Skip to content

Tag: Narkotika

Dokumentasi – Risalah Sidang MK: Judicial Review Narkotika Medis

Koalisi Masyarakat Sipil Kembali Menjalani Sidang Gugatan di MK

Kemarin di tanggal 21 April 2021, Koalisi Masyarakat Sipil yang diwakili oleh LBHM, ICJR dan Rumah Cemara bersama dengan ibu-ibu tangguh, yakni Ibu Dwi Pertiwi, Ibu Santi Warastuti, dan Ibu Nafiah Murhayati kembali menjalani persidangan Uji Materil Larangan Narkotika Untuk Pelayanan Kesehatan di Mahkamah Konstitusi, melanjutkan agenda pertama yang digelar pada Desember lalu.

Addapun agenda persidangan kemarin, 21 April, yakni membahas poin-poin perbaikan permohonan yang telah disampaikan oleh para pemohon pada Desember 2020, yakni mengenai kedudukan hukum para pemohon, redaksi petitum, serta beberapa hal formal lainnya termasuk juga penambahan argumentasi untuk menguatkan substansi permohonan.

Risalah persidangan dapat teman-teman baca secara rinici pada link di bawah ini:
Risalah Perkara-Nomor-106.PUU-XVIII.2020_Sidang ke-2

Menggantung Asa pada GANJA

Kegusaran Jeff Smith soal ganja tentu bukan hal baru di Indonesia. Banyak kalangan sudah melakukan berbagai upaya supaya ganja dapat restu untuk diteliti. Tahun 2013, Yayasan Sativa Nusantara (YSN) dan Lingkar Ganja Nusantara (LGN) tercatat pernah mengupayakannya. Meski sempat mendapat angin segar dari Menteri Kesehatan saat itu, Nila F Moeloek, nyatanya perjuangan mereka mentok direstu Badan Narkotika Nasional (BNN). Permintaan mereka untuk mendapatkan ganja demi penelitian tidak pernah ditanggapi oleh BNN. Maklum saja, untuk melakukan penelitian itu, mereka harus mendapatkan lampu hijau dari BNN. Lalu, setelah hampir satu dasawarsa berlalu, penelitian dan pemanfaatan ganja sudah sangat progresif khususnya untuk kepentingan medis dan rekreasional.

Ganja Medis: Membantu Pengobatan Kanker Usus Besar

Berdasarkan data yang dirilis dari Global Cancer Observatory pada 2018, jumlah penderita kanker mencapai 18 juta orang dengan jumlah kematian sebesar 9,6 juta kasus setiap tahun. Artinya, setiap 2 detik, akan ada 1 orang baru yang menderita kanker dan setiap 3 detik, ada 1 orang yang meninggal dunia karena kanker. Sementara itu, penderita kanker di Indonesia mencapai 348.000 kasus atau 1.362 kasus per 1 juta penduduk, dengan total kematian sebanyak 207.000 kasus. Dari total tersebut, angka kejadian tertinggi pada perempuan adalah kanker payudara dengan total 58.256 kasus (30,9%), disusul kanker serviks sebanyak 32.469 kasus (17,2%), dan kanker ovarium 13.310 kasus (7,1%). Adapun kasus terbesar untuk pria adalah kanker paru sebesar 22.440 (14%), disusul kanker usus besar dan rectum dengan total 19.113 kasus (11,9%), dan kanker hati sebanyak 14.238 kasus (8,9%). Secara umum, kanker paru merupakan jenis kanker yang paling mematikan, disusul kanker payudara, kanker serviks, dan kanker hati.

Studi terbaru dari peneliti di University of South Carolina menguji coba pendekatan anyar untuk mencegah kanker usus besar. Pengujian pada tikus ini mendapati senyawa yang terkandung dalam ganja secara efektif menekan peradangan dan menghentikan perkembangan kanker usus besar. Senyawa ini berupa zat psikoaktif yakni tetrahydrocannabinol (THC) yang disebut dapat mencegah peradangan. “Fakta bahwa kami dapat menunjukkan pengobatan dengan THC mencegah peradangan di usus besar dan pada saat yang sama menghambat perkembangan kanker usus besar, ini mendukung gagasan bahwa peradangan dan kanker usus besar sangat erat kaitannya,” terang penulis studi. Penelitian itu seperti mengafirmasi studi yang pernah dilakukan oleh peneliti dari California Pacific Medical Center di San Francisco pada tahun 2007 yang menyatakan bahwa sebuah zat bernama cannabidiol dalam ganja dapat menghentikan kanker dengan mematikan gen yang disebut Id-1. Selain itu, terdapat pula bukti yang menunjukkan bahwa ganja juga bisa membantu melawan mual dan muntah sebagai efek samping kemoterapi. Penelitian ganja di atas secara keilmuan tentu dapat dibuktikan kemanfaatannya. Banyak negara pun sudah memanfaatkan ganja untuk kepentingan medis di negara mereka. Sebut saja Thailand, mereka menjadi negara Asia Tenggara pertama yang melakukan pemanfaatan ganja untuk medis. Bahkan, negara serumpun Indonesia, Malaysia, sudah mulai melakukan penelitian ganja demi kepentingan medis. Bagaimana dengan Indonesia? Pasca upaya YSN dan LGN membentur tembok, penelitian ganja untuk medis bisa dikatakan terhenti. Pemerintah hingga saat ini masih tidak mau melakukan penelitian terkait manfaat medis ganja. Salah satu sumber masalahnya adalah masuknya ganja sebagai golongan 1 di UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Kenapa? Karena UU Narkotika mengatur soal zat narkotika yang masuk golongan 1 tidak dapat dilakukan penelitian. Pertanyaan besar muncul, jika ganja tidak dapat diteliti, bagaimana (misalnya) nasib pengobatan hampir 20 ribu pasien kanker usus besar di Indonesia?

Kewajiban Negara

Dalam pembukaan konstitusi, pemerintah diperintahkan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Perintah konstitusi itu amat jelas. Sejelas hampir 20 ribu pasien kanker usus besar di Indonesia yang memerlukan peran pemerintah untuk memastikan hak untuk hidup dan hak atas kesehatan mereka terpenuhi. Kemajuan teknologi dan pengetahuan di bidang kedokteran atau farmasi, telah mampu mengekstak ganja demi pengobatan kanker. Tentu saja, validitas dan keamanannya tentu berbasis data nan empiris. Jadi, dibanding berlindung dibalik hukum dan pasal-pasal terkait narkotika saat ini, sebaiknya pemerintah mulai berani mengambil langkah konkret untuk menyelamatkan nyawa puluhan ribu pasien kanker. Langkah konkret (mungkin) bisa dengan mengeluarkan ganja dari golongan 1 dalam UU Narkotika. Sehingga pintu penelitian terhadap ganja menjadi terbuka. Alternatif lain adalah meminta Kementerian Kesehatan melakukan riset holistik terkait manfaat ganja. Pemerintah rasanya tidak perlu khawatir bila nantinya ada pro dan kontra di masyarakat. Toh, di dalam hukum dikenal kaidah hukum tertinggi yaitu untuk menyelamatkan keselamatan masyarakatnya. Dan saat ini, ada hampir 20 ribu pasien kanker usus besar yang penting diselamatkan. Atau (mungkin) kita berharap saja pada koalisi masyarakat sipil yang tengah melakukan Judicial Review (Uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penggunaan ganja untuk medis. Bila dikabulkan MK, maka ganja dapat legalitas untuk segera diteliti guna kepentingan medis. Bisa jadi pula, putusan MK nanti membuat puluhan ribu pasien kanker (juga pasien penyakit lain) pun mendapat secercah asa. Asa untuk tetap hidup.

Tulisan opini ini merupakan respon dari Kasus Jeff Smith yang terjerat hukum karena narkotika ganja. Tulisan ini ditulis oleh Dominggus Christian – Manajer Pengetahuan dan Jaringan LBH Masyarakat.


Laporan Penelitian – Pemenuhan Hak Pengguna Narkotika di Masa Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 yang melanda hingga saat ini telah berdampak pada seluruh sektor kehidupan. Dampaknya telah dirasakan langsung oleh masyarakat, begitupun dengan mereka yang termasuk dalam kelompok rentan. Pasca kasus Covid-19 pertama terdeteksi di Indonesia, Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) adalah jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Transformasi ini juga dibarengi oleh peraturan-peraturan baru, baik di tingkat nasional maupun lokal, untuk mencegah dan menekan penyebaran yang masif COVID-19 semisal Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 9 Tahun 2020 dan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Nomor 33 Tahun 2020.

Sekalipun banyak peraturan yang lahir, nyatanya kasus Covid-19 terus meningkat angkanya di Indonesia. Kenaikkan angka ini juga menimbulkkan kekhawatiran terhadap perlindungan hak kelompok rentan selama pandemi.

World Health Organization (WHO) sendiri telah mengkategorikan beberapa kelompok rentan yang berisiko mengalami kondisi kronis jika terpapar COVID-19, yakni para lanjut usia (lansia) dan orang-orang dengan penyakit
bawaan atau yang sedang dalam kondisi sakit kritis/serius.

Pengguna narkotika bisa dikatakan sebagai salah satu kelompok rentan, karena pengguna narkotika berpotensi mengalami kondisi yang buruk jika terpapar COVID-19 karena penggunaan narkotika jenis tertentu dapat menimbulkan penyakit penyerta. Di mana penyakit–penyakit tersebut dapat menjadi komorbid sehingga dapat berakibat fatal dan menyebabkan kematian.

Situasi kesehatan kian riskan ini pun diperburuk dengan stigma dan diskriminasi bagi pengguna narkotika. Stigma dan diskriminasi telah menempatkan penguna narkotika sebagai kriminal. Hal tersebut semakin diperburuk dengan vokalnya pemerintah Indonesia dalam ” War on Drugs” .

Lewat laporan ini LBHM mencoba melacak bagaimana situasi pemenuhan pengguna narkotika di masa pandemi COVID-19 ditengah gempuran stigma dan diskriminasi serta pandemi berkepanjangan.

Simak laporan lengkapnya di link berikut:
Pemenuhan Hak Pengguna Narkotika di Masa Pandemi Covid-19

Briefing Release – Prison and COViD-19: Lesson From an Ongoing Crisis

Pandemi COVID-19 telah memperlihatkan kepada publik jika kesehatan merupakan permasalahan global. Dampak Covid-19 pun telah menyasar dan mengancam kesehatan dan jiwa setiap orang. Salah satu kelompok yang paling terdampak dan rentan adalah mereka yang kini berada di dalam penjara. Orang yang berada di dalam penjara memiliki resiko yang tinggi untuk terpapar virus COVID-19. Jamak diketahui, situasi pemenjaraan dibeberapa negara masih memprihatinkan terutama terkait buruknya kualitas sarana dan prasarana, fasilitas kesehatan, sanitasi dan tingkat overcrowding penghuni penjara.

Berangkat dari latar belatar tersebut, sejumlah organisasi masyarakat sipil dunia (termasuk Indonesia) berinisiatif membuat briefing release berjudul Prison and COViD-19: Lesson From an Ongoing Crisis. Briefing realese yang telah disusun ini berfokus kepada 3 poin utama, yaitu:

 1. Pembentukan prosedur kebijakan sebelum menempatkan seseorang ke dalam penjara, altetarif pemenjaraan dan program diversi untuk menghindari pemenjaraan.

2. Dampak COVID-19 terhadap kondisi penjara, termasuk pemenuhan pelayanan harm reduction.

3. Memperhatikan pemenuhan perawatan pasca terlaksananya program pembebasan narapidana dan integrasi, khususnya terhadap kelompok pengguna narkotika

Harapannya, briefing release ini dapat menjadi acuan dan rekomendasi kepada Pemerintah dan pemangku kebijakan terkait untuk segera melakukan langkah mitigasi. Langkah cepat mitigasi tersebut diharapkan dapat segera memutus rantai penyebaran Covid-19 serta menyelamatkan jiwa para penghuni penjara. Disisi lain, pemenuhan  Harm Reduction bagi banyak pengguna narkotika tetap menjadi prioritas di masa pandemi ini.

Untuk membaca Briefieng Release ini selengkapnya, silahkan klik tautan berikut:
Prison and COViD-19: Lesson From an Ongoing Crisis (English)

Rilis Pers – 6 CATATAN UNTUK PARA HAKIM DI HARI KEHAKIMAN

Setiap tanggal 1 Maret di Indonesia, terdapat yang namanya Hari Kehakiman. Situasi kehakiman di Indonesia menjadi sorotan oleh kelompok masyarakat sipil beberapa waktu kebelakang ini. Secara undang-undang Hakim merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, berdasarkan Pancasila juga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana amanat yang tercantum Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Selain itu, sebagai pelaku cabang kekuasaan negara dalam bidang yudisial, hakim bertanggung jawab untuk memastikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).

Sayangnya, LBHM dan LBH Jakarta menemukan beberapa praktik-pratik yang mencoreng nama Hakim itu sendiri seperti:
1) Hakim Terlibat Praktik Judicial Corruption;
2) Hakim Kerap Mengabaikan Fakta Persidangan; 
3) Hakim Masih Sering Menjatuhkan Pidana Mati;
4) Hakim Memakai Alat Bukti yang Didapat dengan Tidak Sah (Penyiksaan) dan permasalahan Praperadilan (upaya paksa dan ganti kerugian);
5) Persidangan Virtual (Online) Banyak Melanggar Hak Terdakwa;
6) Mekanisme Pelaporan/Pengaduan Hakim Tidak Transparan, Imparsial, Efektif dan Akuntabel.

Oleh karenanya LBHM dan LBH Jakarta mendesak adanya segera perbaikan (evaluasi dan reformasi kehakiman) dalam tubuh Mahkamah Agung. Adapun poin tuntutan dari LBHM dan LBH Jakarta dapat teman-teman lihat dalam rilis pers di link berikut:

Rilis Pers – JERAT NARKOTIKA DI BADAN POLRI: BUKTI HUKUMAN MATI TIDAK LAGI RELEVAN, SEKALIGUS MENYUBURKAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA

Tertangkapnya Kapolsek Astanaanyar, Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi beserta 11 anggotanya atas dugaan penyalahgunaan narkotika, bukanlah tindak pidana narkotika pertama yang terjadi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Pada Oktober 2020 lalu, publik juga dikejutkan dengan seorang polisi berpangkat perwira inisial IZ yang terlibat peredaran narkotika jenis sabu seberat 16 kg di Provinsi Riau. 

Sayangnya reaksi yang ditunjukkan aparat sangatlah \’bahaya\’ yakni dengan mengamini hukuman mati bagi mereka (anggota polri) yang terlibat dalam kasus narkotika–Irjen Argo Yuwono menyebut, Anggota Polri yang terlibat tindak pidana narkotika, tanpa memandang sebagai pemakai atau pengedar harus dihukum mati, karena dianggap paham hukum dan konsekuensinya–Realita yang ada justru membuktikan jika hukuman mati tidak dapat mencegah seseorang untuk tidak melakukan tindak pidana lagi (narkotika).

Tentu hal ini membuat institusi Polri tercerung, dan dengan adanya kejadian ini sudah seharusnya Polri mulai melakukan evaluasi dalam perihal penangkapan atas tindak pidana narkotika.

Selengkapnya di link berikut:

Rilis Pers – LBHM Ajukan Keberatan Atas Pernyataan War On Drugs Kepala BNN

LBH Masyarakat (LBHM), pada 4 Februari 2021 melayangkan surat keberatan kepada Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Petrus R. Golose atas pertanyaan war on drugs dalam unggahan video di kanal Youtube BNN. Deklarasi penanggulangan narkotika melalui war on drugs memposisikan permasalahan narkotika yang kompleks ditangani dengan metode yang sama rata tanpa memperhatikan pemenuhan hak asasi seorang pengguna.

Selama ini narasi \’war on drugs\’ sudah menutup banyak pintu khususnya pintu hak atas kesehatan bagi teman-teman pengguna narkotika, karena selama ini banyak pengguna narkotika yang justru berakhir dibalik jeruji besi (penjara). Selain ditutupnya pintu hak atas kesehatan, war on drugs juga membuka pintu untuk praktik-praktik tidak manusiawi seperti penyiksaan, dan pemerasan.

Kerasnya deklarasi perang terhadap narkotika tidak sesuai dengan Kebijakan Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009) yang memiliki marwah untuk kesehatan, hal ini justru menimbulkan sebuah siklus korup dan kekerasan yang terus terjadi khususnya menimpa pengguna narkotika dan kelompok rentan lainnya seperti perempuan dan anak dalam lingkaran narkotika.

Rilis Pers lengkapnya dapat dibaca di link berikut:

Rilis Pers – War on Drugs: Melanggar Hak Asasi dan Melanggengkan Praktik Korupsi

Praktik korupsi dalam kasus narkotika mungkin jarang sekali didengar oleh khalayak publik, hal ini dikarenakan narasi narkotika/narkoba saja sudah dicap sebagai sebuah hal yang buruk yang akhirnya membuat publik semakin tidak empati apabila mendengar kata narkotika/narkoba.

Dalam edisi terbaru Majalah Tempo (Edisi, 1-7 Februari 2021), Tempo menulis terkait ada beberapa anggota polisi yang bertugas di BNN menilap uang terduga pelaku kejahatan. Jumlahnya pun ditaksir mencapai puluhan miliar rupiah.

Pihak BNN menyebutkan telah memproses secara internal terhadap anggota yang diduga terlibat, namun hingga saat ini perkembangannya tidak kunjung menemui titik terang. Minimnya transparansi dalam memproses dugaan pelanggaran yang dilakukan seakan bertolak belakang dengan pengungkapan kasus narkotika yang dilakukan secara terbuka itu.

Sayangnya, narasi perang terhadap narkotika (war on drugs) selama ini dipakai upaya dalam melegitimasi penanggulangan narkotika dengan cara-cara yang mengebiri hak asasi manusia dan membuka kran yang menyuburkan praktik korupsi.

Oleh karena itu Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mendorong untuk mengevaluasi secara penuh kebijakan \’war on drugs\’ secara komperhensif.

Rilis lengkap dapat teman-teman baca di link berikut:

Koalisi Pemantau Peradilan:
LBH Masyarakat, LBH Jakarta, ICW, PBHI, KontraS, PSHK, YLBHI, Imparsial.

Narahubung: 0813-2004-9060 (M.Afif Qoyim – Direktur LBHM)

Putusan Komisi Informasi Pusat – Sengketa Permohonan Pemeriksaan Tim Asesmen Terpadu

Minggu lalu, tepatnya pada tanggal 17 November 2020, Komisi Informasi Pusat (KIP) Provinsi DKI Jakarta membacakan hasil putusan dari sengketa dengan register perkara nomor: 0023/XI/KIP-DKI-PS-A/2019 yakni tentang ketidakterbukaan Polda Metro Jaya untuk merespon permohonan pemeriksaan Tim Asesmen Terpadu (TAT) terhadap klien kami yang bernama Uhud Hamzah.

Sengketa informasi diajukan Pemohon yakni Istri dari klien kami terhadap Termohon (Polda Metro Jaya) sudah bergulir sejak Juli, 2019 sebanyak 7x, yang mana Pemohon melakukan permohonan asesmen kepada TAT BNN terhadap suaminya yang terjerat kasus narkotika.

Dalam persidangan di Komisi Informasi, Polda Metro Jaya menjelaskan alasan tidak diresponnya permohonan a). karena masuk kategori informasi yang dikecualikan yang dapat menghambat penyelidikan dan penyidikan; b) klien kami tidak berhak diajukan pemeriksaan TAT karena terjerat Pasal 132 ayat 1 UU Narkotika. Namun, LBHM menilai jika alasan Polda Metro Jaya adalah standar ganda, karena dalam beberapa kasus betapa mudahnya seseorang dapat mengakses asesment terpadu.

KIP Propinsi DKI Jakarta akhirnya mengabulkan permohonan dari Pemohon (Istri dari klien kami) dan memutuskan serta memerintahkan Polda Metro Jaya untuk menjalankan hasil putusan ini dengan membuka informasi secara tertulis.

Putusan lengkap dapat di baca di sini

Rilis Pers – Sengketa Informasi Penolakan Ganja untuk Kepentingan Kesehatan ke Publik

Juni lalu Pemerintah dan BNN sepakat untuk menolak rekomendasi WHO terkait legalisasi Ganja untuk kepentingan medis. Dalih penolakannya adalah jenis ganja yg ada di Indonesia dengan yang ada di luar Indonesia berbeda (dengan Eropa, Amerika dll). Selain itu Pemerintah mengejutkan publik dengan mengeluarkan \’hasil penelitian\’ terkait ganja di Indonesia dimana dikatakan ganja di Indonesia memiliki kandungan THC yang tinggi (18 %) dan CBD yang rendah (1%). Kandungan THC itu sangat berbahaya bagi kesehatan karena bersifat Psikoaktif—Canabis/ Ganja dapat digunakan untuk pengobatan seperti epilepsi adalah yang berasal dar hasil budidaya rekayasa genetik yang menghasilkan kandungan CBD tinggi (high CBD) dan kandungan THC rendah (low THC), bukan seperti Ganja dari Indonesia.

Sayangnya klaim ini tidak berdasar karena Indonesia sama sekali belum pernah melakukan riset terkait ganja medis. Oleh karena itu pada bulan Juli Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan melayangkan permohonan informasi publik yang ditujukan kepada Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri, dan Kementerian Kesehatan. Namun hingga saat ini belum mendapat jawaban/respon oleh pemerintah sama sekali.

Karena \’gayung tak bersambut\’, pada tanggal 28 September 2020, sengketa ini harus berlanjut ke tahap sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIP). Karena tidak ada satu pun dari 3 instansi pemerintah yang ditujukan BNN, Polri, dan Kementrian Kesehatan yang menjawab permohonan informasi publik yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Kesehatan.

Rilis lengkap dapat teman-teman lihat di link ini