Skip to content

Category: Publikasi

Publikasi LBHM

Universal Periodic Review – Joint Submission on LGBTIQ Right for Indonesia

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Nasional Anti Diskriminasi Kelompok Rentan Berbasiskan Orientasi Seksual dan Identitas Gender, baru saja mengirimkan laporan temuan tentang pemenuhan HAM kelompok minoritas gender dan seksual di Indonesia.

Dalam laporan ini salah satu yang menjadi perhatian adalah perihal kekerasan terhadap kelompok LGBTIQA+ yang dialami selama masa pandemi COVID-19.

Dokumen lengkapnya dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review Indonesia – Joint Submission on LGBTIQ Rights for Indonesia (English)

Laporan Pendokumentasian: Pendampingan Kasus Focal Point Konsorsium Crisis Resnponse Mechanism

Pandemi COVID-19 yang terjadi sejak awal 2020 secara global, termasuk Indonesia tidak hanya berimplikasi pada persoalan kesehatan masyarakat, tetapi juga menyebabkan rentetan krisis pada berbagai sektor kehidupan masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan yang selama ini sudah ditempatkan dalam kondisi yang krisis dan juga keterbatasan terhadap akses hak-hak dasarnya. Salah satu kelompok yang paling terdampak adalah kelompok LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks dan Queer).

Berbagai kasus stigma, diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBTIQ selama pandemi COVID-19 semakin memperdalam jurang keterbatasan pemenuhan hak-hak kelompok LGBTIQ di Indonesia. Hal ini lah yang mendorong Konsorsium CRM semakin memperkuat respon dan strategi respon krisis terhadap kasuskasus yang dialami oleh kelompok LGBTIQ. Salah satunya melalui penguatan penanganan krisis berbasis komunitas yang melibatkan 13 paralegal LGBTIQ atau yang disebut sebut sebagai focal point Konsorsium CRM yang tersebar di provinsi di Indonesia.

Selama 6 bulan, Konsorsium CRM melakukan penguatan dan pemberdayaan terhadap paralegal-paralegal untuk mampu mendokumentasikan dan menangani kasus-kasus yang dialami komunitas LGBTIQ. Laporan ini merupakan hasil dari kerja-kerja bersama dan tentunya paralegal Focal Point CRM.

Laporan ini bisa menjadi alat penyambung lidah komunitas LGBTIQ kepada pemerintah, masyarakat dan setiap orang yang membacanya, untuk menyampaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh komunitas LGBTIQ selama pandemi COVID-19, upaya-upaya yang dilakukan oleh komunitas ini sendiri untuk menyelesaikan persoalan tersebut, serta tantangan dan pembelajaran yang dihasilkan dari proses pendampingan kasus-kasus ini. Sehingga dapat mendorong menguatkan dukungan dan komitmen dalam pemenuhan dan penghormatan Hak Asasi Manusia kelompok LGBTIQ di Indonesia.

Reka-rekan dapat membaca laporan lengkapnya pada tautan di bawah ini:

Laporan Pendokumentasian: Pendampingan Kasus Focal Point Konsorsium Crisis Resnponse Mechanism

Fact Sheet: Penahanan Sewenang-wenang Berkaitan dengan Kebijakan Narkotika

Sejak tahun 1991, Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang (The Working Group on Arbitrary Detention) yang dibentuk oleh Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah melakukan penyelidikan khusus kasus-kasus perampasan kebebasan yang dilakukan secara sewenang-wenang atau bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, atau instrumen hukum internasional yang diakui oleh suatu negara. Salah satunya adalah permasalahan penahanan dalam kasus Narkotika.

Dalam studi yang dilakukan oleh Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang untuk Indonesia, ditemukan jika orang yang menggunakan narkotika memiliki resiko yang tinggi untuk ditahan secara sewenang-wenang. Hal ini terlihat dari jumlah pengguna narkotika yang banyak menghuni penjara di Indonesia.

Setidaknya dalam temuannya disebutkan jika 1 dari 5 orang yang yang ada di penjara di seluruh dunia saat ini dipidana karena tindak pidana narkotika.

Masih banyak lagi temuan dari Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang terkait proses penahanan yang sewenang-wenang dalam kasus Narkotika.

Laporan lengkapnya dapat rekan-rekan unduh dengan mengklik tautan di bawah ini:

Fact Sheet: Penahanan Sewenang-wenang Berkaitan dengan Kebijakan Narkotika

Modul – Pelatihan Untuk Pendampingan Orang yang Berhadapan dengan Hukuman Mati

Hukuman mati masih merupakan salah satu persoalan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Lebih dari separuh negara di dunia telah menghapus praktik hukuman ini dan tren global menunjukan penurunan vonis mati pada tahun 2020. Namun, di Indonesia jumlah penjatuhan hukuman mati tetap tinggi.

Sikap pemerintah Indonesia mendua dalam hukuman mati karena memberlakukan hukuman mati secara keras di dalam negeri, namun, berupaya untuk membebaskan warganya yang divonis mati di luar negeri. Bahkan dalam situasi pandemi Covid-19 dengan pelaksanaan sidang secara virtual dengan penuh keterbatasan, penjatuhan hukuman mati tetap saja dilakukan.

Menghapus hukuman yang keji seperti hukuman mati akan menjadi sebuah perjalanan yang panjang.

Untuk mewujudkan ini tentunya perlu dilakukan kolaborasi atau kerjasama dari berbagai elemen baik dari pemerintah maupun masyarakat sipil itu sendiri. Salah satunya hal yang bisa dimulai untuk mewujudkan itu adalah dengan memberikan pendampingan hukum (litigasi) terhadap mereka yang dihukum mati.

LBH Masyarakat telah melakukan hal ini sejak lama, dan untuk memperkuat litigasi atau pendampingan hukum bagi warga yang berhadapan dengan sanksi pidana mati kami membuat modul Pelatihan untuk Pendampingan Orang yang Berhadapan Dengan Hukuman Mati.

Modul pelatihan dapat rekan-rekan unduh dengan mengklik tautan di bawah ini:

Modul Pelatihan Untuk Pendampingan Orang yang Berhadapan dengan Hukuman Mati

Rumah Tahanan Polisi Ladang Penyiksaan: Hentikan Penahanan di Kantor-Kantor Kepolisian, Revisi KUHAP dan UU Narkotika Sekarang!

Oleh LBH Masyrakat (LBHM), ICJR & Rumah Cemara

17 Januari 2022 – Lagi dan lagi, tahanan kepolisian meninggal. Beberapa media melaporkan korban kejadian ini terjadi pada FNS seorang tahanan narkotika Polres Metro Jakarta Selatan. Kematian FNS terjadi di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta pada Kamis, 13 Januari 2022.

Menurut rekannya yang pernah menjenguk di rumah sakit, bahwa ia pernah mendengar FNS mengeluhkan sakit disekujur tubuhnya. Bahkan rekan FNS melihat luka di kaki kulitnya pecah yang menimbulkan bercak darah di bagian paha. FNS mengaku kepada rekannya bahwa dirinya kerap dipukuli. Terkait kematian tahanan tersebut, Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto membenarkan adanya tahanan Polres Metro Jakarta Selatan yang meninggal dunia, namun pihak Polres menyatakan sebab kematian karena sakit demam dan tidak nafsu makan.

Meskipun Kapolres Metro Jakarta Selatan mengklaim bahwa kematian tahanan tersebut disebabkan sakit, Pernyataan ini patut diperiksa kebenarannya. Karena FNS meninggal pada saat menjalani masa penahanan, terlebih lagi ada klaim darinya bahwa ia pernah dipukuli dan ada tanda-tanda luka.

Indikasi penyiksaan seseorang yang sedang menjalani proses hukum bukanlah kejadian pertama kali, terlebih dalam perkara narkotika. Sebelumnya, pada Agustus tahun 2020 lalu, publik dihebohkan atas dugaan penyiksaan yang dialami Hendri Alfred Bakar. Kematian Hendri saat menjadi tahanan Polresta Barelang Batam diduga akibat penyiksaan. Dugaan penyiksaan tersebut terjadi karena ketika meninggal kepala Hendri ketat dibungkus plastik dengan selotip coklat yang tebal. Selain itu, terdapat bekas memar di tubuh Hendri.  

Praktik penyiksaan dalam proses hukum ini sesungguhnya telah lama dilaporkan komunitas pengguna narkotika di seluruh Indonesia. Berdasarkan temuan lapangan yang dilakukan oleh LBH Masyarakat pada 2011 menyebutkan bahwa dari 388 tersangka kasus narkotika terdapat 115 tersangka mengalami penyiksaan. Studi tersebut dipertegas kembali pada tahun 2021 yang menemukan bahwa dari 150 peserta penyuluhan hukum di rumah tahanan di Jakarta terdapat 22 orang mengalami penyiksaan di tingkat kepolisian. Dalam konteks penyiksaan tersebut, peristiwa yang diduga menimpa FNS dan Hendri ini telah menjadi tanda keras.

Tiga Permasalahan Mendasar

Terdapat 3 permasalahan mendasar yang menjadi faktor pendorong terjadinya praktik penyiksaan pada tahanan kepolisian ini.

Pertama, berkaitan dengan hukum acara pidana di Indonesia. Saat ini ada catat mendasar dalam KUHAP, bahwa keputusan untuk menahan ada di tangan penyidik, ataupun di otoritas yang melakukan penahanan. Padahal sesuai dengan ketentuan ICCPR dan Komentar Umum mengenai hak kemerdekaan, keputusan mehanan dalam peradilan pidana harus datang dari otoritas lain untuk menjamin pengawasan berjenjang. Pun penilaian kebutuhan penahanan harus substansial, tidak hanya berbasis ancaman pidana. Mau tak mau KUHAP harus direvisi, kewenangan penahanan di kantor-kantor kepolisian juga harus dihapuskan.

Kedua, kebijakan keras narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mudah sekali menjerat pidana seseorang. Terbukti kasus paling banyak datang dari implementasi kebijakan narkotika, banyak korban penyiksaan datang dari kasus penggunaan narkotika yang sedari awal tidak perlu diproses secara pidana, harusnya dapat diintervensi dengan pendekatan kesehatan. Revisi UU Narkotika yang menjamin dekriminalisasi bagi penggunaan narkotika harus didorong.

Ketiga, minimnya pengawasan yang efektif pada tempat-tempat penahanan secara real time. Penahanan pada tersangka/terdakwa adalah situasi yang timpang, dimana tersangka/terdakwa berhadap langsung dengan kewenangan negara. Sehingga dalam proses ini harus ada pengawasan yang ekstra dan berlapis, baik internal maupun eksternal. Untuk mencegah agar kejadian penyiksaan tidak terus berulang, secara normatif sepatutnya Indonesia segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT) guna memperkuat pengawasan dan pemantauan di tempat-tempat penahanan atau serupa tempat tahanan. Untuk sementara ini, lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, dan LPSK, dapat segera melakukan pemantauan dan pengawasan pada rutan dan lapas yang diduga berpeluang menjadi tempat penyiksaan, termasuk tempat-tempat penahanan di kepolisian. Kedepan, ratifikasi OPCAT diperlukan untuk menjamin pengawasan KuPP tersebut tersistem dan real time.

Atas hal ini, ICJR, LBH Masyarakat dan Rumah Cemara mendesak:

  1. Lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) segera melakukan respon cepat dengan melakukan pemantauan dan asesmen pada tempat-tempat penahanan dan melakukan investigasi mandiri pada kasus ini agar memperoleh lebih banyak data, serta memberikan rekomendasi kebijakan pada Polri agar hal serupa tidak terjadi lagi; Polri juga perlu  menyelidiki kasus ini secara menyeluruh dan memberi hukuman pada anggota yang terbukti melanggar prosedur dan melakukan penyiksaan;
  2. dalam tataran normatif, Pemerintah dan DPR segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention against Torture (OPCAT) untuk memperkuat pengawasan dan pemantauan tempat-tempat penahanan yang menjadi ruang terjadinya penyiksaan, dan;
  3. Dalam tataran normatif yang lebih besar, Pemerintah dan DPR segera melakukan langkah konkret melakukan revisi KUHAP dan UU Narkotika. Penahanan di kantor kepolisian harus dilarang dalam KUHAP ke depan, dekriminalisasi pengguna narkotika harus disusun dalam revisi UU Narkotika.

[Laporan Penelitian] Gambaran Disabilitas Psikososial di Indonesia: Pemetaan Isu-Isu Strategis

Pasca melakukan ratifikasi CRPD di tahun 2011, Indonesia menyikapi ratifikasi itu dengan serius, dimana Pemerintah Indonesia membentuk suatu perundang-undangan yang menjami hak penyandang disabilitas, hal ini dapat kita lihat sekarang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 atau dikenal dengan istilah UU Penyandang Disabilitas.

Pembentukan UU Penyandang Disabilitas ini merupakan sebuah bentuk tanggung jawab nyata dari negara terhadap kelompok disabilitas untuk menghormati Hak Asasi Manusianya. Namun, seiring berjalannya waktu, ternyata implementasi kebijakan ini masih belum mencakup semua kelompok disabilitas. Salah satu yang luput adalah kelompok Disabilitas Psikososial atau Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP).

Selama ini ODP masih mengalami diskriminasi dan stigma yang akhirnya menyebabkan terjadi kekangan hak dan halangan partisipasi yang dirasakan ODP, salah satunya dalam bidang hukum dan HAM. Selama ini masih terjadi perdebatan apakah ODP dapat bertanggung jawab secara pidana atau tidak, dalam satu penelitian disebutkan jika ODP
ODP tidak mungkin bertanggung jawab secara pidana–pendapat ini dilandaskana pada keberadaan pasal 44 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa seseorang tidak dipidana jika ‘jiwanya cacat’, karena dianggap tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Dalam penelitian ini kami ingin membalika stigmatisasi yang ditujukan kepada ODP. Secara garis besar HAM, ODP itu masih mempunyai hak, salah sataunya adalah hak atas kapasitas hukumnya. Upaya mendenied hak tersebut seudah termasuk dalam pelanggaran hak. Teman-teman dapat membaca laporan lengkap tentang ODP di bawah ini:

Versi Indonesia

Versi Inggris

[Laporan Penelitian] Komparasi Sistem Dukungan Dalam Pengambilan Keputusan Untuk Orang dengan Disabilitas Psikososial

Sejak diresmikan, Pasal 12 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) tentang kapasitas hukum telah menimbulkan perdebatan hangat di kalangan akademisi, ahli hukum, dan tenaga medis. Hal ini memancing banyak respon dari banyak kelompok, seperti kelompok aktivis disabilitas yang merayakan keberadaan pasal itu, karena memberikan pengakuan setara terhadap kapasitas hukum penyandang disabilitas. Disamping itu ada juga kelompok pihak-pihak lain yang memiliki interpretasi berbeda, bahkan menolak keberadaan Pasal 12 dalam CRPD ini Keberagaman pendapat itu menyebabkan adanya variasi dalam pengimplementasian pengakuan universal atas kapasitas hukum oleh negara-negara yang meratifikasi CRPD.

Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi CRPD, Indonesia sudah mengimplementasikanya dalam sebuah Undang-Undang (UU) yakni UU Nomor 19 Tahun 2011. Pemerintah Indonesia meyakini bahwa mereka menghormati hak asasi orang dengan disabilitas dengan mengakomodirnya dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Disabilitas).

Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) masih menjadi salah satu kelompok rentan yang masih belum bisa merasakan sepenuhnya hak-haknya. Seperti hak atas kapasitas hukum. Masih banyak ODP yang terampas hak atas kapasitas hukumnya, hal ini terjadi karena tidak dianggap kompeten untuk mengambil keputusan dikarenakan kondisi kejiwaanya, yang pada akhirnya kapasitas hukum mereka terenggut/dicabut.

Dalam pengambilan keputusan bagi seorang ODP, Indonesia masih menggunakan sistem perwalian, sistem ini dianggap tidak efektif dan dinilai melanggar hak asasi, serta sangat diskriminatif. Padahal seharusnya ODP dapat diperlakukan secara setara (equal) dalam proses hukum, seperti yang dituang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.

Sudah saatnya Indonesia meninggalkan sistem perwalian dan mulai memakai pendekatan yang supportif terhadap ODP yakni Support Decission Making (SDM). LBHM sejak tahun 2020, telah melakukan penelitian terkait pengambilan keputusan untuk ODP dengan melakukan perbandingan sistem pengambilan keputusan yang ada di seluruh dunia. Secara garis besar dalam laporan ini mengenalkan kepada publik terkait sistem pengambilan keputusan yang baik untuk ODP.

Laporan penelitian ini terbagi dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia, & English), untuk mengunduh dokumen silahkan mengklik link dibawah ini:

Versi Indonesia

English Version

[Policy Paper] Potret Penahanan: Minim Bantuan Hukum, Masih Terjadi Penyiksaan, dan Pemerasan

Berdasarkan pasal 1 angka 21 pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), Penahanan merupakan penempatan tersangka atau terdakwa di suatu tempat tertentu oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Mengacu pengertian tersebut, penahanan hanya diberlakukan pada seseorang yang sudah jelas statusnya sebagai tersangka atau terdakwa.

Sayangnya, kerap kali Aparat Penegak Hukum (APH) melakukan penangkapan tanpa tanpa melihat faktor-faktor situasional hal ini tentunya dapat melahirkan kemungkinan terjadinya praktik korupsi atau pemerasan di wilayah penahanan itu sendiri. Perlu diketahui jika angka/jumlah orang yang dilakukan penahanan terus meningkat dan menyebabkan penuhnya tempat penahanan. KUHAP sendiri sangat jelas menghadirkan alternatif penahanan, yakni penahanan tidak harus dilakukan di tempat penahanan atau biasa disebut dengan rumah tahanan negara (rutan) yang dikelola kepolisian, kejaksaan atau pengadilan. Lebih tepatnya dalam Pasal 22 ayat (1) pada KUHAP menjelaskan jika terdapat tiga jenis penahanan, yaitu: penahanan rutan, penahanan rumah, dan penahanan kota.

Dalam kertas kebijakan terkait penahanan yang ditulis oleh LBHM menemukan beberapa temuan, seperti masih adanya praktik penyiksaan dan kekerasan terhadapa tahanan, selain itu masih banyak tahanan yang belum memiliki akses ke bantuan hukum yang layak. Padahal para narapidana pun juga memiliki hak atas peradila yang adil, dan hal ini dijamin di dalam Undang-Undang itu sendiri.

Kertas Kebijakan dapat dibaca secara lengkap pada link di bawah ini:
Potret Penahanan: Minim Bantuan Hukum, Masih Terjadi Penyiksaan, dan Pemerasan

Kasus Nia Ramadhani: Potret Si Buruk Rupa Kepolisian

Sabtu, 10 Juli, di Polres Metro Jakarta Pusat (Polres Metro Jakpus), melalui konferensi pers, Nia Ramadhani mengucapkan maaf kepada publik atas kasus narkotika yang menimpanya. Polisi menangkap Nia pasca menemukan 0.78 gram sabu pada supir Nia, Zen Vivanto, serta mendapatkan alat isap, bong di kediaman Nia. Kemudian Ardi Bakrie, suami Nia, yang tidak memiliki barang bukti apapun, turut menyerahkan diri karena kerap memakai sabu bersama dengan Nia.

Konferensi pers ini adalah yang kedua. Polres Metro Jakpus sebelumnya telah menggelar konferensi pers pertama pada Kamis, 8 Juli, tapi tanpa kehadiran mereka. Publik menganggap tidak adil jika Nia, Ardi, dan Vivanto tidak ditampilkan, seperti publik figur serupa yang tersandung kasus narkotika. Namun apakah sebenarnya publik memerlukan permohonan maaf mereka, terutama Nia Ramadhani? Atau jika pertanyaannya dibalik, apakah Nia perlu meminta maaf atas kasus penggunaan narkotikanya?

Permohonan maaf itu tidak sepatutnya ada. Ini bukan cuma pada kasus Nia, tapi pengguna narkotika lain yang diminta untuk memohon maaf kepada publik melalui konferensi pers. Publik tidak mengalami kerugian apapun atas perbuatan mereka. Justru yang menjadi masalah, situasi ini menyalahi asas praduga tidak bersalah, sebab orang-orang ramai ‘menghakimi’ mereka, bahkan sebelum pengadilan memeriksa kasus mereka. Penggunaan narkotika adalah tindakan tanpa korban, dan tidak dapat disamakan kejahatan dengan kekerasan (violent crime). Namun melalui permohonan maaf publik, pengguna narkotika seolah ditempatkan sebagai pendosa besar dan meyalahi kepentingan banyak orang.

Sesungguhnya apa yang polisi ingin capai dari penyelenggaraan konferensi pers semacam itu? Apakah polisi ingin melanggengkan citra pengguna narkotika adalah kriminal, bahwa penggunaan narkotika perlu dihindari karena merusak,  atau sebuah tontonan untuk memberitahukan kepada khalayak betapa kerasnya hukum narkotika di negeri ini?

Setidaknya ada empat persoalan yang mengemuka dari penanganan polisi di kasus ini.

Pertama, terkait perempuan dan narkotika. Di kasus ini, Nia-lah yang paling banyak disorot media dan publik. Bukan hanya karena Nia dianggap sebagai figur publik dan memberi contoh yang tercela. Tetapi juga ada sisi di mana Nia adalah seorang perempuan sekaligus ibu, dan muncullah seribu alasan untuk menyalahkannya. Nia dicap gagal menjadi istri yang baik bagi Ardi dan malah menjerumuskannya, serta ibu yang buruk bagi anak-anaknya.

Perempuan yang terlibat tindak pidana narkotika memiliki beban moral lebih tinggi daripada laki-laki dan kerap mengalami stigma dan diskriminasi yang berlapis. Alasan-alasan perempuan menggunakan narkotika, seperti doping, atau penghilang stress selalu dianggap tidak valid. Perempuan kerap dianggap kehabisan akal dan tidak berpikir jangka panjang, jika memutuskan untuk mengonsumsi narkotika ketika menghadapi masalah. Namun latar belakang penggunaan narkotika pada perempuan jarang terungkap. Pun terangkat, hal itu tidak terdokumentasikan. Jika polisi dapat menggali alasan Nia menggunakan narkotika dan menuangkannya ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), seharusnya perempuan lain di kasus serupa juga memiliki hak yang sama. Hal itu penting untuk memberikan intervensi atau rekomendasi yang tepat, serta mencapai keadilan gender yang proporsional. 

Kedua, mengenai penggunaan narkotika. Seperti diberitakan di sejumlah media, kepolisian menyebut bahwa Nia menggunakan sabu ketika sedang sibuk syuting stripping dan membantunya ketika sedang banyak tekanan. Hal ini penting untuk diperhatikan. Sebab, hal ini berarti bahwa Nia tidak sedang menggunakan narkotika dalam konteks rekreasional (untuk bersenang-senang), dan juga tidak bersifat ketergantungan. Penggunaan sabunya itu justru untuk membantu staminanya selama syuting. Jika benar Nia menggunakan sabu untuk menunjang dirinya menjalani syuting, publik juga kemudian menikmati hasil karyanya dan bisa melihat kemampuannya dalam berakting. Kasus ini menunjukkan kepada kita betapa spektrum penggunaan narkotika itu luas, dan tidak sehitam-putih rekreasional versus adiksi.

Ketiga, perlakuan diskriminatif kepolisian. Senin, 11 Juli – selang satu hari setelah konferensi pers kedua – berdasarkan rekomendasi dari tim asesmen terpadu Badan Narkotika Nasional (BNN), polisi menempatkan Nia, Ardi, dan supirnya ke lembaga rehabilitasi. Tidak sulit bagi publik untuk menyimpulkan bahwa polisi pilih kasih di kasus ini yang akan memudahkan mereka lolos dari jerat hukum. Nia dan Ardi memiliki posisi sosial tinggi, tenar, kaya, dan punya kuasa. Kepolisian seharusnya wawas diri atas kritik publik ini.

Tindakan polisi memang sejalan dengan SE Bareskrim Nomor: SE/01/II/2018 tentang Petunjuk Rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, yakni memberikan hak rehabilitasi bagi pengguna. Tapi kegusaran publik terletak pada fakta bahwa di kasus pengguna lainnya yang miskin dan tidak punya kuasa, polisi cenderung lambat atau berbelit-belit mengalihkan mereka ke proses rehabilitasi. Kalaupun polisi mengarahkan pengguna narkotika ke fasilitas rehabilitasi, dan tidak diproses secara hukum, nampaknya hal itu terjadi karena adanya praktik jual beli pasal penggunaan narkotika.

Keempat, inkonsistensi penggunaan pasal. Banyak media melaporkan bahwa Nia dan Ardi hanya akan didakwa dengan Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika terkait penyalahgunaan narkotika. Pasal 127 memungkinkan seorang pengguna mendapatkan vonis rehabilitasi. Biasanya di kasus-kasus yang tidak melibatkan figur publik, kedapatan 0.78 gram sabu akan disertai dengan Pasal 112 ayat (1) tentang kepemilikan atau penguasaan narkotika. 

Keberadaan Pasal 112 dan Pasal 127 sendiri tidak akan melepas pengguna dari ancaman hukuman penjara. Sebab, Pasal 127 (1) diikuti dengan ancaman maksimal empat tahun penjara, sedangkan Pasal 112 ayat (1) dengan minimum empat tahun penjara. Bahkan kepemilikan sabu yang tidak lebih dari 1 gram ini juga sangat mungkin untuk mendakwa pengguna dengan Pasal 114, yang identik dengan pengedaran narkotika (‘bandar’). Di kasus ini Nia, Ardi, dan Vivanto beruntung jika hanya didakwa dengan Pasal 127, tetapi tidak bagi pengguna narkotika lainnya yang berasal dari masyarakat menengah ke bawah. Keberadaan pengacara yang kompeten tentu turut membantu hak Nia mendapatkan asesmen dan rekomendasi rehabilitasi terpenuhi. Namun, bagi pengguna narkotika dengan gramatur yang sama di kasus Nia, tetapi  tidak mampu atau tidak didampingi oleh pengacara, peluang mereka mendapatkan akses rehabilitasi sangat kecil.[1]

Inkonsistensi kepolisian atas aturan-aturan yang mereka buat sendiri juga terlihat dalam proses pemberian asesmen rehabilitasi untuk menilai ketiganya adalah pengguna atau bukan. Polisi menyebut permohonan asesmen harus datang dari keluarga. Meski pernyataan ini kurang tepat, namun Peraturan BNN Nomor 11 Tahun 2014 memang memberi ruang untuk keluarga mengajukan permohonan asesmen melalui penyidik. Pernyataan polisi ini seolah menggambarkan bahwa penyidik tidak memiliki wewenang untuk mengajukan asesmen. Sementara berdasarkan Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi, yang disepakati oleh tujuh lembaga, termasuk lembaga kepolisian, menyebutkan bahwa polisi berwenang untuk mengajukan asesmen rehabilitasi. 

Di luar keempat persoalan tersebut, ada hal yang lebih mendasar dan mendesak untuk direspon, yakni sudah waktunya Indonesia mendekriminalisasi penggunaan narkotika. Artinya, penggunaan narkotika – maupun kepemilikan, penguasaan, atau pembelian narkotika untuk kepentingan pribadi (atas alasan apapun) – tidak sepatutnya dikenakan pidana penjara. Energi dan sumber daya penegak hukum lebih baik diarahkan untuk menangani kasus-kasus besar yang jauh lebih membahayakan kepentingan publik. Dekriminalisasi penggunaan narkotika juga akan membantu mendorong pengguna narkotika mengakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan, tanpa rasa malu akan stigma sebagai penjahat. Pengguna narkotika membutuhkan dukungan, bukan hukuman.

Tulisan opini ini merupakan respon dari Kasus Penangkapan Artis Nia Ramadhani yang terjerat hukum karena narkotika. Tulisan ini ditulis oleh Aisya Humaida – Tim Penanganan Kasus LBH Masyarakat.


[1] Kondisi ini bersesuaian dengan temuan LBHM, di mana 43% dari 103 tahanan narkotika adalah mereka dengan kepemilikan narkotika di bawah 1 gram (Yosua Octavian & Aisya Humaida, 2021).

[Laporan Penelitian] Mengungkap Sikap Publik Indonesia Terhadap Hukuman Mati

Penelitian baru yang mengungkap sikap publik Indonesia terhadap hukuman mati memberikan data baru yang dapat memfasilitasi wacana segar tentang masa depan hukuman mati di Indonesia

Penelitian yang dilakukan oleh The Death Penalty Project, dalam kemitraan dengan LBH Masyarakat dan Universitas Indonesia, dan dilakukan oleh Prof. Carolyn Hoyle dari Unit Penelitian Hukuman Mati di Universitas Oxford, menemukan bahwa pembentuk opini di Indonesia menginginkan untuk meninggalkan hukuman mati dan bahwa publik terbuka untuk berubah.

Penelitian ini menyelidiki kepercayaan yang diterima secara luas bahwa mayoritas orang Indonesia mendukung hukuman mati. Melalui penyelidikan yang bernuansa, penelitian ini hendak memahami lebih dalam sikap publik dan mengkaji seberapa mengakar pandangan tersebut untuk dapat memfasilitasi wacana yang konstruktif.

Studi ini menunjukkan bahwa semakin banyak informasi yang diberikan kepada masyarakat mengenai penerapan hukuman mati, semakin sedikit mereka mendukungnya. Demikian pula, ketika disajikan dengan faktor yang meringankan, dukungan publik terhadap hukuman mati turun drastis. Temuan menunjukkan bahwa masyarakat tidak menentang penghapusan, tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk dapat sepenuhnya memahami persoalan.

Laporan Penelitian lengkapnya dapat di unduh dengan mengklik link di bawah ini:

Versi Bahasa Indonesia

  1. Pandangan Para Pembentuk Opini tentang Hukuman Mati di Indonesia (Bagian Pertama)
  2. Opini Publik tentang Hukuman Mati di Indonesia (Bagian Kedua)

English Version

  1. Investigating Attitudes to the Death Penalty in Indonesia, (Part One): An Appetite for Change
  2. Investigating Attitudes to the Death Penalty in Indonesia, (Part Two): No Barrier to Abolition