Tag: Hukuman Mati

Rilis Pers – Mengungkap Sikap Publik Indonesia Terhadap Hukuman Mati

Penelitian baru yang mengungkap sikap publik Indonesia terhadap hukuman mati memberikan data baru yang dapat memfasilitasi wacana segar tentang masa depan hukuman mati di Indonesia.

Studi dua bagian tersebut menyimpulkan bahwa pembentuk opini di Indonesia menginginkan untuk meninggalkan hukuman mati dan bahwa publik terbuka untuk berubah.

Penelitian ini ditugaskan oleh The Death Penalty Project, dalam kemitraan dengan LBH Masyarakat dan Universitas Indonesia, dan dilakukan oleh Prof. Carolyn Hoyle dari Unit Penelitian Hukuman Mati di Universitas Oxford untuk menyelidiki kepercayaan yang diterima secara luas bahwa mayoritas orang Indonesia mendukung hukuman mati. Melalui penyelidikan yang bernuansa, penelitian ini hendak memahami lebih dalam sikap publik dan mengkaji seberapa mengakar pandangan tersebut untuk dapat memfasilitasi wacana yang konstruktif. Studi ini menunjukkan bahwa semakin banyak informasi yang diberikan kepada masyarakat mengenai penerapan hukuman mati, semakin sedikit mereka mendukungnya. Demikian pula, ketika disajikan dengan faktor yang meringankan, dukungan publik terhadap hukuman mati turun drastis. Temuan menunjukkan bahwa masyarakat tidak menentang penghapusan, tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk dapat sepenuhnya memahami persoalan.

  • 67% pembentuk opini mendukung penghapusan hukuman mati;
  • 69% publik pada awalnya mendukung hukuman mati dipertahankan, tetapi hanya 35% yang sangat mendukungnya;
  • Hanya 2% publik yang merasa sangat mengetahui tentang hukuman mati dibandingkan dengan pembentuk opini yang pada umumnya lebih luas pengetahuannya tentang hukuman mati dan sistem peradilan pidana yang lebih luas;
  • Hanya 4% publik yang merasa sangat prihatin dengan persoalan ini.

Indonesia adalah salah satu dari minoritas negara yang masih mempertahankan hukuman mati dalam undang-undang. Ada beberapa kejahatan yang dapat dihukum mati, termasuk pembunuhan, perampokan, terorisme, dan tindak pidana narkoba. Lebih dari 60% hukuman mati yang dijatuhkan di negara ini, dan setengah dari semua eksekusi yang dilakukan dalam 20 tahun terakhir, adalah untuk tindak pidana terkait narkoba. Laporan tersebut juga menemukan bahwa dukungan untuk hukuman mati dalam skenario realistis lebih rendah daripada secara abstrak, dan ketika ditunjukkan kemungkinan bahwa orang yang tidak bersalah dapat dieksekusi, dukungan publik untuk abolisi meningkat dari 18% menjadi 48%.

Seperti banyak negara tetangganya di Asia Tenggara, Indonesia mempertahankan hukuman mati dengan asumsi bahwa hukuman ini berfungsi sebagai pencegah yang efektif terhadap kejahatan, khususnya perdagangan narkoba, namun belum ada penelitian akademis yang mendukung keyakinan tersebut.

Parvais Jabbar, Ko-Direktur Eksekutif dari The Death Penalty Project mengatakan; “Dukungan publik terus disebut-sebut oleh pemerintah Indonesia sebagai alasan untuk mempertahankan hukuman mati, tetapi temuan penelitian kami menunjukkan bahwa publik sebenarnya terbuka untuk perubahan kebijakan tentang persoalan penting ini. Ada dukungan yang jelas untuk abolisi di antara pembentuk opini dan temuan membuktikan bahwa semakin banyak publik tahu tentang hukuman mati, semakin sedikit mereka mendukungnya. Kami berharap data dan analisis yang dikumpulkan dalam kedua laporan ini dapat digunakan untuk memfasilitasi dialog konstruktif tentang masa depan hukuman mati di Indonesia.”

Muhammad Afif, Direktur LBH Masyarakat mengatakan; “Dua laporan ini menunjukkan bahwa mewujudkan penghapusan hukuman mati bukanlah hal yang mustahil di Indonesia. Pendapat publik dan elit memberikan harapan kepada terpidana mati bahwa suatu hari kita bisa mengakhiri adanya regu tembak.”

Rilis ini ditulis oleh The Death Penalty Project

Rilis Pers – 6 CATATAN UNTUK PARA HAKIM DI HARI KEHAKIMAN

Setiap tanggal 1 Maret di Indonesia, terdapat yang namanya Hari Kehakiman. Situasi kehakiman di Indonesia menjadi sorotan oleh kelompok masyarakat sipil beberapa waktu kebelakang ini. Secara undang-undang Hakim merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, berdasarkan Pancasila juga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana amanat yang tercantum Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Selain itu, sebagai pelaku cabang kekuasaan negara dalam bidang yudisial, hakim bertanggung jawab untuk memastikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).

Sayangnya, LBHM dan LBH Jakarta menemukan beberapa praktik-pratik yang mencoreng nama Hakim itu sendiri seperti:
1) Hakim Terlibat Praktik Judicial Corruption;
2) Hakim Kerap Mengabaikan Fakta Persidangan; 
3) Hakim Masih Sering Menjatuhkan Pidana Mati;
4) Hakim Memakai Alat Bukti yang Didapat dengan Tidak Sah (Penyiksaan) dan permasalahan Praperadilan (upaya paksa dan ganti kerugian);
5) Persidangan Virtual (Online) Banyak Melanggar Hak Terdakwa;
6) Mekanisme Pelaporan/Pengaduan Hakim Tidak Transparan, Imparsial, Efektif dan Akuntabel.

Oleh karenanya LBHM dan LBH Jakarta mendesak adanya segera perbaikan (evaluasi dan reformasi kehakiman) dalam tubuh Mahkamah Agung. Adapun poin tuntutan dari LBHM dan LBH Jakarta dapat teman-teman lihat dalam rilis pers di link berikut:

Rilis Pers Koalisi Untuk Hapus Hukuman Mati (KOHATI) – Hapuskan Hukuman Mati di Indonesia

Setiap tahunnya, tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Anti Hukuman Mati Sedunia. Jika melihat pada konteks global, tren putusan vonis mati sebenarnya mengalami penurunan dan tren abolisi terhadap hukuman mati semakin menguat.

Di saat tren di tingkat global terdapat tren yang positif dalam upaya penghapusan hukuman mati yakni terjadinya penurunan angka penjatuhan maupun eksekusi mati. Di Indonesia justru yang terjadi sebaliknya, tren global ini tidak diikuti oelh pemerintah Indonesia. Justru yang terjadi adalah angka penjatuhan hukuman mati di Indonesia meningkat sejak 4 tahun kebelakang saat ini terdapat 173 kasus yang mendapatkan vonis hukuman mati.

Walaupun Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB 2020-2022 bahkan juga menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang merupakan posisi yang sangat dihormati dan strategis di level internasional. Namun pada realitanya, Indonesia masih juga belum memiliki political will untuk mendukung rekomendasi moratorium maupun abolisi dalam Universal Periodic Review (UPR) yang dilakukan oleh Dewan HAM PBB.

Siaran pers lengkapnya dapat teman-teman unduh di sini

Pendampingan Hukum Bagi Orang-orang yang Berhadapan dengan Hukuman Mati: Sebuah Pedoman Praktik Terbaik

Praktik penjatuhan hukuman mati kepada narapidana masih sering terjadi di beberapa negara salah satunya di Indonesia. Indonesia hingga saat ini sudah melakukan eksekusi mati terhadap 18 orang terpidana dalam kurun waktu dua tahun (2015 – 2016). Sayangnya praktik hukuman mati ini dibarengi dengan pelanggaran hak seorang terpidana, salah satunya hak atas fair trial, seperti mendapatkan pendamping hukum yang kompeten. Realita saat ini, kerap kali banyak narapidana yang menghadapi hukuman berat mendapatkan pendamping hukum yang kurang kompeten atau tidak menguasai perkara—tidak hanya di hukuman mati begitupun di kasus lainnya.

LBH Masyarakat (LBHM) berinisiatif menerjemahkan pedoman Praktik Terbaik ini agar dapat menjadi panduan bagi para advokat di Indonesia yang menangani kasus hukuman mati. Tentu saja konteks dan sistem hukum Indonesia dengan sejumlah contoh di dalam Pedoman ini berbeda, namun gagasan atau pengalaman yang dibagikan di Pedoman ini diharapkan dapat menjadi inspirasi atau ide strategi dalam mendampingi orang-orang yang berhadapan dengan hukuman mati.

Pedoman ini merupakan hasil kolaborasi panjang dan produktif antara Death Penalty Worldwide, firma hukum Fredrikson & Byron P.A., dan World Coalition Against the Death Penalty, kumpulan pengacara di setidaknya 15 negara, serta mahasiswa hukum di klinik Advokasi HAM Professor Babcock.

Teman-teman dapat membaca dan mengunduh pedoman, silahkan mengklik di sini.

Rilis Pers – Moratorium Hukuman Mati, Upaya Diplomasi Menyelamatkan Ratusan Pekerja Migran

LBH Masyarakat mengecam keras eksekusi mati terhadap Tuty Tursilawati, seorang pekerja migran Indonesia, oleh Saudi Arabia, tanggal 29 Oktober 2018 kemarin.

Berdasarkan keterangan dari Kementerian Luar Negeri RI, eksekusi tersebut dilakukan oleh Saudi Arabia tanpa didahului dengan notifikasi oleh otoritas setempat kepada perwakilan Indonesia di Saudi Arabia. Eksekusi mati tersebut adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia sekaligus juga menciderai tata krama diplomasi internasional.

LBH Masyarakat mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengambil tindakan yang tegas untuk merespon kejadian tersebut, dan mengevaluasi hubungan kerja sama bilateral Indonesia-Saudi Arabia, termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan penempatan tenaga kerja migran Indonesia di Saudi Arabia.

LBH Masyarakat kembali mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk secara resmi menerapkan moratorium hukuman mati di Indonesia. Hal ini penting guna memaksimalkan upaya diplomasi Indonesia dalam rangka menyelamatkan ratusan tenaga kerja migran Indonesia yang masih berhadapan dengan hukuman mati dan eksekusi di luar negeri.

 

Jakarta, 30 Oktober 2018

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Rilis Pers – Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia: Hormati Kehidupan, Rayakan Kemanusiaan

Dalam rangka memperingati Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia yang jatuh setiap tahunnya pada tanggal 10 Oktober, LBH Masyarakat menyelenggarakan sebuah festival kemanusiaan satu-hari yang bertajuk, A Day for Forever: Celebrating Life and Hope, pada hari Sabtu, 7 Oktober 2017, bertempat di Conclave, Jl. Wijaya.

LBH Masyarakat memilih tema festival tersebut di atas karena kami resah melihat politik hukum dan HAM hari-hari ini yang kian menepikan arti penting kehidupan dan mengingkari martabat kemanusiaan. Di bawah pemerintahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi), telah dilangsungkan tiga gelombang eksekusi mati yang telah merenggut nyawa 18 orang terpidana mati. Kesemuanya dijalankan dengan dalih “darurat narkotika”. Memasuki tahun ketiga rezim Jokowi, angka kejahatan narkotika tidaklah menunjukkan penurunan, yang ada justru tindak pidana narkotika kian marak dan aparat penegak hukum juga terlibat di dalam peredaran gelap narkotika. Bukannya mengevaluasi kebijakan narkotika yang tengah berjalan, Jokowi justru mendorong terus kebijakan punitif yang nirhasil.

Di tengah kepemimpinan yang goyah karena diterpa isu anti-Islam, diasosiasikan dengan PKI, dan cenderung otoriter, Jokowi sekali lagi menggunakan isu narkotika untuk tampil heroik. Belum lagi mengingat mendekatnya kontestasi politik 2019, Jokowi seperti hendak terlihat gagah mengatasi persoalan kejahatan yang menyeruak. Gejala ini menunjukkan betapa penyelesaian sebuah persoalan publik, yang seharusnya dilihat dari kacatama ilmiah yang jernih, malah rentan dieksploitasi dan dimanfaatkan sebagai alat elektoral guna mendulang suara.

Berangkat dari situasi di atas, LBH Masyarakat memandang penting untuk terus menyuarakan pentingnya penghormatan terhadap kemanusiaan di tengah derasnya arus narasi pemerintah yang hendak meminggirkan norma-norma hak asasi manusia dalam menyelesaikan pelbagai problem sosial dan hukum. Selain itu, LBH Masyarakat juga merasa perlu untuk senantiasa mengajak publik tetap dapat menjaga kekritisannya dalam mengawal jalannya pemerintahan. Atas dasar inilah, LBH Masyarakat mengadakan A Day for Forever.

Jakarta, 5 Oktober 2017

Rilis Pers – Kejaksaan Agung Harus Hentikan Persiapan Eksekusi Mati Jilid 4

LBH Masyarakat mendesak Kejaksaan Agung untuk menghentikan segala persiapan terkait pelaksanaan eksekusi mati gelombang ke-4. Kejaksaan Agung juga harus menghentikan upaya meminta fatwa hukum kepada Mahkamah Agung terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus batasan waktu pengajuan grasi.

Jaksa Agung M. Prasetyo, sebagaimana dilansir oleh sejumlah media, menyampaikan bahwa Kejaksaan Agung menyiapkan 12 terpidana mati untuk segera dieksekusi mati. “Di tengah karut marutnya penegakan hukum Indonesia, Jaksa Agung hendak tampil seolah heroik dengan melakukan eksekusi mati. Padahal Kejaksaan Agung sendiri juga defisit prestasi. Selama 2.5 tahun terakhir, Kejaksaan Agung tidak kunjung menunjukkan prestasi yang membanggakan. Eksekusi mati tidak lebih dari pemanis untuk menutupi buruknya performa Kejaksaan Agung dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia,” tegas Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat.

Akhir Juli 2017 kemarin, Ombudsman Republik Indonesia telah menyatakan bahwa Kejaksaan Agung melakukan beberapa pelanggaran hukum terkait eksekusi mati jilid tiga April 2016. Ombudsman juga meminta Kejaksaan Agung melakukan sejumlah perbaikan terkait tata cara eksekusi. “Bukannya membenahi diri pasca rekomendasi Ombudsman, Jaksa Agung justru mengesampingkan evaluasi Ombudsman dengan meneruskan rencana eksekusi mati. Institusi penegakan hukum seperti Kejaksaan Agung tidak bisa diserahkan kepemimpinannya kepada figur yang abai terhadap norma hukum,” imbuh Ricky. “Belum lagi, Jaksa Agung meminta fatwa hukum kepada Mahkamah Agung terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi, untuk memuluskan langkahnya melakukan eksekusi mati. Hal ini justru menunjukkan sesat pikir yang fatal dan Jaksa Agung tidak memiliki pengetahuan mendasar mengenai tata hukum Indonesia,” tambah Ricky.

LBH Masyarakat kembali mendesak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk mencopot M. Prasetyo dari jabatan Jaksa Agung, dan meminta Kejaksaan Agung untuk menghentikan segala rencana eksekusi mati jilid 4. Eksekusi mati tidak pernah terbukti berhasil menurunkan angka kejahatan apapun, termasuk tindak pidana narkotika.

Jakarta, 26 Agustus 2017

Kejaksaan Agung Melakukan Maladministrasi di Eksekusi Gelombang Tiga 29 Juli 2016

Jumat, 28 Juli 2017, Ombudsman Republik Indonesia menyatakan bahwa eksekusi mati yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung pada tanggal 29 Juli 2016 sebagai sebuah tindakan maladministrasi. Menurut Ombudsman, di pelaksanaan eksekusi tersebut Kejaksaan Agung telah melanggar Pasal 13 Undang-Undang Grasi Nomor 22 Tahun 2002 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Ombudsman juga menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melakukan praktik diskriminatif terhadap Humphrey Ejike Jefferson (Jeff), dengan menolak pengajuan Peninjauan Kembali kedua tanpa memberikan penjelasan yang memadai.

 

Temuan Ombudsman tersebut di atas adalah tindak lanjut terhadap pengaduan yang LBH Masyarakat ajukan pada bulan Agustus 2016. LBH Masyarakat mengapresiasi kesimpulan Ombudsman tersebut dan menilai temuan tersebut sebagai hasil yang penting bagi perlindungan hak asasi manusia terpidana mati. “Ombudsman mempertegas pandangan LBH Masyarakat bahwa Kejaksaan Agung telah melakukan eksekusi mati yang melawan hukum terhadap Jeff dan ketiga terpidana mati lainnya yang dieksekusi pada tanggal 29 Juli 2016,” ujar Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat. Tepat setahun yang lalu, eksekusi yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung tersebut berlangsung secara tergesa-gesa, serba tertutup dan serampangan. “Temuan Ombudsman ini menumbuhkan harapan akan adanya keadilan bagi mereka yang telah dieksekusi secara ilegal,” lanjut Ricky.

 

LBH Masyarakat mendesak Kejaksaan Agung, yang kini ramai mewacanakan adanya gelombang empat eksekusi mati, untuk menghentikan persiapan eksekusi mati. “Lebih baik Kejaksaan Agung membenahi diri daripada memaksakan diri melakukan eksekusi mati kembali. Kejaksaan Agung jelas memiliki PR besar untuk menindaklanjuti temuan Ombudsman dan belajar dari kesalahan yang mereka perbuat tahun lalu,” imbuh Ricky.

 

Dalam kesempatan ini LBH Masyarakat kembali mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera mencopot HM Prasetyo dari jabatan Jaksa Agung. Ricky menambahkan, “Dengan temuan bahwa eksekusi mati dilakukan oleh Kejaksaan Agung secara melawan hukum jelas menunjukkan inkompetensi Jaksa Agung dalam memimpin institusi ini. Bagaimana bisa kita mempercayakan institusi yang harusnya menegakkan hukum ke orang yang melanggar hukum?”

 

Jakarta, 28 Juli 2017

 

LBH Masyarakat

Eksekusi Mati IV: Menukar Nyawa dengan Suara

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam keras pernyataan Jaksa Agung RI Muhammad Prasetyo yang mengatakan bahwa Kejaksaan Agung telah mengantungi sejumlah nama terpidana mati untuk dieksekusi dan bahwa eksekusi jilid IV akan digelar, sekalipun waktu pastinya belum bisa ditentukan. Pernyataan itu disampaikan oleh Jaksa Agung hari Jumat, 19 Mei 2017, di hadapan kawan-kawan media. Lebih lanjut Prasetyo menyatakan bahwa Kejaksaan Agung akan meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) perihal pembatasan waktu pengajuan grasi.

“Pernyataan Jaksa Agung tersebut tidak ubahnya sebuah manuver politik untuk mencari popularitas di tengah miskinnya prestasi Kejaksaan Agung. Di saat politik hukum Pemerintah mengarah ke pembatasan keberlakuan hukuman mati seperti tercermin dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) maupun pernyataan Presiden Joko Widodo di beberapa kesempatan terakhir, pernyataan Jaksa Agung itu justru bertolak belakang dengan gestur Presiden sebagai atasannya maupun dengan Menteri Hukum dan HAM,” ujar Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat.

Ricky melanjutkan, “setidaknya ada dua hal yang Jaksa Agung bisa prioritaskan daripada meneruskan praktik eksekusi mati yang terbukti tidak menurunkan angka kejahatan narkotika. Pertama, mengevaluasi eksekusi jilid III kemarin yang carut-marut penuh dengan permasalahan. Melanjutkan gelombang eksekusi padahal eksekusi terakhir menyisakan banyak pertanyaan menunjukkan bahwa Kejaksaan Agung tidak pernah belajar dari kesalahan dan berpotensi mengulang pelanggaran yang sama. Kedua, Jaksa Agung sebaiknya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menjadi hutang kampanye Jokowi sebagaimana tercantum di dalam Nawacita.”

Sehubungan dengan rencana Kejaksaan Agung meminta pendapat MA terkait dengan pembatasan waktu grasi padahal Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan bahwa grasi tidak dibatasi oleh waktu, Ricky menegaskan bahwa, “Jaksa Agung melakukan kesalahan dengan meminta fatwa MA terkait putusan MK. Tidaklah pada tempatnya Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa atas putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Hal ini bukan saja memperlihatkan ketidakpahaman Jaksa Agung yang fatal mengenai sistem hukum Indonesia tetapi juga Jaksa Agung telah mengangkangi kewibawaan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi.”

Ricky juga mengingatkan bahwa, “Indonesia baru saja selesai diperiksa di Dewan HAM PBB melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR), dan persoalan hukuman mati mendapat banyak sorotan dan catatan buruk dari banyak negara. Tindakan Jaksa Agung yang hendak meneruskan eksekusi mati hanya akan melanggengkan citra buruk Indonesia di hadapan komunitas internasional. Pada UPR kemarin, 28 negara memberikan rekomendasi moratorium dan abolisi. Jumlah ini meningkat sembilan kali lipat dari UPR sebelumnya di tahun 2012, di mana hanya ada 3 negara yang memberikan rekomendasi serupa.”

“Di tengah goyahnya pemerintahan Jokowi ditempa berbagai permasalahan kebangsaan, dari meningkatnya sentimen intoleran hingga belum terungkapnya serangan terhadap Novel Baswedan, janganlah Jaksa Agung menggunakan eksekusi mati sebagai langkah populis untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu tersebut. Di saat sistem hukum Indonesia penuh dengan kebobrokan, akan selalu ada orang-orang yang tidak bersalah divonis mati atau mengalami proses hukum yang cacat, sebagaimana ditunjukkan di tiga gelombang eksekusi terakhir,” tambah Ricky.

Dipilihnya terpidana mati narkotika sebagai orang-orang yang akan dieksekusi Kejaksaan Agung di eksekusi jilid IV kembali memperlihatkan kebebalan pemerintah dalam mengatasi persoalan narkotika. Berdasarkan catatan LBH Masyarakat, sepanjang 2016, setidaknya terdapat 120 artikel berita yang melaporkan peristiwa pengendalian narkotika dari dalam lapas, dan 729 artikel berita mengenai penggrebekan peredaran narkotika dalam skala besar, di mana terdapat lebih dari 4.200 kg shabu dan 5.700 kg ganja disita oleh aparat. “Tidakkah cukup kasat mata bahwa eksekusi mati gagal mengatasi kejahatan narkotika? Apa lagi yang dicari Pemerintah dengan meneruskan eksekusi ketika tujuan dilakukannya eksekusi itu tidak tercapai? Pemerintah harus segera menghentikan rencana eksekusi jilid IV dan menerapkan moratorium, serta mengkaji kembali kasus-kasus hukuman mati dengan tujuan perubahan hukuman. Secara khusus, Presiden Jokowi perlu segera mencopot Prasetyo dari jabatan Jaksa Agung karena kinerjanya yang buruk dan telah melakukan sejumlah kesalahan hukum,” jelas Ricky.

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Evaluasi Situasi HAM Indonesia di Universal Periodic Review (UPR) yang ke-3: 28 Negara Merekomendasikan Moratorium Hukuman Mati.

Indonesia, seperti negara anggota PBB yang lain, menjalani evaluasi HAM secara berkala di Dewan HAM PBB. PBB sendiri memiliki beberapa mekanisme untuk memeriksa komitmen negara pada hak asasi manusia. Salah satunya ialah  melalui Universal Periodic Review (UPR). Melalui UPR ini, Indonesia diuji ketaatan dan pemenuhannya terhadap hak asasi manusia oleh komunitas internasional. UPR kali ini berlangsung pada 3 Mei 2017 di Jenewa. Sebelumnya, Indonesia sudah pernah melalui 2 UPR yakni pada tahun 2008 dan 2012.

Kordinator Program LBH Masyarakat, Ajeng Larasati, hadir mewakili elemen masyarakat sipil untuk memberikan laporan pada proses UPR ini.

Catatan LBH Masyarakat terkait Situasi Hukuman Mati Indonesia di Universal Periodic Review (UPR) yang ke-3, Mei 2017

LBH Masyarakat berpendapat bahwa pelaksanaan UPR yang ketiga terhadap Indonesia, yang berlangsung pada 3 Mei 2017, berjalan dengan baik dan konstruktif. Baik Indonesia, maupun negara yang melakukan penilaian terhadap Indonesia, saling menghargai proses yang berlangsung dan mengedepankan pentingnya kooperasi yang positif. LBH Masyarakat mencatat bahwa sejumlah isu hak asasi manusia telah diangkat dan dibahas dengan mencukupi sepanjang sesi, seperti misalnya isu mengenai hak perempuan dan anak. Namun demikian, masih terdapat beberapa isu hak asasi manusia penting yang tidak secara substansial ditanggapi, atau bahkan cenderung diabaikan, seperti misalnya perlindungan terhadap hak-hak LGBT.

LBH Masyarakat mengapresiasi tingkat perhatian yang tinggi yang diberikan terhadap isu hukuman mati. Berdasarkan catatan kami, ada setidaknya 28 dari 107 (25%) negara yang memberikan rekomendasi terkait dengan hukuman mati.

Secara umum, rekomendasi tersebut berisi anjuran bagi Indonesia untuk segera memberlakukan kembali moratorium hukuman mati bagi semua tindak pidana. Tetapi beberapa rekomendasi dibuat secara lebih spesifik. Australia, misalnya, merekomendasikan Indonesia untuk ‘meningkatkan pedoman pengamanan dalam penggunaan hukuman mati’, yang termasuk di antaranya dengan memastikan ‘akses terhadap bantuan hukum yang berkualitas sejak dini’ bagi orang yang menghadapi hukuman mati, ‘penghapusan hukuman mati bagi orang dengan gangguan kejiwaan’, dan merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sesuai dengan standar hak asasi manusia international. Selain itu, Belgia merekomendasikan Indonesia untuk ‘membentuk badan yang independen dan imparsial untuk meninjau seluruh kasus hukuman mati dengan tujuan menghapus hukuman mati dan/atau setidaknya memastikan tersedianya pemenuhan hak atas peradilan yang adil dan jujur yang sesuai dengan standar internasional.’

Jumlah rekomendasi terkait hukuman mati yang diberikan pada putaran ketiga ini meningkat sembilan kali dari UPR putaran sebelumnya di 2008, di mana Indonesia hanya mendapatkan rekomendasi dari tiga negara.

Fakta bahwa ada setidaknya seperempat negara yang memberikan rekomendasi terkait dengan moratorium hukuman mati atau eksekusi hukuman mati mengindikasikan tingkat keseriusan dari isu ini. Namun demikian, kami menyayangkan buruknya respon Indonesia terhadap hal tersebut.

Indonesia, sebagaimana telah kami prediksi, masih saja menggunakan data yang cacat terkait dengan kematian yang disebabkan oleh narkotika dan retorika moral untk menjustifikasi aksi barbar hukuman mati. Indonesia berulang kali menggunakan statistik 40 orang meninggal setiap harinya akibat narkotika – sebuah argumen yang mendapatkan kiritik keras dari akademisi Indonesia dan internasional. Penggunaan data yang cacat ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak memiliki komitmen terhadap kebijakan yang berbasis bukti ataupun mengakui pentingnya kebijakan narkotika yang berbasis hak asasi manusia dalam mengatasi persoalan penggunaan narkotika. Sebaliknya, Indonesia justru mempromosikan penggunaan wajib rehabilitasi yang melanggar hak atas kesehatan.

Lebih jauh lagi, Indonesia berargumen bahwa eksekusi telah dilakukan dengan menghargai dan melindungi prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya hak atas peradilan yang jujur dan adil. Indonesia dengan bangga menyatakan bahwa eksekusi dilakukan setelah melalui prosedur hukum yang ketat. Tetapi, persis karena sistem peradilan Indonesia yang sarat dengan korupsi menjadi bagian yang melekat dari persoalan hukuman mati, oleh karena itu tidak dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki sistem hukum yang baik. Dalam tiga eksekusi terakhir di bawah rejim Joko Widodo, terdapat persoalan serius mengenai absennya mekanisme pedoman pengamanan. Delapan belas orang yang dieksekusi dalam tiga eksekusi terakhir mengalami pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang jujur dan adil, termasuk Zainal Abidin, yang kasusnya direkayasa; Rodrigo Gularte, yang memiliki skizofrenia paranoid dan bipolar; dan, Humphrey Ejike, orang yang tidak bersalah yang ketika dieksekusi sedang dalam proses pengajuan grasi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, LBH Masyarakat mendorong pemerintah Indonesia untuk menerima ke-dua puluh delapan rekomendasi terkait dengan hukuman mati yang diberikan dalam putaran ketiga UPR terhadap Indonesia.

Indonesia harus memberlakukan moratorium secara formal dengan tujuan menghapuskan hukuman mati. Sementara moratorium diberlakukan, Indonesia harus membentuk badan independen untuk meninjau ulang seluruh kasus hukuman mati, mengubah hukuman mati bagi seluruh terpidana mati, dan segera merevisi KUHP sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.

Ajeng Larasati – Koordinator Program, Riset, dan Kebijakan LBH Masyarakat

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat