Skip to content

Universal Periodic Review – Joint Submission Human Rights Situation in Indonesia With Specific focus on Vulnerable Groups

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu dan permasalahan Hak Asasi Manusia yang terjadi.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Nasional Anti Diskriminasi Kelompok Rentan, baru saja mengirimkan laporan temuan tentang pelanggaran HAM pada kelompok rentan dan termarjinalkan di Indonesia.

Salah satu temuan dalam laporan ini adalah perihal kurangnya usaha pemerintah dalam memberikan upaya perlindungan secara hukum terhadap kelompok rentan yang termarjinalkan.

Temuan lengkapnya dapat dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review – Joint Submission Human Rights Situation in Indonesia With Specific focus on Vulnerable Groups

Universal Periodic Review – Joint Submission on LGBTIQ Right for Indonesia

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Nasional Anti Diskriminasi Kelompok Rentan Berbasiskan Orientasi Seksual dan Identitas Gender, baru saja mengirimkan laporan temuan tentang pemenuhan HAM kelompok minoritas gender dan seksual di Indonesia.

Dalam laporan ini salah satu yang menjadi perhatian adalah perihal kekerasan terhadap kelompok LGBTIQA+ yang dialami selama masa pandemi COVID-19.

Dokumen lengkapnya dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review Indonesia – Joint Submission on LGBTIQ Rights for Indonesia (English)

Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual: Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Kami Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Keberagaman Gender dan Seksual (Kami Berani) yang terdiri dari Arus Pelangi, ASEAN SOGIE Caucus, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, PKBI, SGRC Indonesia, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Sanggar SWARA dan Human Rights Working Group (HRWG) bersamasama dengan 140 organisasi masyarakat sipil lainnya menyatakan kecewa atas Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual.

Pada tanggal 21 Desember 2021 DPRD Kota Bogor dan Walikota Bogor telah menetapkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (p4s). Koalisi menilai, Perda ini mengandung unsur pelanggaran HAM yang memperparah terjadinya kekerasan dan diskriminasi pada kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender di Kota Bogor. Pasalnya, pada Bab III pasal 6 menyebutkan bahwa kelompok dan perilaku yang dimaksudkan adalah homoseksual, lesbian dan waria.

Perda ini bertentangan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Di dalam PPDGJ poin F66 disebutkan:

“Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai sebuah gangguan”.

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan (Poin F66)

Dalam klasifikasi internasional yakni International Classification of Diseases revisi ke-11, telah menyatakan bahwa transgender bukan merupakan gangguan kejiwaan.

Sebagai konsekuensi, segala hal yang dikategorikan sebagai perilaku penyimpangan seksual di dalam Perda ini akan dikenakan upaya pencegahan dan penanggulangan, di mana di dalamnya termasuk juga tindakan pengamanan dan rehabilitasi. Hal ini dapat berdampak pelibatan bukan hanya dari aparatur pemerintahan daerah namun juga masyarakat. Perda ini berpotensi meningkatkan kasus kekerasan terhadap kelompok kelompok minoritas seksual dan gender. Selain itu, Perda ini mengamanatkan pembentukan sebuah komisi penanggulangan yang pembiayaannya akan dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Koalisi menilai Perda ini merupakan bentuk pelanggaran HAM pada warga negara tertentu berpotensi menghancurkan martabat, kehormatan dan rasa aman. Berikut adalah dampak langsung dari Perda ini:

  1. Dampak kekerasan psikis dan tertutupnya akses kesehatan

    Perda menjadi legitimasi untuk mengkategorikan kelompok LGBT sebagai kelompok yang dapat disembuhkan dengan tindakan rehabilitasi dan penanggulangan. Petugas kesehatan, penyedia layanan kesehatan, aparatur daerah dan masyarakat secara umum dapat mengirim individu baik anggota keluarga maupun anggota masyarakat ke pusat rehabilitasi. Perda ini juga bertentangan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menghapus segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang diskriminatif terhadap orang dengan HIV dan kelompok populasi kunci, yang tertuang di dalam Deklarasi Politik PBB tentang HIV/AIDS tahun 2021. Kebijakan seperti ini, akan menjadi hambatan yang besar terhadap respon HIV yang efektif menuju Indonesia bebas AIDS pada 2030.
  2. Dampak kekerasan bernuansa terapi konversi/upaya korektif

    Pada pasal 9, 12, 15 dan 18 secara spesifik mengatakan bahwa salah satu cara pencegahan dan penanganan yang digunakan adalah rehabilitasi. Hal ini akan berpotensi semakin maraknya aktivitas pemaksaan upaya perubahan orientasi seksual dan identitas gender seseorang. Victor Madrigal Borloz, Ahli Independen Prosedur Khusus PBB tentang SOGI dalam laporan tematiknya menyebut upaya ini sebagai bentuk penyiksaan.
  3. Dampak kekerasan fisik (penangkapan sewenang-wenang)

    Ketiadaan payung hukum anti-diskrimnasi yang melindungi kelompok LGBT telah menjauhkan kelompok LGBT dari akses keadilan ketika mengalami kekerasan, diskriminasi dan pengusiran dari rumah, perda ini memperkuat aksi-aksi tersebut. Sebagai bentuk proses pencegahan, aktivitas penangkapan sewenang-wenang dan persekusi semakin marak di Kota Bogor terhadap kelompok minoritas seksual dan gender. Perda ini juga mengamantkan Pemerintah Kota Bogor untuk membentuk lembaga lintas sektoral (pasal 8) dalam memaksimalkan implementasi Perda ini.
  4. Dampak informasi yang keliru (miss-information) terkait minoritas seksual dan gender

    Pasal 15 menyebutkan bahwa salah satu langkah yang akan dilakukan untuk pencegahan adalah melalui edukasi dan penyebaran informasi terkait 15 kelompok dan perilaku pada pasal 6. Tindakan ini akan berpotensi semakin meningkatkan adanya informasi yang keliru tentang orientasi seksual dan identitas gender yang berpotensi meningkatkan kebencian dan penolakan.
  5. Dampak kehilangan sumber ekonomi

    Atas dampak-dampak yang telah kami sebutkan di atas, secara langsung akan menutup akses bagi kelompok LGBT untuk bekerja dan mendapatkan sumber penghasilan sehari-hari.

Untuk itu Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keberagaman Gender dan Seksual meminta secara
mendesak:

  • Walikota Bogor, Gubernur Jawa Barat dan Kementerian Dalam Negeri untuk berkoordinasi dan segera membatalkan Perda No 10 tahun 2020 Kota Bogor;
  • Komnas HAM untuk mengeluarkan pernyataan resmi menyikapi Perda Diskriminatif ini dan menyurati DPRD, Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat guna peninjauan kembali.
  • Kantor Staf Presiden sebagai penyelenggara Program Kabupaten dan Kota Ramah HAM untuk mencabut Kota Bogor dari klasifikasi Kota Ramah HAM dan tidak menjadikan Kota Bogor ataupun daerah di Jawa Barat sebagai tuan rumah pelaksanaan kegiatan karena Perda yang dihasilkan bertentangan dengan HAM itu sendiri.

Dokumen (.PDF) Siaran Pers Koalisi Kami Berani dapat diunduh rekan-rekan pada tautan berikut:
Pernyataan Sikap – Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual: Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Catatan Untuk Hakim Dalam Memperingati Hari Kehakiman Nasional

Jakarta,1 Maret 2022 – Hari Kehakiman Nasional yang jatuh pada 1 Maret 2022 lalu, menjadi momentum penting bagi masyarakat sipil untuk menyuarakan refleksi terkait situasi faktual pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Terdapat beberapa hal yang menjadi catatan LBH Jakarta dan LBH Masyarakat (LBHM) untuk Mahkamah Agung Republik Indonesia beserta lembaga peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi selaku pelaksana kekuasaan kehakiman. Catatan ini berangkat dari hasil kajian, pemantauan, serta pengalaman pendampingan masyarakat miskin, buta hukum, rentan, dan tertindas dalam proses persidangan di pengadilan.

Bagi Mahkamah Agung Republik Indonesia beserta lembaga peradilan di bawahnya, berikut catatan kami:

A. Hakim Masih Terlibat dalam Praktik-Praktik Judicial Corruption

Meskipun belum ada data mutakhir mengenai jumlah hakim yang terlibat kasus-kasus korupsi, bukan berarti keterlibatan hakim dalam praktik-praktik kotor judicial corruption berhenti. Dalam setahun ini setidaknya terdapat 2 kasus yang tersorot, yaitu: (1) Majelis Hakim Tipikor Pengadilan Tinggi Jakarta yang mengkorting hukuman Jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi kurang dari separuhnya dan (2) Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Itong Isnaeni Hidayat, selaku Hakim Pengadilan Negeri Surabaya beserta seorang Panitera Pengganti dan Advokat terkait suap permohonan pembubaran PT. SGP. Beberapa peristiwa tersebut setidak-tidaknya memberikan kita gambaran bagaimana judicial corruption masih menjadi batu sandungan bagi cita-cita penegakan hukum yang jujur, adil, serta menjunjung tinggi HAM;

B. Standar Ganda Sidang Virtual yang Banyak Melanggar Hak Terdakwa

Persidangan secara virtual memang merupakan salah satu solusi di tengah pandemi. Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan persidangan secara virtual—khususnya dalam perkara pidana—diikuti dengan berbagai pelanggaran hak Terdakwa, terutama pada agenda pembuktian atau pemeriksaan pokok perkara. Hal tersebut jelas berdampak pada proses pencarian kebenaran materiil karena terdakwa dan penasihat hukumnya tidak leluasa melakukan pembelaan.

Kasus kriminalisasi aktivis KAMI, Jumhur Hidayat yang didampingi oleh LBH Jakarta, LBHM, dan organisasi masyarakat sipil lain yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), menunjukan dengan jelas bagaimana sikap Majelis Hakim melakukan penolakan pelaksanaan persidangan secara tatap muka, padahal di sisi lain Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menyelenggarakan sidang terdakwa kasus korupsi red notice, Irjen Pol. Napoleon Bonaparte secara tatap muka.

Pasal 2 ayat (1) pada Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 4 tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik (Perma 4/2020), mengatur bahwa ”persidangan dilaksanakan di ruang sidang Pengadilan dengan dihadiri Penuntut dan Terdakwa dengan didampingi/tidak didampingi oleh Penasihat Hukum, kecuali ditentukan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Kemudian pasal 2 ayat (2) pada Perma tersebut menyatakan “dalam keadaan tertentu, baik sejak awal persidangan perkara maupun pada saat persidangan perkara sedang berlangsung, Hakim/Majelis Hakim karena jabatannya atau karena atas permintaan dari Penuntut dan/atau Terdakwa atau Penasihat Hukum dapat menetapkan persidangan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maupun secara elektronik.”

Ketentuan di atas dapat diartikan bahwa penting memperoleh persetujuan Terdakwa dalam menentukan metode persidangan. Selain itu, kami menilai persidangan secara virtual yang dilaksanakan tanpa meminta persetujuan Terdakwa terlebih dahulu sangat berpotensi melahirkan peradilan sesat (miscarriage of justice) dan keliru mengambil keputusan. Menurut kami, sudah semestinya Hakim menginisiasi sidang secara tatap muka karena salah satu bukti petunjuk selama persidangan adalah pengamatan hakim sendiri (eigen waarning va de revhter). Hal yang mana tidak mungkin dapat dilakukan ketika persidangan digelar secara virtual oleh karena beberapa gangguan.

Namun, hal tersebut kerap diabaikan oleh Majelis Hakim yang secara sepihak menetapkan metode pelaksanaan sidang secara virtual. Pengabaian persetujuan terdakwa ini jelas merupakan pelanggaran prinsip equal arms sekaligus menunjukan watak Inquisitorial sistem peradilan pidana kita.

LBHM di akhir 2021 mendata 146 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang pernah menjalani proses persidangan pidana periode Januari, 2020 – September, 2021, sebagai berikut:

  • 1% WBP menjalani persidangan secara virtual;
  • 4,8% WBP disidangkan hanya sebanyak 2 kali;
  • 58,4% WBP disidangkan tanpa didampingi oleh Penasihat Hukum. Selanjutnya, 24% WBP didampingi oleh Penasihat Hukum yang ditunjuk oleh Hakim dan WBP tersebut tidak pernah bertemu dan berkomunikasi dengan Penasihat Hukum. Maka, 82,4% WBP tidak mendapatkan hak atas bantuan hukum yang layak selama proses persidangan;
  • 41,1% WBP mengikuti persidangan secara virtual dengan perangkat dan jaringan yang tidak bagus;
  • 71,2% WBP menjalani persidangan secara virtual dengan diawasi oleh petugas kepolisian, sehingga ada kondisi tidak bebas dalam menyampaikan keterangan;
  • 45,9% WBP menjelaskan saksi dalam perkaranya diperiksa secara online;
  • 42,5% WBP tidak dapat menanggapi keterangan yang disampaikan oleh saksi karena beberapa hal, seperti: (a) suara saksi tidak jelas; (b) tidak diberikan kesempatan oleh Hakim; (c) diarakah untuk menanggapi dalam agenda pembelaan; dan (d) tidak berani menanggapi keterangan saksi (penangkap) karena disidangkan dalam satu ruangan yang sama;
  • 41,1% WBP tidak diberikan hak untuk menyampaikan pembelaan secara maksimal;
  • 3,4% WBP ditagih biaya oleh petugas karena ketika sidang secara virtual menggunakan perangkat milik petugas itu sendiri;
  • 79,4% WBP tidak puas dengan mekanisme persidangan secara virtual, dengan alasan seperti: (a) perangkat dan jaringan yang buruk; (b) hilangnya hak-hak Terdakwa; dan (c) tidak dapat bertemu dan berkomunikasi dengan Penasihat Hukum.

C. Hukuman Mati Masih Kerap Dijatuhkan

Berdasarkan Laporan Hukuman Mati 2021 yang dirilis oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), setidaknya terdapat 35 vonis hukuman mati yang dijatuhkan di Indonesia. Data tersebut dihimpun melalui pemantauan media mengingat publikasi data mengenai jumlah pasti penjatuhan hukuman mati di Indonesia sangat terbatas.

Sistem peradilan pidana yang dioperasionalkan oleh manusia, tentu tidak imun terhadap kesalahan. Terlebih, tren penjatuhan pidana mati dalam kondisi pandemi tidak lepas dari pelaksanaan sidang virtual yang rentan kendala teknis dan tidak maksimalnya pembuktian dalam persidangan,

sehingga potensi kesalahan dalam penjatuhan hukuman mati menjadi suatu hal yang tak terhindarkan.

Selama ini tidak ada bukti sahih bahwa hukuman mati paralel dengan penurunan angka kejahatan. Hukuman mati justru hanya berperan sebagai efek plasebo dan menunjukan kegagalan politik hukum pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Spesifik pada kerentanan Perempuan, absennya analisis gender dalam proses peradilan merupakan suatu hal yang jamak. Seringkali hakim mengabaikan ketimpangan relasi kuasa dan kerentanan Perempuan yang terjerumus dalam pusaran tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati.

D. Permasalahan Implementasi Perma 2/2019 yang Membatasi Akses Terhadap Keadilan Masyarakat

Sejak diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) (Perma 2/2019), terdapat beberapa permasalahan yang berdampak pada akses terhadap keadilan masyarakat. Berkaca pada pengalaman advokasi kami, berikut permasalahan implementasi Perma 2/2019:

  • Perma 2/2019 tidak mengatur secara jelas batasan-batasan pemisahan kewenangan pengadilan negeri dengan pengadilan tata usaha negara terkait dengan sengketa perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Dampaknya, terdapat disparitas putusan hakim akibat ketidakjelasan norma;
  • Tenggat waktu pengajuan gugatan selama 90 hari sejak tindakan badan dan/atau pejabat pemerintahan dilakukan sangat membatasi akses keadilan masyarakat. Sebab karakteristik dan kompleksitas dampak kerugian masyarakat berbeda-beda; dan
  • Ganti kerugian pada peradilan tata usaha negara paling sedikit hanya Rp 250.000, dan paling banyak Rp. 5.000.000.

Terdapat contoh kasus yang diadvokasi oleh LBH Jakarta terkait dengan permasalahan yang diuraikan di atas. Dalam kasus penggusuran paksa yang dilakukan Pemerintah Kota Bekasi dengan dasar pemulihan aset milik BUMN Jasa Tirta terhadap tanah dan bangunan warga Pekayon. Dimensi keperdataan pada kasus ini lebih kental ketimbang dimensi tata usaha negaranya. Akibat kerugian yang diderita warga, diajukan gugatan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata di Pengadilan Negeri Bekasi. Namun Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bekasi yang memeriksa dan memutus perkara nomor 74/PDT.G/2021/PN.BKS menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Bekasi tidak berwenang mengadili perkara tersebut berdasarkan pasal 11 pada Perma 2/2019. Dengan demikian, akses keadilan bagi warga Pekayon menjadi terbatas akibat putusan tersebut yang mendasarkan pertimbangannya pada Perma 2/2019.

E. Permasalahan Pengadilan Militer

Hukum pidana militer mengenal bentuk tindak pidana yaitu tindak pidana militer murni (zuiver militaire delict), seperti Desersi, Tindak Pidana Insubordinasi, dan meninggalkan pos penjagaan yang tunduk pada yurisdiksi peradilan militer. Namun, dalam hal Prajurit TNI melakukan tindak pidana yang tunduk pada yurisdiksi peradilan umum, sudah seharusnya diadili pada ranah peradilan umum/sipil. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia yang menyebutkan bahwa:

“prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia – pasal 65 ayat (2)

Hingga saat ini, permasalahannya adalah bahwa Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum masih diadili di peradilan militer. Dalam praktiknya, hakim peradilan militer tak jarang menjadi bagian dari mata rantai impunitas bagi Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana. Hal tersebut juga tak lepas dari suasana kultur jiwa korsa (esprit de corps) dalam prosesnya. Dengan demikian, prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana termaktub dalam pasal 27 ayat (1) dan pasal 28 ayat (1) huruf d UUD NRI 1945 menjadi tidak bermakna.

Dalam konteks lain, hakim peradilan militer kerap mengabaikan hak atas keadilan korban tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI. Dalam beberapa kasus yang kami tangani, terbatasnya akses informasi proses penanganan perkara; serta tuntutan oditur dan vonis hakim yang rendah menjadi fenomena yang kerap terjadi dalam pelaksanaan peradilan militer.

F. Mekanisme Pelaporan/Pengaduan Aparat Pengadilan Tidak Transparan, Imparsial, Efektif, dan Akuntabel

Berdasarkan Refleksi Akhir Tahun Komisi Yudisial (KY) Bidang Pengawasan Hakim Tahun 2021. Sepanjang periode 2 Januari – 30 November 2021. Terdapat kenaikan jumlah laporan sekitar 6,4 persen dari tahun sebelumnya. Laporan masyarakat yang diterima KY periode 2 Januari – 30 November 2021 ini sebanyak 1346 laporan, mayoritas disampaikan melalui jasa pengiriman surat sebanyak 699 laporan. Sedangkan, pelapor yang datang langsung ke kantor KY ada 378 laporan. Sementara 248 laporan lainnya disampaikan secara daring dan 21 laporan sisanya berupa informasi atas dugaan pelanggaran perilaku hakim. Sejalan dengan pengalaman LBH Jakarta dan LBHM dalam melakukan pendampingan di persidangan, mekanisme pelaporan/pengaduan ke badan pengawas hakim baik internal maupun eksternal merupakan upaya yang sering ditempuh. Temuan pelanggaran hak terdakwa yang dilakukan dan dibiarkan oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara merupakan dasar pelaporan/pengaduan sekaligus sebagai bentuk partisipasi masyarakat untuk mewujudkan pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang yang jujur, adil, serta menjunjung tinggi HAM. Namun, harapan tersebut menjadi jauh panggang dari api ketika dihadapkan pada proses penanganan pelaporan/pengaduan hakim ataupun aparat pengadilan yang cenderung tidak transparan, imparsial, efektif, dan akuntabel.

Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY) kerap lambat dalam memproses laporan/pengaduan yang diajukan. Dalam beberapa kesempatan, laporan/pengaduan yang diajukan ke KY tidak ditindaklanjuti dengan alasan tidak ditemukan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) tanpa uraian lebih lanjut atau laporan/pengaduan diteruskan kepada BAWAS MA dengan alasan teknis yudisial. Di sisi lain, Bawas MA cenderung defensif dan seolah-olah membela hakim maupun aparat pengadilan. Pihak pengadu hanya dipanggil sekali setelah itu tidak jelas apa yang ditemukan dalam proses investigasi karena memang tidak dijelaskan, lalu tiba-tiba muncul ‘hasil investigasi’ yang menemukan tidak ada pelanggaran.. Bawas MA juga enggan mengumumkan putusan atas laporan tersebut kepada publik karena pengaturan melarang pengumuman.

G. Eksekusi Putusan Tata Usaha Negara yang Buntu

Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa maupun pelanggaran hukum. Dengan demikian kinerja pengadilan tidak hanya diukur dari bagaimana putusannya, termasuk dalam menuntaskan proses eksekusinya. Eksekusi putusan di lingkungan Peradilan TUN merupakan pelaksanaan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang bersifat penghukuman (condemnatoir), baik yang dilakukan secara sukarela oleh tergugat, eksekusi otomatis ataupun dengan penerapan upaya paksa (dwang middelen) yang dapat dilakukan apabila pejabat pemerintahan tidak melaksanakan putusan

Namun yang terjadi adalah banyak pejabat arogan yang tidak mau melaksanakan putusan tata usaha negara. Sebaliknya, Mahkamah Agung sebagai lembaga yudisial tidak memiliki kewenangan memaksa agar pejabat pemerintahan melaksanakan putusan. Akibatnya, sengketa tata usaha negara yang sudah susah payah dijalani dengan tenaga, waktu hingga bertahun-tahun tidak dapat dilaksanakan dan tidak ada gunanya bagi para pencari keadilan.

Mahkamah Agung harus mengajukan revisi UU PTUN dan undang-undang terkait lainnya sehingga mencantumkan sanksi pidana bagi pejabat yang tidak melaksanakan putusan tata usaha negara yang sudah berkekuatan hukum tetap sampai uang paksa. Pelaksanaan putusan menjadi taruhan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.

Selain itu, bagi Mahkamah Konstitusi, berikut catatan kami:

H. Hakim Konstitusi dalam Pusaran Konflik Kepentingan

Terdapat beberapa peristiwa yang mencoreng nama Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of Constitution. Pada 11 November 2020, Presiden Joko Widodo memberikan tanda jasa dan tanda kehormatan berupa Bintang Mahaputra Adipradana kepada 3 orang Hakim Konstitusi, yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Aswanto, serta Bintang Mahaputra Utama kepada 3 orang Hakim Konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Manahan M.P. Sitompul.

Jika dilihat, pemberian tersebut merupakan suatu hal yang tak lazim diberikan kepada Hakim Konstitusi yang masih aktif menjabat. Pemberian tanda jasa dan tanda kehormatan oleh Presiden Joko Widodo tersebut justru akan berdampak pada independensi dan konflik kepentingan, terlebih pada saat pemberian, 6 Hakim Konstitusi tengah memeriksa judicial review beberapa Undang- Undang kontroversial, seperti UU KPK dan UU Ciptaker.

Apabila ditinjau dari sudut pandang antikorupsi, pemberian tanda jasa dan tanda kehormatan merupakan gratifikasi. Hal tersebut karena Pemerintah, dalam hal ini Presiden merupakan pihak yang berkepentingan dalam semua perkara pengujian undang-undang yang menjadi salah satu wewenang MK. Sehingga menjadi wajar ketika publik menyangsikan beberapa putusan MK terkait judicial review UU kontroversial didasarkan pada pertimbangan yang objektif.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, kami meminta dan mendesak:

  1. Ketua Mahkamah Agung memberikan sanksi maksimal kepada seluruh Hakim dan Pegawai Pengadilan yang terlibat dalam praktik korupsi;
  2. Ketua Mahkamah Agung melakukan evaluasi terkait mekanisme persidangan secara virtual, mengingat banyaknya pelanggaran hak yang diterima oleh Terdakwa;
  3. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat RI segera melaksanakan reformasi peradilan militer melalui revisi undang-undang No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer;
  4. Mahkamah Agung merevisi Perma 2/2019 agar secara jelas mengatur batasan-batasan pemisahan kewenangan pengadilan negeri dengan pengadilan tata usaha negara terkait dengan sengketa perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, serta jangka waktu pengajuan gugatan yang patut;
  5. Pemerintah dan DPR RI mengevaluasi pelaksanaan hukuman mati dan mereformasi kebijakan hukuman mati di Indonesia berdasarkan mandat UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak- hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional Sipil, dan Politik dan Konvensi Anti Penyiksaan;
  6. Mahkamah Agung melakukan evaluasi menyeluruh terkait pelaksanaan putusan tata usaha negara dan mengajukan revisi UU PTUN dan undang-undang terkait lainnya sehingga mencantumkan sanksi pidana bagi pejabat yang tidak melaksanakan putusan tata usaha negara;
  7. Mahkamah Konstitusi menolak segala bentuk pemberian dari pihak-pihak yang berperkara termasuk Presiden RI, demi menghindari konflik kepentingan dan marwah Mahkamah Konstitusi.

Pernyataan Besama:
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, LBHM, PBHI Nasional

Pernyataan Bersama Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) Terkait Eksekusi Mati 2 Terpidana Mati di Singapura


Jakarta, 16 Februari 2022 – Tepat hari ini Pemerintah Singapura akan melaksanakan eksekusi mati dengan hukuman gantung terhadap dua terpidana mati yang bernama Roslan bin Bakar dan Pausi bin Jefridin. Keduanya merupakan terpidana mati yang divonis mati karena kepemilikan narkotika. Kami mengecam keras rencana eksekusi mati terhadap kedua terpidana narapidana tersebut.

Menurut data terakhir, kedua terpidana tersebut ditengarai merupakan orang dengan disabilitas intelektual. Pihak pengadilan telah mengakui jika keduanya memiliki permasalahan dengan kemampuan berpikirnya, ditunjukkan dari IQ rendah yang dimiliki oleh para terdakwa. Kedua kasus ini memiliki kemiripan dengan kasus Nagethran (WN Malaysia) yang pada akhir tahun lalu diprotes publik karena memiliki permasalahan kesehatan jiwa dan akan dijadwalkan untuk dieksekusi.

Sebagai organisasi masyarakat sipil yang fokus di isu hukuman mati, kami mendorong Pemerintah Singapura untuk kembali mempertimbangkan eksekusi ini, mengingat latar belakang kedua terpidana mati merupakan orang dengan disabilitas intelektual, yang mana berdasarkan hukum internasional tidak seharusnya dieksekusi mati sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang berbunyi:

“Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa setiap manusia memiliki hak yang melekat untuk hidup dan wajib mengambil seluruh langkah yang diperlukan untuk menjamin pemenuhan secara efektif oleh penyandang disabilitas atas dasar kesamaan dengan manusia lain.”

Hal ini juga didukung dengan Resolusi PBB (UN General Assembly resolution 75/183) pada Desember 2020 yang mengatakan bahwa negara-negara tidak seharusnya menjatuhkan hukuman mati terhadap seseorang yang memiliki permasalahan kesehatan jiwa.

Kami sekali lagi mendorong Pemerintah Singapura untuk tidak melakukan eksekusi mati ini dan tidak untuk melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan Pemerintah Indonesia yakni mengeksekusi seorang disabilitas psikososial (Skizofrenia) pada tahun 2016. Setidaknya Pemerintah Singapura menyediakan akses ke psikiater untuk menilai kondisi kesehatan jiwanya dan memberikan perawatan yang optimal bagi kedua terpidana. 


English Version:

Joint Statement of the Coalition to Abolish the Death Penalty (Koalisi HATI) Regarding The Execution of 2 Death Row Inmates in Singapore

Jakarta, February 16, 2022 – Today, the Singaporean government will carry out the execution by hanging for two death row convicts, Roslan bin Bakar and Pausi bin Jefridin. Both are death row inmates who were sentenced to death for possession of narcotics. We strongly condemn the planned execution of the two convicts.

According to the latest information, the two convicts are suspected to be people with intellectual disabilities. The court has admitted that both of them have problems with their thinking skills, as indicated by the low IQs of the defendants. These two cases have similarities with the case of Nagethran (Malaysian) which at the end of last year was publicly protested for having mental health problems and was scheduled to be executed.

As a civil society organization that focuses on the issue of the death penalty, we encourage the Singaporean Government to re-consider this execution, given the backgrounds of the two death row convicts are people with intellectual disabilities, which under international law should not be executed as stated in Article 10 of the International Convention on Human Rights. – Rights of Persons with Disabilities which reads:

“States Parties reaffirm that every human being has an inherent right to life and shall take all necessary steps to ensure the effective fulfillment of persons with disabilities on an equal basis with other human beings.”

This is also supported by the UN General Assembly resolution 75/183 in December 2020 which said that countries should not impose the death penalty on someone who has mental health problems.

We once again urge the Government of Singapore not to carry out this execution and not to commit the same mistake that the Government of Indonesia made of executing a psychosocial disability (Schizophrenia) in 2016. At least the Singapore Government provides access to a psychiatrist to assess his mental health condition and provide optimal care for the two convicts.

Koalisi HATI members:

  1. Human Rights Working Group (HRWG)
  2. Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)
  3. Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor)
  4. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
  5. International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)
  6. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  7. LBH Jakarta
  8. LBH Masyarakat (LBHM)
  9. LBH Pers
  10. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)
  11. Migrant Care
  12. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
  13. Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI)
  14. PILNET (Public Interest Lawyer Network)
  15. SETARA Institute
  16. The Association for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST)
  17. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  18. Yayasan Satu Keadilan

Perbudakan Modern Berkedok Rehabilitasi (Illegal)

Tertangkapnya Bupati Langkat Terbit Peranging-angin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berbuntut panjang paska turut ditemukannya kerangkeng besi sebagai ‘fasilitas’ rehabilitasi narkotika. Para penghuni kerangkeng adalah pengguna narkotika yang juga dipekerjakan di ladang sawit tanpa upah seperti pekerja dengan hanya diberi makan dan ekstra pudding. Metode ini dilakukan dengan dalih agar selepas menyelesaikan rehabilitasi, mereka memiliki keahlian untuk bekerja. Setidaknya ada 3 (tiga) persoalan yang mengemuka dari kasus ini.

Pertama, berdasarkan hukum, setiap tempat yang menjalankan aktivitas rehabilitasi harus terdaftar di institusi terkait. UU Narkotika hanya mengenal rehabilitasi medis dan sosial. Intitusi terkait yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan rehabilitasi medis adalah Kementerian Kesehatan, sementara rehabilitasi sosial oleh Kementerian Sosial. Di tengah kebutuhan penggunaan narkotika yang belum terakomodasi oleh kedua institusi tersebut, Badan Narkotika Nasional (BNN) menyelenggarakan rehabilitasi dengan metode tersendiri. Ujungnya, pengobatan/perawatan (treatment) rehabilitasi narkotika memiliki payung masing-masing.

Berkaca dari kasus Bupati Langkat di atas, legalitas dan ketentuan operasional yang akan dijalankan harus mendapatkan izin terlebih dahulu dan mengikuti ketentuan dari intitusi terkait, antara BNN, Kemenkes, atau Kemensos. Tidak dipenuhinya persyaratan tersebut, maka tempat rehabilitasi narkotika bisa dikategorikan ilegal dan perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Sebagaimana banyak diberitakan juga, rupanya BNN pernah mengunjungi kerangkeng besi tersebut dan justru membiarkannya. Perlu penelusuran lebih lanjut untuk mencari tahu apakah ada pejabat BNN yang mendapat keuntungan dari praktik kerangkeng besi ini, dan apakah ada fasilitas rehabilitasi ilegal lainnya yang didiamkan oleh BNN. Berdasarkan data Polri, sampai pertengahan tahun 2021, terdapat lebih dari 19 ribuan kasus narkotika yang menyeret 24.878 orang yang menjadi tersangka narkotika. Seandainya 10% dari kelompok ini dialihkan ke lembaga rehabilitasi, bisa dipastikan beroperasinya tempat rehabilitasi menjadi potensi bisnis yang menggiurkan.

Kedua, terkuaknya dalih tempat rehabilitasi narkotika yang menghimpun pekerja di ladang sawit sebagai upaya untuk mendapatkan keterampilan adalah skema perawatan yang keliru. BNN dan Kemenkes, Kemensos memiliki standar perawatan pasien rehabilitasi yang melarang aktivitas memperkerjakan pasien. Relasi pasien rehabilitasi dengan tempat rehabilitasi tidak bisa dianggap layaknya majikan dengan buruh. Model relasi demikian justru mendelegitimasi skema perawatan pasien rehabilitasi. Dalam kacamata bisnis, memperkerjakan pasien rehabilitasi narkotika tanpa upah jelas berpeluang mendapat keuntungan besar. Artinya, pemilik fasilitas rehabilitasi bisa mendapatkan sekian banyak buruh murah (atau bahkan gratis) untuk bekerja menghasilkan suatu produk atau jasa, dan meraup keuntungan finansial. Berkaca dari praktik kerangkeng besi Bupati Langkat, maka evaluasi dan verifikasi lapangan oleh institusi terkait terhadap keberadaan tempat rehabilitasi narkotika untuk memastikan kepatuhan standar pelaksanaan rehabilitasi menjadi mendesak dilakukan dalam waktu dekat.

Ketiga, dalam konteks industri sawit, tingginya permintaan terhadap minyak sawit meningkatkan kebutuhan tenaga kerja yang banyak. Namun beberapa studi menunjukkan problem perburuhan di industri sawit menyangkut praktik kerja eksploitatif. Bentuk-bentuk eksploitasi sebagaimana digariskan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang antara lain, kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan dan praktik-praktik serupa perbudakan.

Dalam makna tradisional, perbudakan dipahami sebagai tindakan kepemilikan atas manusia oleh manusia lainnya layaknya properti atau hewan ternak yang bisa diberikan, diwariskan, dijual, atau dipindahtangankan. Evolusi perbudakan menunjukkan bahwa variasi dehumanisasi tumbuh semakin kompleks, baik secara kasat mata maupun secara implisit menyusup ke dalam ruang personal dan struktural. Di titik inilah fenomena perbudakan modern muncul.

David Weissbrodt dan Anti-Slavery International merumuskan bahwa dalam konteks perbudakan modern faktor berikut perlu diperiksa secara seksama: (a) aspek pembatasan kebebasan bergerak, (b) tingkat kendali atas barang pribadi, (c). adanya pemahaman penuh atas persetujuan tentang relasi antara para pihak. Sementara itu, Walk Free Foundation memberikan contoh bentuk-bentuk perbudakan modern, diantaranya kerja paksa, buruh tidak dibayar upahnya karena untuk melunasi hutangnya, pernikahan paksa, dan perdagangan manusia. Praktik semacam ini kerap ditemukan di banyak industri, termasuk manufaktur garmen, pertambangan, dan pertanian; dan dalam banyak konteks, dari rumah pribadi hingga pemukiman bagi para pengungsi internal dan pengungsi.

Baik perbudakan tradisional maupun modern sama-sama memiliki corak eksploitasi manusia atas manusia lainnya dalam rangka dimiliki atau dipindahtangankan kepada pihak lain. Namun, seiring semakin kompleksnya persoalan, semakin sulit pula regulasi nasional dan internasional merumuskan cakupan perbudakan modern secara rigid. Walk Free Foundation mengkategorikan perbudakan modern pada dasarnya merujuk pada situasi eksploitasi yang tidak dapat ditolak atau ditinggalkan oleh seseorang karena ancaman, kekerasan, pemaksaan, penipuan, dan/atau penyalahgunaan kekuasaan. Ruang lingkup ini mengakomodir problem perbudakan dewasa ini dalam spektrum yang lebih luas. Tapi di sisi lain, pemaknaan yang demikian dikhawatirkan mengaburkan karakteristik lain dari perbudakan atau ditafsirkan terlalu luas yang menghambat efektifitas upaya menghapus perbudakan.

Dalam konteks kasus kerangkeng besi Bupati Langkat, penghuni yang ditempatkan di kerangkeng besi diduga kuat terjadi perampasan kemerdekaan. Ditinjau dari aspek kewenangan, otoritas yang oleh hukum dapat melakukan perampasan kemerdekaan seseorang hanya aparat penegak hukum, bukan Bupati. Sehingga patut diduga terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Bupati. Jika pun penempatan tersebut untuk membantu orang yang membutuhkan perawatan adiksi, tidak bisa dijadikan alasan menggugurkan tindakan perampasan kemerdekaan melalui penyalahgunaan wewenang. Bahkan praktik rehabilitasi diyakini bukan dalam kerangkeng besi. Namun demikian di awal kasus ini terkuak, BNN seketika mengkonfirmasi bahwa rehabilitasi yang dijalankan ternyata illegal. Pernyataan ini semakin meneguhkan dugaan semata-mata yang dilakukan yaitu praktik kerja dengan dalih praktik rehabilitasi.

Indeks Perbudakan Global (Global Slavery Index) edisi 2018 yang dilaporkan oleh Walk Free Foundation mencatat Indonesia masih menerapkan praktik perbudakan dengan jumlah korban perbudakan yang banyak. Kondisi ini menunjukan bahwa praktik perbudakan tidak hilang dari keseharian. Praktik ini semakin berpeluang terus terjadi. Dalam konteks kasus narkotika, tingginya ledakan kasus narkotika saat ini dengan memanfaatkan skema rehabilitasi potensial terjebak dalam praktik kerja eksploitatif. Alih-alih menawarkan perawatan adiksi, justru yang terjadi praktik eksploitatif dengan iming-iming mendapatkan skill paska keluar dari fasilitas rehabilitasi. Terlebih pintu masuk mendapatkan rehabilitasi narkotika berdasarkan regulasi saat ini diantaranya melalui proses hukum yang tentunya syarat dengan keterpaksaan karena bagian proses hukum yang harus dijalani dan bisa jadi-mempertimbangkan tingkat adiksi yang tidak terlalu parah-tidak membutuhkan perawatan rehabilitasi.

Instrumen hukum model seperti ini yang diadopsi dalam UU Narkotika saat ini potensial disalahgunakan dengan kedok mendirikan fasilitas rehabilitasi padahal nyatanya praktik eksploitatif berupa perbudakan. Oleh sebab itu jebakan-jebakan yang mengarahkan pada tindakan eksploitatif karena problem struktural yang gagal sejak awal menganggap pecandu narkotika sebagai krimiminal padahal butuh integrasi sosial, mengandung potensi disalahgunakan. Meskipun solusi atas hal ini saling terkait dan multi dimensi, tapi meninjau kembali perawatan rehabilitasi sebagai solusi yang diwajibkan bagi pasien narkotika menjadi mutlak.

Tulisan ini ditulis oleh Direktur LBHM – M. Afif Abdul Qoyim. Tulisan ini juga sudah dipublikasikan pada kanal opini Koran Tempo: Perbudakan Modern Berkedok Rehabilitasi

Laporan Pendokumentasian: Pendampingan Kasus Focal Point Konsorsium Crisis Resnponse Mechanism

Pandemi COVID-19 yang terjadi sejak awal 2020 secara global, termasuk Indonesia tidak hanya berimplikasi pada persoalan kesehatan masyarakat, tetapi juga menyebabkan rentetan krisis pada berbagai sektor kehidupan masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan yang selama ini sudah ditempatkan dalam kondisi yang krisis dan juga keterbatasan terhadap akses hak-hak dasarnya. Salah satu kelompok yang paling terdampak adalah kelompok LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks dan Queer).

Berbagai kasus stigma, diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBTIQ selama pandemi COVID-19 semakin memperdalam jurang keterbatasan pemenuhan hak-hak kelompok LGBTIQ di Indonesia. Hal ini lah yang mendorong Konsorsium CRM semakin memperkuat respon dan strategi respon krisis terhadap kasuskasus yang dialami oleh kelompok LGBTIQ. Salah satunya melalui penguatan penanganan krisis berbasis komunitas yang melibatkan 13 paralegal LGBTIQ atau yang disebut sebut sebagai focal point Konsorsium CRM yang tersebar di provinsi di Indonesia.

Selama 6 bulan, Konsorsium CRM melakukan penguatan dan pemberdayaan terhadap paralegal-paralegal untuk mampu mendokumentasikan dan menangani kasus-kasus yang dialami komunitas LGBTIQ. Laporan ini merupakan hasil dari kerja-kerja bersama dan tentunya paralegal Focal Point CRM.

Laporan ini bisa menjadi alat penyambung lidah komunitas LGBTIQ kepada pemerintah, masyarakat dan setiap orang yang membacanya, untuk menyampaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh komunitas LGBTIQ selama pandemi COVID-19, upaya-upaya yang dilakukan oleh komunitas ini sendiri untuk menyelesaikan persoalan tersebut, serta tantangan dan pembelajaran yang dihasilkan dari proses pendampingan kasus-kasus ini. Sehingga dapat mendorong menguatkan dukungan dan komitmen dalam pemenuhan dan penghormatan Hak Asasi Manusia kelompok LGBTIQ di Indonesia.

Reka-rekan dapat membaca laporan lengkapnya pada tautan di bawah ini:

Laporan Pendokumentasian: Pendampingan Kasus Focal Point Konsorsium Crisis Resnponse Mechanism

Kondisi Disabilitas Bukan Alasan Mengecualikan Mereka dari Akses Terhadap Keadilan

Pada 8 Februari 2022, media nasional memberitakan soal adanya tindak kekerasan seksual yang menimpa kepada seorang perempuan penyandang disabilitas psikososial di Musi Bayuasin, Sumatera Selatan. Dalam kasus tersebut, korban WD diperkosa hingga hamil, dan buruknya kasus kekerasan seksual ini baru diketahui setalah 6 bulan berlalu.

Pasalnya dalam kasus tersebut terdapat satu keterangan dari pihak Kepolisian yang kesulitan untuk berkomunikasi dengan mereka. Kami melihat menandakan pihak kepolisian belum bisa menghadirkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses pemeriksaan.

LBHM menyoroti bagaimana penanganan dan pemberian akses keadilan terhadap penyandang disabilitas. Kami menilai kondisi Disabilitas bukanlah sebuah alasan untuk  mengecualikan hak mereka untuk mendapatkan akses terhadap keadilan. Secara kebijakan Indonesia Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) sejak tahun 2011 dan telah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Salah satu Pasal CRPD, yaitu pasal 13, menerangkan bahwa negara wajib memberikan akses terhadap keadilan bagi penyandang disabilitas, termasuk dengan cara melatih penegak hukum, salah satunya polisi, agar lebih akomodatif terhadap penyandang disabilitas dalam rangka menjamin akses terhadap keadilan bagi mereka.

Akomodasi yang layak yang seharusnya diberikan adalah Pengembangan komunikasi yang efektif, dan Pengembangan standar pemeriksaan oleh lembaga penegak hukum. Metode komunikasi yang efektif bisa berupa penghadiran alat bantu atau individu yang dapat menerjemahkan tindakan/perkataan penyandang disabilitas sesuai dengan preferensi atau maksud mereka.

Oleh karenanya kami mendorong Polri untuk:

1. Mengembangkan standar pemeriksaan berupa pedoman penunjukan penyidik yang memiliki kompetensi berkomunikasi dengan penyandang disabilitas;

2) Mengembangkan pedoman pengendalian situasi dan kondisi di lingkungan lokasi pemeriksaan agar penyandang disabilitas merasa senyaman mungkin dan dapat mengekspresikan kehendak/perkataan sesuai yang penyandang disabilitas maksudkan.

3) Memberikan akomodasi yang layak untuk akses terhadap keadilan terhadap penyandang disabilitas.

Kami percaya Polri mampu belajar memahami metode/cara melakukan pemeriksaan penyandang disabilitas sesuai mandat Undang-Undang dan Pearturan Pemerintah lainnya tentang akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Kami juga percaya bahwa polri dapat memberikan rasa keadilan dan keamanan bagi perempuan penyandang disabilitas yang menjadi korban perkosaan ataupun penyandang disabilitas lain yang menjadi korban tindak pidana.

Fact Sheet: Penahanan Sewenang-wenang Berkaitan dengan Kebijakan Narkotika

Sejak tahun 1991, Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang (The Working Group on Arbitrary Detention) yang dibentuk oleh Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah melakukan penyelidikan khusus kasus-kasus perampasan kebebasan yang dilakukan secara sewenang-wenang atau bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, atau instrumen hukum internasional yang diakui oleh suatu negara. Salah satunya adalah permasalahan penahanan dalam kasus Narkotika.

Dalam studi yang dilakukan oleh Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang untuk Indonesia, ditemukan jika orang yang menggunakan narkotika memiliki resiko yang tinggi untuk ditahan secara sewenang-wenang. Hal ini terlihat dari jumlah pengguna narkotika yang banyak menghuni penjara di Indonesia.

Setidaknya dalam temuannya disebutkan jika 1 dari 5 orang yang yang ada di penjara di seluruh dunia saat ini dipidana karena tindak pidana narkotika.

Masih banyak lagi temuan dari Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang terkait proses penahanan yang sewenang-wenang dalam kasus Narkotika.

Laporan lengkapnya dapat rekan-rekan unduh dengan mengklik tautan di bawah ini:

Fact Sheet: Penahanan Sewenang-wenang Berkaitan dengan Kebijakan Narkotika

Lowongan Staf Magang Keuangan (Internship)

LBHM merupakan sebuah lembaga non-profit yang berfokus pada kerja-kerja pemajuan Hak Asasi Manusia melalui bantuan hukum, riset-riset serta juga kampanye. Sudah selama 14 tahun kami berdiri kami masih 14 tahun beridiri kami tetap gigih mendorong pemajuan HAM dan inklusifitas bagi kelompok terpinggirkan, dan kelompok yang rentan.

Setiap tahunnya LBHM selalu membuka lowongan magang atua volunteer bagi rekan-rekan mahasiswa maupun umum yang ingin berkiprah atau berkontribusi bagi pemajuan HAM di Indonesia. Saat ini LBHM sedang membukan lowongan magang untuk bagian keuangan, dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Pendidikan Min. SMA dengan kekhususan Akuntasi/Komputer Akuntasi;
  2. Memiliki pengalaman bekerja sebagai akuntan minimal 1 tahun. Mempunyai pengalaman di NGO lebih diutamakan;
  3. Menguasai program M. Office (excel, word, power point) dan program akuntansi (accurate, dll);
  4. Jujur, teliti, mempunyai integritas dan loyalitas tinggi terhadap organisasi;
  5. Memahami perpajakan di Indonesia;
  6. Berkomitmen mau belajar , dan mampu bekerja dalam tim dan/atau individu, serta dapat bekerja dengan supervisi yang minim;
  7. Mempunyai kemampuan berkomunikasi dan persentasi yang baik;
  8. Memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang memadai.

Kerja-kerja kami selama ini didukung dengan tim yang profesional, dan menjujung tinggi sikap inklusif dan anti terhadp segala bentuk pelanggaran HAM. Apakah kamu adalah orangnya?

Segera submit aplikasi kamu sebelum tanggal 11 Februari 2022 (23.59 WIB), dan kirimkan ke:

Contact@lbhmasyarakat.org
Subjek email: Aplikasi Staf Magang Keuangan_Nama Kamu.

id_IDIndonesian