Beragamnya peraturan-peraturan normatif tentang ketertiban umum menyebabkan tiadanya satu definisi yang padu tentang ketertiban umum di Indonesia. Pendefinisian ketertiban umum sangat tergantung dari kepentingan penguasa yang tercermin dari aspek politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain.
Definisi ketertiban umum yang tidak bulat tersebut menyebabkan variasi jenis-jenis ketertiban. Totalnya ada 48 jenis tertib di mana satu jenis tertib umumnya menjabarkan beberapa jenis aktivitas yang dilarang. Beberapa aturan ketertiban umum pada level lokal pun mengulang peraturan pada tingkat nasional.
Ragam-ragam ketertiban umum mampu menghambat pemenuhan HAM orang dengan HIV dan populasi kunci HIV. Salah satu jenis ketertiban yang umumnya mendisiplinkan ODHIV dan populasi kunci HIV adalah ragam tertib sosial yang umumnya mengkategorikan apa yang dimaksud dengan tindakan asusila. Sayangnya, tindakan asusila sering kali didefinisikan secara bebas, sepihak, dan luas.
Misalnya, Pasal 26 Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 7 Tahun 2016 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, menyamakan tindakan asusila sebagai menjajakan diri di jalan, bercumbu, berciuman dan aktivitas seksual lainnya.
Untuk itu, penelitian ini berusaha untuk melihat bagaimana konsep ketertiban umum didefinisikan serta bagaimana dampak penegakannya bagi penghormatan, pelindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
Kalian dapat membaca hasil penelitian tersebut melalui link di bawah ini:
2 tahun sudah Indonesia mengalami pandemi COVID-19, hal ini juga berpengaruh kepada tatanan sosial di masyarakat secara signifikan. Salah satunya terhadap kelompok rentan dan termarjinalkan. Kelompok ini mengalami tantangan berganda, mulai dari dampak ekonomi hingga tidak terpenuhinya Hak Asasi Manusia mereka yang membuat mereka hidup dalam bayang-bayang pelanggarang HAM.
Akses bantuan hukum yang tidak memadai, masih adanya peraturan diskriminatif, ketidakmerataan keadilan sosial adalah sebagian kecil dampak dari sekian banyak dampak lainnya yang dihadapi oleh kelompok rentan sehingga berada pada situasi tidak \’menguntungkan\’. LBHM secara gigih masih berdiri bersama kelompok rentan, berjuang bersama untuk memajukan dan mendapatkan hak-hak mereka secara penuh lewat dampingan hukum, riset dan kampanye publik.
LBHM mendokumentasikan perjuangan dan pekerjaan kami dalam Laporan Kerja (2021). Laporan ini merupakan pertanggung jawaban LBHM kepada publik dalam menginformasikan kerja-kerja yang sudah dilakukan oleh LBHM sepanjang tahun 2021 — sekaligus juga menjadi refleksi kerja-kerja LBHM selama satu tahun kebelakang. Kami menganalisa situasi serta tantangan HAM selama 2021 dan tahun yang akan datang. Laporan ini dapat tersusun, berkat dukungan pihak-pihak yang telah menudukung jerih payah LBHM.
Laporan Kerja (Annual Report) Tahun 2021 kami dapat dibaca pada tautan di bawah ini:
Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu dan permasalahan Hak Asasi Manusia yang terjadi.
Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Nasional Anti Diskriminasi Kelompok Rentan, baru saja mengirimkan laporan temuan tentang pelanggaran HAM pada kelompok rentan dan termarjinalkan di Indonesia.
Salah satu temuan dalam laporan ini adalah perihal kurangnya usaha pemerintah dalam memberikan upaya perlindungan secara hukum terhadap kelompok rentan yang termarjinalkan.
Temuan lengkapnya dapat dapat dibaca pada tautan berikut:
Suburnya stigma dan diskriminasi yang menyasar Orang yang Hidup dengan HIV (ODHIV) dan populasi kunci memperpanjang epidemi HIV di Indonesia. Hambatan dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) ini selalu muncul dengan variasi bentuk dan aktornya, baik yang dilakukan negara (commission) maupun yang dibiarkan oleh negara (omission). Namun, persoalan sosial, hukum, dan politik yang mewarnai persoalan epidemi HIV ini pun turut mendorong inisiatif-insiatif baik dari beragam organisasi masyarakat sipil yang ada di level nasional maupun daerah.
Bergerak dari hal tersebut LBH Masyarakat (LBHM) mencoba menyusun sebuah riset yang dapat mendorong kebijakan progresif dalam permasalahan HIV yang disusun dalam laporan ” ToC: Strategi Advokasi HIV dan Hak Asasi Manusia” .
Dalam prosesnya LBHM melakukan beberapa kali temu diskusi atau Forum Grup Diskusi (FGD) dengan beberapa komunitas yang mempunyai konsern dan fokus isu HIV di berbagai wilayan Indonesia. FGD ini bertujuan untuk Melakukan identifikasi situasi terkini advokasi HIV dan hukum bagi kelompokmarginal di Indonesia, Memetakan kebutuhan advokasi tiap-tiap kelompok populasi kunci HIV, Memetakan situasi dan kondisi di lapangan. Hal ini diperlukan untuk menyuguhkan laporan dengan data yang komperhensif dan faktual.
Dalam upaya penanggulangan HIV, keluarga memiliki peran sejak tahap pencegahan sampai pengobatan dan perawatan. Keluarga menjadi elemen yang tidak terpisahkan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan, termasuk dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Hal ini tercermin dari penerapan prinsip yang berorientasi pada pertahanan dan kesejahteraan keluarga, sebagaimana diadopsi dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV/AIDS (Permenkes 21/2013).
Sayangnya keluarga juga dapat menjadi pendorong penyebab penularan HIV hal ini dikarenakan adanya permasalahan internal seperti kurangnya dukungan keluarga, perceraian, kurang kasih sayang dll. yang dimana dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan perilaku berisiko.
Keluarga dengan ketahanan yang baik dapat menjauhkan individu dari perilaku yang berisiko tinggi menularkan HIV, dapat memberikan dukungan yang dibutuhkan oleh ODHA sehingga mereka tetap dapat menjadi individu yang berkualitas dan produktif demi kemajuan bangsa.
Internvensi pemerintah dalam memnentukan \’keluarga\’ lewat konsep ketahanan keluarga ternyata memunculkan banyak permasalahan yang dampat berdampak pada kelompok rentan seperti Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Intervensi yang minim bukti ilmiah justru sangat berbahaya karena dapat menimbulkan stigma dan diskriminasi, seperti munculnya rancangan undang-undang Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga yang kontroversial menempatkan keluarga sebagai benteng atas ‘bahaya LGBT’ yang dinilai menyebarkan infeksi HIV.
Hasil laporan ini dapat teman-teman baca dan nikmati di sini
Ketidakpahaman publik secara baik terkait HIV/AIDS disebabkan karena disinformasi terkait HIV/AIDS itu sendiri. Pemahaman yang salah yang di \’telan\’ publik akan menimbulkan stigmatisasi kepada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) dan kelompok rentan lainnya. Tidak berhenti sampai di situ, disinformasi ini juga berdampak pada munculnya tindakan diskriminasi yang menciptakan siklus ketidakadilan berkepanjangan bagi ODHA dan kelompok rentan lainnya.
Disinformasi terkait HIV menjadi salah satu akar permasalahan mengapa stigma dan diskriminasi terus terjadi. Pengulangan stigma dan diskriminasi pada ODHA dan kelompok rentan lainnya dari tahun ke tahun menunjukan adanya ketidakefektifan strategi dari Pemerintah dalam memberantas stigma dan diskriminasi. Padahal Pemerintah sendiri mempunyai program dan kebijakan yang bisa mencapai tujuan 90-90-90, salah satunya dengan memberikan informasi kesehatan kepada masyarakat melalui sistem informasi dan melibatkan aktor lintas sektor. Namun, temuan yang ditemukan LBHM melalui monitoring media justru menunjukkan adanya permasalahan sistem informasi kesehatan, hal ini terbukti dengan masih banyaknya pelaku stigma dan diskriminasi berasal dari lembaga pemerintahan.
Laporan lengkap ini dapat teman-teman baca dan unduh di link ini
Berdiri hampir 12 tahun yang lalu, LBH Masyarakat adalah organisasi bantuan hukum yang memberikan bantuan hukum gratis dan berkualitas bagi masyarakat yang miskin dan terpinggirkan. Selain bantuan hukum, kami juga melakukan upaya advokasi kebijakan, penelitian, dan kampanye terkait isu-isu yang menjadi fokus kerja kami. Permasalahan-permasalahan yang menjadi perhatian kami dalam bekerja antara lain ialah: hukuman mati, narkotika, kesehatan jiwa, LGBTIQ, serta HIV.
LBH Masyarakat mengundang kamu untuk menjadi bagian dari kami dan terlibat dalam pemajuan hak asasi manusia di Indonesia. Kami membutuhkan 4 relawan yang teridiri dari 1 relawan arsip bantuan hukum dan 3 relawan pemantauan media.
Relawan Arsip Bantuan Hukum
Dari tahun ke tahun, LBH Masyarakat semakin banyak menerima kasus-kasus yang masuk. Kepercayaan publik terhadap LBH Masyarakat harus terus dijaga, termasuk soal kerahasiaan data klien yang menyampaikan permohonan bantuan hukum. Untuk mengurangi penggunaan kertas sebagai media pendokumentasian data klien, LBH Masyarakat berupaya mengubah data tersebut ke dalam format digital.
Bagi kamu yang tertarik berkontribusi dan mendapat pengalaman berharga dari kerja penanganan kasus LBH Masyarakat (penyuluhan di rutan dan lapas di Jakarta), ini adalah kesempatan yang tidak boleh kamu lewatkan. Kriteria relawan yang dibutuhkan adalah:
Tertarik pada isu hak asasi manusia dan penganganan kasus;
Memiliki kemampuan dalam pengarsipan yang baik;
Digital-Savvy;
Memiliki laptop;
Memiliki motivasi tinggi;
Sarjana hukum atau mahasiswa hukum sedang cuti kuliah;
Berkomitmen untuk bekerja 5 hari dalam seminggu selama 3 bulan;
Berdomisili di Jabodetabek karena harus datang ke kantor LBH Masyarakat dari waktu ke waktu.
Memiliki laptop dan perangkat lunak yang bisa mendukung kerja lebih diutamakan;
Jika kamu merasa bahwa kesempatan ini cocok untukmu, silakan lakukan langkah-langkah berikut:
Siapkan Curriculum Vitaeterbaru (tidak lebih dari 2 halaman)
Tuliskan Motivation Letter (400-500 kata) yang berisikan poin-poin berikut:
mengapa kamu tertarik untuk menjadi relawan di LBH Masyarakat,
jelaskan bagaimana pendokumentasian data klien menjadi salah satu bagian penting dari kerja penanganan kasus.
Simpan kedua dokumen tersebut dalam bentuk PDF dan kirimkan via surel ke Dominggus Christian di dchristian@lbhmasyarakat.org paling lambat Rabu, 20 Maret 2019 pukul 23.59 WIB.
Relawan Pemantauan Media
Sejak 2016, LBH Masyarakat rutin melakukan penelitian pelanggaran hak asasi manusia melalui dokumentasi dan pemantauan media. Hasil penelitian akan dijadikan bahan advokasi strategis melalui pemangku kebijakan ataupun media. Adapun perincian penelitiannya meliputi:
Kekerasan yang dialami orang dengan disabilitas psikososial;
Stigma dan diskriminasi terhadap LGBT;
Stigma dan disrkriminasi terhadap HIV;
Penggerebekkan narkotika dalam tahanan;
Tembak di tempat kasus narkotika;
Perempuan kurir narkotika;
Kematian di dalam tahanan.
. Kriteria relawan yang kami butuhkan, di antaranya:
Tertarik pada isu HIV, Kesehatan Jiwa, LGBTIQ, Narkotika, Penegakan Hukum, Perempuan, Pemenjaraan;
Internet-Savvy;
Dapat menggunakan MS Word, MS Excel, dan (SPSS nilai tambah);
Memiliki laptop;
Memiliki motivasi tinggi;
Diprioritaskan bagi Mahasiswi/Mahasiswa semua jurusan minimal semester 4;
Berkomitmen untuk bekerja penuh selama 300 jam;
Berdomisili di Jabodetabek karena harus datang ke kantor LBH Masyarakat dari waktu ke waktu.
LBH Masyarakat memiliki komitmen agar setiap relawan tidak hanya bekerja tapi juga belajar isu HAM terkini dan berkontribusi menyumbangkan idenya dalam kerja organisasi. Buat kamu yang ingin memiliki pengalaman bekerja dalam bidang bantuan hukum, advokasi, dan penelitian ini adalah kesempatan yang amat sayang untuk dilewatkan.
Jika kamu merasa bahwa kesempatan ini cocok untukmu, silakan lakukan langkah-langkah berikut:
Siapkan Curriculum Vitae terbaru (tidak lebih dari 2 halaman)
Tuliskan Motivation Letter (400-500 kata) yang berisikan poin-poin berikut:
mengapa kamu tertarik untuk menjadi relawan di LBH Masyarakat,
sebutkan 3 isu yang paling menarik buat kamu dari isu-isu yang kami sebutkan di atas, jelaskan juga alasannya
Simpan kedua dokumen tersebut dalam bentuk PDF dan kirimkan via surel ke Fuji Aotari di faotari@lbhmasyarakat.org paling lambat Rabu, 20 Maret 2019 pukul 23.59 WIB.
Sudah saatnya kamu berjalan bersama kami. Seperti kata Honne, “… Cause when you’re with me, I don’t feel blue.” Alangkah menyenangkannya berjuang bersama kalian:
LBH Masyarakat mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk mempercepat upaya membongkar dugaan praktik korupsi pengadaan obat anti retroviral (ARV) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Obat-obat anti retroviral digunakan dalam terapi guna menekan laju perkembangan HIV dalam tubuh serta meningkatkan produksi imun orang dengan HIV/AIDS. Terapi ARV berperan penting dalam upaya pencegahan HIV. Ketika virus berhasil ditekan sampai pada tingkat tidak terdeteksi, sangat kecil kemungkinannya virus tersebut dapat ditularkan.
Korupsi pengadaan obat ARV, dengan demikian, bukan hanya merugikan negara dan orang dengan HIV/AIDS, tetapi juga masyarakat yang lebih luas.
Dugaan praktik korupsi pengadaan obat ARV semakin terdengar sejak awal tahun 2018. Beberapa pihak sudah dipanggil dan didengar keterangannya, namun sampai saat ini belum ada perkembangan signifikan dari hasil investigasi yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung RI. Praktik korupsi pengadaan obat ARV ini menciderai semangat penanggulangan HIV di Indonesia.
Ke depan, LBH Masyarakat mendesak Kejaksaan Agung RI untuk melakukan investigasi secara efektif dan transparan. Kementerian Kesehatan juga harus bersikap ksatria dan memberikan akomodasi seluas-luasnya bagi Kejaksaan Agung RI dalam melakukan investigasi.
1 Desember kemarin seharusnya tidak berhenti pada Peringatan Hari AIDS sedunia, namun juga untuk bertanya pada pemerintah, khususnya Kejaksaan Agung dan Kementerian Kesehatan: serius atau tidak untuk mengatasi masalah HIV/AIDS di negeri ini?
Jakarta, 2 Desember 2018
Ajeng Larasati – Koordinator Riset dan Kebijakan LBH Masyarakat
Dalam rangka peringatan Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Desember setiap tahunnya, LBH Masyarakat mendesak pemerintah Indonesia mencabut segala kebijakan diskriminatif yang menghambat upaya penanggulangan HIV di Indonesia; dan menghormati hak-hak orang dengan HIV maupun populasi kunci[1].
Sejak kasus HIV pertama ditemukan di Indonesia, sampai pada hari ini, terdapat sejumlah perkembangan penanggulangan HIV yang positif. Salah satunya adalah dengan diadopsinya kebijakan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) dengan tiga jenis intervensi di kota/kabupaten se-Indonesia sejak tahun 2015. Terlepas dari tantangan geografis penyediaan layanan pencegahan dan pengobatan di seluruh wilayah Indonesia, adanya komitmen untuk memperluas jangkauan layanan guna mencapai target 90-90-90[2] perlu mendapatkan apresiasi.
Namun demikian, LBH Masyarakat menyayangkan ketiadaan situasi lingkungan yang kondusif yang dapat mendukung optimalisasi layanan HIV. LBH Masyarakat mencatat setidaknya terdapat 4 (empat) persoalan mendasar yang menghalangi upaya penanggulangan HIV secara efektif.
Pertama, pembubaran Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Dengan dibubarkannya KPAN, maka upaya koordinasi antar instansi pemerintah dan kerjasama dengan masyarakat sipil menjadi lebih lambat dan tidak efektif. Kedua, sosialisasi informasi ataupun pendidikan ke masyarakat mengenai penularan HIV yang tidak didasarkan pada bukti ilmiah. Sosialisasi cenderung dilakukan dengan pendekatan moral yang menyudutkan orang dengan HIV dan populasi kunci, serta didasarkan pada ketakutan akan HIV yang tidak beralasan. Pemberitaan di sejumlah media pun cenderung bermuatan negatif, tidak berimbang, dan menakut-nakuti. Ketiga, adanya peraturan-peraturan daerah yang mengkriminalisasi transmisi HIV maupun perilaku berisiko. Keberadaan perda ini justru bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi seperti Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), UU Kesehatan, maupun UUD 1945. Keempat, maraknya persekusi terhadap kelompok masyarakat yang memiliki perilaku beresiko. Persekusi terhadap populasi kunci justru akan membuat mereka yang rentan terkena HIV semakin ‘hilang’ (underground) sehingga menyulitkan upaya penjangkauan dan perawatan HIV.
Keempat persoalan di atas yang saling berkelit-kelindan hanya akan melanggengkan stigma HIV yang sudah mengakar kuat di masyarakat dan, sering kali, berujung pada kriminalisasi dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV dan kelompok masyarakat yang memiliki perilaku beresiko. Artinya, keempat persoalan tersebut bukan hanya tidak berpihak pada kelompok masyarakat yang termarjinalkan, tetapi juga diskriminatif dan justru kontra-produktif dengan program penanggulangan HIV yang efektif maupun komitmen internasional Indonesia.
Dalam kaitannya dengan Hari AIDS Sedunia 2018, peringatan tahun ini mengambil tema ‘Ketahui Status Anda’. Ironisnya, kebijakan yang diskriminatif dan hambatan hukum yang ada akan membuat orang-orang takut mengetahui statusnya. Ketakutan tersebut bukanlah karena tidak ada obatnya, sebab, HIV sudah ada obatnya. Tetapi takut menjadi korban stigma, diskriminasi, dipecat dari pekerjaannya, dikucilkan dari masyarakat, dan dikeluarkan dari sekolah – seperti yang baru-baru ini dialami oleh tiga orang anak dengan HIV di Samosir. Ketakutan inilah yang menjauhkan orang dengan HIV dari pencegahan dan pengobatan HIV.
Dalam kesempatan kali ini, LBH Masyarakat mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menghentikan stigma dan diskriminasi HIV. Secara khusus, LBH Masyarakat mendesak negara untuk (1) menghapus segala kebijakan yang diskriminatif; (2) mengkaji secara mendalam setiap kebijakan yang akan diambil agar berbasis bukti ilmiah dan tidak menghambat upaya penanggulangan HIV, (3) memastikan aparat pemerintah memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai HIV dan AIDS. Dengan demikian, langkah menuju Indonesia bebas stigma dan diskriminasi HIV akan semakin terwujud.
Jakarta, 30 November 2018
Ajeng Larasati – Koordinator Riset dan Kebijakan LBH Masyarakat
[2] Di akhir 2020, 90% orang dengan HIV mengetahui status HIV mereka; 90% orang yang terdiagnosis dengan infeksi HIV akan mendapatkan terapi antiretroviral-nya (ARV); dan 90% orang dengan HIV yang menjalani terapi ARV, laju virus HIV-nya dapat tertahan.
“HIV adalah persoalan hak asasi manusia.” Sepertinya, belum banyak pihak yang memahami betul pernyataan tersebut. Umumnya, banyak pihak memahami HIV sebagai persoalan kesehatan saja. Hal ini wajar, mengingat di mata orang awam HIV dilihat sebagai virus yang menyebabkan penyakit AIDS dan oleh karenanya pembahasan persoalan HIV dan AIDS cenderung dibingkai di media massa sebagai liputan isu kesehatan. Namun sesungguhnya, HIV bukanlah semata soal virus yang menyebabkan kekebalan tubuh manusia menjadi berkurang.
Persoalan HIV/AIDS, seperti halnya persoalan penyakit lainnya, juga erat kaitannya dengan isu hak asasi manusia. Orang yang hidup dengan HIV sering kali mendapat stigma dari masyarakat, di mana mereka kerap dicap sebagai pendosa. Stigma inilah yang kemudian juga memunculkan praktik-praktik diskriminasi terhadap orang dengan HIV, mulai dari pengusiran dari keluarga karena dianggap membawa aib, hingga pengucilan dari masyarakat. Stigma dan diskriminasi ini sesungguhnya berakar dari ketidaktahuan ataupun ke-tidak-mau-tahu-an terhadap apa itu HIV dan bagaimana penyebarannya. Dalam konteks inilah, mengatasi stigma dan diskriminasi yang menyelimuti isu HIV menjadi penting. Karena, stigma dan diskriminasi memicu pelanggaran hak asasi manusia orang dengan HIV, yang akhirnya akan menjauhkan mereka dari layanan yang mereka perlukan, termasuk melahirkan kerentanan terhadap mereka yang berpotensi mengidap HIV. Oleh karena itu, persoalan HIV bukan hanya mengenai pencarian formula mujarab untuk mengatasi virus HIV/AIDS, tetapi juga bagaimana mengembangkan dan menjalani program dan layanan kesehatan HIV yang humanis, peka jender, dan non-diskriminatif.
Diskriminasi, dalam diskursus hak asasi manusia, dapat terjadi karena ketiadaan perlindungan hukum ataupun justru karena adanya hukum dan kebijakan yang diskriminatif. Berangkat dari pemahaman inilah, LBH Masyarakat melakukan kajian terhadap hukum dan kebijakan Indonesia yang berkenaan dengan isu-isu HIV. Sebagai organisasi hukum/hak asasi manusia, tentu bukan pada kapasitas keahlian LBH Masyarakat untuk bekerja di ranah pengobatan dan perawatan HIV. Kontribusi kami untuk menanggulangi persoalan HIV adalah dengan menelusuri hukum dan kebijakan Indonesia yang berkaitan dengan HIV guna melihat apakah ada hukum dan kebijakan yang mendukung program HIV dan oleh karenanya harus ditingkatkan, maupun hendak menemukan apakah ada hukum dan kebijakan yang justru menghalangi program HIV dan oleh karena itu perlu dihapus.
Buku yang sekarang Anda baca ini adalah buah dari kerja keras LBH Masyarakat selama satu tahun terakhir mengkaji hukum dan kebijakan Indonesia yang berhubungan dengan persoalan HIV di area pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, kependudukan, dan pemidanaan. Kami berharap temuan dan rekomendasi yang kami hasilkan di laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca, terutama pemangku kebijakan dalam merumuskan kebijakan HIV yang berbasis pada hak asasi manusia.
Laporan studi ini tidak akan sampai ada di tangan Anda apabila bukan karena ketekunan dua orang peneliti LBH Masyarakat, Arinta Dea dan Naila Rizqi Zakiah, yang giat mempelajari sejumlah hukum dan kebijakan Indonesia maupun mewawancarai sejumlah pihak terkait. Apresiasi juga LBH Masyarakat sampaikan kepada Ajeng Larasati, Koordinator Riset dan Kebijakan LBH Masyarakat, sebagai pembaca ahli yang memberikan masukan kritis terhadap penyelesaian laporan ini.
Tentu saja, apresiasi juga LBH Masyarakat haturkan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yang mendukung studi ini dari awal hingga akhir. Terima kasih juga LBH Masyarakat sampaikan kepada jajaran Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Bogor, Indramayu, Denpasar, Lombok Barat, Palembang dan Banjarmasin; dan instansi pemerintah lainnya yakni Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten Bogor, Indramayu, Denpasar, Lombok Barat, Palembang, dan Banjarmasin; Dinas Sosial Banjarmasin, Palembang, Indramayu; Dinas Kesehatan Bogor, Banjarmasin, Denpasar, Lombok Barat, Palembang; Lembaga Pemasyarakatan Bpgor, Banjarmasin, Lombok Barat; Satpol PP Bogor, Denpasar, Lombok Barat, Indramayu; dan Badan Narkotika Nasional Kota Palembang; yang seluruhnya berpartisipasi aktif di dalam diskusi kelompok terarah ketika tim peneliti mengunjungi kota-kota tersebut.
LBH Masyarakat juga mengapresiasi keterlibatan dan masukan dari komunitas yang memperkaya temuan literatur tim peneliti, yaitu dari: PKBI Indramayu (Indramayu), KDS Samaya (Indramayu), KDS Indramayu (Indramayu), LKKNU Kalimantan Selatan (Banjarmasin), PKBI Kalsel (Banjarmasin), KDS Borneo Plus (Banjarmasin), ASA Borneo (Banjarmasin), IWB Banjary (Banjarmasin), PEKA Bogor (Bogor), Srikandi Pakuan (Bogor), G-Life (Bogor), Lekas (Bogor), Sahira (Bogor), GWL INA (Denpasar), YKP (Denpasar), Yayasan Inset (Lombok Barat), Aksi NTB (Lombok Barat), YIM (Palembang), Sriwijaya Plus (Palembang), dan PKBI Sumatera Selatan.
Terakhir, LBH Masyarakat turut ucapkan terima kasih kepada kawan-kawan di Indonesia AIDS Coalition (IAC) yang telah membantu proses studi ini hingga selesai.
LBH Masyarakat memohon maaf apabila ada kekurangan baik substansi maupun teknis penulisan laporan ini. Dengan senang hati kami menerima kritik dan masukan untuk perbaikan laporan ini ke depannya.
Akhir kata, laporan ini kami persembahkan kepada orang-orang dengan HIV dan anggota komunitas yang perjuangannya melawan virus HIV dan virus stigma dan diskriminasi adalah sumber inspirasi bagi kami di LBH Masyarakat.