  sebagai  upaya  menjaga  ketertiban  dan  perlindungan  bagi  warga  Kota Bandung.

Mempelajari situasi ini dan membaca draft Ranperda yang beredar, KAIN menggarisbawahi tiga kesesatan pikir yang terefleksi dalam aspek formil dan materiil pembuatan perda ini:

Pertama, dalam aspek formil, pembuatan peraturan daerah ini lemah dalam mengakomodir asas partisipasi  publik.  Berdasarkan  penelusuran  di  media  online  dan  juga  di  situs  DPRD  Kota Bandung (https://dprd.bandung.go.id/), belum ada rapat yang menghadirkan kelompok masyarakat sipil. Pembahasan hanya menyertakan fraksi-fraksi yang ada di DPRD Kota Bandung dan beberapa pihak eksekutif, seperti Dinkes, Bag. Hukum Setda dan Tim Naskah Akademik, seperti yang ditunjukkan dalam agenda DPRD Kota Bandung tanggal 5 November 2025.3

Unsur  partisipasi  publik  juga  sulit  terpenuhi  tanpa  ada  transparansi  dalam  pembentukan undang-undang.  Sejauh  ini  tidak ada naskah akademis dan naskah RUU yang dipublikasikan secara resmi di situs DPRD atau Pemkot, sehingga masyarakat sipil tidak bisa menilai sebenarnya urgensi dari adanya aturan ini.

Tanpa ada partisipasi publik, data yang digunakan sebagai dasar pembuatan Ranperda jadi dipertanyakan. Malah, dalam keterangannya pada media tanggal 3 November, Anggota Panitia Khusus (Pansus) 14 DPRD Kota Bandung yang menuliskan rancangan kebijakan daerah ini, drg. Susi Sulastri, menyatakan bahwa mereka masih akan bertanya kepada akademisi data kasus penyimpangan seksual di Kota Bandung.4  Dengan demikian, ada pertanyaan besar apakah naskah Ranperda yang sudah beredar ini dibuat tanpa mengetahui data atas permasalahan yang hendak dipecahkan oleh Ranperda ini.

Seharusnya pihak DPRD dan Pemkot bisa belajar dari Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Asas Partisipasi  Publik  sebagaimana  yang     pernah  disampaikan  dalam  Putusan  MK No.91/PUU-XVIII/2020  bahwa  partisipasi  publik  menyangkut  hak  untuk  didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), hak  untuk  mendapatkan  penjelasan  atau  jawaban  atas  pendapat  yang  diberikan  (right to be explained).

Kedua,  pasal  dalam  Ranperda  tersebut  masih  keliru  dalam  menempatkan  orientasi  seksual sebagai penyimpangan seksual. Pasal 9 dalam Ranperda ini menggolongkan homoseks dan lesbian sebagai bentuk perilaku penyimpangan seksual. Keragaman orientasi seksual ini disejajarkan dengan bentuk penyimpangan seksual lain, seperti pedofilia, nekrofilia, dan inses.

Menyetarakan orientasi seksual homoseksual sebagai penyimpangan bertolak belakang dengan perkembangan pengetahuan dan ilmu kesehatan. Pedoman kesehatan internasional seperti Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) V dan International Classification of Diseases (ICD) 10 sudah menghapus homoseksual sebagai bentuk gangguan jiwa karena ketiadaan bukti ilmiah dan diagnosis semacam itu lebih sering menyakiti kesehatan jiwa individu homoseksual.

Perspektif medis yang sama juga diikuti oleh organisasi profesi kesehatan jiwa di Indonesia. Poin F66 Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III  Kementerian Kesehatan Republik  Indonesia  menyebutkan  bahwa  “orientasi  seksual  sendiri  jangan  dianggap  sebagai sebuah gangguan.”

Dengan demikian, tidak ada dasar yang jelas dalam memasukkan homoseksual dan lesbian dalam bentuk-bentuk  perilaku  penyimpangan  seksual. Beberapa  pernyataan  publik  yang  ditangkap media memperlihatkan penggolongan ini semata-mata dilakukan karena ketidaktahuan dan ketakutan yang tidak berdasar pada individu homoseksual.

Ketiga, narasi rehabilitasi dan preventif yang seolah-olah humanis dalam Ranperda ini berpotensi menyesatkan (misleading) karena berpotensi mengarah ke terapi konversi. Pasal 15 Ayat (1) Ranperda  menyatakan  bahwa  pemerintah daerah akan melakukan konseling terintegrasi yang mengikutsertakan ahli psikiatri, psikolog, dan pembimbing keagamaan bersertifikat pada setiap unit pelayanan konseling. Selain itu, menurut Pasal 17 Ayat (2), Pemerintah Daerah juga akan melakukan pengawasan di tempat-tempat yang berisiko tinggi, seperti gymnastic, tempat hiburan, dan tempat lainnya dengan memperhatikan laporan masyarakat.

Jika orientasi seksual tetap dianggap sebagai penyimpangan, praktik konseling yang dimaksud akan memenuhi praktik terapi konversi, yakni merupakan upaya paksa sistematis yang dilakukan oleh  berbagai  pihak  untuk  mengubah  orientasi  seksual  dan/atau  identitas  gender seseorang. Praktik ini sudah dikecam oleh berbagai ahli HAM karena meningkatkan risiko gangguan stres dan trauma, depresi berat, dan ide bunuh diri.

Karena penderitaan yang dihasilkan dari terapi konversi ini serta praktik diskriminatif yang dilakukannya hanya untuk menyasar kelompok keberagaman gender dan seksualitas, model konseling terintegrasi dalam Ranperda ini bisa digolongkan sebagai penyiksaan. Berbagai aturan hukum internasional dan nasional, seperti Kovenan Hak Sipil dan Politik, Kovensi Menentang Penyiksaan, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah mengkriminalisasi tindakan penyiksaan.

Selain   itu,   model   pengawasan   yang   diamanatkan   dalam   Ranperda   ini   juga   berpotensi mempertebal aksi main hakim sendiri. Pasal 17 Ayat (2) Ranperda menjelaskan bahwa masyarakat bisa melaporkan tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat yang berisiko terdapat penyimpangan seksual. Dalam banyak kasus persekusi individu LGBTIQ+, dukungan untuk melakukan    persekusi    seringkali    datang    dari    pihak    yang    melaporkan   dugaan   adanya aktivitas/pesta LGBT’ tanpa bukti.

Berdasarkan argumen-argumen di atas, KAIN mengecam upaya pembatasan ruang sipil bagi individu LGBTIQ+ yang termuat dalam Ranperda Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual. Inisiasi dan pembahasan tanpa faedah, tanpa partisipasi, dan tanpa keberpihakan pada yang rentan, hanya akan melemahkan prinsip HAM dan demokrasi di Kota Bandung. Untuk itu, KAIN mendesak:

  1. Menghapus seluruh bagian dalam Ranperda yang memasukkan “orientasi seksual” ke dalam kategori perilaku atau penyimpangan seksual. Raperda ini secara keliru menyamakan orientasi seksual dengan kejahatan atau gangguan, yang tidak hanya bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, tetapi juga dapat mendorong kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender dan seksual.
  2. Menghapus   penyebutan  “homoseks”  dan  “lesbian”  dalam  daftar  pelaku  atau bentuk  penyimpangan  seksual  sebagaimana  tercantum  dalam  Pasal  9. Pencantuman   ini   tidak   memiliki   dasar   ilmiah   maupun   hukum,   dan   berpotensi memperkuat stigma serta diskriminasi terhadap warga negara karena orientasi seksualnya.
  3. Memastikan bahwa seluruh ketentuan dalam Ranperda berfokus pada pencegahan kekerasan seksual, eksploitasi anak, dan perilaku yang secara nyata mengandung unsur kekerasan, pemaksaan, dan pelanggaran hukum. Regulasi daerah semestinya diarahkan  untuk  melindungi  korban,  bukan  memperluas  stigma  terhadap  kelompok rentan yang tidak melakukan tindak pidana.
  4. Melakukan peninjauan ulang  substansi Raperda  secara  transparan  dan partisipatif, dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil, akademisi, tenaga kesehatan, tokoh agama inklusif, serta kelompok rentan

—–

Koalisi Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) merupakan sebuah koalisi yang terdiri dari 52 organisasi masyarakat sipil kelompok rentan di 28 Provinsi dan 90 Kabupaten/Kota. KAIN terbentuk dari 2021 dan berkomitmen untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dengan mendorong hadirnya legislasi anti diskriminasi yang komprehensif dan peraturan lainnya yang mengutamakan prinsip non-diskriminasi.

Narahubung:

  1. Albert Wirya, LBH Masyarakat (+6285939676730 – awirya@lbhmasyarakat.org)
  2. Richa F. Shofyana, Crisis Response Mechanism Consortium (+6281313135993 – contact@crm-consortium.org)

Referensi:

  1. Rifat Alhamidi,  “DPRD Kota Bandung Susun Regulasi Antisipasi Perilaku Seksual Menyimpang,”  detik.com, 28 Oktober 2025, diakses di  https://w w w.detik.com/jabar/berita/d-8181516/dprd-kota-bandung-susun-regulasi-antisipasi-perilaku-seksual-menyimpang
  2. Diskominfo Kota Bandung, “Wali Kota Bandung Sampaikan Jawaban atas Pandangan Fraksi soal Empat Raperda,” jabarprov. go.id, 10 Oktober 2025, diakses di https://w w w.jabarprov. go.id/berita/wali-kota-bandung-sampaikan-jawaban-atas-pandangan-fraksi-soal-empat-raperda-21419
  3.  https://dprd.bandung. go.id/agenda/agenda-kegiatan-rabu-5-november-2025
  4. Yeni Siti Apriani, “Susi Sulastri: Pencegahan dan Pengendalian Masalah Penyimpangan Seksual Butuh Payung Hukum yang Kuat,”  koran-gala.id, 3 November 2025, diakses di https://w w w.koran-gala.id/news/58716190815/susi-sulastri-pencegahan-dan-pengendalian-masalah-penyimpangan-seksual-butuh-payung-hukum-yang-kuat
Amicus Curiae Wahyu Saputra - Pidana yang Berfokus pada Pemulihan Korban dalam Kasus Femisida

Amicus Curiae Wahyu Saputra – Pidana yang Berfokus pada Pemulihan Korban dalam Kasus Femisida

Awal 2025, publik diguncang kasus tragis Sindi Purnama Sari, perempuan hamil tiga bulan yang disekap, diabaikan kesehatannya, dan mengalami kekerasan oleh suaminya sendiri, Wahyu Saputra. Setelah berbulan-bulan tersiksa, Sindi meninggal dunia di Rumah Sakit Hermina Palembang.

Jaksa menuntut hukuman mati bagi Wahyu. Namun, kasus ini lebih dari sekadar kejahatan individual ini adalah bentuk femisida, pembunuhan terhadap perempuan yang berakar dari budaya patriarki dan sistem sosial yang gagal melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Hukuman Mati Bukan Solusi

KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023) telah menegaskan bahwa pidana mati bukan lagi hukuman pokok, melainkan alternatif terakhir. Hukuman mati bertentangan dengan semangat reformasi hukum dan hak asasi manusia, serta tren global di mana lebih dari 100 negara telah menghapus hukuman mati.

Penjatuhan pidana mati dalam kasus ini tidak menyentuh akar masalah femisida. Ia justru menutup peluang refleksi dan perubahan sistem yang membuat kekerasan terhadap perempuan terus berulang.

Fokus pada Pemulihan

Fokus penghukuman seharusnya bukan pada balas dendam, melainkan pemulihan bagi korban dan keluarganya. Anak korban, AS, kini hidup dalam trauma dan berpotensi kehilangan kedua orang tuanya. Sistem hukum harus memastikan haknya atas restitusi dan perlindungan, bukan memperparah penderitaannya melalui hukuman mati pada ayahnya.

Kasus ini mengingatkan kita: keadilan sejati bukan tentang menghilangkan nyawa, tapi memulihkan kemanusiaan.

Simak amicus selengkapnya melalui link di bawah ini:

Permohonan Praperadilan Atas Panen Pelanggaran, Polda Metro Jaya Harus Jujur dan Transparan

Jakarta, 3 Oktober 2025 – Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap upaya paksa dan penetapan tersangka yang dilakukan kepada Delpedro Marhaen, Syahdan Husein, Khariq Anhar dan Muzaffar Salim masing-masing sebagai Pemohon. Permohonan ini diajukan untuk menguji keabsahan penetapan tersangka serta serangkaian tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penggeledahan, serta penyitaan terhadap keempat aktivis muda yang saat ini masih mendekam di rumah tahanan Polda Metro Jaya. Permohonan ini ditujukan kepada Direktur Reserse Kriminal Umum dan Direktur Reserse Siber Polda Metro Jakarta Raya selaku Termohon.

TAUD menemukan terdapatnya lapisan pelanggaran pada serangkaian tindakan hukum yang dialami Delpedro Marhaen, Syahdan Husein, Muzaffar Salim dan Khariq Anhar. Pelanggaran sebagaimana dimaksud antara lain:

Pertama, penangkapan dilakukan dengan cara-cara intimidatif, tidak humanis dan tanpa menunjukkan surat tugas. Bahkan, penangkapan dengan dilakukan selama lebih dari 1×24 jam.. Hal ini melanggar ketentuan yang diatur pada Pasal 18 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 18 ayat (2) Perkapolri 6/2019 serta Perkabareskrim Nomor 1/2022;

Kedua, penggeledahan dan penyitaan paksa. Pengaksesan terhadap ruang-ruang privat para Pemohon dilakukan tanpa adanya surat izin pengadilan. Tindakan ini bukan hanya melanggar prosedur, tapi juga merupakan bentuk pengkerdilan terhadap harkat-martabat para Pemohon sebab kepolisian telah menerabas batas-batas otonomi pribadi

Ketiga, penetapan tersangka secara serampangan. Status tersangka ditetapkan tanpa adanya minimal dua alat bukti yang sah dan tanpa pemeriksaan sebagai calon tersangka sebagaimana yang dipersyaratkan hukum acara. Lebih jauh, alat bukti yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bahkan tidak memiliki hubungan kausalitas dengan pasal-pasal yang dituduhkan. Artinya, konstruksi hukum yang digunakan Polda Metro Jaya tidak hanya asal-asalan, tetapi juga sesat secara prosedur;

Keempat, penahanan sebagai akibat dari rangkaian tindakan tidak sah. Karena penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan penetapan tersangka dilakukan secara serampangan, maka penahanan sebagai konsekuensi hukum dari tindakan-tindakan tersebut otomatis menjadi tidak sah.

Lapisan pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh Termohon bukan hanya merupakan pelanggaran administratif semata, lebih dari itu, hal tersebut merupakan bentuk perampasan kemerdekaan. Penetapan tersangka serta rangkaian upaya paksa merupakan bentuk pembatasan hak, untuk itu, penerapannya harus dilakukan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian. Kehati-hatian sebagaimana dimaksud dilakukan dengan memastikan bahwa proses penegakan hukum diselenggarakan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan prosedural merupakan bukti nyata bahwa kepolisian mengabaikan hak konstitusional para Pemohon;

Lebih dari itu, para Pemohon yang kini ditahan adalah aktivis muda, warga negara yang sedang menggunakan hak konstitusionalnya atas kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Pemidanaan terhadap ekspresi politik yang sah dalam rangka berpartisipasi di negara demokrasi merupakan praktik kriminalisasi yang berdampak pada keroposnya ruang sipil. Apalagi jika pemidanaan tersebut dilakukan secara serampangan sebagaimana praktik Polda Metro Jaya saat ini. Rangkaian tindakan dari hulu hingga hilir mencerminkan pencederaan terhadap prinsip negara hukum, pelanggaran terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, serta ancaman nyata bagi ruang kebebasan sipil yang seharusnya dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

Pengajuan praperadilan ke pengadilan menjadi jalur hukum penting dalam rangka memulihkan hak-hak para Pemohon yang dilanggar akibat proses penegakan hukum serampangan oleh kepolisian. Melalui mekanisme ini pula, TAUD menuntut “keberanian” Polda Metro Jaya untuk menjalani proses secara jujur, adil, dan tanpa manipulasi fakta, demi memastikan tegaknya keadilan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kami mendesak:
1. Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Negara sekaligus Panglima Tertinggi, untuk memastikan aparat penegak hukum bekerja sesuai prinsip negara hukum dan menghentikan praktik represi terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat;
2. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menjamin independensi hakim yang memeriksa perkara ini, serta memastikan jalannya sidang praperadilan berlangsung terbuka, objektif, dan tidak tunduk pada tekanan eksternal apa pun;
3. Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk menggunakan kewenangan pengawasannya guna memastikan tindakan kepolisian dalam perkara ini sesuai hukum acara pidana, serta tidak mengabaikan pelanggaran prosedural yang terjadi;
4. Kapolda Metro Jaya untuk menghentikan praktik kriminalisasi terhadap aktivis, bertanggung jawab atas tindakan anak buahnya, dan bersikap gentleman menghadapi praperadilan dengan tidak melakukan intervensi maupun rekayasa fakta;
5. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komnas HAM untuk turun tangan mengawasi dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran prosedural serta perampasan hak-hak konstitusional para Pemohon.

hormat kami,
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)
Narahubung:
1. Gema Gita Persada (gema@lbhpers.org)
2. Alif Fauzi Nurwidiastomo (nurwidiastomo@bantuanhukum.or.id)
3. M. Al Ayyubi Harahap (Ayyubi.harahap@harisazhar.co.id)
4. Ma’ruf Bajammal (mbajammal@lbhmasyarakat.org)

LAPORAN KEUANGAN 2024
Kekosongan Kerangka Hukum Perlindungan Diskriminasi Komprehensif di Indonesia

Kekosongan Kerangka Hukum Perlindungan Diskriminasi Komprehensif di Indonesia: Urgensi Indonesia Memiliki Legislasi Anti-Diskriminasi

Diskriminasi masih menjadi persoalan yang dialami oleh Orang dengan HIV (ODHIV) dan Populasi Kunci, Kelompok Keberagaman Seksual dan Identitas Gender (KSIG), Penyandang Disabilitas, Masyarakat Adat, Perempuan, Penghayat Kepercayaan, dan beragam kelompok rentan lainnya. Akar masalah tersebut muncul karena kebijakan-kebijakan yang ada memiliki pengaturan secara parsial, pengakuan identitas rentan secara terbatas dan stagnan/closed-ended. Akibatnya jumlah korban diskriminasi terus bertambah namun di saat yang bersamaan sistem hukum yang ada saat ini belum mampu merespon permasalahan tersebut.

Diskursus tersebut mendorong Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti-Diskriminasi (KAIN) dan Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) berkolaborasi dengan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Equal Rights Trust (ERT), mengadakan Simposium Nasional Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Komprehensif (RUU PDK). Kegiatan ini diselenggarakan pada tanggal 16 – 17 September 2025 di Departemen Kriminologi FISIP UI. Diskusi bertajuk ilmiah ini dihadiri lebih dari 150 peserta yang mempertemukan para pemangku kepentingan strategis dan berbagai kalangan yang terdiri dari para akademisi, ahli internasional, perwakilan Kementerian/Lembaga, masyarakat sipil, kedutaan-kedutaan besar di Indonesia, para media/jurnalis, dan mahasiswa.

Simposium ini lahir dari kebutuhan akan regulasi berbasis bukti (evidence-based regulation), kebijakan yang berbasis kebutuhan dan berorientasi pada pemecahan masalah di masyarakat (need-based and problem solving oriented), serta kerinduan hadirnya kebijakan yang memberikan jaminan perlindungan kepada setiap warga negara secara komprehensif dan tanpa pengecualian. Di samping itu, kegiatan ini merupakan inisiatif koalisi masyarakat sipil dalam mengingatkan para penyelenggara negara atas rekomendasi Universal Periodic Review Siklus IV 2023 dan concluding observations Komite Hak Sipil dan Politik 2024 di mana pemerintah Indonesia menyepakati mengenai legislasi anti-diskriminasi.

Dekan FISIP UI, Prof. Semiarto Aji Purwanto membuka simposium dengan menyatakan bahwa diskriminasi selain berdampak ke individu juga berpengaruh terhadap kohesi sosial hingga mengancam legitimasi politik. Untuk itu, hukum anti-diskriminasi yang komprehensif tidak boleh berhenti pada teks, tetapi harus hadir sebagai instrumen keadilan yang nyata dirasakan oleh warga, terutama mereka yang rentan dan selama ini tersisih dari perlindungan negara. Di sisi lain, Claude Cahn dari OHCHR menyatakan “Dengan satu UU saja, negara bisa memenuhi banyak kewajiban internasional soal hak asasi manusia. Undang-undang ini memberi masyarakat alat untuk melawan diskriminasi secara langsung. Hak yang biasanya hanya tertulis di konstitusi atau perjanjian internasional bisa terasa jauh, tapi dengan undang-undang ini, orang bisa menggunakannya dalam kehidupan nyata.”

Dalam diskusi pleno di hari pertama, pembicara dari Staf Ahli Bidang Inovasi Pendanaan Pembangunan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Dr. Raden Siliwanti, M.PIA menyampaikan legislasi anti-diskriminasi sejalan dengan kerangka pembangunan Indonesia. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, salah satu arah kebijakannya adalah memastikan tidak ada satu orang pun yang tertinggal dalam pembangunan (no-one left behind). Dua pilar yang menopangnya adalah pilar hukum dan pilar akses terhadap keadilan. Cantolan tersebut seharusnya dapat dimaknai dan memampukan pemegang kepentingan untuk menindaklanjuti rekomendasi internasional terhadap Indonesia.

Untuk membedah lebih mendalam konsep RUU PDK, simposium ini membagi menjadi empat sesi diskusi tematik. Panel pertama mengangkat topik definisi dan cakupan diskriminasi yang komprehensif. Temuan penting dalam panel ini adalah diskriminasi terjadi karena kegagalan pengakuan atas fakta keberagaman dan esensi diskriminasi adalah ketidakadilan terhadap keberagaman. Sehingga definisi diskriminasi dalam RUU PDK agar berdasar alasan yang dilindungi (protected ground) dan definisi yang bersifat terbuka (open-ended definition).

Panel dua dengan tema mekanisme penegakan untuk akuntabilitas dan pemulihan korban diskriminasi. Tematik ini menyoroti mekanisme penegakan hukum secara ideal di RUU PDK dilakukan melalui pembentukan badan/institusi baru yang independen, inklusif, partisipatif, representasi dari berbagai keberagaman kelompok rentan-minoritas, memiliki daya yang memadai, dan terdiri dari orang-orang yang berintegritas dan memiliki kepekaan terhadap isu diskriminasi. Mekanisme tersebut harus mampu merespon semua peristiwa diskriminasi dengan proses yang memberikan kemudahan, keandalan, dan kepastian. Menjamin penegakan dan pemulihan hak-hak korban (victims’ rights) yang akuntabel, efektif, komprehensif dan inklusif.

Panel tiga menyoroti upaya pencegahan diskriminasi efektif perlu mencangkup pengumpulan data untuk kebijakan, partisipasi bermakna kelompok rentan dalam pengambilan keputusan, akses terhadap keadilan, serta adanya sistem pengaduan individual. Pengaturan pencegahan perlu berbasis prinsip internasional dan norma lokal yang menjunjung keberagaman, serta dijalankan melalui mandat lembaga HAM, penegak hukum, pendidikan, budaya, dan pemerintah daerah. Panel empat membedah implementasi efektif legislasi anti-diskriminasi komprehensif. Komponen penting dalam implementasi adalah memastikan badan/institusi penegakan bersifat independen, adanya audit regulasi untuk memotret dampak RUU PDK.

Simposium ini ditutup oleh Komisioner dan Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ratna Batara Munti yang mendeklarasikan Komnas Perempuan mendukung secara penuh inisiatif dan upaya dari KAIN untuk mendorong Indonesia memiliki RUU PDK. Komnas Perempuan akan mengawal advokasi agar RUU PDK bisa masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dibahas serta disahkan melalui kerangka kerja, fungsi dan kewenangan yang dimiliki Komnas Perempuan.

Narahubung:

Arul KAIN – 0822-2406-1490

Iswan Sual KAIN – 0897-8534-135

 

Pengaturan Teknik Investigasi Khusus: Penyamaran, Pembelian terselubung, dan Penyerahan di Bawah Pengawasan dalam Pembaruan KUHAP

Teknik investigasi khusus seperti penyamaran, pembelian terselubung, dan penyerahan di bawah pengawasan pada dasarnya lahir untuk membongkar kejahatan terorganisasi yang sulit dijangkau dengan metode penyidikan konvensional. Instrumen ini diakui dalam hukum internasional, termasuk UNTOC, dan diadopsi dalam regulasi nasional seperti UU Narkotika serta Perkapolri No. 6 Tahun 2019.

Namun, di Indonesia, praktik ini masih problematis. Batas antara teknik investigasi dengan penjebakan (entrapment) sangat tipis. Regulasi yang ada tidak secara jelas mengatur kapan teknik ini boleh digunakan, bagaimana prosedurnya, serta mekanisme akuntabilitasnya. Akibatnya, kewenangan yang seharusnya dipakai untuk menindak kejahatan serius justru berpotensi melanggar hak tersangka dan membuka ruang penyalahgunaan wewenang.

Karena itu, pembaruan KUHAP harus memastikan adanya pengaturan ketat, batasan yang jelas, serta sistem pengawasan internal dan eksternal agar teknik investigasi khusus tidak menjadi alat kriminalisasi.

Selengkapnya dapat dibaca dalam kertas posisi: Pengaturan Teknik Investigasi Khusus: Penyamaran, Pembelian Terselubung, dan Penyerahan di Bawah Pengawasan dalam Pembaruan KUHAP.

Menatap Keadilan dari bawah Menara Gading: Catatan Kritis LBHM Terhadap Pengaturan Upaya Hukum dalam Pembaruan KUHAP

KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) sebagai instrumen utama sistem peradilan pidana Indonesia sudah berusia lebih dari 40 tahun. Alih-alih menjadi alat koreksi yang adil, KUHAP justru menyimpan banyak masalah dari lemahnya perlindungan HAM, kewenangan aparat yang sewenang-wenang, hingga akses keadilan yang terhambat.

Pada 19 Februari 2025, DPR menetapkan RKUHAP sebagai usul inisiatif dengan alasan penyelarasan terhadap KUHP baru yang akan berlaku 2026. Namun, dalih penyelarasan saja tidak cukup. Pembaruan KUHAP harus memastikan penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia di setiap tahapan proses peradilan.

Salah satu persoalan mendasar adalah sistem upaya hukum. KUHAP menyediakan jalur banding, kasasi, dan peninjauan kembali untuk memperbaiki putusan yang keliru. Akan tetapi, dalam praktiknya, upaya hukum seringkali hanya bisa diakses oleh pihak yang punya pengetahuan. Bagi banyak orang, terutama korban, mekanisme ini terasa seperti “menara gading”: jauh, dan sulit dijangkau.

LBH Masyarakat menyoroti persoalan ini melalui kertas posisi: Menatap Keadilan dari bawah Menara Gading: Catatan Kritis LBHM Terhadap Pengaturan Upaya Hukum dalam Pembaruan KUHAP

Selengkapnya, baca kertas posisi ini untuk memahami mengapa reformasi KUHAP harus benar-benar menjawab kebutuhan pencari keadilan

Koalisi RFP Tuntut Presiden untuk Membentuk Tim Reformasi Kepolisian yang Independen dan Menyasar Setidaknya 9 (Sembilan) Masalah Sistemik Polri

Jakarta, 15 September 2025 – Desakan Reformasi Kepolisian makin keras disuarakan publik menyusul rentetan tindakan represif dan ketidakprofesionalan polisi. Terbaru, Presiden Prabowo disebut-sebut akan membentuk tim atau komisi Reformasi Kepolisian. Rencana tersebut disampaikan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) pasca berdialog dengan Prabowo di Istana Negara pada Kamis (11/9/2025). Atas rencana tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Koalisi RFP) menyampaikan pandangan dan tuntutan sebagai berikut:

Pertama, tuntutan Reformasi Polri harus dimaknai sebagai tuntutan pembenahan menyeluruh institusi Kepolisian, baik pada aspek sistem, kewenangan, struktur, hingga kultur. Buruknya kinerja Kepolisian selama ini menunjukkan persoalan POLRI berakar multi aspek. Alhasil, Polri tidak kunjung berbenah meski diterpa skandal berulang, mulai dari korupsi, brutalitas, hingga arogansi kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian, harus dirumuskan peta jalan Reformasi Kepolisian yang jelas dan terukur yang sejalan dengan mandat reformasi yang termaktub dalam TAP MPR No. VI tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, TAP MPR No. VII tentang Peran TNI dan Polri, serta Perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bukan hanya sekedar membentuk Tim atau komisi khusus. Peta jalan ini termasuk di dalamnya berisi komitmen atas tindak lanjut hasil kerja komisi yang perlu ditindaklanjuti presiden. Jika tidak, Tim atau komisi bentukan Presiden rentan berujung tumpul, tidak efektif menjawab akar persoalan Polri, dan lagi-lagi gagal mereformasi Polri.

Kedua, sebagai langkah awal dan bagian penting Reformasi Kepolisian , Presiden dan DPR harus menghentikan upaya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP dan merombak secara serius draft terakhir RUU tersebut (per 13 Juli 2025). Ketentuan dalam draft tersebut justru menjadikan Kepolisian dalam proses penyelidikan dan penyidikan semakin superpower dan minim kontrol dalam fungsi penegakan hukum. Selanjutnya, Presiden dan DPR wajib memastikan revisi KUHAP memuat jaminan mekanisme check and balances oleh pengadilan (judicial scrutiny) sebagai lembaga independen dan imparsial. Termasuk skema habeas corpus untuk setiap orang yang ditangkap dan ditahan setidaknya juga wajib diakomodir sebagai ikhtiar menjamin ketidak berulangan (guarantees of non-recurrence) praktik penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM oleh Kepolisian.

Ketiga, sehubungan dengan wacana pembentukan tim Reformasi Kepolisian:
1. Presiden memastikan tim memiliki kewenangan yang efektif dan hasil dari kinerja dari pembentukan tim khusus Reformasi Kepolisian ini tidak berakhir menjadi “laporan” semata, namun rekomendasi yang dihasilkan harus bersifat mengikat, impactful, dan menjadi dasar bagi perubahan Undang-Undang Polri. Komitmen ini penting mengingat preseden gagalnya Reformasi Kepolisian yang substansial dan progresif selama ini juga diakibatkan ketiadaan kemauan politik Pemerintah dan DPR;
2. Tim yang dibentuk mesti terdiri dari sosok yang independen, berintegritas dan representatif, melibatkan elemen masyarakat sipil dan unsur akademisi yang berani, bebas dari konflik kepentingan (termasuk meniadakan unsur polisi dan Kompolnas), memiliki concern atau rekam jejak dalam mendorong reformasi kepolisian, serta secara intensif dan sehari-harinya berhadapan langsung dengan fungsi-fungsi Polri, yakni penegakan hukum, pelayanan masyarakat, dan keamanan dan ketertiban;
3. Agenda Reformasi Kepolisian yang digagas melalui pembentukan tim ini harus transparans dari proses hingga hasil.

Keempat, Presiden harus memastikan bahwa agenda Reformasi Kepolisian kali ini mampu mengidentifikasi persoalan fundamental Kepolisian. Sebagai respon cepat, kami memetakan setidaknya 9 (sembilan) masalah fundamental, sistemik, dan struktural kepolisian yang sudah terlampau akut menggerogoti institusi Polri, yaitu:
1. Absennya sistem akuntabilitas dan pengawasan yang efektif dan independen, antara lain dalam KUHAP, termasuk praktik-praktik impunitas yang mengakar;
2. Sistem pendidikan yang menghasilkan budaya kekerasan-brutalitas, militeristik, tidak adil gender, dan koruptif;
3. Tata kelola organisasi yang tidak transparan dan akuntabel, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip good governance, termasuk pada sistem penganggaran;
4. Sistem kepegawaian yang meliputi perekrutan, mutasi, promosi yang tidak berbasiskan meritokrasi;
5. Terlampau luasnya lingkup tugas dan fungsi Polri, khususnya untuk pelayanan masyarakat hingga menjaga keamanan dan ketertiban umum, termasuk penggelembungan tugas dan wewenang melalui penyelundupan norma undang-undang;
6. Penggunaan kekuatan berlebihan, Represif, sewenang-wenang dan brutal dalam penanganan aksi demonstrasi. Dalam hal ini juga tidak relevannya instrumen Korps Brigade Mobile (Brimob) dalam institusi Polri yang menyerupai instrumen perang dari segi teknik, perlengkapan, dan taktik, hingga masalah sistem operasi. Bahkan seringkali dipergunakan untuk menghadapi warga dalam konflik agraria dan sumber daya alam
7. Buruknya komitmen terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) serta nilai-nilai demokrasi, kesetaraan, inklusivitas, dan negara hukum;
8. Kultur tebang pilih (cherry picking), penelantaran perkara (undue delay), dan perilaku koruptif dalam menjalankan fungsi penegakan hukum; serta
9. Keterlibatan kepolisian sebagai alat maupun aktor dalam ruang bisnis dan politik (kekuasaan);.

Agenda Reformasi Kepolisian sudah saatnya dimaksudkan agar mampu meredefinisi jati diri Polri yang sipil (civillian police) dan demokratis dengan mendesain jalan depolitisasi, demiliteritasi, desentralisasi, dan dekorporatisasi Kepolisian secara mendasar dan signifikan. Semua situasi ini disebabkan karena pasca transisi reformasi 1998, agenda reformasi kepolisian hanya berhenti pada pemisahan Polri dari dwifungsi ABRI, tanpa benar-benar merombak tata kelola, struktur dan kultur institusi Polri.

Kami meyakini, melalui komitmen dan keberanian politik Presiden melakukan Reformasi Kepolisian dengan memastikan hal-hal tersebut di atas akan menjadi tonggak penting yang berkontribusi bagi kemajuan demokrasi, HAM, dan tegaknya konstitusionalisme di Indonesia. Hal itu akan sekaligus meningkatkan profesionalitas, akuntabilitas, democratic policing, dan independensi serta kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.

Tanpa komitmen atas Reformasi Polri yang lebih jelas dan sistematis tersebut, kami menilai langkah Presiden membentuk tim tersebut semata-mata hanya lips service, gimmick, dan akan mengulangi kegagalan wacana-wacana reformasi kepolisian sebelumnya, sehingga sudah sepatutnya ditolak.

Jakarta, 15 September 2025
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian

1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
2. Indonesia Corruption Watch (ICW)
3. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
4. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
5. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
7. Kurawal Foundation
8. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)
9. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
10. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
11. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
12. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers
13. Indonesia Judicial Research Society (IJRS)
14. Lingkar Studi Feminis (LSF)