Skip to content

Publikasi Advokasi – Theory of Change (ToC): Strategi Advokasi HIV dan Hak Asasi Manusia

Suburnya stigma dan diskriminasi yang menyasar Orang yang Hidup dengan HIV (ODHIV) dan populasi kunci memperpanjang epidemi HIV di Indonesia. Hambatan dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) ini selalu muncul dengan variasi bentuk dan aktornya, baik yang dilakukan negara (commission) maupun yang dibiarkan oleh negara (omission). Namun, persoalan sosial, hukum, dan politik yang mewarnai persoalan epidemi HIV ini pun turut mendorong inisiatif-insiatif baik dari beragam organisasi masyarakat sipil yang ada di level nasional maupun daerah.

Bergerak dari hal tersebut LBH Masyarakat (LBHM) mencoba menyusun sebuah riset yang dapat mendorong kebijakan progresif dalam permasalahan HIV yang disusun dalam laporan ” ToC: Strategi Advokasi HIV dan Hak Asasi Manusia” .

Dalam prosesnya LBHM melakukan beberapa kali temu diskusi atau Forum Grup Diskusi (FGD) dengan beberapa komunitas yang mempunyai konsern dan fokus isu HIV di berbagai wilayan Indonesia. FGD ini bertujuan untuk Melakukan identifikasi situasi terkini advokasi HIV dan hukum bagi kelompokmarginal di Indonesia, Memetakan kebutuhan advokasi tiap-tiap kelompok populasi kunci HIV, Memetakan situasi dan kondisi di lapangan. Hal ini diperlukan untuk menyuguhkan laporan dengan data yang komperhensif dan faktual.

Teman-teman dapat membaca laporan lengkapnya di sini:
Theory of Change (ToC): Strategi Advokasi HIV dan Hak Asasi Manusia

Rilis Pers – LBHM Ajukan Keberatan Atas Pernyataan War On Drugs Kepala BNN

LBH Masyarakat (LBHM), pada 4 Februari 2021 melayangkan surat keberatan kepada Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Petrus R. Golose atas pertanyaan war on drugs dalam unggahan video di kanal Youtube BNN. Deklarasi penanggulangan narkotika melalui war on drugs memposisikan permasalahan narkotika yang kompleks ditangani dengan metode yang sama rata tanpa memperhatikan pemenuhan hak asasi seorang pengguna.

Selama ini narasi \’war on drugs\’ sudah menutup banyak pintu khususnya pintu hak atas kesehatan bagi teman-teman pengguna narkotika, karena selama ini banyak pengguna narkotika yang justru berakhir dibalik jeruji besi (penjara). Selain ditutupnya pintu hak atas kesehatan, war on drugs juga membuka pintu untuk praktik-praktik tidak manusiawi seperti penyiksaan, dan pemerasan.

Kerasnya deklarasi perang terhadap narkotika tidak sesuai dengan Kebijakan Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009) yang memiliki marwah untuk kesehatan, hal ini justru menimbulkan sebuah siklus korup dan kekerasan yang terus terjadi khususnya menimpa pengguna narkotika dan kelompok rentan lainnya seperti perempuan dan anak dalam lingkaran narkotika.

Rilis Pers lengkapnya dapat dibaca di link berikut:

Rilis Pers – Kasus Covid-19 Terus Terjadi di Lapas: Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) & Petugas Pemasyarakatan Harus Masuk sebagai Kelompok Prioritas Vaksin

Berdasarkan pemberitaan pada 7 Februari 2021, 52 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung terpapar COVID-19. Kondisi ini terbilang memprihatinkan karena kondisi Lapas Sukamiskin tidak mengalami overcrowding, Lapas Sukamiskin diisi 384 WBP dan tahanan dari total kapasitas 560. Data ini menunjukkan bahkan pada Lapas yang physical distancing sewajarnya dapat dilakukan tetapi penularan COVID-19 tetap terjadi. Kondisi ini seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah untuk tidak lengah mencegah penyebaran COVID-19 di rutan dan lapas. Kita bisa bayangkan jika di rutan/lapas yang tidak mengalami overcrowding saja bisa terjadi infeksi COVID-19, bagaimana dengan kondisi di rutan/lapas di Indonesia yang justru sebagian besar mengalami overcrowding.

Sebagai catatan, terlepas dari pernah dilakukannya asimilasi dan integrasi WBP secara masif pada April-Mei 2020 lalu, berdasarkan data Pemasyarakatan dalam Sistem Database Pemasyarakatan, lapas dan rutan masih mengalami overcrowding. Per Januari 2021, beban rutan dan lapas di seluruh Indonesia mencapai 187% dengan tingkat overcrowding di angka 87%. Sebelumnya angka ini berhasil ditekan menjadi 69% pada Mei 2020.

Maka perlu digarisbawahi, petugas rutan dan lapas serta WBP mutlak harus menjadi prioritas penerima vaksin Covid-19. Pembiaran akan berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, utamanya dalam kondisi overcrowding dan penularan di rutan dan lapas yang sudah sangat berbahaya.

Simak rilis pers lengkapnya di link berikut:


Koalisi Masyarakat Sipil:
ICJR, Aksi Keadilan, IJRS, LBH Masyarakat, LeIP, PPH Unika Atma Jaya, Dicerna, Rumah Cemara

War on Drugs: Jalan Pintas yang Menyesatkan

Menyambut harapan banyak pihak tersebut, Petrus Golose dalam sebuah rilis menyatakan siap untuk memerangi narkotika, war on drugs. Pernyataan Petrus Golose ini tentu saja bukan hal baru. Sejak menjabat pertama kali sebagai kepala negara pada 2014 silam, Presiden Joko Widodo juga menggaungkan hal yang serupa.Bahkan, pada tahun 2016, Jokowi secara terang-terangan memberikan arahan secara langsung kepada jajarannya, di antaranya BNN dan Institusi Kepolisian, untuk memberantas narkotika. Tidak tanggung-tanggung, Jokowi juga memerintahkan untuk menembak di tempat para pelaku yang diduga terlibat dalam tindak pidana narkotika.

Perintah tembak di tempat tersebut kemudian mulai memakan korban. LBHM dalam penelitiannya (Bajammal, 2020) menyebut, dalam rentang waktu tahun 2017-2018 setidaknya ada 414 orang yang menjadi korban luka dan 167 orang meninggal tanpa melalui proses peradilan. Sebuah angka yang cukup fantastis untuk negara yang mempredikatkan diri berlandaskan hukum dan menjunjung hak asasi dalam konstitusinya.

Langkah war on drugs yang digadang-gadang sebagai solusi untuk mengatasi peredaran gelap narkotika justru banyak menimbulkan masalah lain. Salah satunya, menciptakan stigma negatif dan perilaku diskriminatif terhadap pengguna narkotika. Stigma negatif ini menempatkan para pengguna narkotika sebagai penjahat dan sampah masyarakat yang layak untuk dihukum. Tentu saja hukuman yang dimaksud adalah hukuman penjara.

Muara dari stigma dan diskriminasi ini berkontribusi pada meningkatnya overcrowding di lapas semakin parah. Data Ditjen Pemasyarakatan 2019, menyebut jumlah orang yang dipenjara karena pelanggaran narkotika, lebih dari 130.000 (65% dari keseluruhan tahanan) dan 48.000 orang di antaranya adalah pengguna narkotika. Sebuah angka yang cukup mengejutkan, apalagi terhadap pengguna narkotika yang alih-alih mendapatkan rehabilitasi, malah berakhir di jeruji besi. Lantas, apakah narasi war on drugs  tetap efektif mengatasi permasalahan narkotika selama ini.

Narasi war on drugs bukan hanya ada di Indonesia. Beberapa negara juga tercatat pernah menerapkan pendekatan keras seperti itu. Bedanya, banyak negara kemudian berbenah diri dan menyadari jalan pintas war on drugs itu menyesatkan. Portugal, merupakan contoh negara yang akhirnya berhasil meninggalkan narasi war on drugs. Portugal sadar menggunakan narasi war on drugs sebagai strategi untuk menyelesaikan permasalahan narkotika adalah perbuatan sia-sia. Pun Portugal mengambil langkah konkret dengan memperlakukan pengguna narkotika sebagai pasien yang membutuhkan bantuan, bukan sebagai penjahat. Sehingga aparat penegak hukumnya bisa berkonsentrasi penuh dalam menumpas peredaran gelap narkotika.

Atas kebijakan ini, International Journal of Drug Policy pada tahun 2014, menemukan fakta bahwa Portugal bisa mengurangi biaya proses hukum sebesar 18%. Kemudian, presentase orang yang dipenjara karena tindak pidana narkotika juga menurun drastis sebanyak 43%. Dari data tersebut, Portugal berhasil membuktikan, meninggalkan pendekatan penghukuman (punitive) dapat mengatasi masalah narkotika sekaligus menghemat biaya proses hukum yang harus dikeluarkan oleh negara.

Berkaca dari Portugal, sudah saatnya Indonesia mengkaji dan mengevaluasi kebijakan narkotikanya. Pemerintah Indonesia harus mau terbuka pada alternatif selain pemidanaan. Tentu sudah seharusnya pemerintah mengakui strategi war on drugs adalah sebuah kegagalan. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk proses hukum dari tahap penyidikan hingga menjalani penghukuman, tapi sama sekali tidak mengurangi jumlah terpidana narkotika, sepantasnya menjadi perhatian kebijakan yang serius.

Kembali ke konteks overcrowding, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Yasonna H. Laoly, sudah pernah mengeluhkan narapidana narkotika yang mendominasi seluruh lapas dan rutan. Saat kunjungan delegasi The Global Commission on Drug Policy pada 29 Januari 2020, Yasonna sedikit membocorkan rencana negara yang sedang mempertimbangkan pendekatan kesehatan untuk pengguna narkotika. Namun apabila pemerintah benar-benar serius mempertimbangkan hal ini, seharusnya narasi war on drugs tidak terdengar lagi.

Debat kebijakan narkotika tentu akan menjadi sangat sensitif, tapi bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Sudah saatnya negara membuka ruang dialog dan menghadirkan alternatif non pemidanaan untuk menangani masalah narkotika. Tentu revisi undang-undang narkotika, juga menjadi agenda penting yang selanjutnya perlu dilakukan.

Tulisan opini ini merupakan respon dari statement war on drugs dari Petrus Reinhard Golose (Kepala BNN RI). Tulisan ini ditulis oleh Kiki Marini – Pengacara Publik (Public Defender) LBH Masyarakat & Bertha Justice Fellowship di Indonesia.

Rilis Pers – War on Drugs: Melanggar Hak Asasi dan Melanggengkan Praktik Korupsi

Praktik korupsi dalam kasus narkotika mungkin jarang sekali didengar oleh khalayak publik, hal ini dikarenakan narasi narkotika/narkoba saja sudah dicap sebagai sebuah hal yang buruk yang akhirnya membuat publik semakin tidak empati apabila mendengar kata narkotika/narkoba.

Dalam edisi terbaru Majalah Tempo (Edisi, 1-7 Februari 2021), Tempo menulis terkait ada beberapa anggota polisi yang bertugas di BNN menilap uang terduga pelaku kejahatan. Jumlahnya pun ditaksir mencapai puluhan miliar rupiah.

Pihak BNN menyebutkan telah memproses secara internal terhadap anggota yang diduga terlibat, namun hingga saat ini perkembangannya tidak kunjung menemui titik terang. Minimnya transparansi dalam memproses dugaan pelanggaran yang dilakukan seakan bertolak belakang dengan pengungkapan kasus narkotika yang dilakukan secara terbuka itu.

Sayangnya, narasi perang terhadap narkotika (war on drugs) selama ini dipakai upaya dalam melegitimasi penanggulangan narkotika dengan cara-cara yang mengebiri hak asasi manusia dan membuka kran yang menyuburkan praktik korupsi.

Oleh karena itu Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mendorong untuk mengevaluasi secara penuh kebijakan \’war on drugs\’ secara komperhensif.

Rilis lengkap dapat teman-teman baca di link berikut:

Koalisi Pemantau Peradilan:
LBH Masyarakat, LBH Jakarta, ICW, PBHI, KontraS, PSHK, YLBHI, Imparsial.

Narahubung: 0813-2004-9060 (M.Afif Qoyim – Direktur LBHM)

Knowledge Product – Menuju Model Sistem Dukungan Dalam Pengambilan keputusan di Indonesia

Situasi seorang ODP yang berhadapan dengan hukum di Indonesia sangatlah mengkhawatirkan. Walaupun Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Seorang dengan Disabilitas atau Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), hal ini diharmonisasikan kedalam Undag-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Orang dengan Disabilitas—termasuk juga di dalamnya adalah perlindungan terhadap Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP).

Namun, adanya perundangan-undangan terkait perlindungan terhadap Orang dengan Disabilitas Psikososial ternyata tidak menyelesaikan pelanggaran hak terahadap kelompok ODP. Salah satu bentuk diskriminatif yang melanggar hak seorang ODP adalah Pengampuan ODP, yang ada di dalam pasal 443 (UU Nomor 8/2016) dimana dalam pasal tersebut menjelaskan adanya mekanisme untuk memindahkan hak individu untuk memberi keputusan kepada orang lain untuk mengambil keputusan dalam. Hal ini merupakan sebuah pelanggaran karena menghilangkan legal capacity seseorang. Pada Undang-Undang lain yakni UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa terdapat pasal yang memberikan kewenangan kepada keluarga untuk mengambil keputusan, bagi anggota keluarganya yang memiliki permasalahan kesehatan jiwa untuk dibawa ke pusat rehabilitasi.

Referensi lengkap dapat di baca di:
Menuju Model Sistem Dukungan Dalam Pengambilan keputusan di Indonesia (Indonesian version)
Towards a Supported Decision-Making Model in Indonesia (English version)

Berikut slide infografis terkait ODP (dalam dua bahasa):
1. Infografis terkait ODP (versi bahasa Indonesia)

2. Infogrhapic about PPD (English version)

Rilis Pers – Hukum Qanun & Lengahnya Negara Memberikan Perlindungan Terhadap Kelompok Minoritas Seksual dan Gender

Lagi tindakan diskriminasi terjadi kepada kelompok minoritas seksual dan gender (LGBTIQ+). Kali ini menimpa pasangan MU dan AL, mereka dihukum cambuk karena melakukan hubungan seksual, MU dan AL dianggap melanggar Pasal 63 ayat 1 Qanun 6/2014 tentang Hukum Jinayat yang mengharuskan mereka dihukum 80 kali cambuk (dikurangi masa tahanan 3 bulan, menjadi 77 kali)—eksekusi mereka terjadi pada 28 Januari 2021 lalu.

Hukum cambuk ini bukanlah pertama kalinya menimpa kelompok LGBT, pada tahun 2017 pernah terjadi hukuman cambuk terhadap kelompok LGBT (MT dan MH) yang dituduh melakukan hubungan seksual, mereka di hukum sebanyak 85 kali cambukan. Pada 2018 juga hal serupa kembali terjadi, pasangan LGBT (N dan R) yang menerima hukum Qanun sebanyak 86 kali cambukan.

LBH Masyarakat (LBHM) pada tahun 2016 saja, sebanyak 396 orang sudah dieksekusi (cambuk) dan bersiap berhadapan dengan hukuman cambuk (66 orang masih berupa ancaman cambuk). Dalam temuan ini juga ditemukan jika terdapa kelompok LGBT yang dirazia dan diancam mendapatkan hukuman cambuk.

Selain bertentangan dengan hukum positif, pelaksanaan hukuman cambuk yang dilakukan terhadap kelompok LGBT ini tentunya merupakan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dan hak atas privasi yang dilindungi oleh konstitusi.

Simak rilis pers lengkapnya di link berikut:

Contact Person: 0812-3631-0500 (LBHM)

Rilis Pers – BRIGADIR TT AJUKAN UPAYA HUKUM BANDING: PERJUANGAN MASIH BERLANJUT

Kemarin, 25 Januari 2021, Brigadir TT didampingi kuasa hukumnya, Ma’ruf dari LBH Masyarakat (LBHM) resmi mendaftarkan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Surabaya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Upaya hukum banding ini merupakan bentuk perlawanan terhadap putusan PTUN Semarang Nomor: 63/G/2020/PTUN.SMG pada tanggal 7 Januari 2021.

Pada memori banding ini, LBHM menekankan kekeliruan PTUN Semarang dalam mengadili perkara Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) Brigadir TT dari Dinas Kepolisian Republik Indonesia. LBHM juga meyakini PTUN Semarang bertentangan dengan pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan, seperti yang tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2020 tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung (SEMA 10/20).

Perjuangan Brigadir TT belum selesai, perjuangannya kini belanjut pada tahap selanjutnya, #KeadilanUntukBrigadirTT

Rilis lengkap dapat teman-teman baca di link berikut:

Job Vacancies – Konsultan Video Kampanye LBHM

Sejak 2007, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) terus berupaya menghadirkan keadilan bagi masyarakat miskin, kelompok rentan dan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dengan komitmen tersebut, LBHM konsisten memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, melakukan pemberdayaan hukum dan HAM bagi kelompok miskin dan terpinggirkan, serta mengadvokasi perlindungan HAM melalui penelitian, analisis, litigasi strategis, dan kampanye publik.

LBHM percaya bahwa Kampanye publik yang tepat sasaran akan memperlancar kerja-kerja advokasi kedepannya. Seperti advokasi terhadap hak-hak minoritas seksual dan gender. Maka dari itu diperlukan materi kampanye yang menarik dan inovatif yang akan membantu advokasi kedepannya khususnya dalam meningkatkan kesadaran tentang bahaya yang ditimbulkan oleh kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan dan minoritas seksual dan gender.

Oleh karenanya LBHM mencari Konsultan Pembuatan Video dalam rangka kampanye yang akan LBHM lakukan, dengan tujuan sebagai berikut:
a. Dapat meningkatkan kesadaran publik;
b. Menghadirkan pesan akan pentingnya pentingnya kolaborasi aktor, serta peran dan konsistensi berbagai pemangku kepentingan untuk memperbaiki kebijakan-kebijakan yang bersifat diskriminatif;
c. Menghadirkan pesan akibat dan dampak yang telah dan akan ditimbulkan jika kebijakan-kebijakan diskriminatif diberlakukan.

Kirimkan segera proposal mu ke:
gteresia@lbhmasyarakat.org
dengan subjek email: EoI_Video Advocacy Campaign_(Nama Konsultan)
Proposal dikirimkan paling lambat 7 Februari 2021, Pukul 23.00 WIB.

Informasi lengkap terkait Konsultan Pembuatan Video Kampanye dapat kamu lihat dengan mengklik di sini

Laporan Penelitian – Analisis Kebijakan: Asimilasi dan Integrasi Narapidana di Masa Pandemi Covid-19

Sebuah apresiasi patut diberikan kepada pemerintah pasca dikeluarkannya kebijakan percepatan Asimilasi dan Integrasi narapidana sebagai upaya untuk mencegah penularan COVID-19. Perlu diketahui jika overcrowding penjara di Indonesia sudah mencapai tingkat yang paling parah. Pada bulan Desember tahun 2019, tercatat bahwa Lapas dan Rutan di Indonesia mengalami overcrowding 100%. Data dari Ditjenpas juga menunjukkan jika ovecrowding hampir mengisi 85% fasilitas penjara (28 Penjara dari 33 Penjara). Pembebasan narapidana pun menjadi sebuah kebijakan yang penting untuk dilakukan

Dalam implementasinya, program asimilasi ini memiliki beberapa permasalahan. Salah satunya adalah keterbukaan data terkait program asimilasi ini, tentang berapa banyak sesungguhnya narapidana yang sudah dibebaskan. Dalam laporan ini, tim LBHM menemukan disparitas data pelepasan narapidana antara pernyataan pemerintah dan data smslap. Walaupun disparitas itu semakin mengecil, ketiadaan kanal resmi yang dapat diakses publik terkait dengan efektivitas program asimilasi di masa pandemi ini juga bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik terkait kalim-klaim angka pembebasan narapidana.

Laporan ini juga menemukan bahwa kebijakan asimilasi pun tidak disertai dengan pengetatan protokol kesehatan yang sedang digaungkan oleh pemerintah dalam menanggulangi pandemik Covid-19. Masih terjadi penyebaran virus Sars-Cov-2 di dalam penjara, seperti yang terjadi di Lapas Garu dan Rutan Pondok Bambu.

Laporan lengkapnya dapat teman-teman baca dengan mengklik di sini.

English version:

The public needs to appreciate the government action of speeding up the process of assimilation and reintegration of prisoners in order to prevent COVID-19 infection. Prior to the pandemic, the rate of overcrowdedness in prisons was in a critical state. On December 2019, the rate of overcrowdedness in correctional facilities and detention centres in Indonesia reached 100%. Ditjenpas’ data also showed that 85% of correctional facilities (28 from 33) experienced overcrowding. The release of prisoners then became an important policy.

During the implementation, this assimilation program faced several challenges. One of which is the transparency of data regarding how many people have been assimilated. In this report, LBHM team found a disparity of numbers between official statements and smslap data. Although the disparity decreased by months, the unavailability of official source of information that can be accessed by public regarding the effectivity of assimilation program during the pandemic can lead to public distrusting the claim of prisoner release.

This report also found that the assimilation policy was not complemented with a rigorous application of health protocol which has been voiced by the government as an effective way to mitigate the COVID-19 pandemic. There were still Sars-Cov-2 virus outbreaks in prisons, such as what happened in Garu Correctional Facility and Pondok Bambu Detention Centre.

The full report can be downloaded at this link.

id_IDIndonesian