Skip to content

Tag: Kesehatan Jiwa

Laporan Kerja (Annual Report) LBHM Tahun 2021

2 tahun sudah Indonesia mengalami pandemi COVID-19, hal ini juga berpengaruh kepada tatanan sosial di masyarakat secara signifikan. Salah satunya terhadap kelompok rentan dan termarjinalkan. Kelompok ini mengalami tantangan berganda, mulai dari dampak ekonomi hingga tidak terpenuhinya Hak Asasi Manusia mereka yang membuat mereka hidup dalam bayang-bayang pelanggarang HAM.

Akses bantuan hukum yang tidak memadai, masih adanya peraturan diskriminatif, ketidakmerataan keadilan sosial adalah sebagian kecil dampak dari sekian banyak dampak lainnya yang dihadapi oleh kelompok rentan sehingga berada pada situasi tidak \’menguntungkan\’. LBHM secara gigih masih berdiri bersama kelompok rentan, berjuang bersama untuk memajukan dan mendapatkan hak-hak mereka secara penuh lewat dampingan hukum, riset dan kampanye publik.

LBHM mendokumentasikan perjuangan dan pekerjaan kami dalam Laporan Kerja (2021). Laporan ini merupakan pertanggung jawaban LBHM kepada publik dalam menginformasikan kerja-kerja yang sudah dilakukan oleh LBHM sepanjang tahun 2021 — sekaligus juga menjadi refleksi kerja-kerja LBHM selama satu tahun kebelakang. Kami menganalisa situasi serta tantangan HAM selama 2021 dan tahun yang akan datang. Laporan ini dapat tersusun, berkat dukungan pihak-pihak yang telah menudukung jerih payah LBHM.

Laporan Kerja (Annual Report) Tahun 2021 kami dapat dibaca pada tautan di bawah ini:

LBHM Annual Report 2021

Universal Periodic Review – Joint Submission Human Rights Situation in Indonesia With Specific focus on Vulnerable Groups

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu dan permasalahan Hak Asasi Manusia yang terjadi.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Nasional Anti Diskriminasi Kelompok Rentan, baru saja mengirimkan laporan temuan tentang pelanggaran HAM pada kelompok rentan dan termarjinalkan di Indonesia.

Salah satu temuan dalam laporan ini adalah perihal kurangnya usaha pemerintah dalam memberikan upaya perlindungan secara hukum terhadap kelompok rentan yang termarjinalkan.

Temuan lengkapnya dapat dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review – Joint Submission Human Rights Situation in Indonesia With Specific focus on Vulnerable Groups

Hiring – Konsultan Video Jajak Pendapat ODP

Visual grafis menjadi salah satu medium kampanye yang dipakai untuk mendorong upaya-upaya advokasi serta mendapatkan empati dan dukungan dari publik terkait apa yang dikampanyekan. LBHM percaya jika semua orang dapat berkontribusi dalam memajukan HAM, salah satunya melalui bentuk Video.

LBHM saat ini sedang aktif mengkampanyekan hak-hak seorang disabilitas. khususnya Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) yang masih mengalami ragam diskriminasi dan stigma di kehidupan sosial. Berangkat dari hal tersebut, LBHM membuka kesempatan bagi teman-teman yang memiliki kemampuan dalam dunia sinematografi/videografi dan juga mempunyai kemampuan copywritting, serta memiliki pemahaman isu HAM (khususnya isu Kesehatan Jiwa) yang baik.

Jika, kalian memiliki semua kriteria seperti di atas, langsung aja segera daftarkan diri kalian atau tim kalian untuk menjadi Konsultan Pembuat Video. Untuk mendaftarkan diri silahkan teman-teman membaca kerangka acuan di bawah ini.

Unduh dokumennya di sini:
Pembuatan Video Jajak Pendapat tentang Orang dengan Disabilitas Psikososial

[Laporan Penelitian] Gambaran Disabilitas Psikososial di Indonesia: Pemetaan Isu-Isu Strategis

Pasca melakukan ratifikasi CRPD di tahun 2011, Indonesia menyikapi ratifikasi itu dengan serius, dimana Pemerintah Indonesia membentuk suatu perundang-undangan yang menjami hak penyandang disabilitas, hal ini dapat kita lihat sekarang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 atau dikenal dengan istilah UU Penyandang Disabilitas.

Pembentukan UU Penyandang Disabilitas ini merupakan sebuah bentuk tanggung jawab nyata dari negara terhadap kelompok disabilitas untuk menghormati Hak Asasi Manusianya. Namun, seiring berjalannya waktu, ternyata implementasi kebijakan ini masih belum mencakup semua kelompok disabilitas. Salah satu yang luput adalah kelompok Disabilitas Psikososial atau Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP).

Selama ini ODP masih mengalami diskriminasi dan stigma yang akhirnya menyebabkan terjadi kekangan hak dan halangan partisipasi yang dirasakan ODP, salah satunya dalam bidang hukum dan HAM. Selama ini masih terjadi perdebatan apakah ODP dapat bertanggung jawab secara pidana atau tidak, dalam satu penelitian disebutkan jika ODP
ODP tidak mungkin bertanggung jawab secara pidana–pendapat ini dilandaskana pada keberadaan pasal 44 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa seseorang tidak dipidana jika ‘jiwanya cacat’, karena dianggap tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Dalam penelitian ini kami ingin membalika stigmatisasi yang ditujukan kepada ODP. Secara garis besar HAM, ODP itu masih mempunyai hak, salah sataunya adalah hak atas kapasitas hukumnya. Upaya mendenied hak tersebut seudah termasuk dalam pelanggaran hak. Teman-teman dapat membaca laporan lengkap tentang ODP di bawah ini:

Versi Indonesia

Versi Inggris

Simon Biles dan Pentingnya Kesehatan Mental

Perhelatan akbar Olimpide Tokyo 2020 baru saja berkahir. Meskipun berlangsung di tengah pandemic Covid-19, semua negara tetap bersaing dengan sportif dan antusias utnuk mendapatkan medali. Amerika Serikat tampil sebagai negara pengumpul medali emas terbanyak dan berada sebagai juara umum. Di balik kabar gembira superioritas Amerika Serikat di Olimpiade itu, terselip sebuah cerita duka. Atlet senam Amerika Serikat, Simone Biles, mengundurkan diri dalam perhelatan Olimpiade Tokyo 2020 yang lalu. Biles, yang dikenal sebagai pesenam dengan sederet medali dan prestasi, mengundurkan diri karena masalah kesehatan mental dirinya. Keputusan yang cukup mengejutkan karena Biles merupakan andalan tim Amerika Serikat di nomor senam. Akan tetapi, keputusan Biles tersebut disambut positif oleh banyak orang karena merupakan salah satu contoh dari atlet yang berani terbuka di depan khalayak umum soal tekanan yang dihadapi dan memilih mengutamakan kesehatan mental mereka.[1] Bisa jadi, apa yang dialami Biles merupakan bentuk depresi akibat dari tekanan besar yang datang dan menekan dirinya. Tekanan untuk menang dan menjadi pemegang medali emas dalam perhelatan ajang 4 tahunan itu. Tekanan yang membuat diri seorang Biles merasa kehilangan kesenangan dalam senam dan memilih mundur.

Peristiwa yang dialami Biles baru-baru ini tentunya kian membuka kesadaran kita bahwa kesehatan mental itu sangat penting. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagaimana dilansir dari Medical News Today, 13 April 2020, menekankan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi mental yang tidak adanya gangguan atau kecacatan mental. Kesehatan mental mengacu pada kesejahteraan kognitif, perilaku, dan emosional. Hal inilah yang mengatur bagaimana cara orang berpikir, merasakan, dan berperilaku. Selain itu, kesehatan mental juga dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari, hubungan atau relasi, dan kesehatan fisik. Misalnya, orang yang mengalami gangguan kesehatan mental bisa stress, depresi, dan merasakan kecemasan yang dapat memengaruhi kesehatan mental(jiwa) serta mengganggu rutinitas seseorang.[2] Di Indonesia sendiri, jumlah orang yang mengalami gangguan kejiwaan sangat tinggi. Berdasarkan atas Survei Global Health Data Exchange tahun 2017 menunjukkan, ada 27,3 juta orang di Indonesia mengalami masalah kejiwaan. Hal ini berarti, satu dari sepuluh orang di negara ini mengidap gangguan kesehatan jiwa. Indonesia jadi negara dengan jumlah pengidap gangguan jiwa tertinggi di Asia Tenggara.

Depresi: Persoalan Utama Kesehatan Jiwa di Indonesia

Depresi telah diprediksi menempati urutan pertama sebagai gangguan kejiwaan yang paling banyak dialami oleh penduduk Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir.[3] Dari data itu kita mengetahui bahwa depresi adalah nyata. Lantas apa itu depresi? Dilansir dari Kementerian Kesehatan RI, depresi adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan rasa sedih dan berkepanjangan dan kehilangan minat terhadap kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan dengan senang.[4] Untuk mendiagnosa seseorang memiliki depresi, tentu perlu pelibatan profesional dibidangnya, bisa psikolog atau psikiater. Untuk mendiagnosisnya, tentu berpedoman pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 5th Edition (DSM-5) yang beberapa gejalanya adalah depressed mood, kehilangan kesenangan dan minat, insomnia (sulit tidur), hingga pikiran atau ide berulang tentang kematian (bunuh diri). Yang disebutkan terakhir tentunya sangat serius dan penting untuk segera dilakukan intervensi bagi orang yang mengalaminya. Ide tentunya dapat berubah jadi tindakan. Selain itu, bunuh diri sendiri merupakan isu besar dan tidak dapat disepelekan. Dalam Laporan WHO tahun 2014 menunjukkan bahwa hampir 800.000 orang meninggal karena bunuh diri. Dikatakan lebih lanjut bahwa ada 1 orang meninggal akibat bunuh diri setiap 40 detik. Angka percobaan bunuh diri diperkirakan 20-25 kali lipat jumlah kematian akibat bunuh diri. Tujuh puluh delapan persen bunuh diri terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Meskipun bunuh diri terjadi pada segala rentang usia, tetapi data tahun 2015 menunjukkan bahwa bunuh diri merupakan penyebab kedua kematian pada usia 15 – 29 tahun.[5]

Selain persoalan akan intensitas untuk bunuh diri, kabar buruknya, seseorang yang pernah mengalami deprersi dalam hidupnya berpotensi untuk RelapseRelapse merupakan the act or an instance of backsliding, worsening, or subsiding atau a recurrence of symptoms of a disease after a period of improvement”.[6] Terjemahan bebasnya adalah kambuh, keadaan (mental) memburuk atau terjadinya gejala penyakit yang kembali terjadi setelah periode perkembangan kesehatan (mental). Depresi dikenal juga sebagai lifelong-debilitating illness (penyakit yang melemahkan seumur hidup) karena kemungkinan untuk relapse melebihi 80%. Orang yang depresinya mudah kambuh rata-rata mengalami empat kali depresi selama hidupnya dengan lama deprsesi setidaknya 20 minggu – 5 bulan.[7] Kabar buruk lainnya, jika mengalami relapse, depresinya akan lebih lama dan lebih buruk dari dan bisa bertahan hingga dua tahun.[8] Lebih parah lagi, jika pada depresi sebelumnya ia memiliki ide/pikiran bunuh diri, ide atau pikiran tersebut akan kembali dengan intensitas yang lebih besar.[9]

Mari Dukung & Hentikan Stigma!

Apa yang dapat dipelajari dari peristiwa Biles ini? Ada dua hal yang penting untuk menjadikan refleksi kita Bersama. Pertama, bagi saya keputusan Biles untuk mundur tentunya sebuah langkah berani dan tepat. Penting sekali bagi Biles -dan juga orang lain- mengetahui bahwa dirinya sedang tidak dalam kondisi mental yang sehat. Menghindari denial (penyangkalan) bagi diri sendiri merupakan tahap awal untuk recovery (penyembuhan) serta mendapatkan intervensi dari profesional. Karena, seperti yang telah disampaikan di atas, efek dari depresi itu tidak dapat dianggap sepele dan bisa berujung bunuh diri. Dengan penerimaan diri dan dukungan professional tentunya akan berdampak sangat positif. Kedua, paska Biles mengumumkan pengunduran dirinya, dukungan dari publik mengalir kepada dirinya. Mulai dari sesama atlet, musisi, pengusaha hingga tokoh politik seperti Hillary Clinton dan Michelle Obama turut menyatakan dukungan kepada Biles. Netizen pun ramai mendukung Biles yang kemudian menjadi trending topik di Twitter. Dukungan ini harusnya dimaknai sebagai langkah positif dalam isu kesehatan jiwa. Selain sebagai dukungan moril dan proses recovery seorang Biles, dukungan ini merupakan upaya melawan stigma orang dengan gangguan jiwa selama ini. Bagi saya, dukungan luas dari publik dalam peristiwa ini dapat dijadikan momentum untuk melawan stigma bagi orang dengan gangguan jiwa, utamanya di Indonesia. Jamak diketahui, di Indonesia, stigma buruk bagi orang dengan gangguan jiwa masih menyelimuti masyarakat pada umumnya.[10] Stigma itu kemudian memperburuk kondisi orang dengan dengan gangguan kejiwaaan -serta keluarganya- yang (banyak dalam kasus) berujung pada pemasungan dan terhambatnya proses intervensi dari tenaga profesional yang seharusnya segera dilakukan. Untuk itu, otoritas (negara) wajib proaktif untuk mengatasi stigma di Indonesia, seperti mengedukasi dan mengoptimalkan literasi terkait kesehatan jiwa bagi masyarakat luas. Diharapkan, muara dari proses edukasi publik nantinya turut membantu dalam penyembuhan dan pemulihan orang dengan gangguan jiwa seperti yang dilakukan mayoritas publik saat ini bagi seorang Simone Biles. Saya yakin, masih banyak Biles lainnya yang saat ini menanti dukungan positif masyarakat.

Tulisan opini ini merupakan respon dari Kasus pengunduran diri Simon Biles (Atlet Senam Amerika Serikat) yang mengundurkan diri dari Olimpiade Tokyo 2020 karena Kesehatan Mental. Tulisan ini ditulis oleh Dominggus Christian – Manajer Pengetahuan dan Jaringan.


[1] Kementerian Kesehatan RI, 2018. Laporan Riskeskas 2018.

[2] https://www.merriam-webster.com/dictionary/relapse

[3] Judd,LL (1997). The Clinical course of unipolar major depressive disorder. Arcjieves of general psychiatry, 54

[4] Kessing, L.V., Hansen, M. G., Andersen, P.K., & Angst, J (2004).

[5] William, J. M. G., Crane, C., Barnhofer, T., van der Does, A.J.W., & Segel, Z.V. (2006)

[6] Institute of Health Metric and Evalution (IHME), Tahun 2017

[7] http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/stroke/apa-itu-depresi

[8] https://himpsi.or.id/web/content/2735

[9] https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/10/171200265/hari-kesehatan-mental-sedunia-apa-itu-kesehatan-mental-dan-cara-menjaganya?page=all.

[10] https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4619137/hadapi-masalah-kesehatan-mental-apa-yang-bisa-dipelajari-dari-simone-biles-dan-naomi-osaka

Rilis Pers – Amicus Curiae untuk Jaminan Kesehatan Nasional yang Lebih Inklusif

Pada tanggal 10 Agustus 2020, tiga organisasi masyarakat sipil yaitu Rumah Cemara, Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), dan Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) mengajukan gugatan Hak Uji Materiil (HUM) terhadap Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan (Perpres JKN) didampingi oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) selaku kuasa hukum ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Perpres No. 82/2018 tersebut merupakan bentuk diskriminasi terhadap orang dengan disabilitas psikososial, yakni orang-orang yang mengalami hambatan-hambatan struktural akibat masalah kejiwaan yang mereka alami dan persepsi masyarakat luas terhadap mereka. Orang dengan disabilitas psikososial yang didiagnosis memiliki skizofrenia, bipolar, depresi, gangguan kepribadian, dan gangguan kecemasan rentan mengalami gangguan episodik yang menyebabkan mereka untuk melukai diri sendiri (self-harm) atau melakukan upaya bunuh diri.

Dalam rangka memperingati Universal Health Coverage Day yang jatuh pada tanggal 12 Desember, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Into the Light Indonesia (ITLI), Bipolar Care Indonesia (BCI), dan Pusat Penelitian HIV AIDS Unika Atma Jaya (PPH Atma Jaya) mendaftarkan Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) untuk mendukung gugatan koalisi masyarakat sipil terkait Jaminan Kesehatan Nasional.

Rilis lengkapnya dapat teman-teman baca di sini

Laporan Penelitian – Asesmen Hukum Pengampuan Indonesia: Perlindungan Hak Orang dengan Disabilitas Psikososial

Sekalipun narasi seputar kesehatan jiwa semakin populer belakangan ini, Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) di Indonesia masih sering mengalami tindakan diskriminasi. Stigma buruk yang dilekatkan terhadap mereka sebagai orang yang ‘berbahaya’ atau ‘irasional’ membuat negara dan pihak-pihak lain menganggap mereka tidak mampu melakukan tindakan hukum. Sistem pengampuan yang Indonesia atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan salah satu manifestasi di mana hak atas kapasitas hukum bagi ODP ini dilanggar.

LBHM bersama dengan Monash University melakukan penelitian terkait dengan kerangka hukum pengampuan serta implementasinya di lapangan. Menggunakan data penetapan pengadilan dan hasil FGD, penelitian ini memperlihatkan bagaimana pengampuan merenggut hak ekonomi, ditetapkan tanpa memperhitungkan alat bukti yang tepat, diberikan seringkali tanpa batas, dan mengabaikan kehendak dan preferensi ODP. Unduh laporan lengkapnnya di sini.

Dibutuhkan: Relawan Arsip Penanganan Kasus dan Pemantauan Media

Berdiri hampir 12 tahun yang lalu, LBH Masyarakat adalah organisasi bantuan hukum yang memberikan bantuan hukum gratis dan berkualitas bagi masyarakat yang miskin dan terpinggirkan. Selain bantuan hukum, kami juga melakukan upaya advokasi kebijakan, penelitian, dan kampanye terkait isu-isu yang menjadi fokus kerja kami. Permasalahan-permasalahan yang menjadi perhatian kami dalam bekerja antara lain ialah: hukuman mati, narkotika, kesehatan jiwa, LGBTIQ, serta HIV.

LBH Masyarakat mengundang kamu untuk menjadi bagian dari kami dan terlibat dalam pemajuan hak asasi manusia di Indonesia. Kami membutuhkan 4 relawan yang teridiri dari 1 relawan arsip bantuan hukum dan 3 relawan pemantauan media.

Relawan Arsip Bantuan Hukum

Dari tahun ke tahun, LBH Masyarakat semakin banyak menerima kasus-kasus yang masuk. Kepercayaan publik terhadap LBH Masyarakat harus terus dijaga, termasuk soal kerahasiaan data klien yang menyampaikan permohonan bantuan hukum. Untuk mengurangi penggunaan kertas sebagai media pendokumentasian data klien, LBH Masyarakat berupaya mengubah data tersebut ke dalam format digital.

Bagi kamu yang tertarik berkontribusi dan mendapat pengalaman berharga dari kerja penanganan kasus LBH Masyarakat (penyuluhan di rutan dan lapas di Jakarta), ini adalah kesempatan yang tidak boleh kamu lewatkan. Kriteria relawan yang dibutuhkan adalah:

  • Tertarik pada isu hak asasi manusia dan penganganan kasus;
  • Memiliki kemampuan dalam pengarsipan yang baik;
  • Digital-Savvy;
  • Memiliki laptop;
  • Memiliki motivasi tinggi;
  • Sarjana hukum atau mahasiswa hukum sedang cuti kuliah;
  • Berkomitmen untuk bekerja 5 hari dalam seminggu selama 3 bulan;
  • Berdomisili di Jabodetabek karena harus datang ke kantor LBH Masyarakat dari waktu ke waktu.
  • Memiliki laptop dan perangkat lunak yang bisa mendukung kerja lebih diutamakan;

Jika kamu merasa bahwa kesempatan ini cocok untukmu, silakan lakukan langkah-langkah berikut:

  1. Siapkan Curriculum Vitaeterbaru (tidak lebih dari 2 halaman)
  2. Tuliskan Motivation Letter (400-500 kata) yang berisikan poin-poin berikut:
  • mengapa kamu tertarik untuk menjadi relawan di LBH Masyarakat,
  • jelaskan bagaimana pendokumentasian data klien menjadi salah satu bagian penting dari kerja penanganan kasus.

Simpan kedua dokumen tersebut dalam bentuk PDF dan kirimkan via surel ke Dominggus Christian di dchristian@lbhmasyarakat.org paling lambat Rabu, 20 Maret 2019 pukul 23.59 WIB.

Relawan Pemantauan Media

Sejak 2016, LBH Masyarakat rutin melakukan penelitian pelanggaran hak asasi manusia melalui dokumentasi dan pemantauan media. Hasil penelitian akan dijadikan bahan advokasi strategis melalui pemangku kebijakan ataupun media. Adapun perincian penelitiannya meliputi:

  1. Kekerasan yang dialami orang dengan disabilitas psikososial;
  2. Stigma dan diskriminasi terhadap LGBT;
  3. Stigma dan disrkriminasi terhadap HIV;
  4. Penggerebekkan narkotika dalam tahanan;
  5. Tembak di tempat kasus narkotika;
  6. Perempuan kurir narkotika;
  7. Kematian di dalam tahanan.

. Kriteria relawan yang kami butuhkan, di antaranya:

  • Tertarik pada isu HIV, Kesehatan Jiwa, LGBTIQ, Narkotika, Penegakan Hukum, Perempuan, Pemenjaraan;
  • Internet-Savvy;
  • Dapat menggunakan MS Word, MS Excel, dan (SPSS nilai tambah);
  • Memiliki laptop;
  • Memiliki motivasi tinggi;
  • Diprioritaskan bagi Mahasiswi/Mahasiswa semua jurusan minimal semester 4;
  • Berkomitmen untuk bekerja penuh selama 300 jam;
  • Berdomisili di Jabodetabek karena harus datang ke kantor LBH Masyarakat dari waktu ke waktu.

LBH Masyarakat memiliki komitmen agar setiap relawan tidak hanya bekerja tapi juga belajar isu HAM terkini dan berkontribusi menyumbangkan idenya dalam kerja organisasi. Buat kamu yang ingin memiliki pengalaman bekerja dalam bidang bantuan hukum, advokasi, dan penelitian ini adalah kesempatan yang amat sayang untuk dilewatkan.

Jika kamu merasa bahwa kesempatan ini cocok untukmu, silakan lakukan langkah-langkah berikut:

  1. Siapkan Curriculum Vitae terbaru (tidak lebih dari 2 halaman)
  2. Tuliskan Motivation Letter (400-500 kata) yang berisikan poin-poin berikut:
  • mengapa kamu tertarik untuk menjadi relawan di LBH Masyarakat,
  • sebutkan 3 isu yang paling menarik buat kamu dari isu-isu yang kami sebutkan di atas, jelaskan juga alasannya

Simpan kedua dokumen tersebut dalam bentuk PDF dan kirimkan via surel ke Fuji Aotari di faotari@lbhmasyarakat.org paling lambat Rabu, 20 Maret 2019 pukul 23.59 WIB.

Sudah saatnya kamu berjalan bersama kami. Seperti kata Honne, “… Cause when you’re with me, I don’t feel blue.” Alangkah menyenangkannya berjuang bersama kalian:

because every human matters.

Rilis Pers – 10 Oktober, Hari Kesehatan Jiwa Sedunia: Hentikan Stigma, Sayangi Jiwa

Hari ini, 10 Oktober, adalah Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Sayangnya persoalan kesehatan jiwa di Indonesia masih menjadi isu marjinal. Diskursus tentang kesehatan jiwa seringnya diselimuti mitos, yang tak jarang menghasilkan stigma dan diskriminasi tak berkesudahan bagi orang dengan disabilitas psikososial (ODP).

Masyarakat masih sering menganggap orang dengan disabilitas psikososial sebagai individu yang tidak mampu berpikir rasional, sulit diajak bicara, dan membahayakan masyarakat atau kerap berbuat onar. Selain stigma, orang dengan disabilitas psikososial juga sering mengalami kekerasan. Temuan LBH Masyarakat tahun 2017 menunjukkan setidaknya terdapat 159 orang dengan disabilitas psikososial mengalami kekerasan. Bentuk kekerasannya pun beragam dan dampaknya begitu mengkhawatirkan dampaknya, antara lain pemerkosaan, pembunuhan, pengeroyokan yang menyebabkan kematian, penelantaran, pengamanan paksa, hingga pemasungan. Orang dengan disabilitas psikososial juga mendapat kekerasan dalam panti rehabilitasi yang seharusnya menjadi tempat mereka menjalani perawatan. Tercatat ada 17,6% korban yang mengalami kekerasan saat berada di panti sosial.

Meski pemerintah telah berkomitmen menciptakan Indonesia bebas pasung, nyatanya angka kekerasan berupa pasung masih menjadi yang tertinggi. Laporan LBH Masyarakat di 2017 juga menemukan bahwa terdapat korban pasung sebanyak 35,2%, di mana 6 kasus di antaranya merupakan kasus pemasungan anak-anak. Ada berbagai alasan keluarga melakukan pemasungan. Sebanyak 7,1% keluarga beralasan masalah finansial. Sementara 12,5% keluarga mengaku melakukan pasung untuk keselamatan korban, dan 62,5% untuk menjaga keselamatan orang lain. Alasan-alasan ini menunjukkan kurangnya informasi yang tepat dan masih abainya pemerintah terhadap permasalahan kesehatan jiwa.

Mengambil momentum 10 Oktober ini, LBH Masyarakat mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan kesehatan jiwanya, mulai dari memperhatikan hak-hak orang dengan disabilitas psikososial. Dengan adanya Undang-Undang Kesehatan Jiwa Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, sudah seyogyanya pemerintah menjamin penuh perlindungan hak orang dengan disabilitas psikososial. Jika hak atas kebebasan fisik dan bebas dari kekerasan saja tidak dapat dilindungi oleh negara, bagaimana kita bisa memastikan orang dengan disabilitas psikososial memiliki hak atas politik, pendidikan, kesehatan, kehidupan yang layak, atau bahkan menjamin hak-hak mereka ketika berhadapan hukum.

 

Jakarta, 10 Oktober 2018

Astried Permata – Staf Komunikasi

Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Kebijakan yang Paranoid, Kekangan terhadap Disabilitas Psikososial

Ada banyak hal yang masyarakat Indonesia belum sepenuhnya pahami mengenai gangguan jiwa dan orang-orang yang mengidapnya. Baru pada tahun 2014 Indonesia memiliki Undang-Undang Kesehatan Jiwa (UU Keswa) yang berusaha memastikan perlindungan hak terhadap Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP). Sayangnya, masih banyak muatannya yang mendiskriminasi kapasitas ODP. Pengarusutamaan hak ODP melalui kerangka Undang-Undang Penyandang Disabilitas juga belum paripurna selama amanat peraturan turunan belum terealisasi.

Perkembangan yang lambat ini bukan sepenuhnya kejanggalan regional. Di dunia internasional sekalipun, masalah gangguan jiwa belum mendapatkan jatah kebijakan dan pendanaan karena berbagai alasan. Advokasi internasional pun lalai menyadari bahwa masalah kesehatan jiwa tidak mampu untuk ditangani dengan bertumpu pada pendekatan medis semata melainkan juga pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM).

Ketidakpahaman serta keterlambatan belajar inilah yang menghasilkan stigma-stigma negatif dalam kebijakan-kebijakan kesehatan jiwa Indonesia. Masyarakat sering mempersepsikan ODP sebagai orang yang menakutkan, tidak bisa diprediksikan, dan aneh. Inilah mengapa sekalipun ada upaya-upaya \’menolong\’ ODP, aspek kontrol masih terasa. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penindakan, razia, pengamanan dan penangkapan untuk mengontrol ODP.

Agar bisa terus meningkatkan pengetahuan dan kepekaan kita tentang isu-isu kesehatan jiwa, LBH Masyarakat melakukan pemantauan dan dokumentasi ini. Kami melakukan pemantauan berkaitan dengan ODP dan penegakan hukum. Lebih spesifiknya, kami mencari data-data kekerasan dan/atau pelanggaran hukum yang dilakukan terhadap atau dilakukan oleh ODP sepanjang tahun 2017.

Pemantauan semacam ini bukanlah pengalaman pertama kami. Pada tahun 2016 kami melakukan pemantauan serupa yang menemukan 3445 ODP menjadi korban kekerasan dan 58 kasus ODP dituduh melakukan tindak pidana. Dari hasil laporan tahun kemarin, kami mendapatkan banyak informasi mengenai banyaknya pemasungan, pengamanan paksa, penelantaran, dan penganiayaan terhadap ODP. Kami juga mencatat adanya persoalan ketidakjelasan prosedur penanganan hukum ketika ODP dituduh melakukan tindak pidana agar tetap mampu memberikan keadilan baik bagi korban maupun pelaku.

 
Infografis oleh: Astried Permata
 

Oleh karena itu dengan dilanjutkannya dokumentasi di tahun 2017, kami mampu mencatat apakah ada perubahan penanganan kasus-kasus ODP di Indonesia atau tidak dalam kurun waktu satu tahun yang sudah berlalu. Laporan ini diharapkan bisa menjadi basis data baik bagi LBH Masyarakat sendiri ataupun organisasi-organisasi lainnya yang peduli atas masalah kesehatan jiwa dan hak asasi manusia (HAM) untuk melakukan advokasi masa mendatang.

 Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan berikut!