Skip to content

Kategori: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Rilis Pers – Buruk Rupa Pemerintah dalam Menanggulangi Kebakaran Lapas Tangerang kepada Keluarga Korban

Pada Rabu, 8 September 2021, dini hari, telah terjadi kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan kelas I Tangerang (Lapas Tangerang). Dalam peristiwa tersebut setidaknya telah memakan korban jiwa sejumlah 49 orang. Hampir satu bulan peristiwa tersebut terjadi, pemerintah telah melakukan tindakan pasca terbakarnya Lapas Tangerang, seperti pengidentifikasian para korban yang meninggal, pengobatan para korban yang terluka, penguburan korban yang meninggal dan pemberian sejumlah uang kepada keluarga korban yang meninggal.

Pasca terjadinya peristiwa kebakaran tersebut Tim Advokasi Korban Kebakaran (TAKK) yang terdiri dari LBH Masyarakat (LBHM), LBH Jakarta, Imparsial, dan LPBH NU Tangerang menginisiasi pembukaan posko pengaduan kepada para keluarga korban yang ingin menuntut pemerintah dihadapan hukum atas peristiwa kebakaran Lapas Tangerang. Setidaknya ada 9 pengadu yang membuat pengaduan kepada koalisi dan dari 9 pengadu tersebut terdapat 7 keluarga korban yang meminta pendampingan hukum kepada koalisi.

Para keluarga korban tersebut memberikan keterangan kepada koalisi terkait proses pengidentifikasiaan yang dilakukan pemerintah terhadap para korban kebakaran Lapas Tangerang. Dari keterangan keluarga korban tersebut terdapat setidaknya tujuh temuan yang ditemukan dari proses penanggulangan pasca kebakaran Lapas Tangerang yang disampaikan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas Ham).

Pertama, ketidakjelasan proses identifikasi tubuh korban meninggal. Bahwa proses identifikasi tubuh korban tidak jelas dan transparan. Bahkan, sampai terakhir korban meninggal dimakamkan tidak ada informasi yang akurat yang menunjukkan atas dasar apa jenazah korban bisa benar-benar teridentifikasi.
 
Kedua, ketidakterbukaan penyerahan jenazah korban meninggal. Bahwa pada saat penyerahan jenazah korban kepada keluarga, jenazah  dimasukan ke dalam peti yang telah ditutup rapat sehingga tidak memungkinkan untuk di buka sendiri oleh pihak keluarga. Ketika keluarga korban meminta untuk peti di buka agar mereka bisa melihat jenazah korban, alih-alih diizinkan melihat tubuh korban, pihak keluarga justru seolah-olah diberikan sugesti bahwa akan mengalami trauma jika melihat kondisi tubuh korban tersebut. Meskipun demikian, keluarga masih tetap ingin melihat jenazah korban, akan tetapi tetap tidak diizinkan dan pada akhrinya tetap tidak bisa melihat konidisi tubuh korban untuk yang terakhir kali.
 
Ketiga, ketidaklayakan peti jenazah korban. Bahwa berdasarkan keterangan keluarga korban yang mengambil jenazah korban, jenazah dimasukan ke dalam peti yang sudah tertulis nama masing-masing korban dengan ditempel kertas pada peti jenazah. Peti tersebut berbahan triplek biasa yang tidak layak untuk digunakan sebagai peti jenazah. Oleh karena itu, terdapat keluarga korban yang bahkan membeli sendiri peti jenazah agar bisa ditempatkan ke dalam peti yang layak.
 
Keempat, terdapat intimidasi saat penandatanganan dokumen-dokumen administrasi dan pengambilan jenazah korban. Bahwa pada saat penandatanganan dokumen-dokumen, lokasi penandatangan dan lokasi penempatan jenazah di lokasi berbeda. Lokasi jenazah di lantai satu, sedangkan penandatanganan di lantai dua. Keluarga korban kemudian dibawa lewat tangga ke lantai dua untuk masuk ke sebuah ruangan yang dirasa keluarga korban tidak layak untuk dijadikan tempat penandatanganan dokumen. Pada saat penandatanganan tersebut, keluarga korban diminta tanda tangan dengan tergesah-gesah dengan dikerumuni banyak orang.
 
Kelima, terdapat upaya pembungkaman agar keluarga korban tidak menuntut pihak manapun atas peristiwa kebakaran Lapas Tangerang. Pada saat penandatanganan dokumen-dokumen saat penyerahan jenazah korban dengan kondisi yang berindikasi intimidatif, terdapat surat pernyataan yang diberikan kepada keluarga korban untuk ditanda-tangani, yakni berisi pernyataan tidak akan ada tuntutan ke pihak lapas dan pihak lainnya di kemudian hari.

Keenam, tidak ada pendampingan psikologis yang berkelanjutan kepada keluarga korban pasca penyerahan jenazah korban. Bahwa kejadian kebakaran Lapas Tangerang menyisakan derita pilu yang tidak akan ada akhirnya kepada keluarga korban. Akan tetapi, pemerintah pasca penyerahan jenazah seolah lepas tangan dan tidak memberikan bantuan psikologis kepada keluarga korban yang setidaknya membutuhkan bantuan pengobatan dari trauma pasca kejadian kebakaran Lapas Tangerang.

Ketujuh, pemberian uang 30 juta oleh pemerintah sama sekali tidak membantu keluarga korban. Bahwa berdasakan keterangan keluarga korban pemerintah memberikan uang setidaknya sejumlah 30 juta. Uang tersebut dikatakan sebagai bentuk “uang tali kasih” dari pemerintah atas peristiwa kebakaran Lapas Tangerang. Alih-alih sebagai bentuk tali kasih atau bantuan kepada keluarga yang ditinggalkan, uang tersebut hanya habis untuk kepentingan penghiburan atau pendoan terhadap korban meninggal.

Ketujuh temuan tersebut menunjukan empat persoalan mendasar dalam proses penanggulangan pasca terjadinya peristiwa kebakaran Lapas Tangerang. Pertama, ketidakterbukaan informasi pengidentifikasian jenazah korban meninggal; kedua, ketidaklayakan pemulasaraan jenazah korban meninggal; ketiga, adanya penyalahgunaan keadaan saat proses penyerahan jenazah korban yang berdampak pada dugaan pelanggaran HAM yang dialami keluarga korban; keempat, ketiadaan pertanggungjawaban ganti kerugian yang diberikan kepada keluarga korban.

Disamping hal tersebut, komisioner Komnas Ham, Mohammad Choirul Anam juga menyampaikan penting memperhatihan pemulihan status korban meninggal untuk menghilangkan stigma narapidana yang melekat kepada korban yang meninggal. Karena seseorang yang menjalani proses peradilan pidana di lembaga pemasyarakatan untuk menjalani pembinaan dan setelah menjalani pembinaan tersebut akan keluar menjadi manusia seutuhnya. Namun demikian, dalam peristiwa kebakaran Lapas Tangerang, korban yang meninggal mengenyam status ” narapidana” tersebut sampai akhir hayat karena kelalaian yang disebabkan pemerintah. Oleh karena itu, penting juga memperhatikan pemulihan status korban yang meninggal.

Bahwa atas peristiwa dan temuan proses penanggulangan pasca kebakaran Lapas Tangerang tersebut setidaknya telah berdampak pada pengakuan, pengurangan, penikmatan dan penggunaan hak asasi keluarga korban sebagaimana juga telah dijamin dalam Pasal 28A, Pasal 28G ayat (1)) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 (Konstitusi RI) dan Pasal 17 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yakni, hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya, hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, dan hak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi.
 
Berdasarkan hal-hal di atas Tim Advokasi Korban Kebakaran (TAKK) menuntut Pemerintah dan meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk:

  1. Menuntut Pemerintah memulihkan status korban meninggal dengan memberikan amnesti massal terhadap korban meninggal.

2.  Menuntut Pemerintah beritikad baik untuk memberikan ganti kerugian yang layak sesuai dengan kebutuhan masing-masing keluarga korban;

3.  Meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran HAM atas peristiwa kebakaran Lapas Tangerang.

Tim Advokasi Korban Kebakaran (TAKK)
LBH Masyarakat (LBHM); IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor; LBH Jakarta; LPBH NAHDLATUL ULAMA TANGERANG

Rilis Pers – Seleksi Calon Hakim Agung Tahun 2021: Mampukah Menghasilkan Hakim Agung yang Berintegritas dan Profesional?

Komisi Yudisial (KY) telah menyelenggarakan tahap akhir seleksi calon hakim agung (CHA) berupa wawancara (fit and proper test) terhadap 24 orang calon pada tanggal 3-7 Agustus 2021. Rangkaian seleksi CHA ini diselenggarakan oleh KY untuk memenuhi jumlah kebutuhan Hakim Agung sebanyak 13 orang yang diminta Mahkamah Agung (MA) dengan rincian 2 orang Hakim Agung kamar perdata, 8 orang Hakim Agung kamar pidana, 1 orang Hakim Agung kamar militer, dan 2 orang Hakim Agung kamar tata usaha negara khusus pajak.

Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mencatat beberapa isu perihal keterbukaan yang terjadi selama diselenggarakannya wawancara CHA oleh KY. Pertama, beberapa CHA yang lolos ke tahap wawancara diduga memiliki rekam jejak bermasalah, mulai dari jumlah harta kekayaan yang tidak wajar hingga dugaan pelanggaran integritas dan profesionalitas. Kedua, Koalisi menilai beberapa panelis dan komisioner memberikan kesan intimidatif saat melemparkan pertanyaan, tetapi justru tidak terdapat pendalaman yang berarti secara substansi. Ketiga, proses pendalaman profil berupa klarifikasi rekam jejak CHA dalam wawancara CHA sempat dilakukan secara tertutup dengan menonaktifkan suara (mute) pada saat live Youtube berlangsung, namun pada hari kedua mekanisme ini diubah dan dapat disaksikan secara daring oleh publik.

Poin kedua dan ketiga menunjukkan bahwa tahap wawancara tidak sepenuhnya dilakukan dengan transparan, akuntabel, dan partisipatif. Hal ini tidak sejalan dengan UU Komisi Yudisial dan Peraturan Komisi Yudisial No. 2 Tahun 2016 tentang Seleksi Calon Hakim Agung yang mengatur bahwa “seleksi calon hakim agung dilaksanakan secara transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel.” Dalam Peraturan KY ini, diatur dalam Pasal 21 ayat (6) bahwa wawancara dilakukan secara tertutup dalam hal terdapat informasi baru terkait kesusilaan.

Koalisi mencatat bahwa seleksi CHA kali ini merupakan sebuah kemunduran bagi Komisi Yudisial. Setelah proses wawancara yang kurang transparan, akuntabel dan partisipatif, proses pengumuman CHA yang lolos ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak dipublikasikan oleh KY. Pasca wawancara di KY yang selesai pada 7 Agustus 2021, tidak ada kabar mengenai hasil seleksi CHA baik di website dan media sosial KY maupun di media massa. Hingga pada Jumat, 27 Agustus 2021, beredar file surat perihal Pengajuan Nama Calon Hakim Agung Tahun 2021 yang dikirimkan Komisi Yudisial kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Ketua Komisi III DPR. Surat tersebut bertanggal 9 Agustus 2021 dan memuat 11 nama CHA yang dinyatakan lolos oleh KY dan akan diseleksi lebih lanjut oleh DPR.

Kemunculan surat ini di berbagai platform sebagai dokumen yang tidak resmi dikeluarkan oleh KY tentu menjadi hal yang mengejutkan mengingat dalam proses seleksi CHA yang telah berlangsung di tahun-tahun sebelumnya, KY selalu mengumumkan nama-nama Calon yang lolos dan akan mengikuti seleksi ke DPR bersamaan dengan pengiriman surat ke DPR. Sedangkan, pada seleksi tahun 2021 ini, tidak terdapat pengumuman resmi oleh KY. Sejak berakhirnya proses wawancara pada 7 Agustus 2021, tidak terdapat kabar berita dari KY mengenai kemajuan pelaksanaan seleksi CHA hingga akhirnya surat rahasia tersebut beredar. Bagi Koalisi, hal ini sekali lagi mengundang tanda tanya akan transparansi KY dalam menyelenggarakan proses seleksi CHA. Hari ini 17 September 2021, Pimpinan KY menyerahkan nama-nama calon hakim agung secara simbolis kepada Pimpinan DPR secara langsung di DPR.

Proses seleksi di DPR sudah dimulai hari ini 17 September 2021 dengan agenda pertama penulisan makalah oleh para CHA. Selanjutnya akan dilakukan fit and proper test berupa wawancara CHA pada Senin-Selasa, 20 dan 21 September 2021. Komisi III DPR akan mengambil keputusan mengenai CHA yang lolos menjadi Hakim Agung pada Selasa 21 September 2021.

Penerapan keterbukaan dan transparansi yang rumpang dalam pelaksanaan seleksi CHA di tahap sebelumnya menyadarkan kita bahwa diperlukan pengawalan yang lebih intensif lagi dalam proses seleksi CHA yang akan dilaksanakan di DPR. Untuk itu, Koalisi menuntut Dewan Perwakilan Rakyat untuk:

  1. Menyelenggarakan proses seleksi Calon Hakim Agung secara terbuka dan dapat diakses oleh publik secara daring (online). Dalam hal ini, DPR dapat menerapkan praktik yang sudah dilakukan oleh KY dalam tahap sebelumnya.

2. Memilih Calon Hakim Agung yang memiliki profil:

  • CHA yang memiliki visi dan misi yang jelas sebagai Hakim Agung;
  • CHA yang tidak memiliki catatan integritas yang buruk;
  • CHA yang memiliki harta kekayaan yang wajar;
  • CHA yang memiliki pemahaman mumpuni mengenai hukum dan peradilan sesuai kamar perkara yang dipilih;
  • CHA yang berkomitmen untuk berperan aktif dalam reformasi peradilan khususnya di Mahkamah Agung;
  • CHA yang memahami peran hakim dan pengadilan dalam pemenuhan HAM sesuai kedudukan pengadilan dalam konsep negara hukum; serta
  • CHA yang memiliki keberpihakan pada kelompok rentan, yaitu perempuan, anak, masyarakat miskin dan kelompok minoritas, serta perlindungan lingkungan hidup.

3. Tidak meloloskan CHA yang memiliki rekam jejak buruk dan tidak berintegritas.

KOALISI PEMANTAU PERADILAN:
Transparency International Indonesia (TII), Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Public Interest Lawyer Network (PILNET), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Imparsial, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA), LBH Apik Jakarta.

Rilis Pers – Kebakaran Lapas Tangerang: Pemerintah Harus Bertanggung Jawab Di Hadapan Hukum

Rabu, 8 September 2021, dini hari, telah terjadi kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan kelas I Tangerang (Lapas Tangerang). Dalam peristiwa tersebut berdasarkan informasi dari media per tanggal 8 September 2021 telah memakan korban jiwa setidaknya yang berhasil diidentifikasi sejumlah 41 orang, mengalami luka berat sejumlah 8 orang, dan luka ringan sejumlah 72 orang. Sedangkan per tanggal 9 September 2021 telah bertambah 3 orang, sehingga total yang tewas sebanyak 44 orang.

Dalam Laporan Media Briefing Minggu 12 September 2021, LBHM, Imparsial, LBH Jakarta, LPBH Nahdlatul Ulama Tangerang, menemukan adanya kesalahan sistematik dalam kejadian kebakaran Lapas Tangerang, seperti (i) over kapasitas Lapas Tangerang akibat stagnannya upaya revisi UU Narkotika, (ii) sarana dan prasarana yang tidak memadai, (iii) tidak dilakukannya upaya pemeliharaan dan perbaikan instalasi listrik, (iv) tidak berjalannya SOP penanganan kebakaran, sehingga menyebabkan banyak korban berjatuhan, menunjukkan adanya kelalaian Menteri Hukum dan HAM, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kepala Kantor Wilayah Banten Kementerian Hukum dan HAM, dan Kepala Lapas Tangerang dalam menjalankan tugasnya yang dapat dimintakan pertanggungjawaban ke hadapan hukum.

Kami menilai kebakaran Lapas Tangerang merupakan persoalan serius yang harus dipertanggungjawabkan pemerintah di hadapan hukum untuk memastikan peristiwa serupa tidak terulang lagi dan menjadi pelajaran di masa yang akan datang, sehingga kami akan melakukan advokasi dan bersedia memberikan bantuan hukum dan mendampingi sepenuhnya secara cuma-cuma (pro bono) pihak-pihak yang ingin meminta pertanggungjawaban pemerintah di hadapan hukum dengan membuka posko pengaduan dan pendampingan hukum kepada korban dan keluarga korban dari peristiwa kebakaran Lapas Tangerang.

Berdasarkan hal-hal di atas, LBHM, Imparsial, LBH Jakarta, LPBH Nahdlatul Ulama Tangerang, mendesak Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk:

  1. Segera memberhentikan Menteri Hukum dan HAM, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kepala Kantor Wilayah Banten Kementerian Hukum dan HAM, dan Kepala Lapas Tangerang serta memastikan peristiwa serupa tidak terjadi lagi di masa yang akan datang;
  2. Menyampaikan secara terbuka kepada publik terkait informasi kebakaran di Lapas Tangerang dengan sebenar-benarnya;
  3. Meminta kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan audit manajemen dan keamanan terhadap setiap lembaga pemasyarakatan di seluruh wilayah Republik Indonesia;
  4. Merevisi UU Narkotika agar tidak lagi berorientasi pada penghukuman dan pemenjaraan sehingga dapat mengurai masalah over kapasitas di lembaga pemasyarakatan;
  5. Mendorong reformasi pendekatan pidana penjara dalam hukum pidana dengan alternatif penghukuman non penjara;
  6. Mendorong pemerintah untuk kembali melakukan upaya asimilasi dan integrasi warga binaan pemasyarakatan terutama yang terkait kasus narkotika dengan kualifikasi pengguna atau pecandu;
  7. Memberikan ruang kepada korban dan/atau keluarga korban yang ingin meminta bantuan hukum kepada LBHM, Imparsial, LBH Jakarta, LPBH Nahdlatul Ulama Tangerang;
  8. Menjamin tidak akan ada pihak yang menghalang-halangi korban dan/atau keluarga korban kebakaran Lapas Tangerang untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah di hadapan hukum.

Simak laporan lengkap di link berikut:
Kebakaran Lapas Tangerang: Pemerintah Harus Bertanggung Jawab Di Hadapan Hukum

Rilis Pers – Kebakaran Lapas Tangerang: Saatnya Reformasi Kebijakan Hukum Pidana

LBH Masyarakat (LBHM) turut berduka cita atas kebakaran yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang (Lapas Tangerang) Rabu, 8 September 2021, dini hari tadi. Dalam peristiwa tersebut telah memakan korban jiwa sebanyak 41 orang, dan sebagian di antaranya mengalami luka berat (8 orang) dan luka ringan (72 orang).

Peristiwa kebakaran yang terjadi di Lapas Tangerang merupakan salah satu dampak dari permasalahan lapas yang tiada habisnya serta ekses kebijakan hukum pidana yang dominan dengan pendekatan penjara.

Berdasarkan hal tersebut, LBHM memberikan beberapa respon atas kejadian kebakaran di Lapas Klas I Tangerang, diantaranya:

Pertama, berdasarkan sistem database pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, per 7 September 2021, Lapas Tangerang termasuk lapas yang memiliki overcrowding yang tinggi sebesar 245% . Sedangkan daya tampung Lapas Tangerang hanya mampu menampung sebanyak 600 orang. Akan tetapi, faktanya Lapas Tangerang hari ini per 7 September 2021 dihuni sebanyak 2.072 orang. Di mana terdapat 1.805 orang merupakan warga binaan pemasyarakatan yang terkait kasus narkotika. Kondisi overwcrowding dan banyaknya warga binaan pemasyarakatan terkait kasus narkotika yang masuk kategori pengguna atau pecandu semakin menambah daftar permasalahan pendekatan pidana penjara dalam perumusan hukum pidana narkotika di Indonesia yang berkonstribusi terhadap overcrowding lapas dan berdampak terhadap pengelolaan lapas di Indonesia yang tidak sigap terhadap kondisi bencana;

Kedua, kebakaran yang terjadi di Lapas Tangerang dini hari tadi hanyalah puncak gunung es dari problematika pengelolaan lapas di Indonesia. Tragedi kemanusiaan dini hari tadi pagi semakin menunjukan betapa buruknya pengelolaan lapas di Indonesia baik dari sisi kebijakan peradilan pidana terpadu maupun dari manajemen dan keamanan lapas;

Ketiga, pada awal pandemi tahun 2020, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan kebijakan terkait asimilasi, pembebasan bersayarat, cuti menjelang bebas, cuti bersyarat dalam rangka penanggulangan Covid-19 di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara bagi narapidana dan anak. Kebijakan ini responsif dalam mengurangi overcrowding tapi dalam kasus narkotika yang masuk kategori pecandu atau pengguna yang divonis di atas lima tahun penjara tidak masuk dalam skema kebijakan tersebut. Sehingga penting untuk memastikan kembali pemberlakukan kebijakan tersebut bagi warga binaan pemasyarakatan kategori pecandu atau pengguna;

Keempat, penting bagi jajaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melakukan pemulihan terhadap warga binaan pemasyarakatan melakukan healing terhadap korban kebakaran mengingat kejadian kebakaran ini sangat kuat membekas dan menimbulkan trauma yang berkepanjangan;

Berdasarkan hal tersebut di atas, LBHM menuntut:

  • Melakukan langkah-langkah evakuasi dan penyelamatan bagi korban kebakaran Lapas Tangerang dan memberikan perawatan yang intensif bagi korban yang selamat serta pemerintah menanggung biayanya;
  • Menuntut Pemerintah meminta maaf atas peristiwa kebakaran di Lapas Tangerang dan mendorong dilakukan penyelidikan dan menyampaikan hasilnya secara terbuka kepada publik terkait kebakaran di Lapas Tangerang;
  • Mendorong reformasi pendekatan pidana penjara dalam hukum pidana dengan alternatif penghukuman non penjara;
  • Mendorong pemerintah untuk kembali melakukan upaya asimilasi dan integrasi warga binaan pemasyarakatan terutama yang terkait kasus narkotika dengan kualifikasi pengguna atau pecandu.

Rilis Pers – Menyoal Ancaman Hukum Terhadap ICW: Pemberangusan Demokrasi dan Upaya Kriminalisasi

Praktik pembungkaman atas kritik masyarakat kembali terjadi. Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, melalui kuasa hukumnya, Otto Hasibuan, melayangkan somasi kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait dengan penelitian tentang polemik Ivermectin. Somasi tersebut berisi niat Moeldoko untuk menempuh jalur hukum dengan melaporkan ICW ke pihak berwajib. Tentu langkah ini amat disayangkan, sebab, semakin memperlihatkan resistensi seorang pejabat publik dalam menerima kritik.

Penting ditekankan, ICW sebgai bagian dari masyarakat sipil sedang menjalankan tugasnya dalam fungsi pengawasan terhadap jalannya proses pemerintahan. Hal yang mana sangat lazim dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil lainnya sebagai bentuk partisipasi untuk memastikan adanya tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Terlebih lagi, ICW menuangkan pendapatnya dalam sebuah penelitian yang didasarkan atas kajian ilmiah dengan didukung data dan fakta. Sehingga, tidak salah jika dikatakan bahwa langkah Moeldoko, baik somasi maupun niat untuk memproses hukum lanjutan, merupakan tindakan yang kurang tepat dan berlebihan.

Sebagaimana diketahui, Indonesia saat ini sedang dilanda pandemi Covid-19 yang telah merenggut nyawa puluhan ribu masyarakat dan meruntuhkan perekonomian negara. Berangkat dari hal itu, semestinya pemerintah membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memberikan masukan dalam proses penanganan Covid-19 ini. Namun, alih-alih dilaksanakan, Moeldoko selaku bagian dari pemerintahan justru menutup celah tersebut dengan mengedepankan langkah hukum ketika merespon kritik dari ICW. Padahal, penelitian ICW masih bertalian dengan konteks terkini, yaitu upaya pencegahan korupsi di sektor farmasi.

Menyikapi langkah Moeldoko, setidaknya ada dua isu yang tampak oleh masyarakat. Pertama, upaya pemberangusan nilai demokrasi. Patut dipahami, peraturan perundang-undangan telah menjamin hak setiap masyarakat atau organisasi untuk menyatakan pendapat. Mulai dari Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945, Pasal 23 jo Pasal 25 jo Pasal 44 UU Hak Asasi Manusia, Pasal 8 ayat (1) UU Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 41 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, jaminan tersebut juga dituangkan dalam berbagai kesepakatan internasional, diantaranya: Pasal 19 Deklarasi Universal HAM, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 23 Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN.

Terlepas dari rangkaian pengabaian regulasi terkait hak menyatakan pendapat, langkah Moeldoko ini pun berpotensi besar menurunkan nilai demokrasi di Indonesia. Awal Februari lalu, The Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3. Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, Indonesia mendapatkan rapor merah karena adanya penurunan skor yang cukup signifikan. Maka dari itu, praktik pembatasan hak berpendapat, terlebih kritik dari masyarakat perlu untuk dihentikan.

Kedua, melanggengkan praktik kriminalisasi terhadap organisasi masyarakat sipil. Merujuk data SAFENet, dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kriminalisasi menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik banyak menyasar masyarakat dari berbagai kalangan, misalnya: aktivis, jurnalis, hingga akademisi. Mirisnya, mayoritas pelapor justru pejabat publik. Ini menandakan belum ada kesadaran penuh dari para pejabat dan elit untuk membendung aktivitas kriminalisasi tersebut, guna mendorong terciptanya demokrasi yang sehat di Indonesia.

Selanjutnya, dari aspek hukum, mengacu pada pemberitaan media, terdapat konstruksi yang keliru dalam memaknai aspek pelanggaran hukum dari penelitian ICW tersebut. Jika dimaknai sebagai delik pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik jo KUHP, maka penting untuk dijelaskan lebih lanjut. KUHP pada dasarnya memuat tentang alasan pembenar yang relevan ketika dikaitkan dengan penelitian ICW, yakni Pasal 310 ayat (3) KUHP: tidak merupakan pencemaran, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum. Sebab, ICW memaparkan temuan dalam konteks kepentingan pemerintah untuk mencegah adanya praktik rente dan conflict of interest (CoI) di tengah situasi kritis akibat pandemi Covid-19, hal yang jelas berhubungan dengan kepentingan publik.

Permasalahan lain juga tampak ketika yang digunakan adalah UU ITE. Hal ini dikarenakan adanya Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam dokumen tersebut, tepatnya bagian Pasal 27 ayat (3) bagian c disampaikan bahwa bukan delik pencemaran nama baik jika muatannya berupa penilaian atau hasil evaluasi. Pernyataan yang dikeluarkan ICW lahir dari sebuah penelitian yang memiliki metode, data dan referensi yang jelas, tentu ini telah memenuhi ketentuan tersebut karena telah melewati proses penilaian dan evaluasi atas suatu isu yang menjadi perhatian masyarakat.

Sebenarnya, tanpa mesti menempuh jalur hukum, Moeldoko dapat menyampaikan bantahan atas temuan ICW dengan menggunakan hak jawab sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Pers. Sebab, hasil penelitian ICW tersebut diketahui khalayak ramai oleh karena dimuat dalam berbagai pemberitaan media. Dalam negara demokrasi, mekasnisme ini lah yang harusnya didorong dan ditempuh, bukan dengan ancaman pidana.

Berkenaan dengan poin-poin di atas, maka Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar:

  • Moeldoko untuk menghormati proses demokrasi yaitu kritik dari hasil penelitian yang dilakukan oleh ICW dan lebih berfokus pada klarifikasi pada temuan-temuan dari penelitian tersebut;
  • Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan mencabut somasi dan mengurungkan niat untuk melanjutkan proses hukum terhadap ICW;
  • Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum agar tetap pada komitmen untuk menjaga demokrasi di Indonesia dengan mengimplementasikan hukum dan kebijakan yang sudah dibuat untuk kepentingan masyarakat dan bukan untuk pemberangusan;

Koalisi Masyarakat Sipil:
YLBHI; PBHI; Auriga Nusantara; ICJR; PSHK; ELSAM; ICEL; IJRS; IMPARSIAL; KontraS; Yayasan Perlindungan Insani Indonesia; P2D; Yayasan Kurawal; Koalisi Warga untuk Lapor VID19-19; Greenpeace Indonesia; Aliansi Jurnalis Independen ( AJI) Indonesia; Serikat Mahasiswa Progresif UI; BEM STHI Jentera; Enter Nusantara; Bangsa Mahasiswa; Garda Tipikor FH UNHAS; Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) FH Unmul; Constitutional and Administrative Law Society (CALS); BEM KM Universitas YARSI; WALHI; BEM FH UPNVJ; BEM REMA UPNVJT; BEM UI; BEM FISIP UNMUL; KIKA; Aliansi BEM Seluruh Indonesia; BEM se-Semarang Raya; BEM KM UNNES; LBH MAKASSAR; Lembaga Independensi Peradilan (LeIP); SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network); PAKU ITE (Paguyuban Korban UU ITE); Aliansi BEM Univ. Brawijaya; PARAMADINA PUBLIC POLICY INSTITUTE (PPPI); LBH Pers; BEM Universitas Siliwangi; LBH Padang; LBH Masyarakat (LBHM); Visi Integritas Law Firm; LBH PP Muhammadiyah; AURIGA; Forum Pengada Layanan (FPL); BEM UPNVJ; TRUTH; IKA SAKTI Tangerang; Puspaham SULTRA; Human Rights Working Group (HRWG); PWYP Indonesia; LBH Bandung; Trend Asia; JATAM Kaltim; LBH Semarang; Sajogyo Institute; JATAM; GRASI Riau; LBH Pekanbaru; BEM Undip; BEM FISIP Undip; BEM FKM Undip; BEM FH Undip; BEM FPP Undip; BEM FSM Undip; BEM FK Undip; BEM FPIK Undip; BEM SV Undip; BEM Psikologi Undip; BEM FT Undip; BEM FIB Undip; LBH Samarinda; LBH Yogyakarta; LBH Surabaya; Transparency International Indonesia; Gerakan Berantas Korupsi (Gebrak); Banten Bersih; LBH Palembang; Brebes Youth Center (BYC); Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem); LBH APIK NTT; BEM KM UDINUS Semarang; BEM PM Universitas Udayana; KOPEL Indonesia; Komite Independen Sadar Pemilu (KISP); NET Attorney; LBH Palangka Raya; POKJA 30 KALTIM; Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD); Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH. Univ. Andalas; GEMAWAN; PATTIRO Semarang; FOINI; KPA SULTRA; FORSDA KOLAKA; DEMA IAIN Palangka Raya; Aliansi Rakyat Bergerak; KRPK Blitar; MCW Malang; SAHDAR Medan; MATA Aceh; Koalisi Bersihkan Indonesia; Bengkel AppeK; BEM ULM; Indonesia Budget Center (IBC); FITRA Provinsi Riau; SOMASI NT

Somasi Terbuka – Kelangkaan Tabung dan Kenaikan Harga Oksigen

Salam Darurat Kesehatan Masyarakat!
Situasi pandemi Covid-19 yang masih belum terkendali dengan angka kasus yang masih cukup tinggi, membuat masyarakat khawatir. Terlebih di bulan lalu, kondisi Rumah Sakit mengalami overkapasitas, dan mengalami kekurangan alat kesehatan seperti tabung oksigen dan pasokan oksigen. Dengan kondisi seperti saat ini, sayangnya, Pemerintah masih belum cukup bergerak cepat untuk menangani permasalahan-permasalahan ini.

Kondisi krisis yang sempat terjadi seharusnya menjadi alarm bagi Pemerintah untuk bergerak cepat menangani kondisi krisis yang terjadi. Oleh karena lambatnya penanganan pemerintah masyarakat sipil yang terdiri dari:

YLBHI; Indonesia Corruption Watch (ICW); #BersihkanIndonesia; LBH Samarinda; LBH Manado; LBH Palembang; LBH Medan; LBH Pekanbaru; LBH Bali; LBH Palangka Raya; LBH Semarang; LBH Bandung; LBH Jakarta; LBH Surabaya; LBH Yogyakarta; LBH Makassar; LBH Padang; LBH Bandar Lampung; Sajogyo Institute; Greenpeace Indonesia; Enter Nusantara; Yayasan Perlindungan Insani Indonesia; Jala PRT; Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI); LaporCovid-19; LBH Masyarakat (LBHM); Aliansi Jurnalis Independen (AJI); FSBPI; Perempuan Mahardhika; AJAR; RUMPUN Tjoet Njak Dien; IDEA (Ide dan Analitika Indonesia) Yogyakarta; KontraS; Lokataru Foundation; UPC; JERAMI Jaringan Rakyat Miskin Indonesia; JRMK Jaringan Rakyat Miskin Kota; IWE (Institut of Women Empowerment); Jaringan Perempuan Pesisir Sultra; Circle Indonesia; Pamflet Generasi; Forum Akar Rumput Indonesia; PERHIMPUNAN PENDIDIKAN DEMOKRASI; Kalyanamitra; PEKKA.

Bersama ini kami masyarakat sipil ingin menyampaikan somasi kepada penerima mandat Rakyat sebagai pengurus publik:

  1. Presiden RI, Bapak Ir. Joko Widodo;
  2. Menteri Perdagangan RI, Bapak Muhammad Lutfi;
  3. Menteri Kesehatan RI, Bapak Budi Gunadi Sadikin.

Adapun alasan Somasi ini dilayangkan karena:

  1. Kelangkaan tabung Oksigen;
  2. Kelangkaan Oksigen;
  3. Naiknya harga tabung Oksigen dan perlengkapan pendukungnya.

Dokumen Somasi Terbuka dapat di lihat pada link berikut:
Somasi Terbuka Masyarakat Sipil Terkait Oksigen

Rilis Pers – Tuduhan Kekerasan Tanpa Bukti Terhadap Dua Aktivis Papua

Pada Rabu, 30 Juni 2021, persidangan terhadap dua aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yakni Ruland Rudolof Karafir dan Finakat Molama (Kevin) dengan agenda persidangannya adalah Pembuktian. Pada persidangan tersebut hadir saksi korban, yakni Rajid Patiran, dengan saksi security dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), yakni Nurdiansyah dan Syahroni.

Pada persidangan tersebut, saksi-saksi didengarkan keterangannya mengenai dugaan tindakan pengeroyokan yang dilakukan oleh Ruland dan Kevin. Namun, di dalam keterangan yang bunyi di persidangan pada hari ini tidak ada satu pun keterangan meyakinkan yang dapat membuktikan bahwa Ruland dan Kevin lah yang melakukan pemukulan sehingga mengakibatkan Rajid Patiran luka-luka ringan. 221e46

Di dalam persidangan, pada intinya Rajid menyatakan bahwa dirinya mendapatkan tiga (3) pukulan, yang masing-masing didapatkan dari Ruland, Kevin, dan satu orang lagi yang dia tidak ketahui identitasnya. Berdasarkan kesaksian Rajid Patiran, pemukulan pertama dilakukan oleh Ruland dan mengenai bagian mata sebelah kirinya. Namun, keterangan tersebut disangkal oleh Ruland di persidangan dan menerangkan bahwa pukulannya tersebut tidak mengenai Rajid Patiran. Pemukulan Kedua, disangkakan kepada Kevin. Hal ini dikarenakan Rajid Patiran melihat video yang menampilkan Kevin. Namun, setelah video tersebut dipertontonkan di dalam persidangan, tidak ada satu video pun yang secara jelas memperlihatkan Kevin melakukan pemukulan kepada Rajid Patiran. Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Kevin di dalam persidangan bahwa dirinya tidak ada melakukan pemukulan kepada Rajid Patiran.

Selain itu, security BKN yang hadir hari ini pun menyatakan bahwa mereka tidak melihat secara langsung mengenai adanya pemukulan kepada Rajid Patiran dan tidak melihat adanya luka-luka pada Rajid Patiran. Bahkan para saksi ini menyatakan bahwa mereka tidak dapat mengidentifikasi siapa-siapa saja yang ada pada saat itu karena merasa orang-orang yang ada pada saat kejadian hampir mirip secara ciri-ciri fisiknya.

Atas hasil pemeriksaan saksi-saksi di atas, Tim Penasihat Hukum kedua aktivis Papua dari Tim Advokasi Papua, yang terdiri dari  LBH Masyarakat (LBHM), LBH Jakarta, serta Komisi untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menilai bahwa tidak ada satu pun keterangan meyakinkan yang dapat membuktikan bahwa Ruland dan Kevin lah yang melakukan pemukulan dan memiliki relasi sebab-akibat pada luka-luka yang dimiliki oleh Rajid Patiran.

Sedari awal, kami, Tim Advokasi Papua, sangat menyayangkan kasus ini bisa sampai sejauh ini masuk ke dalam persidangan yang mulia dengan alat bukti dan barang bukti yang sangat kabur, sehingga terkesan sangat dipaksakan. Selain itu, dalam kasus ini juga ditemukan kejanggalan-kejanggalan, dari proses penangkapan dan penetapan sebagai tersangka yang langsung diberikan kepada Ruland dan Kevin, tanpa memeriksa kedua aktivis AMP tersebut sebagai saksi sebagaimana biasanya dalam kasus tuduhan Pasal 170 KUHP. Maka dari itu, Tim Advokasi Papua menilai patut dipertanyakan apa sebenarnya yang menjadi motif untuk meneruskan kasus ini.

Kami khawatir proses hukum yang menimpa dua orang Aktivis Papua ini hanyalah upaya untuk meredam gerakan demonstrasi yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan oleh mahasiswa Papua untuk menuntut pertanggungjawaban negara atas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

Melihat hal-hal di atas, maka Tim Advokasi Papua menyatakan:

  1. Menghentikan segala diskriminasi dan Pelanggaran HAM terhadap warga Papua;
  2. Melakukan penegakan hukum secara adil dan bertanggungjawab sesuai dengan prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia;
  3. Menghentikan segala diskriminasi dan Pelanggaran HAM terhadap warga Papua;
  4. Meminta agar Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa perkara ke dua aktivis Papua memeriksa secara jernih dan mengabaikan segala intervensi serta mengedepankan kebenaran materil dalam menjatuhkan putusannya.

Tim Advokasi Papua:
LBH Masyarakat (LBHM), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Papua itu Kita.

Rilis Pers – Mengungkap Sikap Publik Indonesia Terhadap Hukuman Mati

Penelitian baru yang mengungkap sikap publik Indonesia terhadap hukuman mati memberikan data baru yang dapat memfasilitasi wacana segar tentang masa depan hukuman mati di Indonesia.

Studi dua bagian tersebut menyimpulkan bahwa pembentuk opini di Indonesia menginginkan untuk meninggalkan hukuman mati dan bahwa publik terbuka untuk berubah.

Penelitian ini ditugaskan oleh The Death Penalty Project, dalam kemitraan dengan LBH Masyarakat dan Universitas Indonesia, dan dilakukan oleh Prof. Carolyn Hoyle dari Unit Penelitian Hukuman Mati di Universitas Oxford untuk menyelidiki kepercayaan yang diterima secara luas bahwa mayoritas orang Indonesia mendukung hukuman mati. Melalui penyelidikan yang bernuansa, penelitian ini hendak memahami lebih dalam sikap publik dan mengkaji seberapa mengakar pandangan tersebut untuk dapat memfasilitasi wacana yang konstruktif. Studi ini menunjukkan bahwa semakin banyak informasi yang diberikan kepada masyarakat mengenai penerapan hukuman mati, semakin sedikit mereka mendukungnya. Demikian pula, ketika disajikan dengan faktor yang meringankan, dukungan publik terhadap hukuman mati turun drastis. Temuan menunjukkan bahwa masyarakat tidak menentang penghapusan, tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk dapat sepenuhnya memahami persoalan.

  • 67% pembentuk opini mendukung penghapusan hukuman mati;
  • 69% publik pada awalnya mendukung hukuman mati dipertahankan, tetapi hanya 35% yang sangat mendukungnya;
  • Hanya 2% publik yang merasa sangat mengetahui tentang hukuman mati dibandingkan dengan pembentuk opini yang pada umumnya lebih luas pengetahuannya tentang hukuman mati dan sistem peradilan pidana yang lebih luas;
  • Hanya 4% publik yang merasa sangat prihatin dengan persoalan ini.

Indonesia adalah salah satu dari minoritas negara yang masih mempertahankan hukuman mati dalam undang-undang. Ada beberapa kejahatan yang dapat dihukum mati, termasuk pembunuhan, perampokan, terorisme, dan tindak pidana narkoba. Lebih dari 60% hukuman mati yang dijatuhkan di negara ini, dan setengah dari semua eksekusi yang dilakukan dalam 20 tahun terakhir, adalah untuk tindak pidana terkait narkoba. Laporan tersebut juga menemukan bahwa dukungan untuk hukuman mati dalam skenario realistis lebih rendah daripada secara abstrak, dan ketika ditunjukkan kemungkinan bahwa orang yang tidak bersalah dapat dieksekusi, dukungan publik untuk abolisi meningkat dari 18% menjadi 48%.

Seperti banyak negara tetangganya di Asia Tenggara, Indonesia mempertahankan hukuman mati dengan asumsi bahwa hukuman ini berfungsi sebagai pencegah yang efektif terhadap kejahatan, khususnya perdagangan narkoba, namun belum ada penelitian akademis yang mendukung keyakinan tersebut.

Parvais Jabbar, Ko-Direktur Eksekutif dari The Death Penalty Project mengatakan; “Dukungan publik terus disebut-sebut oleh pemerintah Indonesia sebagai alasan untuk mempertahankan hukuman mati, tetapi temuan penelitian kami menunjukkan bahwa publik sebenarnya terbuka untuk perubahan kebijakan tentang persoalan penting ini. Ada dukungan yang jelas untuk abolisi di antara pembentuk opini dan temuan membuktikan bahwa semakin banyak publik tahu tentang hukuman mati, semakin sedikit mereka mendukungnya. Kami berharap data dan analisis yang dikumpulkan dalam kedua laporan ini dapat digunakan untuk memfasilitasi dialog konstruktif tentang masa depan hukuman mati di Indonesia.”

Muhammad Afif, Direktur LBH Masyarakat mengatakan; “Dua laporan ini menunjukkan bahwa mewujudkan penghapusan hukuman mati bukanlah hal yang mustahil di Indonesia. Pendapat publik dan elit memberikan harapan kepada terpidana mati bahwa suatu hari kita bisa mengakhiri adanya regu tembak.”

Rilis ini ditulis oleh The Death Penalty Project

Rilis Pers – LBHM Menggunggat Kepala BNN dan Presiden ke PTUN Jakarta Atas Pernyataan War On Drugs

Pada Selasa (21 Juni 2021) yang lalu, LBH Masyarakat (LBHM) melayangkan gugatan tata usaha negara kepada Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan ini merupakan langkah hukum lanjutan atas pernyataan war on drugs yang disampaikan kepala BNN saat konferensi pers pada 8 Januari 2021.

LBHM menilai pernyataan war on drugs tersebut menjadi berbahaya karena dapat dimaknai sebagai suatu kebijakan yang akan mengancam eksistensi negara hukum Indonesia yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pernyataan ini kemudian LBHM gugat ke PTUN Jakarta dengan semangat agar mekanisme peradilan dapat membatalkan kebijakan atau tindakan pejabat tata usaha negara yang mengancam sendi negara hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, seperti kebijakan war on drugs, yang juga dijadikan tema besar oleh pemerintah pada peringatan Hari Narkotika Internasional tahun ini yang diperingati setiap tanggal 26 Juni. Oleh karenanya gugatan LBHM ini menjadi penting dimaknai sebagai suatu paradoks terhadap kebijakan pemerintah yang menggunakan narasi war on drugs secara keliru dalam mengentaskan kejahatan peredaran gelap narkotika di Indonesia.

War on drugs selalu menjadi narasi berulang untuk menunjukkan keseriusan negara dalam menangani tindak pidana narkotika. Padahal narasi perang terhadap narkotika ini semakin melanggengkan praktik pemerasan, penyiksaan, extra judicial killing, bahkan menormalisasi tindakan ilegal penegak hukum. LBHM mengajukan gugatan ini sebagai upaya untuk mereformasi kebijakan narkotika yang punitif, tidak mengutamakan pendekatan kesehatan, dan menyuburkan peredaran gelap narkotika.

Narahubung:
Awalaudin Muzaki: 0812-9028-0416
Nixon Randy: 0822-4114-8034

Rilis Pers – Penghambatan Akses Kesehatan Terdakwa 2 Aktivis Mahasiswa Papua (AMP)

Penghambatan Akses Kesehatan Terdakwa 2 Aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Bentuk Diskriminasi Yang Melanggar HAM & Menambah Deretan Perlakuan Tidak Adil Terhadap Warga Papua Dihadapan Hukum.

Jakarta, 15 Juni 2021,
2 orang aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), yakni Ruland Rudolof Karafir yang merupakan Kepala Biro Pendidikan dan Pembinaan Pengurus Pusat AMP dan Finakat Molama yang merupakan Sekretaris Jenderal AMP, yang saat ini tengah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan di tahan di Polda Metro Jaya mengalami hambatan untuk mendapatkan pengobatan.

Sebelumnya, Penasihat Hukum kedua aktivis tersebut dari Tim Advokasi Papua, yang terdiri dari LBH Masyarakat (LBHM), LBH Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Papua itu Kita, dalam persidangan pada hari Rabu, 9 Juni 2021, telah meminta kepada Majelis Hakim agar dapat memberikan izin kepada keduanya untuk melakukan pengobatan karena memiliki kondisi penyakit khusus yang membutuhkan intervensi medis yang memadai. Pada persidangan tersebut Ketua Majelis Hakim telah memenuhi permintaan Tim Penasihat Hukum dan memberikan perintah kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Timur untuk memberikan akses agar Tim Penasehat Hukum bisa mendampingi terdakwa untuk mendapatkan pengobatan.

Selanjutnya, menindaklanjuti perintah Ketua Majelis Hakim tersebut, Tim Penasihat Hukum dan JPU menyepakati jadwal pengobatan ditentukan pada hari Senin, 14 Juni 2021. Tim Penasihat Hukum dan JPU kemudian menjadwalkan untuk bertemu di Polda Metro Jaya pukul 10.00 WIB. Akan tetapi, pada saat Tim Penasihat Hukum telah berada dan menunggu di Polda sejak dari Pukul 10.00, alih-alih bertemu JPU untuk diberikan akses agar kedua orang tersebut dapat dikeluarkan dari tahanan untuk mendapatkan pengobatan di tempat biasa berobat, JPU justru menginformasikan bahwa bagian tahanan Polda bisa mengeluarkan bila ada penetapan hakim. Setelah menginfromasikan hal tersebut kepada Tim Penasihat Hukum, Tim Penasihat Hukum menunggu hampir seharian tanpa kejelasan dan sampai rilis pers ini terbit belum ada kejelasan dari JPU mengenai upaya pengeluaran terdakwa dari tahanan Polda Metro Jaya untuk pengobatan.

Bahwa sepatutnya informasi yang didapatkan JPU tersebut tidak dapat dijadikan justifikasi sebagai alasan untuk menghalangi keduanya untuk dikeluarkan agar bisa berobat. Alasan tersebut hanya mengada-ada karena tidak didukung dasar hukum yang jelas. Justru sebaliknya, fakta bahwa terdakwa yang memiliki penyakit khusus sangat memerlukan intervensi medis yang memadai dan berkelanjutan, jelas merupakan alasan yang kuat agar terdakwa bisa dikeluarkan untuk mendapatkan pengobatan semaksimal mungkin untuk mengobati penyakit yang dideritanya.

Selain itu, jika merujuk butir 6 Surat Edaran Mahakamah Agung No. 1 Tahun 1989 bahkan untuk melakukan rawat inap di rumah sakit tidak perlu ada penetapan tersendiri dari Ketua Pengadilan Negeri. Oleh karena sebelumnya telah ada perintah dari Ketua Majelis Hakim dalam persidangan untuk memberikan akses kepada terdakwa berobat. Maka dari itu perintah dari Ketua Majelis Hakim sepatutnya dimaknai bahwa terdakwa yang telah diberikan izin untuk melakukan pengobatan dan telah memerintahkan JPU untuk membukakan akses kesehatan kepada terdakwa dihadapan persidangan yang terbuka untuk umum, tidak memerlukan lagi penetapan agar bisa mengeluarkan terdakwa dari tahanan untuk berobat.

Sejak awal Tim Advokasi Papua menilai bahwa kasus yang menimpa dua orang Aktivis Papua ini merupakan upaya untuk meredam gerakan demonstrasi yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan oleh mahasiswa Papua untuk menuntut pertanggungjawaban negara atas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Kondisi penghambatan akses kepada terdakwa untuk melakukan pengobatan jelas menambah deretan permasalahan pelanggaran HAM yang berkaitan dengan warga Papua, karena berdasarkan Pasal 28H ayat 1 UUD Negara RI Tahun 1945 menyebutkan bahwa hak atas pelayanan kesehatan sebagai hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi.

Bahwa proses hukum yang sedang dijalani oleh kedua orang aktivis tidak bisa dijadikan alasan untuk menghambat dan mengurangi hak atas pelayanan kesehatan sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi. Oleh karena itu, kami Tim Advokasi Papua menuntut kepada pimpinan kelembagaan aparat penegak hukum, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Mahkamah Agung Republik Indonesia Kepolisian Negara Republik Indonesia:

  1. Menghentikan segala diskriminasi dan Pelanggaran HAM terhadap warga Papua
  2. Melakukan penegakan hukum secara adil dan bertanggungjawab sesuai dengan prinsip negara
    hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia;
  3. Menghormati hak atas pelayanan kesehatan kedua orang aktivis Aliansi Mahasiswa Papua;
  4. Memerintahkan Jaksa Penuntut umum (JPU) dan Polda Metro Jaya membukakan akses kesehatan agar kedua Mahasiswa Papua dapat berobat dengan memadai dan berkelanjutan;
  5. Tidak mempersulit Tim Penasehat Hukum dalam memberikan bantuan hukum kepada ke dua orang aktivis Aliansi Mahasiswa Papua.

Hormat Kami,
Tim Advokasi Papua
[Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Papua itu Kita]

Narahubung:
1.Maruf Bajammal (081280505706)
2.Michael Hilman (082234750472)

id_IDIndonesian