Skip to content

Rilis Pers – Buruk Rupa Pemerintah dalam Menanggulangi Kebakaran Lapas Tangerang kepada Keluarga Korban

Pada Rabu, 8 September 2021, dini hari, telah terjadi kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan kelas I Tangerang (Lapas Tangerang). Dalam peristiwa tersebut setidaknya telah memakan korban jiwa sejumlah 49 orang. Hampir satu bulan peristiwa tersebut terjadi, pemerintah telah melakukan tindakan pasca terbakarnya Lapas Tangerang, seperti pengidentifikasian para korban yang meninggal, pengobatan para korban yang terluka, penguburan korban yang meninggal dan pemberian sejumlah uang kepada keluarga korban yang meninggal.

Pasca terjadinya peristiwa kebakaran tersebut Tim Advokasi Korban Kebakaran (TAKK) yang terdiri dari LBH Masyarakat (LBHM), LBH Jakarta, Imparsial, dan LPBH NU Tangerang menginisiasi pembukaan posko pengaduan kepada para keluarga korban yang ingin menuntut pemerintah dihadapan hukum atas peristiwa kebakaran Lapas Tangerang. Setidaknya ada 9 pengadu yang membuat pengaduan kepada koalisi dan dari 9 pengadu tersebut terdapat 7 keluarga korban yang meminta pendampingan hukum kepada koalisi.

Para keluarga korban tersebut memberikan keterangan kepada koalisi terkait proses pengidentifikasiaan yang dilakukan pemerintah terhadap para korban kebakaran Lapas Tangerang. Dari keterangan keluarga korban tersebut terdapat setidaknya tujuh temuan yang ditemukan dari proses penanggulangan pasca kebakaran Lapas Tangerang yang disampaikan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas Ham).

Pertama, ketidakjelasan proses identifikasi tubuh korban meninggal. Bahwa proses identifikasi tubuh korban tidak jelas dan transparan. Bahkan, sampai terakhir korban meninggal dimakamkan tidak ada informasi yang akurat yang menunjukkan atas dasar apa jenazah korban bisa benar-benar teridentifikasi.
 
Kedua, ketidakterbukaan penyerahan jenazah korban meninggal. Bahwa pada saat penyerahan jenazah korban kepada keluarga, jenazah  dimasukan ke dalam peti yang telah ditutup rapat sehingga tidak memungkinkan untuk di buka sendiri oleh pihak keluarga. Ketika keluarga korban meminta untuk peti di buka agar mereka bisa melihat jenazah korban, alih-alih diizinkan melihat tubuh korban, pihak keluarga justru seolah-olah diberikan sugesti bahwa akan mengalami trauma jika melihat kondisi tubuh korban tersebut. Meskipun demikian, keluarga masih tetap ingin melihat jenazah korban, akan tetapi tetap tidak diizinkan dan pada akhrinya tetap tidak bisa melihat konidisi tubuh korban untuk yang terakhir kali.
 
Ketiga, ketidaklayakan peti jenazah korban. Bahwa berdasarkan keterangan keluarga korban yang mengambil jenazah korban, jenazah dimasukan ke dalam peti yang sudah tertulis nama masing-masing korban dengan ditempel kertas pada peti jenazah. Peti tersebut berbahan triplek biasa yang tidak layak untuk digunakan sebagai peti jenazah. Oleh karena itu, terdapat keluarga korban yang bahkan membeli sendiri peti jenazah agar bisa ditempatkan ke dalam peti yang layak.
 
Keempat, terdapat intimidasi saat penandatanganan dokumen-dokumen administrasi dan pengambilan jenazah korban. Bahwa pada saat penandatanganan dokumen-dokumen, lokasi penandatangan dan lokasi penempatan jenazah di lokasi berbeda. Lokasi jenazah di lantai satu, sedangkan penandatanganan di lantai dua. Keluarga korban kemudian dibawa lewat tangga ke lantai dua untuk masuk ke sebuah ruangan yang dirasa keluarga korban tidak layak untuk dijadikan tempat penandatanganan dokumen. Pada saat penandatanganan tersebut, keluarga korban diminta tanda tangan dengan tergesah-gesah dengan dikerumuni banyak orang.
 
Kelima, terdapat upaya pembungkaman agar keluarga korban tidak menuntut pihak manapun atas peristiwa kebakaran Lapas Tangerang. Pada saat penandatanganan dokumen-dokumen saat penyerahan jenazah korban dengan kondisi yang berindikasi intimidatif, terdapat surat pernyataan yang diberikan kepada keluarga korban untuk ditanda-tangani, yakni berisi pernyataan tidak akan ada tuntutan ke pihak lapas dan pihak lainnya di kemudian hari.

Keenam, tidak ada pendampingan psikologis yang berkelanjutan kepada keluarga korban pasca penyerahan jenazah korban. Bahwa kejadian kebakaran Lapas Tangerang menyisakan derita pilu yang tidak akan ada akhirnya kepada keluarga korban. Akan tetapi, pemerintah pasca penyerahan jenazah seolah lepas tangan dan tidak memberikan bantuan psikologis kepada keluarga korban yang setidaknya membutuhkan bantuan pengobatan dari trauma pasca kejadian kebakaran Lapas Tangerang.

Ketujuh, pemberian uang 30 juta oleh pemerintah sama sekali tidak membantu keluarga korban. Bahwa berdasakan keterangan keluarga korban pemerintah memberikan uang setidaknya sejumlah 30 juta. Uang tersebut dikatakan sebagai bentuk “uang tali kasih” dari pemerintah atas peristiwa kebakaran Lapas Tangerang. Alih-alih sebagai bentuk tali kasih atau bantuan kepada keluarga yang ditinggalkan, uang tersebut hanya habis untuk kepentingan penghiburan atau pendoan terhadap korban meninggal.

Ketujuh temuan tersebut menunjukan empat persoalan mendasar dalam proses penanggulangan pasca terjadinya peristiwa kebakaran Lapas Tangerang. Pertama, ketidakterbukaan informasi pengidentifikasian jenazah korban meninggal; kedua, ketidaklayakan pemulasaraan jenazah korban meninggal; ketiga, adanya penyalahgunaan keadaan saat proses penyerahan jenazah korban yang berdampak pada dugaan pelanggaran HAM yang dialami keluarga korban; keempat, ketiadaan pertanggungjawaban ganti kerugian yang diberikan kepada keluarga korban.

Disamping hal tersebut, komisioner Komnas Ham, Mohammad Choirul Anam juga menyampaikan penting memperhatihan pemulihan status korban meninggal untuk menghilangkan stigma narapidana yang melekat kepada korban yang meninggal. Karena seseorang yang menjalani proses peradilan pidana di lembaga pemasyarakatan untuk menjalani pembinaan dan setelah menjalani pembinaan tersebut akan keluar menjadi manusia seutuhnya. Namun demikian, dalam peristiwa kebakaran Lapas Tangerang, korban yang meninggal mengenyam status ” narapidana” tersebut sampai akhir hayat karena kelalaian yang disebabkan pemerintah. Oleh karena itu, penting juga memperhatikan pemulihan status korban yang meninggal.

Bahwa atas peristiwa dan temuan proses penanggulangan pasca kebakaran Lapas Tangerang tersebut setidaknya telah berdampak pada pengakuan, pengurangan, penikmatan dan penggunaan hak asasi keluarga korban sebagaimana juga telah dijamin dalam Pasal 28A, Pasal 28G ayat (1)) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 (Konstitusi RI) dan Pasal 17 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yakni, hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya, hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, dan hak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi.
 
Berdasarkan hal-hal di atas Tim Advokasi Korban Kebakaran (TAKK) menuntut Pemerintah dan meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk:

  1. Menuntut Pemerintah memulihkan status korban meninggal dengan memberikan amnesti massal terhadap korban meninggal.

2.  Menuntut Pemerintah beritikad baik untuk memberikan ganti kerugian yang layak sesuai dengan kebutuhan masing-masing keluarga korban;

3.  Meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran HAM atas peristiwa kebakaran Lapas Tangerang.

Tim Advokasi Korban Kebakaran (TAKK)
LBH Masyarakat (LBHM); IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor; LBH Jakarta; LPBH NAHDLATUL ULAMA TANGERANG

[Laporan Penelitian] Gambaran Disabilitas Psikososial di Indonesia: Pemetaan Isu-Isu Strategis

Pasca melakukan ratifikasi CRPD di tahun 2011, Indonesia menyikapi ratifikasi itu dengan serius, dimana Pemerintah Indonesia membentuk suatu perundang-undangan yang menjami hak penyandang disabilitas, hal ini dapat kita lihat sekarang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 atau dikenal dengan istilah UU Penyandang Disabilitas.

Pembentukan UU Penyandang Disabilitas ini merupakan sebuah bentuk tanggung jawab nyata dari negara terhadap kelompok disabilitas untuk menghormati Hak Asasi Manusianya. Namun, seiring berjalannya waktu, ternyata implementasi kebijakan ini masih belum mencakup semua kelompok disabilitas. Salah satu yang luput adalah kelompok Disabilitas Psikososial atau Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP).

Selama ini ODP masih mengalami diskriminasi dan stigma yang akhirnya menyebabkan terjadi kekangan hak dan halangan partisipasi yang dirasakan ODP, salah satunya dalam bidang hukum dan HAM. Selama ini masih terjadi perdebatan apakah ODP dapat bertanggung jawab secara pidana atau tidak, dalam satu penelitian disebutkan jika ODP
ODP tidak mungkin bertanggung jawab secara pidana–pendapat ini dilandaskana pada keberadaan pasal 44 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa seseorang tidak dipidana jika ‘jiwanya cacat’, karena dianggap tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Dalam penelitian ini kami ingin membalika stigmatisasi yang ditujukan kepada ODP. Secara garis besar HAM, ODP itu masih mempunyai hak, salah sataunya adalah hak atas kapasitas hukumnya. Upaya mendenied hak tersebut seudah termasuk dalam pelanggaran hak. Teman-teman dapat membaca laporan lengkap tentang ODP di bawah ini:

Versi Indonesia

Versi Inggris

Hiring – Konsultan Video LBHM

Visual grafis menjadi salah satu medium kampanye yang dipakai untuk mendorong upaya-upaya advokasi serta mendapatkan empati dan dukungan dari publik terkait apa yang dikampanyekan. LBHM percaya jika semua orang dapat berkontribusi dalam memajukan HAM, salah satunya melalui bentuk Video.

Berangkat dari hal tersebut, LBHM kembali membuka kesempatan bagi teman-teman yang memiliki kemampuan dalam dunia sinematografi/videografi dan juga mempunyai kemampuan copywritting, serta memiliki pemahaman isu HAM (khususnya isu Kesehatan Jiwa) yang baik. Jika, kalian memiliki semua kriteria seperti di atas, langsung aja segera daftarkan diri kalian atau tim kalian untuk menjadi Konsultan Pembuat Video.

Info lengkapnya bisa kalian cek di bit.ly/Daftar-Video-Konsultan

Yang Terlupakan Dari Penjara

“Biang kerok over kapasitas di lapas kami adalah over kapasitas karena Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), narapidana narkotika. Selalu saya katakan, sangat aneh sekali satu jenis crime (kejahatan) yaitu kejahatan narkotika mendominasi 50% isi lapas – there is something wrong.”[1] Kalimat itu merupakan sepenggal kutipan pernyataan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Yasonna Laoly, dalam sebuah interview singkat di salah satu media. Pernyataan ini sungguh menarik. Sebab, secara tidak langsung negara mengakui jika negara masih kewalahan dalam mengontrol ekosistem pemenjaraan yang saat ini kondisinya sudah sangat penuh sesak (overcrowded) oleh WBP.

Peristiwa terbakarnya Lapas Kelas 1A Tangerang, merupakan sebuah contoh nyata buruknya sistem pemasyarakatan di Indonesia yang ada saat ini. Kebakaran ini adalah salah satu dari banyak permasalahan lapas yang terjadi di Indonesia. Jika melihat lebih jeli lagi, beragam permasalahan penting yang menyangkut WBP bisa kita temui, mulai dari rendahnya sanitasi, kurangnya sirkulasi udara, dan minimnya asupan nutrisi turut berkontribusi pada penurunan kondisi kesehatan WBP dan tahanan.[2] Hal buruk lainnya dari kondisi overcrowded yang berkepanjangan salah satunya adalah munculnya peredaran narkotika di dalam Lapas. Dalam hasil laporan pemantauan LBH Masyarakat (LBHM) yang ditulis tahun 2019 ditemukan jika sepanjang tahun 2018 ditemukan 152 kasus peredaran dan upaya penyelundupan narkotika ke dalam penjara[3]. Menariknya, peredaran tersebut mayoritas terjadi di wilayah/provinsi yang mengalami over kapasitas.[4] Banyaknya pengguna narkotika yang dipenjarakan memiliki korelasi kuat dengan munculnya fenomena peredaran narkotika di dalam penjara. Lantas apakah memasukan seseorang ke dalam penjara masih diperlukan jika melihat semua permaslahan penjara yang terjadi?

Belajar Sistem Pemasyarkatan dari Belanda

Nampaknya memenjarakan seseorang, bukan lagi menjadi sebuah tren yang ‘baik’. Terlepas dari fakta bahwa masih cukup banyak negara yang melakukan pemenjaraan. Namun, faktanya adalah memenjarakan seseorang akan memakan banyak biaya/anggaran. Hal ini pernah disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, dimana biaya untuk makan WBP selama setahun mencapai Rp.1.3 Triliun ditahun 2018[5], jumlah ini tentunya akan bertambah besar lagi apabila dijumlahkan dengan anggaran-anggaran lainnya seperti anggaran kesehatan dll. Lalu apa solusi baiknya disamping memenjarakan seseorang, mari kita tengok negara nan jauh di eropa sana, yakni Belanda. Sebagai negara yang pernah mengkolonisasi Indonesia (Hindia Belanda), nyatanya Belanda punya kebijakan dan sistem yang progresif dalam hal pemenjaraan.

Sebelum masuk tentang ke \’progresifan\’ Belanda, kita perlu mengenal dari mana munculnya pemenjaraan di Indonesia. Perlu diketahui jika saat ini sistem hukum pidana yang dipakai Indonesia (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) merupakan bagian dari warisan pemerintahan kolonial Belanda, dan benar adanya juga jika sistem Penjara dibawa oleh pemerintah kolonial, pada abad ke-19, dan masuk dalam kategorisasi sistem hukuman tegak di atas landasan formal pasal 10 dalam Wetboek van Stafrecht voor de Inlanders in Nederlansch Indie atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbitan 1872.[6] Ya hingga saat ini mungkin sudah hampir 200 tahun Indonesia masih memakai Kitab Hukum Pidana buatan kolonial yang tentunya masih memiliki semangat untuk memenjarakan seseorang—Menurut R.A. Koesnon, dahulu sistem penjara dibuat untuk membuat seseorang bertobat atau kapok.[7] Jika melihat konteks dari apa yang disampaikan oleh R.A Koesnon, nampaknya penjara saat itu dipakai untuk ‘menjinakan’ mereka yang melawan pemerintah kolonial, dan jika ditarik ke era sekarang, relevansi penjara dengan membuat kapok seseorang sepertinya sudah tidak ideal dipakai.

Belanda saat ini bisa dinilai sangat progresif dalam kebijakan criminal justice-nya (yang berdampak pada pemenjaraan). Menurut Miranda Boone, Profesor Kriminologi dari Universitas Leiden, keberhasilan Belanda dalam kebijakan criminal justice-nya berimplikasi baik bagi sistem pemasyarakatannya. Salah satu faktor keberhasilan dikarenakan Pemerintah Belanda menerapkan mekanisme penyelesaian pidana di luar sistem peradilan, seperti menggunakan denda dan mediasi, serta menerapkan pendekatan kesehatan yakni melakukan rehablitasi psikologis terhadap narapidana atau dikenal dengan Program TBS.[8] Tidak mengherankan, kini Belanda merupakan negara di Eropa urutan ketiga yang memiliki angka pemenjaraan paling rendah. Hal ini dapat dilihat dari angka pemenjaraan yakni hanya 54.4 dari 100.000 penduduk, dan angka pemenjaraan pun setiap tahunnya mengalami penurunan signifikan sepanjang tahun 2014-2018. Selain itu keberhasilan ini dilanjutkan dengan banyaknya penjara yang ditutup, setidaknya sudah terdapat 23 Penjara yang ditutup dan dialihfungsikan menjadi beragam fasilitas seperti tempat rumah sakit jiwa, penampungan, hotel dan fasilitas umum lainnya.[9] Keberhasilan Belanda dalam memberikan alternatif penghukuman patut dijadikan contoh oleh Indonesia yang masih berkutat dengan overcrowding penjara.

Mengharap masa depan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan

Peristiwa kebakaran yang menimpa Lapas Tangerang sekali lagi merupakan permasalahan yang serius. Karena, jika dilihat secara jeli lebih dalam—sebab permasalahan ini bukan hanya serta merta permasalahan teknis yang bisa disebabkan oleh kesalahan manusia ataupun alat (benda mati), namun permasalahan ini adalah permasalahan struktural. Overcrowding yang terjadi adalah sumbangsih dari buruknya kebijakan pemidanaan yang dipakai Indonesia saat ini, salah satunya kebijakan Narkotika (UU No.35 Tahun 2009) yang menjadi penyumbang banyaknya WBP dan tahanan harus mendekam di dalam penjara-penjara Indonesia. Berdasarkan data Ditjen Pemasyarakatan Indonesia, per Agustus 2021, saat ini terdapat 210.986 narapidana yang mendekam di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), dimana sebanyak 145.272 narapidana dan tahanan pernah terlibat dalam kasus narkotika. [10] Dengan kondisi yang terjadi saat ini, banyak perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh WBP, sepertinya membuat masa depan WBP menjadi abu-abu.

Menurut R.A Koesnon, dulu penjara dimasa penjajahan merupakan tempat untuk bertobat, namun pasca kemerdekaan, pemerintah berupaya mengubahnya menjad tempat pendidikan narapidana sebelum kembali ke masyarakat, oleh karenanya lahirlah konsep Lembaga Pemasyarakatan tahun 1962.[11] Koesnon sendiri menambahkan jika penjara mempunyai tujuan sebagai resosialisasi.[12] Namun, sebelum berbicara resosialisasi, pemerintah juga perlu memperhatikan dan memenuhi hak-hak seorang WBP ketika di dalam Pemasyarakatan. Betul adanya apabila seorang WBP atau tahanan itu dibatasi haknya. Namun, hal itu bukan berarti menyepelekan hak-hak lainnya yang harus dipenuhi negara. Keterbatasan kapasitas penjara dan fasilitas yang kurang memadai yang ada saat ini berimbas pada pemenuhan hak seorang narapidana dan tahanan yang tidak terpenuhi. Indonesia seharusnya mulai kembali melihat, menerapkan, dan mengimplementasikan prakti-praktik baik dalam Mandela Rules, dan menjadikannya sebagai tolak ukur dalam memberikan pemenuhan hak terhadap narapidana dan tahanan sebagaimana tercantum dalam Rule 1—setiap narapidana harus dihormati haknya dan dianggap sebagai manusia seutuhnya.[13]

Menjadikan manusia adalah kuncinya. Selama ini masyarakat kita masih kurang memperdulikan atau antipati terhadap situasi penjara dan orang yang tinggal di dalamnya, bahkan masih banyak masyarakat kita yang masih menaruh stigma terhadap mereka (WBP dan tahanan), hal ini tentunya harus menjadi perhatian serius pemerintah untuk dapat mengembalikan martabat narapidana di dalam kehidupan sosial, sebab tujuan akhir dari pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan adalah untuk mempersiapakan WBP kembali ke dalam masyarakat—Mandela Rules sudah mengatur hal ini, dimana narapidana juga harus dijamin kehidupan sosialnya pasca ia terbebas dari masa hukumannya.[14] Kondisi  yang tidak manusiawi di dalam Lapas, buruknya kebijakan pemidanaan, hingga kurangnya dukungan dan simpati masyarakat terhadap WBP rasanya seperti ‘menginjak-nginjak’ martabat seorang WBP sebagai manusia seutuhnya. Jika menguip potongan pidato Menteri Kehakiman Sahardjo (1963), “Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk, atau lebih jahat daripada sebelum dia dipenjarakan”.[15]

Sudah waktunya pemerintah Indonesia menyelesaikan pekerjaan rumah besar ini, baik perbaikan struktural, hingga pengembalian martabat WBP sebagai manusia utuh sebagaimana mestinya, agar kedepannya mereka tetap memiliki masa depan yang baik selepas mereka keluar dari sesaknya kehidupan di dalam penjara.

Tulisan opini ini merupakan respon dari Kasus Kebakaran Lembaga Pemasyarakatan yang Terjadi di Lapas Tangerang beberapa waktu lalu. Tulisan ini ditulis oleh Tengku Raka – Communication Specialist LBHM.


[1] Wawancara Yassona Laoly di Media CNN (https://www.youtube.com/watch?v=w35k3oaQ9oE)

[2] https://nasional.tempo.co/read/1086491/penyebab-kematian-di-penjara-lbh-masyarakat-karena-overcrowded/full&view=ok

[3] Monitoring dan Dokumentasi – Pasar Gelap Narkotika di Penjara: Imbas Kebijakan Punitif (2019)

[4] Ibid., Monitoring dan Dokumentasi

[5] https://www.suara.com/news/2018/04/13/172402/biaya-makan-narapidana-se-indonesia-setahun-sampai-rp13-triliun

[6] https://historia.id/politik/articles/penjara-tak-bikin-tobat-DAoRb/page/1

[7] https://historia.id/politik/articles/penjara-tak-bikin-tobat-DAoRb/page/1

[8] https://www.theguardian.com/world/2019/dec/12/why-are-there-so-few-prisoners-in-the-netherlands

[9] Ibid., The Guardian

[10]  Situs Data Pemasyarakatan Ditjen Pemasyarakatan (Ditjen Pas)

[11] https://historia.id/politik/articles/cerita-dari-balik-jeruji-besi-vqjAB/page/4

[12] https://historia.id/politik/articles/penjara-tak-bikin-tobat-DAoRb/page/2

[13] Mandela Rules, Rule 1

[14] Ibid., Mandela Rules – Rule 107.

[15] https://historia.id/politik/articles/penjara-tak-bikin-tobat-DAoRb/page/3

Rilis Pers – Seleksi Calon Hakim Agung Tahun 2021: Mampukah Menghasilkan Hakim Agung yang Berintegritas dan Profesional?

Komisi Yudisial (KY) telah menyelenggarakan tahap akhir seleksi calon hakim agung (CHA) berupa wawancara (fit and proper test) terhadap 24 orang calon pada tanggal 3-7 Agustus 2021. Rangkaian seleksi CHA ini diselenggarakan oleh KY untuk memenuhi jumlah kebutuhan Hakim Agung sebanyak 13 orang yang diminta Mahkamah Agung (MA) dengan rincian 2 orang Hakim Agung kamar perdata, 8 orang Hakim Agung kamar pidana, 1 orang Hakim Agung kamar militer, dan 2 orang Hakim Agung kamar tata usaha negara khusus pajak.

Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mencatat beberapa isu perihal keterbukaan yang terjadi selama diselenggarakannya wawancara CHA oleh KY. Pertama, beberapa CHA yang lolos ke tahap wawancara diduga memiliki rekam jejak bermasalah, mulai dari jumlah harta kekayaan yang tidak wajar hingga dugaan pelanggaran integritas dan profesionalitas. Kedua, Koalisi menilai beberapa panelis dan komisioner memberikan kesan intimidatif saat melemparkan pertanyaan, tetapi justru tidak terdapat pendalaman yang berarti secara substansi. Ketiga, proses pendalaman profil berupa klarifikasi rekam jejak CHA dalam wawancara CHA sempat dilakukan secara tertutup dengan menonaktifkan suara (mute) pada saat live Youtube berlangsung, namun pada hari kedua mekanisme ini diubah dan dapat disaksikan secara daring oleh publik.

Poin kedua dan ketiga menunjukkan bahwa tahap wawancara tidak sepenuhnya dilakukan dengan transparan, akuntabel, dan partisipatif. Hal ini tidak sejalan dengan UU Komisi Yudisial dan Peraturan Komisi Yudisial No. 2 Tahun 2016 tentang Seleksi Calon Hakim Agung yang mengatur bahwa “seleksi calon hakim agung dilaksanakan secara transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel.” Dalam Peraturan KY ini, diatur dalam Pasal 21 ayat (6) bahwa wawancara dilakukan secara tertutup dalam hal terdapat informasi baru terkait kesusilaan.

Koalisi mencatat bahwa seleksi CHA kali ini merupakan sebuah kemunduran bagi Komisi Yudisial. Setelah proses wawancara yang kurang transparan, akuntabel dan partisipatif, proses pengumuman CHA yang lolos ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak dipublikasikan oleh KY. Pasca wawancara di KY yang selesai pada 7 Agustus 2021, tidak ada kabar mengenai hasil seleksi CHA baik di website dan media sosial KY maupun di media massa. Hingga pada Jumat, 27 Agustus 2021, beredar file surat perihal Pengajuan Nama Calon Hakim Agung Tahun 2021 yang dikirimkan Komisi Yudisial kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Ketua Komisi III DPR. Surat tersebut bertanggal 9 Agustus 2021 dan memuat 11 nama CHA yang dinyatakan lolos oleh KY dan akan diseleksi lebih lanjut oleh DPR.

Kemunculan surat ini di berbagai platform sebagai dokumen yang tidak resmi dikeluarkan oleh KY tentu menjadi hal yang mengejutkan mengingat dalam proses seleksi CHA yang telah berlangsung di tahun-tahun sebelumnya, KY selalu mengumumkan nama-nama Calon yang lolos dan akan mengikuti seleksi ke DPR bersamaan dengan pengiriman surat ke DPR. Sedangkan, pada seleksi tahun 2021 ini, tidak terdapat pengumuman resmi oleh KY. Sejak berakhirnya proses wawancara pada 7 Agustus 2021, tidak terdapat kabar berita dari KY mengenai kemajuan pelaksanaan seleksi CHA hingga akhirnya surat rahasia tersebut beredar. Bagi Koalisi, hal ini sekali lagi mengundang tanda tanya akan transparansi KY dalam menyelenggarakan proses seleksi CHA. Hari ini 17 September 2021, Pimpinan KY menyerahkan nama-nama calon hakim agung secara simbolis kepada Pimpinan DPR secara langsung di DPR.

Proses seleksi di DPR sudah dimulai hari ini 17 September 2021 dengan agenda pertama penulisan makalah oleh para CHA. Selanjutnya akan dilakukan fit and proper test berupa wawancara CHA pada Senin-Selasa, 20 dan 21 September 2021. Komisi III DPR akan mengambil keputusan mengenai CHA yang lolos menjadi Hakim Agung pada Selasa 21 September 2021.

Penerapan keterbukaan dan transparansi yang rumpang dalam pelaksanaan seleksi CHA di tahap sebelumnya menyadarkan kita bahwa diperlukan pengawalan yang lebih intensif lagi dalam proses seleksi CHA yang akan dilaksanakan di DPR. Untuk itu, Koalisi menuntut Dewan Perwakilan Rakyat untuk:

  1. Menyelenggarakan proses seleksi Calon Hakim Agung secara terbuka dan dapat diakses oleh publik secara daring (online). Dalam hal ini, DPR dapat menerapkan praktik yang sudah dilakukan oleh KY dalam tahap sebelumnya.

2. Memilih Calon Hakim Agung yang memiliki profil:

  • CHA yang memiliki visi dan misi yang jelas sebagai Hakim Agung;
  • CHA yang tidak memiliki catatan integritas yang buruk;
  • CHA yang memiliki harta kekayaan yang wajar;
  • CHA yang memiliki pemahaman mumpuni mengenai hukum dan peradilan sesuai kamar perkara yang dipilih;
  • CHA yang berkomitmen untuk berperan aktif dalam reformasi peradilan khususnya di Mahkamah Agung;
  • CHA yang memahami peran hakim dan pengadilan dalam pemenuhan HAM sesuai kedudukan pengadilan dalam konsep negara hukum; serta
  • CHA yang memiliki keberpihakan pada kelompok rentan, yaitu perempuan, anak, masyarakat miskin dan kelompok minoritas, serta perlindungan lingkungan hidup.

3. Tidak meloloskan CHA yang memiliki rekam jejak buruk dan tidak berintegritas.

KOALISI PEMANTAU PERADILAN:
Transparency International Indonesia (TII), Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Public Interest Lawyer Network (PILNET), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Imparsial, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA), LBH Apik Jakarta.

Join Letter – Civil society requests for the 42nd ASEAN Senior Officials Meeting on Drug Matters (ASOD) and 7th ASEAN Ministerial Meeting on Drug Matters (AMMD)

Menjelang pertemuan penting dengan ASEAN pada 14 September 2021, LBHM bersama dengan 24 organisasi masyarakat sipil lainnya di Asia Tenggara bergabung untuk mengangkat isu terkait buruknya penerapan kebijakan narkotika di wilayah Asia Tenggara yang sudah bertahun-tahun terjadi. Selain itu LBHM dan 24 CSO lainnya juga mengirimkan surat terbuka kepada Kepala BNN terkait penanganan narkotika di Indonesia. Ada beberapa isu yang menjadi konsern dari kelompok masyarakat sipil:

  1. Dampak buruk dari Overkriminalisasi, Pemaksaan Rehabilitasi, hingga Hukuman Mati;
  2. Mempromosikan alternatif penghukuman dan peradilan yang adil (fair trial) terhadap kasus narkotika (minor);
  3. Mendorong ASEAN untuk menyesuaikan rekomendasi kebijakan dari badan UN terkait posisi narkotika dan pemenjaraan, termasuk pengurangan dampak buruk;
  4. Mendorong adanya pelibatan aktif dari kelompok masyarakat sipil dalam pembuatan kebijakan terkait narkotika.

Dokumen tersebut dapat di akses di link berikut:

Rilis Pers – Kebakaran Lapas Tangerang: Pemerintah Harus Bertanggung Jawab Di Hadapan Hukum

Rabu, 8 September 2021, dini hari, telah terjadi kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan kelas I Tangerang (Lapas Tangerang). Dalam peristiwa tersebut berdasarkan informasi dari media per tanggal 8 September 2021 telah memakan korban jiwa setidaknya yang berhasil diidentifikasi sejumlah 41 orang, mengalami luka berat sejumlah 8 orang, dan luka ringan sejumlah 72 orang. Sedangkan per tanggal 9 September 2021 telah bertambah 3 orang, sehingga total yang tewas sebanyak 44 orang.

Dalam Laporan Media Briefing Minggu 12 September 2021, LBHM, Imparsial, LBH Jakarta, LPBH Nahdlatul Ulama Tangerang, menemukan adanya kesalahan sistematik dalam kejadian kebakaran Lapas Tangerang, seperti (i) over kapasitas Lapas Tangerang akibat stagnannya upaya revisi UU Narkotika, (ii) sarana dan prasarana yang tidak memadai, (iii) tidak dilakukannya upaya pemeliharaan dan perbaikan instalasi listrik, (iv) tidak berjalannya SOP penanganan kebakaran, sehingga menyebabkan banyak korban berjatuhan, menunjukkan adanya kelalaian Menteri Hukum dan HAM, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kepala Kantor Wilayah Banten Kementerian Hukum dan HAM, dan Kepala Lapas Tangerang dalam menjalankan tugasnya yang dapat dimintakan pertanggungjawaban ke hadapan hukum.

Kami menilai kebakaran Lapas Tangerang merupakan persoalan serius yang harus dipertanggungjawabkan pemerintah di hadapan hukum untuk memastikan peristiwa serupa tidak terulang lagi dan menjadi pelajaran di masa yang akan datang, sehingga kami akan melakukan advokasi dan bersedia memberikan bantuan hukum dan mendampingi sepenuhnya secara cuma-cuma (pro bono) pihak-pihak yang ingin meminta pertanggungjawaban pemerintah di hadapan hukum dengan membuka posko pengaduan dan pendampingan hukum kepada korban dan keluarga korban dari peristiwa kebakaran Lapas Tangerang.

Berdasarkan hal-hal di atas, LBHM, Imparsial, LBH Jakarta, LPBH Nahdlatul Ulama Tangerang, mendesak Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk:

  1. Segera memberhentikan Menteri Hukum dan HAM, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kepala Kantor Wilayah Banten Kementerian Hukum dan HAM, dan Kepala Lapas Tangerang serta memastikan peristiwa serupa tidak terjadi lagi di masa yang akan datang;
  2. Menyampaikan secara terbuka kepada publik terkait informasi kebakaran di Lapas Tangerang dengan sebenar-benarnya;
  3. Meminta kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan audit manajemen dan keamanan terhadap setiap lembaga pemasyarakatan di seluruh wilayah Republik Indonesia;
  4. Merevisi UU Narkotika agar tidak lagi berorientasi pada penghukuman dan pemenjaraan sehingga dapat mengurai masalah over kapasitas di lembaga pemasyarakatan;
  5. Mendorong reformasi pendekatan pidana penjara dalam hukum pidana dengan alternatif penghukuman non penjara;
  6. Mendorong pemerintah untuk kembali melakukan upaya asimilasi dan integrasi warga binaan pemasyarakatan terutama yang terkait kasus narkotika dengan kualifikasi pengguna atau pecandu;
  7. Memberikan ruang kepada korban dan/atau keluarga korban yang ingin meminta bantuan hukum kepada LBHM, Imparsial, LBH Jakarta, LPBH Nahdlatul Ulama Tangerang;
  8. Menjamin tidak akan ada pihak yang menghalang-halangi korban dan/atau keluarga korban kebakaran Lapas Tangerang untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah di hadapan hukum.

Simak laporan lengkap di link berikut:
Kebakaran Lapas Tangerang: Pemerintah Harus Bertanggung Jawab Di Hadapan Hukum

Rilis Pers – Kebakaran Lapas Tangerang: Saatnya Reformasi Kebijakan Hukum Pidana

LBH Masyarakat (LBHM) turut berduka cita atas kebakaran yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang (Lapas Tangerang) Rabu, 8 September 2021, dini hari tadi. Dalam peristiwa tersebut telah memakan korban jiwa sebanyak 41 orang, dan sebagian di antaranya mengalami luka berat (8 orang) dan luka ringan (72 orang).

Peristiwa kebakaran yang terjadi di Lapas Tangerang merupakan salah satu dampak dari permasalahan lapas yang tiada habisnya serta ekses kebijakan hukum pidana yang dominan dengan pendekatan penjara.

Berdasarkan hal tersebut, LBHM memberikan beberapa respon atas kejadian kebakaran di Lapas Klas I Tangerang, diantaranya:

Pertama, berdasarkan sistem database pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, per 7 September 2021, Lapas Tangerang termasuk lapas yang memiliki overcrowding yang tinggi sebesar 245% . Sedangkan daya tampung Lapas Tangerang hanya mampu menampung sebanyak 600 orang. Akan tetapi, faktanya Lapas Tangerang hari ini per 7 September 2021 dihuni sebanyak 2.072 orang. Di mana terdapat 1.805 orang merupakan warga binaan pemasyarakatan yang terkait kasus narkotika. Kondisi overwcrowding dan banyaknya warga binaan pemasyarakatan terkait kasus narkotika yang masuk kategori pengguna atau pecandu semakin menambah daftar permasalahan pendekatan pidana penjara dalam perumusan hukum pidana narkotika di Indonesia yang berkonstribusi terhadap overcrowding lapas dan berdampak terhadap pengelolaan lapas di Indonesia yang tidak sigap terhadap kondisi bencana;

Kedua, kebakaran yang terjadi di Lapas Tangerang dini hari tadi hanyalah puncak gunung es dari problematika pengelolaan lapas di Indonesia. Tragedi kemanusiaan dini hari tadi pagi semakin menunjukan betapa buruknya pengelolaan lapas di Indonesia baik dari sisi kebijakan peradilan pidana terpadu maupun dari manajemen dan keamanan lapas;

Ketiga, pada awal pandemi tahun 2020, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan kebijakan terkait asimilasi, pembebasan bersayarat, cuti menjelang bebas, cuti bersyarat dalam rangka penanggulangan Covid-19 di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara bagi narapidana dan anak. Kebijakan ini responsif dalam mengurangi overcrowding tapi dalam kasus narkotika yang masuk kategori pecandu atau pengguna yang divonis di atas lima tahun penjara tidak masuk dalam skema kebijakan tersebut. Sehingga penting untuk memastikan kembali pemberlakukan kebijakan tersebut bagi warga binaan pemasyarakatan kategori pecandu atau pengguna;

Keempat, penting bagi jajaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melakukan pemulihan terhadap warga binaan pemasyarakatan melakukan healing terhadap korban kebakaran mengingat kejadian kebakaran ini sangat kuat membekas dan menimbulkan trauma yang berkepanjangan;

Berdasarkan hal tersebut di atas, LBHM menuntut:

  • Melakukan langkah-langkah evakuasi dan penyelamatan bagi korban kebakaran Lapas Tangerang dan memberikan perawatan yang intensif bagi korban yang selamat serta pemerintah menanggung biayanya;
  • Menuntut Pemerintah meminta maaf atas peristiwa kebakaran di Lapas Tangerang dan mendorong dilakukan penyelidikan dan menyampaikan hasilnya secara terbuka kepada publik terkait kebakaran di Lapas Tangerang;
  • Mendorong reformasi pendekatan pidana penjara dalam hukum pidana dengan alternatif penghukuman non penjara;
  • Mendorong pemerintah untuk kembali melakukan upaya asimilasi dan integrasi warga binaan pemasyarakatan terutama yang terkait kasus narkotika dengan kualifikasi pengguna atau pecandu.

[Laporan Penelitian] Komparasi Sistem Dukungan Dalam Pengambilan Keputusan Untuk Orang dengan Disabilitas Psikososial

Sejak diresmikan, Pasal 12 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) tentang kapasitas hukum telah menimbulkan perdebatan hangat di kalangan akademisi, ahli hukum, dan tenaga medis. Hal ini memancing banyak respon dari banyak kelompok, seperti kelompok aktivis disabilitas yang merayakan keberadaan pasal itu, karena memberikan pengakuan setara terhadap kapasitas hukum penyandang disabilitas. Disamping itu ada juga kelompok pihak-pihak lain yang memiliki interpretasi berbeda, bahkan menolak keberadaan Pasal 12 dalam CRPD ini Keberagaman pendapat itu menyebabkan adanya variasi dalam pengimplementasian pengakuan universal atas kapasitas hukum oleh negara-negara yang meratifikasi CRPD.

Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi CRPD, Indonesia sudah mengimplementasikanya dalam sebuah Undang-Undang (UU) yakni UU Nomor 19 Tahun 2011. Pemerintah Indonesia meyakini bahwa mereka menghormati hak asasi orang dengan disabilitas dengan mengakomodirnya dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Disabilitas).

Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) masih menjadi salah satu kelompok rentan yang masih belum bisa merasakan sepenuhnya hak-haknya. Seperti hak atas kapasitas hukum. Masih banyak ODP yang terampas hak atas kapasitas hukumnya, hal ini terjadi karena tidak dianggap kompeten untuk mengambil keputusan dikarenakan kondisi kejiwaanya, yang pada akhirnya kapasitas hukum mereka terenggut/dicabut.

Dalam pengambilan keputusan bagi seorang ODP, Indonesia masih menggunakan sistem perwalian, sistem ini dianggap tidak efektif dan dinilai melanggar hak asasi, serta sangat diskriminatif. Padahal seharusnya ODP dapat diperlakukan secara setara (equal) dalam proses hukum, seperti yang dituang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.

Sudah saatnya Indonesia meninggalkan sistem perwalian dan mulai memakai pendekatan yang supportif terhadap ODP yakni Support Decission Making (SDM). LBHM sejak tahun 2020, telah melakukan penelitian terkait pengambilan keputusan untuk ODP dengan melakukan perbandingan sistem pengambilan keputusan yang ada di seluruh dunia. Secara garis besar dalam laporan ini mengenalkan kepada publik terkait sistem pengambilan keputusan yang baik untuk ODP.

Laporan penelitian ini terbagi dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia, & English), untuk mengunduh dokumen silahkan mengklik link dibawah ini:

Versi Indonesia

English Version

Simon Biles dan Pentingnya Kesehatan Mental

Perhelatan akbar Olimpide Tokyo 2020 baru saja berkahir. Meskipun berlangsung di tengah pandemic Covid-19, semua negara tetap bersaing dengan sportif dan antusias utnuk mendapatkan medali. Amerika Serikat tampil sebagai negara pengumpul medali emas terbanyak dan berada sebagai juara umum. Di balik kabar gembira superioritas Amerika Serikat di Olimpiade itu, terselip sebuah cerita duka. Atlet senam Amerika Serikat, Simone Biles, mengundurkan diri dalam perhelatan Olimpiade Tokyo 2020 yang lalu. Biles, yang dikenal sebagai pesenam dengan sederet medali dan prestasi, mengundurkan diri karena masalah kesehatan mental dirinya. Keputusan yang cukup mengejutkan karena Biles merupakan andalan tim Amerika Serikat di nomor senam. Akan tetapi, keputusan Biles tersebut disambut positif oleh banyak orang karena merupakan salah satu contoh dari atlet yang berani terbuka di depan khalayak umum soal tekanan yang dihadapi dan memilih mengutamakan kesehatan mental mereka.[1] Bisa jadi, apa yang dialami Biles merupakan bentuk depresi akibat dari tekanan besar yang datang dan menekan dirinya. Tekanan untuk menang dan menjadi pemegang medali emas dalam perhelatan ajang 4 tahunan itu. Tekanan yang membuat diri seorang Biles merasa kehilangan kesenangan dalam senam dan memilih mundur.

Peristiwa yang dialami Biles baru-baru ini tentunya kian membuka kesadaran kita bahwa kesehatan mental itu sangat penting. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagaimana dilansir dari Medical News Today, 13 April 2020, menekankan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi mental yang tidak adanya gangguan atau kecacatan mental. Kesehatan mental mengacu pada kesejahteraan kognitif, perilaku, dan emosional. Hal inilah yang mengatur bagaimana cara orang berpikir, merasakan, dan berperilaku. Selain itu, kesehatan mental juga dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari, hubungan atau relasi, dan kesehatan fisik. Misalnya, orang yang mengalami gangguan kesehatan mental bisa stress, depresi, dan merasakan kecemasan yang dapat memengaruhi kesehatan mental(jiwa) serta mengganggu rutinitas seseorang.[2] Di Indonesia sendiri, jumlah orang yang mengalami gangguan kejiwaan sangat tinggi. Berdasarkan atas Survei Global Health Data Exchange tahun 2017 menunjukkan, ada 27,3 juta orang di Indonesia mengalami masalah kejiwaan. Hal ini berarti, satu dari sepuluh orang di negara ini mengidap gangguan kesehatan jiwa. Indonesia jadi negara dengan jumlah pengidap gangguan jiwa tertinggi di Asia Tenggara.

Depresi: Persoalan Utama Kesehatan Jiwa di Indonesia

Depresi telah diprediksi menempati urutan pertama sebagai gangguan kejiwaan yang paling banyak dialami oleh penduduk Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir.[3] Dari data itu kita mengetahui bahwa depresi adalah nyata. Lantas apa itu depresi? Dilansir dari Kementerian Kesehatan RI, depresi adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan rasa sedih dan berkepanjangan dan kehilangan minat terhadap kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan dengan senang.[4] Untuk mendiagnosa seseorang memiliki depresi, tentu perlu pelibatan profesional dibidangnya, bisa psikolog atau psikiater. Untuk mendiagnosisnya, tentu berpedoman pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 5th Edition (DSM-5) yang beberapa gejalanya adalah depressed mood, kehilangan kesenangan dan minat, insomnia (sulit tidur), hingga pikiran atau ide berulang tentang kematian (bunuh diri). Yang disebutkan terakhir tentunya sangat serius dan penting untuk segera dilakukan intervensi bagi orang yang mengalaminya. Ide tentunya dapat berubah jadi tindakan. Selain itu, bunuh diri sendiri merupakan isu besar dan tidak dapat disepelekan. Dalam Laporan WHO tahun 2014 menunjukkan bahwa hampir 800.000 orang meninggal karena bunuh diri. Dikatakan lebih lanjut bahwa ada 1 orang meninggal akibat bunuh diri setiap 40 detik. Angka percobaan bunuh diri diperkirakan 20-25 kali lipat jumlah kematian akibat bunuh diri. Tujuh puluh delapan persen bunuh diri terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Meskipun bunuh diri terjadi pada segala rentang usia, tetapi data tahun 2015 menunjukkan bahwa bunuh diri merupakan penyebab kedua kematian pada usia 15 – 29 tahun.[5]

Selain persoalan akan intensitas untuk bunuh diri, kabar buruknya, seseorang yang pernah mengalami deprersi dalam hidupnya berpotensi untuk RelapseRelapse merupakan the act or an instance of backsliding, worsening, or subsiding atau a recurrence of symptoms of a disease after a period of improvement”.[6] Terjemahan bebasnya adalah kambuh, keadaan (mental) memburuk atau terjadinya gejala penyakit yang kembali terjadi setelah periode perkembangan kesehatan (mental). Depresi dikenal juga sebagai lifelong-debilitating illness (penyakit yang melemahkan seumur hidup) karena kemungkinan untuk relapse melebihi 80%. Orang yang depresinya mudah kambuh rata-rata mengalami empat kali depresi selama hidupnya dengan lama deprsesi setidaknya 20 minggu – 5 bulan.[7] Kabar buruk lainnya, jika mengalami relapse, depresinya akan lebih lama dan lebih buruk dari dan bisa bertahan hingga dua tahun.[8] Lebih parah lagi, jika pada depresi sebelumnya ia memiliki ide/pikiran bunuh diri, ide atau pikiran tersebut akan kembali dengan intensitas yang lebih besar.[9]

Mari Dukung & Hentikan Stigma!

Apa yang dapat dipelajari dari peristiwa Biles ini? Ada dua hal yang penting untuk menjadikan refleksi kita Bersama. Pertama, bagi saya keputusan Biles untuk mundur tentunya sebuah langkah berani dan tepat. Penting sekali bagi Biles -dan juga orang lain- mengetahui bahwa dirinya sedang tidak dalam kondisi mental yang sehat. Menghindari denial (penyangkalan) bagi diri sendiri merupakan tahap awal untuk recovery (penyembuhan) serta mendapatkan intervensi dari profesional. Karena, seperti yang telah disampaikan di atas, efek dari depresi itu tidak dapat dianggap sepele dan bisa berujung bunuh diri. Dengan penerimaan diri dan dukungan professional tentunya akan berdampak sangat positif. Kedua, paska Biles mengumumkan pengunduran dirinya, dukungan dari publik mengalir kepada dirinya. Mulai dari sesama atlet, musisi, pengusaha hingga tokoh politik seperti Hillary Clinton dan Michelle Obama turut menyatakan dukungan kepada Biles. Netizen pun ramai mendukung Biles yang kemudian menjadi trending topik di Twitter. Dukungan ini harusnya dimaknai sebagai langkah positif dalam isu kesehatan jiwa. Selain sebagai dukungan moril dan proses recovery seorang Biles, dukungan ini merupakan upaya melawan stigma orang dengan gangguan jiwa selama ini. Bagi saya, dukungan luas dari publik dalam peristiwa ini dapat dijadikan momentum untuk melawan stigma bagi orang dengan gangguan jiwa, utamanya di Indonesia. Jamak diketahui, di Indonesia, stigma buruk bagi orang dengan gangguan jiwa masih menyelimuti masyarakat pada umumnya.[10] Stigma itu kemudian memperburuk kondisi orang dengan dengan gangguan kejiwaaan -serta keluarganya- yang (banyak dalam kasus) berujung pada pemasungan dan terhambatnya proses intervensi dari tenaga profesional yang seharusnya segera dilakukan. Untuk itu, otoritas (negara) wajib proaktif untuk mengatasi stigma di Indonesia, seperti mengedukasi dan mengoptimalkan literasi terkait kesehatan jiwa bagi masyarakat luas. Diharapkan, muara dari proses edukasi publik nantinya turut membantu dalam penyembuhan dan pemulihan orang dengan gangguan jiwa seperti yang dilakukan mayoritas publik saat ini bagi seorang Simone Biles. Saya yakin, masih banyak Biles lainnya yang saat ini menanti dukungan positif masyarakat.

Tulisan opini ini merupakan respon dari Kasus pengunduran diri Simon Biles (Atlet Senam Amerika Serikat) yang mengundurkan diri dari Olimpiade Tokyo 2020 karena Kesehatan Mental. Tulisan ini ditulis oleh Dominggus Christian – Manajer Pengetahuan dan Jaringan.


[1] Kementerian Kesehatan RI, 2018. Laporan Riskeskas 2018.

[2] https://www.merriam-webster.com/dictionary/relapse

[3] Judd,LL (1997). The Clinical course of unipolar major depressive disorder. Arcjieves of general psychiatry, 54

[4] Kessing, L.V., Hansen, M. G., Andersen, P.K., & Angst, J (2004).

[5] William, J. M. G., Crane, C., Barnhofer, T., van der Does, A.J.W., & Segel, Z.V. (2006)

[6] Institute of Health Metric and Evalution (IHME), Tahun 2017

[7] http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/stroke/apa-itu-depresi

[8] https://himpsi.or.id/web/content/2735

[9] https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/10/171200265/hari-kesehatan-mental-sedunia-apa-itu-kesehatan-mental-dan-cara-menjaganya?page=all.

[10] https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4619137/hadapi-masalah-kesehatan-mental-apa-yang-bisa-dipelajari-dari-simone-biles-dan-naomi-osaka

id_IDIndonesian