Skip to content

Category: Publikasi

Publikasi LBHM

Laporan Penelitian- Penggunaan Narkotika Pada Perempuan

Ringkasan eksekutif United Nations Office of Drugs and Crime (UNODC) tahun 2017 menyebutkan bahwa jumlah perempuan pengguna narkotika terus meningkat. Pada tahun 2015, jumlah perempuan pengguna narkotika setengah dari jumlah pengguna laki-laki. Jumlah ini terbilang sedikit dengan jumlah pengguna narkotika laki-laki.

Sedikitnya layanan perawatan adiksi yang ramah atau sensitif terhadap perempuan menjadi suatu masalah, karena nantinya akan berpengaruh pada kurangnya pemenuhan kebutuhan perempuan. Perempuan memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan laki-laki dan juga motif yang khusus dan unik dalam menggunakan narkotika seperti mengontrol berat badan, mengatasi rasa sakit haid, dan mengatasi depresi atau stres yang disebabkan karena perceraian, kehilangan hak asuh anak, atau meninggalnya pasangan atau anak.

Laporan ini secara spesifik mengurai fakta-fakta terkait penggunaan narkotika di kalangan warga binaan perempuan tindak pidana narkotika. Laporan ini juga merupakan kelanjutan dari hasil temuan penelitian LBHM sebelumnya yang berjudul “Yang Terabaikan: Potret Situasi Perempuan yang Dipenjara Akibat Tindak Pidana Narkotika”.

Laporan lengkap dapat teman-teman baca di sini ya!

Laporan Penelitian – Intervensi Berbasis Keluarga Dalam Kebijakan HIV: Sebuah Tinjauan Hak Asasi Manusia

Dalam upaya penanggulangan HIV, keluarga memiliki peran sejak tahap
pencegahan sampai pengobatan dan perawatan. Keluarga menjadi elemen yang tidak terpisahkan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan, termasuk dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Hal ini tercermin dari penerapan prinsip yang berorientasi pada pertahanan
dan kesejahteraan keluarga, sebagaimana diadopsi dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV/AIDS (Permenkes 21/2013).

Sayangnya keluarga juga dapat menjadi pendorong penyebab penularan HIV hal ini dikarenakan adanya permasalahan internal seperti kurangnya dukungan keluarga, perceraian, kurang kasih sayang dll. yang dimana dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan perilaku berisiko.

Keluarga dengan ketahanan yang baik dapat menjauhkan individu dari perilaku yang berisiko tinggi menularkan HIV, dapat memberikan dukungan yang dibutuhkan oleh ODHA sehingga mereka tetap dapat menjadi individu yang berkualitas dan produktif demi kemajuan bangsa.

Internvensi pemerintah dalam memnentukan \’keluarga\’ lewat konsep ketahanan keluarga ternyata memunculkan banyak permasalahan yang dampat berdampak pada kelompok rentan seperti Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Intervensi yang minim bukti ilmiah justru sangat berbahaya karena dapat menimbulkan stigma dan diskriminasi, seperti munculnya rancangan undang-undang Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga yang kontroversial menempatkan keluarga sebagai benteng atas ‘bahaya LGBT’ yang dinilai menyebarkan infeksi HIV.

Hasil laporan ini dapat teman-teman baca dan nikmati di sini

Buku Panduan – Bantuan Hukum Selama Pandemi Covid-19

Persoalan hukum yang terjadi di masyarakat tidak berhenti sekalipun mengalami situasi pandemi. Permohonan bantuan hukum justru mengalamai kenaikan di masa pandemik ini. Dari situasi tersebut,
pengalaman memberikan bantuan hukum di saat pandemi merupakan hal yang berharga untuk dicatat dan dikabarkan kepada publik sebagai bahan pembelajaran, khususnya terhadap mereka pemberi bantuan hukum, yang memiliki resiko dan beban ganda, antara menjaga keselamatan dari paparan Covid-19 dan memberikan kualitas layanan hukum yang profesional.

Maka dari itu LBH Masyarakat (LBHM) bersama lembaga bantuan hukum lainnya seperti LBH Jakarta, LBH Pers, LBH APIK Jakarta, dan Forum Bantuan Hukum Untuk Kesetaraan (FBHUK) menuliskan sebuah buku panduan bantuan hukum di masa pandemik covid-19. Besar harapan kami buku panduan ini dapat bermanfaat dan bisa menjadi referensi bagi lembaga bantuan hukum lainnya dalam menjalankan dan memberikan layanan bantuan hukum secara maksimal walaupun sedang berada di masa pandemik.

Buku Panduan ini dapat teman-teman unduh di link ini

Monitoring dan Dokumentasi 2020 – Disinformasi yang Menjadi Diskriminasi: Permasalahan HIV di Indonesia

Ketidakpahaman publik secara baik terkait HIV/AIDS disebabkan karena disinformasi terkait HIV/AIDS itu sendiri. Pemahaman yang salah yang di \’telan\’ publik akan menimbulkan stigmatisasi kepada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) dan kelompok rentan lainnya. Tidak berhenti sampai di situ, disinformasi ini juga berdampak pada munculnya tindakan diskriminasi yang menciptakan siklus ketidakadilan berkepanjangan bagi ODHA dan kelompok rentan lainnya.

Disinformasi terkait HIV menjadi salah satu akar permasalahan mengapa stigma dan diskriminasi terus terjadi. Pengulangan stigma dan diskriminasi pada ODHA dan kelompok rentan lainnya dari tahun ke tahun menunjukan adanya ketidakefektifan strategi dari Pemerintah dalam memberantas stigma dan diskriminasi. Padahal Pemerintah sendiri mempunyai program dan kebijakan yang bisa mencapai tujuan 90-90-90, salah satunya dengan memberikan informasi kesehatan kepada masyarakat melalui sistem informasi dan melibatkan aktor lintas sektor. Namun, temuan yang ditemukan LBHM melalui monitoring media justru menunjukkan adanya permasalahan sistem informasi kesehatan, hal ini terbukti dengan masih banyaknya pelaku stigma dan diskriminasi berasal dari lembaga pemerintahan.

Laporan lengkap ini dapat teman-teman baca dan unduh di link ini

Assessing Indonesian Guardianship Laws: Protecting the Rights of People with Psychosocial Disabilities

Although the discourse related to mental health has become mainstream, Persons with Psychosocial Disabilities (PPD) in Indonesia still experience discriminations. Negative stigmas portraying them as someone ‘dangerous’ or ‘irrational’ encourage the assumption that they do not have the capacity to do legal conducts. Guardianship system inherent in Indonesian Civil Law is one of the violations of PPD’s rights to legal capacity.

LBHM, together with Monash University, conducted research on the legal framework of guardianship and its implementation in Indonesia. Using the data from court decisions and FGD results, this research demonstrates how Indonesian guardianship system infringes one’s economic rights, imposed without considering valid evidences, granted without limitations, and ignores the will and preferences of PPD. Download the full report here.

You can also check for the Indonesian version here.

Laporan Penelitian – Asesmen Hukum Pengampuan Indonesia: Perlindungan Hak Orang dengan Disabilitas Psikososial

Sekalipun narasi seputar kesehatan jiwa semakin populer belakangan ini, Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) di Indonesia masih sering mengalami tindakan diskriminasi. Stigma buruk yang dilekatkan terhadap mereka sebagai orang yang ‘berbahaya’ atau ‘irasional’ membuat negara dan pihak-pihak lain menganggap mereka tidak mampu melakukan tindakan hukum. Sistem pengampuan yang Indonesia atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan salah satu manifestasi di mana hak atas kapasitas hukum bagi ODP ini dilanggar.

LBHM bersama dengan Monash University melakukan penelitian terkait dengan kerangka hukum pengampuan serta implementasinya di lapangan. Menggunakan data penetapan pengadilan dan hasil FGD, penelitian ini memperlihatkan bagaimana pengampuan merenggut hak ekonomi, ditetapkan tanpa memperhitungkan alat bukti yang tepat, diberikan seringkali tanpa batas, dan mengabaikan kehendak dan preferensi ODP. Unduh laporan lengkapnnya di sini.

Monitoring dan Dokumentasi 2020 – Kerentanan Kurir Narkotika Perempuan dan Hukum Yang Tak Peka

Maskulinitas dalam kebijakan Narkotika Indonesia sangatlah tertampang jelas. Narkotika masih dianggap sebagai barang laki-laki sehingga keterlibatan perempuan di dalamnya dan keterlibatan perempuan di dalamnya terasa sebagai anomali, presepsi ini pun dituangkan dalam kebijakan narkotika (UU Narkotika, Nomor 35 Tahun 2009) dan menyebabkan adanya bias gender.

Dalam banyak kasus narkotika, perempuan kerap kali terlibat seperti dalam kasus perdagangan narkotika. Keterlibatan perempuan ini banyak terjadi di level bawah atau sebagai kurir narkotika. Walaupun jumlahnya tidak sebanyak laki-laki, namun temuan yang ada menemukan jika jumlah perempuan yang mendapatkan hukuman pemenjaraan karena terlibat dalam kasus narkotika naik signifikan. Hasil pemantauan dari Penal Reform Internasional dan Thailand Institute of Justice menunjukkan bahwa populasi perempuan di penjara karena tindak pidana narkotika meningkat 50% dalam kurun waktu 2000-2020. Keterlibatan perempuan menjadi kurir narkotika juga tidak bisa dipisahkan dengan adanya relasi kuasa serta faktor-faktor kerentanan perempuan, seperti ekonomi dan kekerasan yang mereka terima.

Masalah lain yang dihadapi perempuan yang terlibat dalam kasus narkotika adalah mendapatkan keadilan. Kerangka hukum yang masih bersifat punitif justru mempersulit perempuan yang terlibat dalam kasus narkotika untuk mendapatkan keadilan. Mereka juga kurang mendapatkan informasi tentang hak-haknya ketika berhadapan dengan hukum.

Laporan lengkapnya dapat teman-teman baca di link ini

Pendampingan Hukum Bagi Orang-orang yang Berhadapan dengan Hukuman Mati: Sebuah Pedoman Praktik Terbaik

Praktik penjatuhan hukuman mati kepada narapidana masih sering terjadi di beberapa negara salah satunya di Indonesia. Indonesia hingga saat ini sudah melakukan eksekusi mati terhadap 18 orang terpidana dalam kurun waktu dua tahun (2015 – 2016). Sayangnya praktik hukuman mati ini dibarengi dengan pelanggaran hak seorang terpidana, salah satunya hak atas fair trial, seperti mendapatkan pendamping hukum yang kompeten. Realita saat ini, kerap kali banyak narapidana yang menghadapi hukuman berat mendapatkan pendamping hukum yang kurang kompeten atau tidak menguasai perkara—tidak hanya di hukuman mati begitupun di kasus lainnya.

LBH Masyarakat (LBHM) berinisiatif menerjemahkan pedoman Praktik Terbaik ini agar dapat menjadi panduan bagi para advokat di Indonesia yang menangani kasus hukuman mati. Tentu saja konteks dan sistem hukum Indonesia dengan sejumlah contoh di dalam Pedoman ini berbeda, namun gagasan atau pengalaman yang dibagikan di Pedoman ini diharapkan dapat menjadi inspirasi atau ide strategi dalam mendampingi orang-orang yang berhadapan dengan hukuman mati.

Pedoman ini merupakan hasil kolaborasi panjang dan produktif antara Death Penalty Worldwide, firma hukum Fredrikson & Byron P.A., dan World Coalition Against the Death Penalty, kumpulan pengacara di setidaknya 15 negara, serta mahasiswa hukum di klinik Advokasi HAM Professor Babcock.

Teman-teman dapat membaca dan mengunduh pedoman, silahkan mengklik di sini.

Reorientasi Kebijakan Narkotika di Indonesia: Jalan Setapak Menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Indonesia menunjukkan komitmen besar untuk mencapai Sustainable Development Goals sebelum 2030. Tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2015 ini melingkupi berbagai area, termasuk ekonomi, kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, lingkungan, keadilan dan perdamaian. Dengan moto ‘tidak meninggalkan seorang pun’, pemerintah Indonesia mencoba untuk mengarusutamakan tujuan-tujuan SDGs ke dalam kebijakan dan program yang dijalankan oleh kementerian-kementerian terkait.

Namun, upaya untuk mencapai SDGs berjalan paralel dengan kebijakan keras Indonesia terhadap narkotika yang tampak jelas dalam jargon ‘perang terhadap narkotika’. Didukung oleh akademisi, banyak organisasi komunitas pengguna narkotika dan kelompok hak asasi manusia yang menunjukkan bagaimana pendekatan punitif yang Indonesia terapkan sebetulnya menimbulkan lebih banyak ketidakadilan mengingat bagaimana kebijakan-kebijakan itu mengabaikan aspek kesehatan dan menimbulkan diskriminasi. Konsekuensi-konsekuensi yang muncul sengaja ataupun tidak sengaja dari kebijakan narkotika Indonesia bersifat kontraproduktif terhadap tujuan SDGs yang Indonesia berusaha sangat keras untuk mencapainya.

Reprieve dan LBHM, dengan bantuan dari Kedutaan Swiss di Indonesia, mencoba untuk menelisik lebih dalam ke persinggungan antara kebijakan narkotika dan SDGs. Pada hari ini, 26 Juni, yang bertepatan dengan Hari Anti Narkotika Internasional, kami meluncurkan sebuah laporan berjudul “Reorientasi Kebijakan Narkotika di Indonesia: Jalan Setapak Menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan”. Laporan ini bertujuan untuk membuka lebih banyak dialog tentang kebijakan narkotika yang berdasar bukan dari ketakutan buta melainkan dari bukti-bukti penelitian.

Untuk mengakses dokumen ini, silakan klik link ini.

Reorienting Drug Policy in Indonesia: Pathways to the Sustainable Development Goals

Indonesia demonstrates a big commitment to achieve Sustainable Development Goals by 2030. The goals that are set by the United Nations in 2015 cover numerous areas, including economics, health, education, gender equality, environment, justice and peace. With the motto of ‘leaving no one behind’, the Indonesian government tries to mainstream the goals in its policies and programs across multiple ministerial bodies.

However, the efforts of achieving SDGs walk in parallel with Indonesia’s tough stance on drugs that is obvious in the jargon of ‘the war on drugs’. Supported by academics, many organizations of people who use drugs and human rights groups show how the punitive method as what Indonesia is still applying creates more injustice as it undermines the health aspects and fuel discrimination. The intended and unintended consequences of Indonesian drug policy are counter-productive to the SDGs goal Indonesia so keenly set.

Reprieve and LBHM, with the support of the Embassy of Switzerland in Indonesia, tried to delve further into the intersection between the drug policy and SDGs. Today, 26th June, as the world celebrates the World Drug Day, we publish a report titled “Reorienting Drug Policy in Indonesia: Pathways to the Sustainable Development Goals”. The report aims to open more dialogues about the drug policy that are derived not from blind fears but rather from research-based evidence.

To access the document, please click this link.