Tag: LBHM

Rekrutmen Terbuka Volunteer

Saat ini LBH Masyarakat (LBHM) membuka kesempatan bagi Anda untuk terlibat dalam kerja-kerja advokasi yang kami lakukan sejak tahun 2007. Dalam beberapa bulan ke depan, kami hendak melakukan penelitian terkait data terpidana mati di Indonesia.

Kualifikasi

  1. Berstatus sebagai mahasiswa/mahasiswi aktif atau lulusan baru sarjana (fresh graduate);
  2. Memahami isu hak asasi manusia dan hukum;
  3. Memahami putusan pengadilan;
  4. Memiliki perangkat untuk bekerja;
  5. Dapat mengoperasikan microsoft office (terutama microsoft excel);
  6. Dapat bekerja dari kantor LBHM, setidak-tidaknya dua (2) hari dalam setiap minggu;
  7. Dapat bekerja dalam lintas isu (selain dari isu pidana mati); dan
  8. Dapat berkomitmen untuk menyelesaikan pekerjaan.

Syarat Administrasi

  1. Daftar riwayat hidup (Curriculum Vitae);
  2. Scan/foto kartu identitas;
  3. Bagi mahasiswa/mahasiswi aktif untuk dapat menyertakan:
  • Scan/foto kartu tanda mahasiswa;
  • Transkrip nilai semester terakhir;
  1. Bagi fresh graduate, dapat menyertakan scan/foto ijazah;
  2. Kirimkan tulisan 300-500 kata tentang: “Mengapa kami harus memilih Anda sebagai relawan?” dalam format PDF.

Mekanisme Pendaftaran

Seluruh berkas dikirim ke email: yoctavian@lbhmasyarakat.org dengan subjek email: Relawan_LBHM. Batas akhir pendaftaran 14 Oktober 2024 pukul 23.59 WIB.

Dalam kesempatan ini, LBHM akan memberikan insentif bagi volunteer terpilih. Jadi, selamat mencoba dan kami tunggu aplikasimu. Semoga kita bisa berkolaborasi bersama!

***

Tentang LBHM

LBHM adalah sebuah organisasi non profit yang bergerak di bidang hak asasi manusia. Telah melakukan 16 tahun kerja-kerja bantuan hukum, riset, kampanye, advokasi dan penguatan kapasitas sebagai upaya pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Adapun isu HAM yang menjadi fokus LBHM meliputi narkotika, HIV/AIDS, hukuman mati, keragaman gender dan seksualitas serta kesehatan jiwa.

Laporan Observasi Simposium Nasional “Hukum yang Hidup di Masyarakat” (Living Law) Paska KUHP Baru

Di tengah masa transisi mengantisipasi keberlakuan KUHP baru mulai Januari 2026, ada kebutuhan bagi masyarakat sipil baik yang bergerak di isu hak masyarakat adat maupun mereka yang berfokus pada perlindungan hak kelompok rentan untuk mendiskusikan sejumlah isu terkait Pasal 2 KUHP baru dan (potensi) implementasi dan implikasinya. 

Di saat bersamaan, seiring dengan persiapan pemerintah menyiapkan rencana peraturan turunan pasal tersebut,  masyarakat sipil juga merasa perlu memberikan masukan yang konstruktif atau setidaknya memberikan saran yang bersifat pengaman (safeguarding) yang berkeadilan dan berperspektif HAM.

Upaya untuk mendiskusikan hal-hal tersebut dan menyarikan masukan dan rekomendasi kunci itu dilakukan dengan adanya pelaksanaan acara Simposium Nasional “Hukum yang Hidup dalam Masyarakat” Pasca KUHP Baru. Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN), Pusat Studi Hukum Adat Djojodigoeno Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Unit Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP Universitas Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menggagas dan menyelenggarakan Simposium Nasional.

Dari kegiatan tersebut, menghasilkan laporan observasi berdasarkan diskusi antar pemangku kepentingan yang dapat Sobat Matters akses melalui link di bawah ini. 

Perkembangan Pidana Mati dalam Proses Peradilan: Analisis Awal Berbasis Kasus Berdimensi Hukuman Mati Terbaru

Indonesia sudah menunjukan gejala perubahan ke arah abolisi hukuman mati dengan disahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Meskipun Indonesia masih mempertahankan keberadaan hukuman mati secara de jure, namun perkembangan dalam KUHP yang mengubah karakter dari hukuman mati menjadi hukuman alternatif dengan masa percobaan 10 tahun patut diapresiasi sebagai langkah mendekati penghapusan hukuman mati.

Kabar pergerakan penghapusan hukuman mati pada peraturan perundang-undangan Indonesia ini sudah terdengar sejak satu dekade yang lalu dan semakin riuh terdengar realisasinya sejak sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada tahun 2019 sampai dengan 2021.

Perkembangan KUHP dengan ketentuan pidana mati yang baru ini mendorong Reprieve dan LBH Masyarakat (LBHM) untuk melihat apakah Indonesia sudah siap atau sudah memulai proses penyesuaian diri dengan ketentuan hukum yang akan berlaku pada tahun 2026 dengan melihat pola penuntutan dan penjatuhan putusan pidana mati.

Berangkat dari perhatian tersebut, timbul pertanyaan dalam benak penulis: apakah Jaksa dan Hakim mengaplikasikan semangat yang tertuang dalam KUHP yang baru?

Hukuman Mati dalam KUHP Baru: Antara Hukum Administrasi dan Hukum Pidana

KUHP Baru yang disahkan akhir tahun 2022 lalu oleh DPR bersama Presiden masih memuat pidana mati sebagai hukuman yang diberlakukan dalam tindak pidana di Indonesia. Meski pidana mati masih dipertahankan, KUHP Baru menempatkan pidana mati bukan lagi pidana pokok sebagaimana existing KUHP. Ini artinya, pidana mati bukan lagi pemidanaan yang bersifat utama.

Dalam konteks implementasinya, KUHP Baru mengatur terkait penerapan pidana mati diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Pasal 98 KUHP Baru.

Tetapi secara konseptual, skema pidana mati alternatif ini menjadikan tindak pidana yang bersifat khusus berubah menjadi tindak pidana yang sangat serius atau yang luar biasa, sebagaimana termaktub dalam Pasal 67 KUHP Baru dan penjelasannya, diantaranya tindak pidana narkotika, tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia.

Dari konstruksi hukum tersebut, timbul pertanyaan dalam benak penulis, apa saja jenis-jenis tindak pidana yang tidak disebutkan dalam Penjelasan Pasal 67 KUHP Baru? Apakah pidana mati akan diberlakukan secara alternatif juga?

Baca selengkapnya terbitan baru kami: “Hukuman Mati dalam KUHP Baru: Antara Hukum Administrasi dan Hukum Pidana”

Laporan Tahunan LBH Masyarakat 2023 – Kelabu(i) Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Lewat instrumen hukum dan kekuasaannya, rezim Joko Widodo (Jokowi) mempertunjukkan praktik busuk, bagaimana bangunan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang sudah diperjuangkan sejak era reformasi itu dirobohkan. Kriminalisasi dan pemberangusan kebebasan berekspresi juga masif kita lihat, utamanya tertuju kepada kelompok rentan dan populasi kunci.

Dalam konteks elektoral di tahun 2024, masing-masing kandidat Calon Presiden dan Wakil Presiden intens mengobral janji, ditandai dari merebaknya penggunaan slogan no one left behind, padahal slogan itu tak lebih dari jargon semata untuk mendulang suara dan terkesan inklusi.

Di tengah praktik negara yang kian ugal-ugalan, lewat gerakan bantuan hukum yang digagas lebih dari 2 windu (16 tahun), LBH Masyarakat (LBHM) konsisten mengawal penghormatan dan pemenuhan demokrasi serta gigih membersamai korban pelanggaran HAM. Kerja-kerja LBHM itu terpotret dalam Laporan Tahunan 2023, yang mengangkat tema: Kelabu(i) Demokrasi & Hak Asasi Manusia.

Silakan membaca Laporan Tahunan 2023 melalui link ini.

Surat Desakan untuk Memastikan Pengambilan Kesaksian Mary Jane Veloso sebagai Saksi Korban Perdagangan Orang dengan Berbasis Hak Asasi Manusia dan Prinsip Non Punishment

Kepada, Yth

Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia

Menteri Luar Negeri Republik Indonesia

Jaksa Agung Republik Indonesia

Dengan hormat,

Kami dari Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI), sebuah aliansi organisasi masyarakat sipil dan individu yang meyakini bahwa hukuman mati tidak akan membawa keadilan dan mengadvokasi penghapusan hukuman mati di Indonesia dan di seluruh dunia, mengawal dan memantau perkembangan kasus Mary Jane Veloso, perempuan terpidana mati yang merupakan korban perekrutan ilegal dan perdagangan orang di negara asalnya Filipina. Terkait dengan perkembangan terbaru proses hukum kasus perdagangan orang di mana kesaksian Mary Jane Veloso dibutuhkan di pengadilan Filipina. JATI menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:

  1. JATI mengapresiasi rencana pengambilan kesaksian tertulis Mary Jane Veloso sebagai saksi korban perdagangan orang yang disepakati oleh Pemerintah Indonesia dan Filipina melalui mekanisme Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal Matters/MLA). Kesaksian Mary Jane Veloso yang sudah dinanti sejak 2019, selepas Putusan Mahkamah Agung Filipina bernomor G.R No 240053 tertanggal 19 Oktober 2019 mengizinkan Mary Jane Veloso untuk memberikan kesaksiannya sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia atas tindakan Maria Christina P. Sergio dan Julius Lacanilao, yang diperkuat putusan tanggal 4 Maret 2020 yang menolak semua keberatan Maria Christina P. Sergio dan Julius Lacanilao atas putusan sebelumnya. Kesaksian Mary Jane Veloso merupakan langkah penting untuk menegaskan bukti bahwa dia merupakan korban dari tindak pidana perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi sebagai kurir narkotika;
  2. Bahwa pada Pengadilan Regional Nueva Ecija Filipina telah menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup serta denda sebesar 2 juta Peso kepada Maria Christina P. Sergio dan Julius Lacanilao atas tindakan perekrutan illegal tenaga kerja berskala besar berdasarkan putusan perkara No SD (15) – 3666 tertanggal 14 Januari 2020. Maria Christina P. Sergio dan Julius Lacanilao terbukti tidak memiliki lisensi resmi sebagai perekrut tenaga kerja untuk ditempatkan ke luar negeri. Mereka merupakan pelaku yang juga merekrut dan mengajak Mary Jane Veloso ke Malaysia dengan janji mendapat pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga;
  3. Bahwa sejumlah pendapat hukum dan HAM, eksaminasi hukum, dan pendapat pakar, sudah menyebutkan dugaan kuat bahwa Mary Jane Veloso merupakan korban perdagangan orang yang direkrut dan dieksploitasi untuk menjadi kurir narkotika;
  4. Bahwa berdasarkan eksaminasi dan kajian tersebut di atas, dalam proses hukum di Indonesia, Mary Jane Veloso mengalami pelanggaran hak atas peradilan yang adil (fair trial) seperti tidak disediakannya juru bahasa yang mumpuni pada saat pemeriksaan dan persidangan, bantuan hukum yang tidak maksimal, tidak alat bukti yang menguatkan Mary Jane Veloso sebagai perantara bisnis narkotika, serta pembebanan pembuktian oleh terdakwa yang semestinya merupakan kewajiban penuntut umum;
  5. Bahwa pada 29 April 2015 Presiden Republik Indonesia Joko Widodo memutuskan penundaan eksekusi mati terhadap Mary Jane Veloso dengan pertimbangan memberikan kesempatan untuk menyelesaikan proses hukum yang sedang berlangsung di Filipina, di mana Mary Jane Veloso dibutuhkan keterangannya sebagai saksi dan/atau korban untuk mendapatkan keadilan;
  6. Bahwa keputusan Presiden tersebut merupakan langkah penting yang harus dituntaskan untuk menunjukan komitmen negara dalam mencegah dan melakukan tindakan tegas atas kejahatan perdagangan manusia yang menimpa para pekerja migran;
  7. Bahwa Indonesia dan Filipina telah meratifikasi Protokol untuk Mencegah, Menekan, dan Menghukum Perdagangan Manusia khususnya pada terhadap Perempuan dan Anak atau Protokol Palermo, yang merupakan Suplemen Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir. Di Indonesia Protokol tersebut diratifikasi melalui Undang-Undang 14 tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).

Berdasarkan uraian di atas, maka JATI mendesak Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, dan Jaksa Agung Republik Indonesia:

  1. Bahwa Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) mendefinisikan TPPO dengan tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Dari definisi tersebut, JATI menegaskan berbagai pendapat ahli dan lembaga HAM nasional bahwa Mary Jane Veloso merupakan korban TPPO;
  2. Bahwa hak-hak Mary Jane Veloso sebagai saksi korban kasus perdagangan orang sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang dan perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia, harus dipastikan dipenuhi dan dihormati. Hak tersebut antara lain mendapat pendampingan hukum, mendapatkan informasi mengenai kasus di mana dia diambil keterangannya, mendapat perlindungan, repatriasi, dan pemulihan. Peristiwa pelanggaran fair trial dalam proses hukum sebelumnya, hendaknya menjadi pelajaran agar tidak terulang kembali;
  3. Bahwa dalam kasus perdagangan orang dikenal prinsip non-hukuman (non-punishment principle) yang menetapkan bahwa korban perdagangan tidak boleh dituntut atau dihukum atas tindakan melawan hukum yang mereka lakukan sebagai akibat dari perdagangan orang. Prinsip ini bukan berarti memberikan kekebalan hukum bagi Mary Jane Veloso, tapi alat untuk memberikan perlindungan terhadap Mary Jane Veloso, sebagai korban TPPO dan jaminan penyelesaian  proses peradilan pidana berbasis HAM yang saat ini sedang berjalan di Filipina. Prinsip non-hukuman juga diamanatkan dalam Pasal 18 UU TPPO bahwa korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana. Serta penegasan Pasal 26 UU TPPO bahwa persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang;
  4. Bahwa sebagai warga negara asing yang merupakan korban TPPO, Mary Jane Veloso berhak untuk mendapatkan perlindungan dan pemulihan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (2) UU TPPO, yakni dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, maka Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia;
  5. Bahwa dari uraian di atas, komitmen Presiden Joko Widodo untuk  memberikan akses keadilan bagi Mary Jane Veloso sudah semestinya dituntaskan dengan membebaskannya dari hukuman melalui grasi kepada Mary Jane Veloso;
  6. Bahwa kasus yang dialami oleh Mary Jane Veloso sebenarnya banyak dialami oleh pekerja migran Indonesia di luar negeri, tapi dalam perkembangan proses hukumnya kasus Mary Jane Veloso belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented case). Terobosan hukum untuk penerapan prinsip non-penghukuman akan menjadi preseden baik dalam perlindungan korban TPPO tidak hanya di Indonesia dan Filipina, tetapi juga di tingkat regional dan global;
  7. Bahwa JATI percaya pidana mati terhadap Mary Jane Veloso tidak akan membawa keadilan bagi siapa pun, sebaliknya justru bertentangan dengan keadilan karena merenggut kehidupan perempuan miskin seperti Mary Jane Veloso. Maka, proses pengambilan kesaksian ini bukan sebagai titik akhir untuk melegitimasi eksekusi mati terhadap Mary Jane Veloso tapi justru babak baru dalam menempuh proses upaya hukum dengan tujuan untuk membebaskan Mary Jane Veloso dari pidana mati. Sehingga JATI mendesak Pemerintah Indonesia menuntaskan kasus Mary Jane Veloso di Indonesia melalui saluran keadilan hukum yang tersedia sebagai komitmen Pemerintah Indonesia melawan TPPO;
  8. Bahwa JATI sebagai representasi dari masyarakat sipil akan terus mengawal proses hukum kasus Mary Jane Veloso baik di Indonesia dan Filipina, serta terus menuntut pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menjalankan proses secara transparan dan akuntabel dengan berpegang pada prinsip HAM dan keadilan gender.

Demikian surat desakan ini kami buat, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,

Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI)

Lembaga:

  1. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)
  2. Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI)
  3. JPIC Divina Providentia Kupang
  4. Persatuan Gereja Indonesia (PGI)
  5. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  6. Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
  7. Komunitas Sant’Egidio Indonesia
  8. Solidaritas Perempuan
  9. Zero Human Trafficking Network (ZHTN)
  10. Perkumpulan Pegiat Kesehatan Masyarakat (SAFETY)
  11. F-SEDAR
  12. Migrant CARE
  13. Solidaritas Perempuan Lampung
  14. Reprieve
  15. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
  16. Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY)
  17. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
  18. Yayasan Istri Binangkit
  19. KKPPMP Keuskupan Pangkalpinang
  20. PADMA INDONESIA
  21. SOLID PAPUA
  22. GANAS COMMUNITY (Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas) Taiwan
  23. YAYASAN MENTARI (US)
  24. Konsul Penyintas Indonesia
  25. Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI)
  26. Amnesty International Indonesia
  27. Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC- KJHAM)
  28. Yayasan Mutiara Maharani (YMM)
  29. KDS EMC2 Cengkareng
  30. Dark BALI
  31. Konfederasi Serikat Nasional (KSN)
  32. Jaringan Pekerja Rumahan Indonesia (JPRI)
  33. WOMXN\’S VOICE
  34. Fighting For Feminism (TRIPLE-F)
  35. Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI)
  36. Institut Sarinah
  37. Kidung – Subang
  38. Asosiasi Purna Pekerja Migran Indonesia (APPMI)
  39. F-BUMINU SARBUMUSI
  40. Rumpun Perempuan dan Anak Riau (RUPARI)
  41. Persatuan Perempuan Residivis Indonesia
  42. Perempuan Mahardhika
  43. Persatuan Mahasiswa Universitas Terbuka Hong Kong (PERMA UTHK)
  44. Perkumpulan Peduli Kebijakan Napza (PPKN)
  45. Bhatida Indonesia
  46. Perkumpulan Sopir Trailer Tanjung Priok (PSTTP)
  47. Komunitas HANAF
  48. Driver Karisidenan Madiun (DKM)
  49. Barisan Relawan Jalan Perubahan Hong Kong (BARAJP BPLN HK)
  50. Unbound Now Indonesia
  51. JALA PRT
  52. TalithaKum Indonesia Jaringan Jakarta
  53. HRWG
  54. BEBESEA
  55. Forum Peduli Anak Bangsa
  56. Jaringan Buruh Migran (JBM)
  57. Forum Islam Progresif
  58. IPPMI (Ikatan Persaudaraan Pekerja Migran Indonesia)
  59. CAKSANA Institute – law and public policy Reform, JOGJA
  60. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)
  61. Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat Kota Bandung
  62. Yayasan Sakura Indonesia
  63. O.U.R. Indonesia
  64. KAPAL Perempuan
  65. Perkumpulan Suara Kita
  66. FORMASI Disabilitas
  67. SIGAB Indonesia
  68. JRS Indonesia
  69. PERTIMIG Malaysia
  70. Indonesian Migrant Workers Union – Hong Kong & Macau
  71. Assosiasi Buruh Migran Indonesia Hong Kong (ATKI-HK)
  72. Persatuan BMI Tolak Overchargin – PILAR Hong Kong
  73. Liga Pekerja Migran Indonesia – LIPMI Hong Kong
  74. Jaringan Buruh Migran Indonesia – JBMI Hong Kong, Macau, Taiwan
  75. Gabungan Migran Muslim Indonesia – GAMMI Hong Kong
  76. IMPARSIAL
  77. Asosiasi LBH APIK Indonesia
  78. LBH JAKARTA
  79. Migran Pos
  80. Yayasan Embun Pelangi
  81. KJHAM

Individu:

  1. Sr Laurentina SDP
  2. Pdt. Krise Gosal
  3. Anwar Ma\’arif (Bobi)
  4. Yuni Asriyanti
  5. Pdt. Henrek Lokra
  6. Robert B. Triyana
  7. Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus
  8. Anastasia Kiki
  9. Gabriel Goa
  10. Shandra Woworuntu (US)
  11. Thaufiek Zulbahary
  12. Puspa Yunita
  13. Herdayanti
  14. Samsudin Nurseha
  15. Rahayu Saraswati D. Djojohadikusumo
  16. Nurkholis
  17. Darda Syahrizal
  18. Ermelina Singereta (Advokat di Dike Nomia Law Firm)
  19. Lusya Loko Dai
  20. Vivi Octavia
  21. Cythia Puspitasari
  22. Tohase
  23. Dewi Tjakrawinata
  24. Eva K Sundari
  25. Panca Saktiyani
  26. Mamik Sri Supatmi
  27. Paryanto
  28. Ali Nurdin
  29. Wahyu Nara Saputro
  30. Novia Arluma
  31. Nofia Erizka Lubis, S.H.
  32. Dina Nuriyati
  33. Maizidah Salas
  34. Th. Triza Yusino
  35. Maria Selastiningsih
  36. Yuliana M. Benu
  37. Ririn Sefsani
  38. Nunuk Margiati
  39. Juple
  40. Pudji Tursana
  41. Shantoy Hades
  42. Damairia Pakpahan
  43. Daniel Awigra
  44. Dade Gunadi Firdaus
  45. Olin Monteiro
  46. Savitri Wisnuwardhani
  47. Agung Kurniawan
  48. Wasingatu Zakiyah
  49. Budhis Utami
  50. Isti Komah
  51. Valentina Utari
  52. Rully Winata
  53. Christian Pascha
  54. Valentina Sri Wijiyanti
  55. Retnowati Iskandar
  56. Naomi Srikandi
  57. Siti Alviyah
  58. Khotimun Sutanti
  59. Bariyah

[KOMIK EPISODE 05] Sulitnya Mengakses Hak atas Layanan Perbankan bagi Orang dengan Sindroma Down

Melodi Inklusi adalah cerita tentang realitas yang dihadapi oleh orang dengan Sindroma Down di indonesia. Komik ini hendak membangun kesadaran publik lebih besar lagi, dan memotret realitas pelik yang selama ini mereka alami. Episode kelima ini menceritakan pengalaman Orang dengan Sindroma Down yang masih menghadapi berbagai hambatan untuk mengakses hak atas layanan perbankan. Hal ini karena kapasitas hukum mereka belum diakui.

[KOMIK EPISODE 04] Pentingnya Orang dengan Sindroma Down Dapat Pekerjaan Tetap dan Jadwal Konsisten

Melodi Inklusi adalah cerita tentang realitas yang dihadapi oleh orang dengan Sindroma Down di indonesia. Komik ini hendak membangun kesadaran publik lebih besar lagi, dan memotret realitas pelik yang selama ini mereka alami. Episode keempat ini menceritakan orang dengan Sindroma Down yang kesulitan mendapat pekerjaan tetap dengan jadwal yang konsisten, berbagai diskriminasi pada jam kerja yang mereka rasakan, dan upah yang lebih rendah dari pekerja pada umumnya.

[KOMIK EPISODE 03] Fasilitas Publik yang Tak Maksimal Hambat Kemandirian Orang dengan Sindroma Down

Melodi Inklusi adalah cerita tentang realitas yang dihadapi oleh orang dengan Sindroma Down di indonesia. Komik ini hendak membangun kesadaran publik lebih besar lagi, dan memotret realitas pelik yang selama ini mereka alami. Episode ketiga ini menceritakan fasilitas publik yang tidak mengakomodasi kebutuhan Orang dengan Sindroma Down sejatinya dapat menghambat kemandirian mereka.

[KOMIK EPISODE 01] Perjuangan Orang dengan Sindroma Down Mengakses Hak Dasarnya di Indonesia

Melodi Inklusi adalah cerita tentang realitas yang dihadapi oleh orang dengan Sindroma Down di indonesia. Komik ini hendak membangun kesadaran publik lebih besar lagi, dan memotret realitas pelik yang selama ini mereka alami. Episode pertama ini menceritakan kehidupan orang dengan Sindroma Down yang masih harus menghadapi berbagai tantangan.

Skip to content