Skip to content

Pernyataan Sikap Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) Dukungan Pemulangan Mary Jane Veloso Melalui Mekanisme Transfer of Prisoner

Jakarta, 21 November 2024

Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil dan individu yang berkomitmen untuk menghapuskan hukuman mati, mengapresiasi upaya kolaboratif Pemerintah Indonesia dan Filipina yang menyepakati langkah penyelesaian kasus terpidana mati Mary Jane Veloso (MJV) melalui jalur diplomasi Transfer of Prisoner. Momen ini merupakan perkembangan signifikan perjuangan MJV mendapatkan keadilan yang telah berlangsung hampir 15 tahun.

JATI juga mendorong agar Pemerintah Indonesia dan Filipina segera untuk  mengkonkretkan kesepakatan Transfer of Prisoner ini dengan segera menetapkan langkah-langkah dan linimasa yang pasti dan terukur untuk pemindahan MJV ke negaranya.

Lebih dari 14 tahun MJV telah berstatus sebagai terpidana mati dan duduk dalam deret tunggu eksekusi mati, jauh dari keluarga tercintanya, dan menghadapi ancaman hukuman yang kejam dan penyiksaan tidak langsung. Pernyataannya yang konsisten bahwa dirinya adalah korban perdagangan manusia yang didukung dengan bukti-bukti baru di Filipina, telah menyingkap kelemahan mendasar penerapan hukuman mati. Pemindahannya ke tahanan Filipina membuka peluang untuk memastikan bahwa hak-haknya dihormati sepenuhnya dan suaranya didengar.

MJV merupakan simbol kerentanan sekaligus ketangguhan dari mereka yang miskin dan terpinggirkan saat berhadapan dengan ketidakadilan. Kasus yang dialaminya unik dan belum pernah terjadi sebelumnya, karena melintas batas yurisdiksi hukum antar negara yang membutuhkan keberanian penyikapan dan terobosan hukum.  Kasusnya memberi pelajaran dan semakin menegaskan mendesaknya penanggulangan perdagangan manusia, sekaligus pembelajaran agar lebih cermat dalam penggunaan Undang-Undang Narkotika yang menegasikan korban sindikat perdagangan manusia.

JATI menyerukan kepada Pemerintah Filipina dan Indonesia untuk memperlakukan kasus MJV dengan sangat hati-hati, menghormati hak-haknya sebagai korban perdagangan manusia, dan saat kembali ke negaranya memastikan bahwa ia menerima dukungan hukum dan psikologis yang diperlukan untuk membangun kembali kehidupannya. JATI mengingatkan dalam hukum hak asasi manusia internasional tentang ekstradisi menjelaskan bahwa proses ekstradisi harus memastikan bahwa kondisi tempat negara penerima harus tidak memberikan resiko adanya eksekusi pidana mati bagi terpidana yang ditransfer. Jaminan ini seharusnya dapat dilaksanakan mengingat bahwa Filipina telah menghapuskan pidana mati pada 2006.

Kami juga meminta Pemerintah Indonesia untuk menggunakan kasus ini sebagai batu loncatan untuk memperkuat langkah-langkah dalam memerangi perdagangan manusia dan melindungi hak-hak pekerja migran di luar negeri, sekaligus menyelamatkan mereka dari hukuman mati yang tersebar di beberapa negara yang masih menerapkan pidana mati.

JATI menegaskan kembali komitmennya untuk penghapusan hukuman mati secara menyeluruh dalam hukum pidana nasional. Kasus Mary Jane menjadi pengingat pahit bahwa hukuman mati tidak mencegah kejahatan dan tidak mengatasi akar penyebabnya. Bahkan dalam kasus MJV menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia belum bisa menjamin implementasi prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak dan membiarkan peradilan sesat yang sering menyasar kasus hukuman mati sehingga penghapusan hukuman mati dan pengubahan hukuman (commutation) pidana mati menjadi tindakan yang perlu dilakukan Pemerintah Indonesia.

Perlu diingat, MJV tidak sendiri, masih banyak korban-korban perdagangan manusia lainnya yang menghadapi jerat hukuman mati di Indonesia, baik sebagai warga negara Indonesia maupun luar Indonesia, termasuk pekerja migran Indonesia di luar negeri. Rentetan kasus seperti ini menyimpulkan bahwa hukuman mati justru melanggengkan siklus kekerasan, menghilangkan kesempatan untuk memperbaiki diri, dan menolak keadilan bagi mereka yang dituduh dan dieksploitasi secara tidak adil.    

JATI juga hendak mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa karakteristik kasus perdagangan manusia yang mengeksploitasi perempuan atau kelompok rentan lain sebagai kurir narkotika tidak hanya menimpa Mary Jane Veloso. Banyak terpidana narkotika baik berkewarganegaraan asing maupun Indonesia yang menerima hukuman maksimal dan tidak pernah mendapatkan pengakuan atau perlindungan sebagai korban perdagangan manusia. Untuk itu, Pemerintah Indonesia perlu untuk mempertimbangkan melakukan skema-skema transfer of prisoners, komutasi, ataupun amnesti kepada para terpidana mati dengan karakteristik kasus yang serupa dengan Mary Jane Veloso.

Untuk itu kami menyampaikan sikap:

  1. Pemerintah Indonesia dan Filipina segera menyusun dan menyepakati langkah-langkah konkret dan linimasa yang pasti dan terukur untuk pemindahan MJV dari Indonesia ke Filipina;
  2. Pemerintah Filipina memperlakukan MJV sebagai korban perdagangan manusia, oleh karena itu hak-haknya harus dihormati dan dipenuhi, termasuk haknya untuk mengajukan pengurangan hukuman;
  3. Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan melakukan mekanisme transfer of prisoner, komutasi, atau amnesti bagi terpidana mati yang terbukti sebagai korban perdagangan manusia, mengambil contoh baik dari rencana pemulangan MJV;
  4. Pemerintah Indonesia menghapus hukuman mati dalam hukum pidana nasional, termasuk merevisi Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang berkontribusi dalam pelanggaran prinsip fair trial dan sumber rekayasa kasus;
  5. Pemerintah Indonesia meninjau kasus hukuman mati dan segera melakukan perubahan hukuman terpidana mati sebagaimana mandat Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

Narahubung:

  1. Iweng Karsiwen (KABAR BUMI) – 081281045671
  2. Yosua Octavian (LBHM) – 081297789301
  3. Maidina Rahmawati (ICJR) – 085773825822
  4. M. Afif Abdul Qoyim (YLBHI) – 081320049060
  5. Gina Sabrina Monik (PBHI) – 085252355928
  6. Amira (KontraS) – 08176453325

Laporan Tahunan LBH Masyarakat 2023 – Kelabu(i) Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Lewat instrumen hukum dan kekuasaannya, rezim Joko Widodo (Jokowi) mempertunjukkan praktik busuk, bagaimana bangunan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang sudah diperjuangkan sejak era reformasi itu dirobohkan. Kriminalisasi dan pemberangusan kebebasan berekspresi juga masif kita lihat, utamanya tertuju kepada kelompok rentan dan populasi kunci.

Dalam konteks elektoral di tahun 2024, masing-masing kandidat Calon Presiden dan Wakil Presiden intens mengobral janji, ditandai dari merebaknya penggunaan slogan no one left behind, padahal slogan itu tak lebih dari jargon semata untuk mendulang suara dan terkesan inklusi.

Di tengah praktik negara yang kian ugal-ugalan, lewat gerakan bantuan hukum yang digagas lebih dari 2 windu (16 tahun), LBH Masyarakat (LBHM) konsisten mengawal penghormatan dan pemenuhan demokrasi serta gigih membersamai korban pelanggaran HAM. Kerja-kerja LBHM itu terpotret dalam Laporan Tahunan 2023, yang mengangkat tema: Kelabu(i) Demokrasi & Hak Asasi Manusia.

Silakan membaca Laporan Tahunan 2023 melalui link ini.

LAPORAN TAHUNAN LBH MASYARAKAT 2022

LBHM mendokumentasikan perjuangan dan pekerjaan kami dalam Laporan Kerja (2022). Laporan ini merupakan pertanggung jawaban LBHM kepada publik dalam menginformasikan kerja-kerja yang sudah dilakukan oleh LBHM sepanjang tahun 2022 — sekaligus juga menjadi refleksi kerja-kerja LBHM selama satu tahun kebelakang. Kami menganalisa situasi serta tantangan HAM selama 2022 dan tahun yang akan datang. Laporan ini dapat tersusun, berkat dukungan pihak-pihak yang telah menudukung jerih payah LBHM.

SIARAN PERS “USUT TUNTAS TRAGEDI KEMANUSIAAN KANJURUHAN”

I M P A R S I A L , L B H S U R A B A Y A P O S M A L A N G , L B H J A K A R T A , Y L B H I , P B H I
N A S I O N A L , K O N T R A S , S E T A R A I N S T I T U T E , P U B L I C V I R T U E , I C J R , W A L H I ,
L B H M A S Y A R A K A T , L B H P E R S , E L S A M , H R W G , C E N T R A I N I T I A T I V E , I C W

KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK REFORMASI SEKTOR KEAMANAN

Kami turut berduka cita atas Tragedi Kemanusiaan di Kanjuruhan, Malang yang menewaskan kurang lebih 182 orang. Namun kami juga mengecam sekaligus mengutuk keras kelalaian Panitia dan Operator Liga yang tidak menerapkan mitigasi risiko dengan baik dan benar, sehingga Kapasitas Stadion yang seharusnya hanya dapat diisi maksimal 38.000 Orang membludak hingga mencapai sekitar 42.000 orang yang mengakibatkan penonton harus berdesak-desakan, himpit-himpitan dan mengalami gangguan pernafasan, pertanggungjawaban Panitia dan Operator Liga harus dimintai baik dalam kerangka kelalaian yang menyebabkan orang meninggal dan ganti rugi serta rehabilitasi kepada korban. Kelalaian panitia dan operator liga tersebut diperburuk dengan tindakan pengamanan yang tidak proporsional dan bahkan cenderung berlebihan (excessive use of force) oleh Aparat Kepolisian yang bertugas dilapangan, dalam video yang beredar di Media Sosial terlihat bahwa terdapat penggunaan Gas Air Mata yang dilarang dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations, selain penggunaan Gas Air Mata juga terdapat kekerasan terhadap para korban. Dalam. Video yang beredar kekerasan tidak hanya dilakukan oleh Kepolisian tetapi juga dilakukan oleh Anggota TNI. Koalisi juga menilai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) harus melakukan pemeriksaan terhadap aparat yang bertugas dilapangan karena jelas ada penggunaan kekuatan berlebih yang tidak proporsional serta kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, selain itu terhadap Anggota TNI harus juga diperiksa oleh Panglima TNI mengingat penerjunan Anggota untuk mengamankan Pertandingan Sepakbola jelas bukanlah tugas prajurit TNI. Lebih dari pada itu, atasan Anggota Polisi dan TNI yang bertugas di lapangan juga harus dimintai pertanggunjawaban (command responsibility) karena sangat mungkin semua tindakan yang menyebabkan hilangnya ratusan nyawa tersebut terjadi atas pembiaran atau bahkan atas perintah atasan. Untuk itu Koalisi mendesak:
Pertama, Presiden RI harus meminta maaf secara terbuka kepada korban dalam tragedi kemanusiaan Kanjuruhan dan memastikan ganti rugi dan rehabilitasi kepada korban secara menyeluruh;
Kedua, Presiden RI harus membuat Tim Gabungan Pencari Fakta untuk menemukan sebab terjadinya Tragedi Kemanusian dengan melibatkan Lembaga Negara Independen seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;
Ketiga, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Panglima TNI harus memeriksa semua anggota yang bertugas dilapangan secara etik, disiplin dan Pidana; Keempat, penyelenggara pertandingan sepakbola tidak lagi melibatkan aparat Kepolisian dan TNI serta berhenti menerapkan pendekatan Keamanan Dalam Negeri di dalam stadion, melainkan pengamanan ketertiban umum (stewards/civil guards).


Narahubung:
1 . Hussein Ahmad;

  1. Teo Reffelsen
  2. M. Hikari Ersada
  3. Julius Ibrani

Pemuda Bekasi Dianggap Teroris: Penegakan Hukum Spekulatif Oleh Densus 88 Anti Teror Polri

Jakarta, 10 April 2020 – Pada 16 Februari 2022, Jon Sondang Saito Pakpahan ditangkap karena dituduh melakukan pelemparan molotov terhadap Pos Polisi di sekitar kolong Tol Jatiwarna, Bekasi, Jawa Barat. Warga yang melihat aksi Jon kemudian menangkapnya. Setelahnya, ia diserahkan kepada petugas kepolisian yang kebetulan sedang berpatroli untuk dibawa ke Polres Metro Bekasi Kota.

Awalnya, oleh Polres Metro Bekasi Kota Jon ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pembakaran. Namun tiba-tiba, Polres Metro Bekasi menyerahkan Jon ke Densus 88. Tindakan Jon dianggap sebagai terorisme yang kemudian membuatnya mendekam dalam sel Rutan Cabang Mako Brimob Cikeas atas dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan/atau 9 UU Terorisme dengan ancaman pidana mati.

Untuk memastikan keadaan Jon dan mengkonfirmasi apa yang dilakukannya, keluarga telah berulang kali datang ke Rutan Cabang Mako Brimob Cikeas, namun tidak diizinkan bertemu. Tak sampai disitu, keluarga telah menghubungi penyidik hingga menyurati Kepala Densus 88 AT Polri agar dapat bertemu dengan Jon. Namun, tidak mendapat respons apa pun. Keluarga juga tidak mendapatkan kepastian apakah Jon telah mendapatkan bantuan hukum dan berkualitas dalam proses hukum tersebut.

Berdasarkan kondisi di atas, Koalisi Reformasi Anti Teror mengecam keras tindakan Densus 88 AT Polri yang menggunakan UU Terorisme dengan dalih penegakan hukum tindak pidana terorisme terhadap Jon beserta berbagai pelanggaran HAM dalam prosesnya.

Pertama, Densus 88 AT secara serampangan menerapkan UU Terorisme terhadap Jon. Tidak ada suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas; atau korban yang bersifat massal yang ditimbulkan akibat perbuatan Jon sebagaimana unsur dalam Pasal 6 dan 9 UU Terorisme. Perbuatan Jon hingga saat ini bahkan masih simpang siur. Kuat dugaan bahwa dilakukan oleh Densus 88 AT ini merupakan kriminalisasi, karena sebelumnya Jon ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pembakaran oleh Polres Metro Bekasi Kota. Namun, tiba-tiba ia diserahkan kepada Densus 88 AT.

Kedua, Penggunaan UU Terorisme akan menjadi tren buruk penegakan hukum tindak pidana terorisme yang menyasar aksi-aksi protes terhadap kebijakan dan tindak tanduk Pemerintah. Ancamannya tak main-main, pidana mati. Hal ini kian menunjukkan ekses pemberlakuan UU Terorisme yang sejak awal telah dikritik oleh masyarakat sipil. Sejak pembahasannya, masyarakat sipil khawatir bahwa UU Terorisme berpotensi memberangus orang atau kelompok yang kritis terhadap kekuasaan ketimbang menyasar organisasi teroris.

Ketiga, terjadi pelanggaran hak Jon sebagai tersangka untuk dikunjungi oleh keluarganya sebagaimana dijamin oleh Pasal 61 KUHAP. Pelanggaran tersebut merupakan bentuk incommunicado detention (penahanan tanpa akses terhadap dunia luar) yang membuka ruang bagi penyiksaan dan bahkan penghilanggan orang secara paksa. Praktik-praktik kuno macam ini seharusnya sudah tidak mendapat ruang dalam penegakan hukum di Indonesia.

Keempat, Dalam hal bantuan hukum, Jon tidak mendapatkan bantuan hukum yang laik. Padahal, Pasal 14 ayat (3) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Republik Indonesia melalui UU 12 Nomor 2005  menetapkan jaminan minimal bagi setiap orang yang sedang dalam proses hukum, salah satunya adalah akses terhadap bantuan hukum. Lebih lanjut Pasal 54 KUHAP memberikan jaminan pemenuhan hak bagi setiap tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum di setiap tingkatan proses peradilan pidana. Pelanggaran hak atas bantuan hukum ini justru merupakan pintu masuk ke dalam praktik-praktik peradilan sesat.

Kelima, kasus ini menambah daftar panjang pelanggaran prosedur dalam penegakan hukum tindak pidana terorisme yang diduga dilakukan Densus 88 AT Polri.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menurut kami tindakan-tindakan tersebut bukan merupakan penegakan hukum, melainkan tak lebih dari aksi mempertontonkan kekuasaan. Untuk itu kami mendesak agar:

  1. Kapolri memerintahkan Kadensus 88 AT Polri untuk memerintahkan jajarannya yang melakukan penyidikan dalam kasus ini untuk segera membuka akses keluarga untuk berkunjung serta memenuhi hak Jon untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum yang ia tunjuk sendiri;
  2. Kapolri segara melakukan evaluasi terhadap tugas, fungsi, dan kerja-kerja Densus 88 AT Polri secara objektif dan menyeluruh, serta melibatkan seluas-luasnya partisipasi masyarakat sipil dalam prosesnya;
  3. Presiden dan DPR segera melakukan revisi terhadap UU Terorisme yang masih memuat ketentuan-ketentuan pidana dengan ancaman pidana mati yang berpotensi menyasar orang atau kelompok yang melakukan aksi-aksi protes terhadap Pemerintah serta melakukan revisi terhadap “Pasal-Pasal Guantanamo” dalam UU Terorisme yang memungkinkan adanya penahanan tanpa akses terhadap dunia luar dan penghalang-halangan akses bantuan hukum;
  4. Komnas HAM, Ombudsman RI, dan Kompolnas secara aktif melakukan pemantauan dan pemeriksaan terhadap dugaan-dugaan pelanggaran HAM, Maladministrasi, dan berbagai pelanggaran prosedur lainnya pada kasus ini.

Koalisi Reformasi Anti Teror
LBH Jakarta dan LBH Masyarakat

Universal Periodic Review – Joint Stakeholders\’ Report on the 4th UPR of Indonesia on Issues Relating to the Death Penalty

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu dan permasalahan Hak Asasi Manusia yang terjadi.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Anti Hukuman Mati (Kohati), pada tanggal 31 Maret lalu sudah mengirimkan laporan temuan tentang pelanggaran HAM dalam isu hukuman mati di Indonesia.

Salah satu temuan dalam laporan ini adalah perihal kurangnya transparasi yang dilakukan pemerintah ketika menjalankan eksekusi mati, selain itu permasalahan hukuman mati pada kasus narkotika juga menjadi perhatian karena ” war on drugs” dijadikan alat untuk mendorong adanya hukuman mati dalam kasus narkotika di Indonesia, yang dimana banyak menyasar korban.

Laporan lengkapnya dapat dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review – Joint Stakeholders\’ Report on the 4th UPR of Indonesia on Issues Relating to the Death Penalty

Vonis Mati Herry Wirawan: Negara Lalai, Hak Korban Diabaikan!

Jakarta, 5 April 2022 – Herry Wirawan (HW) seorang terdakwa kasus perkosaan terhadap 13 anak santri di Bandung diputus pidana mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung pada 4 April 2022. Tidak dapat dipungkiri bahwa perbuatan HW mengundang perhatian dan gelombang amarah di kalangan masyarakat. Namun, secara prinsip LBHM memandang putusan tersebut tidak dapat dibenarkan, mengingat hak hidup yang bersifat prinsipil dan putusan tersebut cenderung bermuatan emosi publik semata. Perlu diingat dalam mengadili perkara tindak pidana kekerasan seksual, Aparat Penegak Hukum (APH) harus memberikan perhatian lebih terhadap kebutuhan korban, bukan kepada kemarahan yang tidak berdampak kepada korban.

Oleh karena itu, LBHM berpandangan sebagai berikut:

1. Vonis Pidana Mati Tidak Memberikan Efek Jera Terhadap Pelaku.
Indonesia merupakan salah satu negara yang rajin memberikan hukuman mati pada beberapa jenis tindak pidana, dimana vonis pidana mati paling banyak dijatuhkan terhadap kasus narkotika. Berdasarkan dokumentasi yang dilakukan oleh Reprieve, sepanjang 2017-2021 terdapat 367 vonis pidana mati untuk semua tindak pidana, dan sebanyak 279 vonis pidana mati adalah kasus narkotika. Namun tingginya vonis pidana mati dalam kasus narkotika tidak menyurutkan peredaran gelap narkotika. Berangkat dari konstruksi tersebut, vonis pidana mati yang dijatuhkan kepada HW yang diklaim sebagai efek jera sesungguhnya merupakan ilusi;

2. Kasus Perkosaan yang Menjerat HW merupakan Simbol atas Puncak Gunung Es.
Kasus perkosaan maupun kekerasan seksual nerupakan persoalan struktural yang tidak dapat dipandang selesai melalui penjatuhan hukuman mati. Sebab di akar rumput masih banyak kasus perkosaan yang bungkam untuk dilaporkan. Akar masalah atas hal ini karena korban perkosaan kerap mendapat stigma dan berpotensi dituntut balik oleh pelaku. Tantangan ini menciutkan nyali korban untuk melapor. Pada sisi lain, RUU TPKS yang saat ini dibahas menghilangkan beberapa kekerasan seksual yang dalam praktiknya berpotensi tidak mengakomodasi kebutuhan perlindungan korban;

3. Vonis Pidana Mati Terhadap HW Justru Menghilangkan Peran Negara Memberikan Jaminan Perlindungan Terhadap Ruang Aman yang Semakin Kesini Semakin Sulit.
Proses hukum dan perlindungan terhadap korban kekerasan dan pelecehan seksual masih dirasa sangat minim. Oleh karena itu vonis pidana terhadap HW bukan jawaban terhadap kebutuhan korban dan seharusnya kasus ini merupakan notifikasi bagi Pemerintah untuk lebih maksimal dalam merealisasikan perlindungan bagi korban, bukan dengan menjatuhkan vonis pidana mati. Dalam hal penjatuhan hukuman, hakim juga telah lalai dalam mempertimbangkan pasal 67 pada KUHP yang membatasi jenis pemidanaan apabila hukuman mati atau seumur hidup diberikan kepada pelaku tindak pidana. Akrobatik hukum yang dilakukan oleh majelis hakim dalam memutus perkara HW di tingkat banding ini justru mengaburkan prinsip-prinsip dasar hukum pidana di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, LBHM meminta:

  • Mahkamah Agung menguji kembali melalui upaya hukum untuk menolak tuntutan pidana mati oleh Penuntut Umum dan putusan Pengadilan Tinggi Bandung;
  • Pemerintah bersama DPR segera mengesahkan RUU TPKS yang akomodatif terhadap pemenuhan jaminan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan seksual serta berpihak terhadap korban dalam mendapatkan hak atas keadilan;
  • APH tidak melakukan penolakan atas pengaduan tindak pidana kekerasan seksual oleh anak, perempuan dan kelompok minoritas lainnya, serta memberikan layanan yang ramah terhadap korban dan saksi tindak pidana kekerasan seksual melalui peraturan dan pedoman.

Narahubung:
Yosua Octavian: 0812 9778 9301
A’isyah Humaida: 0822 6452 7724

Laporan Kerja (Annual Report) LBHM Tahun 2021

2 tahun sudah Indonesia mengalami pandemi COVID-19, hal ini juga berpengaruh kepada tatanan sosial di masyarakat secara signifikan. Salah satunya terhadap kelompok rentan dan termarjinalkan. Kelompok ini mengalami tantangan berganda, mulai dari dampak ekonomi hingga tidak terpenuhinya Hak Asasi Manusia mereka yang membuat mereka hidup dalam bayang-bayang pelanggarang HAM.

Akses bantuan hukum yang tidak memadai, masih adanya peraturan diskriminatif, ketidakmerataan keadilan sosial adalah sebagian kecil dampak dari sekian banyak dampak lainnya yang dihadapi oleh kelompok rentan sehingga berada pada situasi tidak \’menguntungkan\’. LBHM secara gigih masih berdiri bersama kelompok rentan, berjuang bersama untuk memajukan dan mendapatkan hak-hak mereka secara penuh lewat dampingan hukum, riset dan kampanye publik.

LBHM mendokumentasikan perjuangan dan pekerjaan kami dalam Laporan Kerja (2021). Laporan ini merupakan pertanggung jawaban LBHM kepada publik dalam menginformasikan kerja-kerja yang sudah dilakukan oleh LBHM sepanjang tahun 2021 — sekaligus juga menjadi refleksi kerja-kerja LBHM selama satu tahun kebelakang. Kami menganalisa situasi serta tantangan HAM selama 2021 dan tahun yang akan datang. Laporan ini dapat tersusun, berkat dukungan pihak-pihak yang telah menudukung jerih payah LBHM.

Laporan Kerja (Annual Report) Tahun 2021 kami dapat dibaca pada tautan di bawah ini:

LBHM Annual Report 2021

Perlunya Perubahan Besar Dalam Undang-Undang Narkotika

Jakarta, 2 April 2022 – Pada 6 Desember 2021 lalu, disepakati Daftar Prolegnas Prioritas 2022, dengan salah satu daftar revisi UU tersebut adalah revisi UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika). Per 14 Januari 2022, Pemerintah mengirimkan RUU Narkotika kepada DPR untuk dibahas.

Tindak lanjut hal tersebut, Kamis, 31 Maret 2022, Komisi DPR RI mengelar Rapat Kerja dengan Menteri Hukum dan HAM tentang isi RUU tersebut.

JRKN mencermati RUU yang diberikan oleh Pemerintah kepada DPR dan pembahasan antara pemerintah dan DPR dalam Rapat Kerja tersebut. Terdapat sejumlah catatan:

Pertama, pendekatan dalam reformasi kebijakan Narkotika mesti sejalan dengan konstitusi negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, kesehatan publik dan pengurangan dampak buruk atau harm reduction. Dengan pendekatan ini, intervensi bagi pengguna Narkotika hanya dan hanya boleh dengan berbasis kesehatan dan ilmu pengetahuan (science), dan sama sekali tidak dengan pendekatan hukuman (bersifat punitif). Pemerintah telah tepat melihat masalah utama kebijakan karena memberi dampak pada overcrowding rutan dan lapas. Namun, pemerintah lantas memberikan solusi dengan rehabilitasi proses hukum, yang mana merupakan rehabilitasi berbasis hukuman. JRKN ingatkan bahwa konsep ini hanya akan memindahkan overcrowding rutan dan lapas ke overcrowding tempat-tempat rehabilitasi. Rehabilitasi wajib bagi pengguna Narkotika bertentangan dengan pendekatan hak asasi manusia, kesehatan masyarakat dan bertentangan dengan pendekatan pengurangan dampak buruk.

Kedua, penggunaan Narkotika harusnya didekriminaliasi, tidak semua membutuhkan rehabilitasi. Negara-negara yang berhasil mereformasi kebijakan narkotikanya tidak menghadirkan rehabilitasi wajib. Namun mengedepankan penilaian derajat keparahan yang bersifat komprehensif pada domain kesehatan, sosial, ekonomi untuk menentukan intervensi yang tepat. World Drug Report 2021 menjelaskan bahwa hanya 13% pengguna Narkotika yang penggunaannya bermasalah, sehingga tidak semua pengguna Narkotika membutuhkan rehabilitasi wajib yang dikonsepkan Pemerintah. Skema dekriminaliasi yang JRKN perkenalkan, mengatur rentang ambang batas, untuk menentukan kepemilikan untuk kepentingan pribadi. Dalam rentang tersebut, pengguna Narkotika menjadi subjek penilaian panel asesmen, yang berada di layanan kesehatan hingga ke tingkat puskesmas, dinilai oleh tenaga kesehatan dan konselor adiksi untuk menentukan intervensi yang tepat, tanpa adanya anggota tim dari aparat penegak hukum. Penilai ini berada di fasilitas kesehatan yang sistemnya sudah ajeg hingga ke tingkat kecamatan, sehingga RUU tidak memerlukan penguatan khusus pada kelembagaan BNN khususnya Tim Asesement Terdapu. Komponen asesmen tersebut bisa ditempel dengan sistem kesehatan yang sudah tersedia saat ini. BNN kedepannya dapat berfokus pada penanganan perkara yang lebih terorganisir, sedangkan layanan bagi pengguna narkotika murni menjadi domain kementerian kesehatan.

Ketiga, ketentuan pidana harusnya diubah dan ancaman pidana penjara minimum khusus dan pidana mati harus dihapuskan. Pemerintah menyatakan tidak akan mengirimkan pengguna Narkotika ke penjara, namun justru luput memperbaiki kontradiksi pasal-pasal UU Narkotika antara Pasal 111 tentang Penguasaan Narkotika Golongan I jenis tanaman, Pasal 112, Pasal 117 dan Pasal 122 tentang Penguasaan Narkotika, Pasal 114, Pasal 119, Pasal 124 tentang membeli Narkotika, dengan Pasal 127 tentang penyalahgunaan Narkotika. Setiap pengguna pasti akan mudah terjerat dengan pasal penguasaan dan pembelian Narkotika. Hal ini menjadi dasar mengapa banyak pemenjaraan bagi pengguna, masing-masing pasal tersebut juga memuat ketentuan minumum khusus. Namun, malah pemerintah tidak mengajukan sama sekali revisi ketentuan pidana ini.

Keempat, aturan tentang penggolongan Narkotika. Pemerintah luput memperhatikan kebutuhan akan perlunya revisi aturan tentang larangan golongan Narkotika golongan I untuk kesehatan, yang seharusnya menjadi diperbolehkan. Lalu berkaitan dengan tata cara pengubahan golongan, hingga saat ini tidak ada aturan jelas mengenai batasan negara dapat mengubah/mengeluarkan/memasukkan suatu zat ke dalam Narkotika golongan tertentu. Sehingga ketentuan mengenai perlunya Peraturan Pemerintah soal ini harus dimunculkan dalam revisi UU Narkotika. Sayang, pemerintah tak menjangkau hal ini.

Kelima, pengaturan Zat Psikotropika Baru (ZPB), dalam Pasal 148A RUU Narkotika usulan pemerintah, diperkenalkan pasal yang dapat mengkriminaliasi perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Zat Psikoaktif Baru, dengan ancaman pidana 2-10 tahun. Hal ini bertentangan dengan asas legalitas, karena orang dapat dipidana atas kepemilikan suatu zat yang belum ditentukan sebagai Narkotika, artinya orang dikriminalisasi atas ketentuan yang belum diatur, hal ini bertentang dengan asas legalitas yang paling dasar dalam hukum pidana, sesuai dengan asas dalam Pasal 1 KUHP. Sungguh memprihatikan.

Pengaturan tentang Zat Psikoaktif Baru dalam UU Narkotika harusnya hanya menjangkau sampai aspek ZPB ini ditentukan sebagai Narkotika, tidak untuk pelarangan kepemilikan dan penguasaan. Hal ini dapat diatur jika pemerintah membentuk peraturan pemerintah soal tata cara penggolongan Narkotika.

Memang masalah utama kebijakan Narkotika membawa dampak overcrowding, namun solusinya bukan dengan rehabilitasi berbasis hukuman. Yang perlu dikedepankan adalah perbaikan tata kelola Narkotika yang tepat dengan berdasarkan penghormatan HAM, kesehatan masyarakat dan pengurangan dampak buruk (harm reduction).

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN):
ICJR, Rumah Cemara, Dicerna, IJRS, LBH Masyarakat, PKNI, PBHI, CDS, LGN, YSN, LeIP, WHRIN, Aksi Keadilan, PEKA, LBH Makassar, PPH Unika Atma Jaya, Yakeba.

Universal Periodic Review – Joint Submission Human Rights Situation in Indonesia With Specific focus on Vulnerable Groups

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu dan permasalahan Hak Asasi Manusia yang terjadi.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Nasional Anti Diskriminasi Kelompok Rentan, baru saja mengirimkan laporan temuan tentang pelanggaran HAM pada kelompok rentan dan termarjinalkan di Indonesia.

Salah satu temuan dalam laporan ini adalah perihal kurangnya usaha pemerintah dalam memberikan upaya perlindungan secara hukum terhadap kelompok rentan yang termarjinalkan.

Temuan lengkapnya dapat dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review – Joint Submission Human Rights Situation in Indonesia With Specific focus on Vulnerable Groups

Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual: Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Kami Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Keberagaman Gender dan Seksual (Kami Berani) yang terdiri dari Arus Pelangi, ASEAN SOGIE Caucus, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, PKBI, SGRC Indonesia, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Sanggar SWARA dan Human Rights Working Group (HRWG) bersamasama dengan 140 organisasi masyarakat sipil lainnya menyatakan kecewa atas Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual.

Pada tanggal 21 Desember 2021 DPRD Kota Bogor dan Walikota Bogor telah menetapkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (p4s). Koalisi menilai, Perda ini mengandung unsur pelanggaran HAM yang memperparah terjadinya kekerasan dan diskriminasi pada kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender di Kota Bogor. Pasalnya, pada Bab III pasal 6 menyebutkan bahwa kelompok dan perilaku yang dimaksudkan adalah homoseksual, lesbian dan waria.

Perda ini bertentangan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Di dalam PPDGJ poin F66 disebutkan:

“Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai sebuah gangguan”.

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan (Poin F66)

Dalam klasifikasi internasional yakni International Classification of Diseases revisi ke-11, telah menyatakan bahwa transgender bukan merupakan gangguan kejiwaan.

Sebagai konsekuensi, segala hal yang dikategorikan sebagai perilaku penyimpangan seksual di dalam Perda ini akan dikenakan upaya pencegahan dan penanggulangan, di mana di dalamnya termasuk juga tindakan pengamanan dan rehabilitasi. Hal ini dapat berdampak pelibatan bukan hanya dari aparatur pemerintahan daerah namun juga masyarakat. Perda ini berpotensi meningkatkan kasus kekerasan terhadap kelompok kelompok minoritas seksual dan gender. Selain itu, Perda ini mengamanatkan pembentukan sebuah komisi penanggulangan yang pembiayaannya akan dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Koalisi menilai Perda ini merupakan bentuk pelanggaran HAM pada warga negara tertentu berpotensi menghancurkan martabat, kehormatan dan rasa aman. Berikut adalah dampak langsung dari Perda ini:

  1. Dampak kekerasan psikis dan tertutupnya akses kesehatan

    Perda menjadi legitimasi untuk mengkategorikan kelompok LGBT sebagai kelompok yang dapat disembuhkan dengan tindakan rehabilitasi dan penanggulangan. Petugas kesehatan, penyedia layanan kesehatan, aparatur daerah dan masyarakat secara umum dapat mengirim individu baik anggota keluarga maupun anggota masyarakat ke pusat rehabilitasi. Perda ini juga bertentangan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menghapus segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang diskriminatif terhadap orang dengan HIV dan kelompok populasi kunci, yang tertuang di dalam Deklarasi Politik PBB tentang HIV/AIDS tahun 2021. Kebijakan seperti ini, akan menjadi hambatan yang besar terhadap respon HIV yang efektif menuju Indonesia bebas AIDS pada 2030.
  2. Dampak kekerasan bernuansa terapi konversi/upaya korektif

    Pada pasal 9, 12, 15 dan 18 secara spesifik mengatakan bahwa salah satu cara pencegahan dan penanganan yang digunakan adalah rehabilitasi. Hal ini akan berpotensi semakin maraknya aktivitas pemaksaan upaya perubahan orientasi seksual dan identitas gender seseorang. Victor Madrigal Borloz, Ahli Independen Prosedur Khusus PBB tentang SOGI dalam laporan tematiknya menyebut upaya ini sebagai bentuk penyiksaan.
  3. Dampak kekerasan fisik (penangkapan sewenang-wenang)

    Ketiadaan payung hukum anti-diskrimnasi yang melindungi kelompok LGBT telah menjauhkan kelompok LGBT dari akses keadilan ketika mengalami kekerasan, diskriminasi dan pengusiran dari rumah, perda ini memperkuat aksi-aksi tersebut. Sebagai bentuk proses pencegahan, aktivitas penangkapan sewenang-wenang dan persekusi semakin marak di Kota Bogor terhadap kelompok minoritas seksual dan gender. Perda ini juga mengamantkan Pemerintah Kota Bogor untuk membentuk lembaga lintas sektoral (pasal 8) dalam memaksimalkan implementasi Perda ini.
  4. Dampak informasi yang keliru (miss-information) terkait minoritas seksual dan gender

    Pasal 15 menyebutkan bahwa salah satu langkah yang akan dilakukan untuk pencegahan adalah melalui edukasi dan penyebaran informasi terkait 15 kelompok dan perilaku pada pasal 6. Tindakan ini akan berpotensi semakin meningkatkan adanya informasi yang keliru tentang orientasi seksual dan identitas gender yang berpotensi meningkatkan kebencian dan penolakan.
  5. Dampak kehilangan sumber ekonomi

    Atas dampak-dampak yang telah kami sebutkan di atas, secara langsung akan menutup akses bagi kelompok LGBT untuk bekerja dan mendapatkan sumber penghasilan sehari-hari.

Untuk itu Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keberagaman Gender dan Seksual meminta secara
mendesak:

  • Walikota Bogor, Gubernur Jawa Barat dan Kementerian Dalam Negeri untuk berkoordinasi dan segera membatalkan Perda No 10 tahun 2020 Kota Bogor;
  • Komnas HAM untuk mengeluarkan pernyataan resmi menyikapi Perda Diskriminatif ini dan menyurati DPRD, Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat guna peninjauan kembali.
  • Kantor Staf Presiden sebagai penyelenggara Program Kabupaten dan Kota Ramah HAM untuk mencabut Kota Bogor dari klasifikasi Kota Ramah HAM dan tidak menjadikan Kota Bogor ataupun daerah di Jawa Barat sebagai tuan rumah pelaksanaan kegiatan karena Perda yang dihasilkan bertentangan dengan HAM itu sendiri.

Dokumen (.PDF) Siaran Pers Koalisi Kami Berani dapat diunduh rekan-rekan pada tautan berikut:
Pernyataan Sikap – Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual: Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Pernyataan Bersama Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) Terkait Eksekusi Mati 2 Terpidana Mati di Singapura


Jakarta, 16 Februari 2022 – Tepat hari ini Pemerintah Singapura akan melaksanakan eksekusi mati dengan hukuman gantung terhadap dua terpidana mati yang bernama Roslan bin Bakar dan Pausi bin Jefridin. Keduanya merupakan terpidana mati yang divonis mati karena kepemilikan narkotika. Kami mengecam keras rencana eksekusi mati terhadap kedua terpidana narapidana tersebut.

Menurut data terakhir, kedua terpidana tersebut ditengarai merupakan orang dengan disabilitas intelektual. Pihak pengadilan telah mengakui jika keduanya memiliki permasalahan dengan kemampuan berpikirnya, ditunjukkan dari IQ rendah yang dimiliki oleh para terdakwa. Kedua kasus ini memiliki kemiripan dengan kasus Nagethran (WN Malaysia) yang pada akhir tahun lalu diprotes publik karena memiliki permasalahan kesehatan jiwa dan akan dijadwalkan untuk dieksekusi.

Sebagai organisasi masyarakat sipil yang fokus di isu hukuman mati, kami mendorong Pemerintah Singapura untuk kembali mempertimbangkan eksekusi ini, mengingat latar belakang kedua terpidana mati merupakan orang dengan disabilitas intelektual, yang mana berdasarkan hukum internasional tidak seharusnya dieksekusi mati sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang berbunyi:

“Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa setiap manusia memiliki hak yang melekat untuk hidup dan wajib mengambil seluruh langkah yang diperlukan untuk menjamin pemenuhan secara efektif oleh penyandang disabilitas atas dasar kesamaan dengan manusia lain.”

Hal ini juga didukung dengan Resolusi PBB (UN General Assembly resolution 75/183) pada Desember 2020 yang mengatakan bahwa negara-negara tidak seharusnya menjatuhkan hukuman mati terhadap seseorang yang memiliki permasalahan kesehatan jiwa.

Kami sekali lagi mendorong Pemerintah Singapura untuk tidak melakukan eksekusi mati ini dan tidak untuk melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan Pemerintah Indonesia yakni mengeksekusi seorang disabilitas psikososial (Skizofrenia) pada tahun 2016. Setidaknya Pemerintah Singapura menyediakan akses ke psikiater untuk menilai kondisi kesehatan jiwanya dan memberikan perawatan yang optimal bagi kedua terpidana. 


English Version:

Joint Statement of the Coalition to Abolish the Death Penalty (Koalisi HATI) Regarding The Execution of 2 Death Row Inmates in Singapore

Jakarta, February 16, 2022 – Today, the Singaporean government will carry out the execution by hanging for two death row convicts, Roslan bin Bakar and Pausi bin Jefridin. Both are death row inmates who were sentenced to death for possession of narcotics. We strongly condemn the planned execution of the two convicts.

According to the latest information, the two convicts are suspected to be people with intellectual disabilities. The court has admitted that both of them have problems with their thinking skills, as indicated by the low IQs of the defendants. These two cases have similarities with the case of Nagethran (Malaysian) which at the end of last year was publicly protested for having mental health problems and was scheduled to be executed.

As a civil society organization that focuses on the issue of the death penalty, we encourage the Singaporean Government to re-consider this execution, given the backgrounds of the two death row convicts are people with intellectual disabilities, which under international law should not be executed as stated in Article 10 of the International Convention on Human Rights. – Rights of Persons with Disabilities which reads:

“States Parties reaffirm that every human being has an inherent right to life and shall take all necessary steps to ensure the effective fulfillment of persons with disabilities on an equal basis with other human beings.”

This is also supported by the UN General Assembly resolution 75/183 in December 2020 which said that countries should not impose the death penalty on someone who has mental health problems.

We once again urge the Government of Singapore not to carry out this execution and not to commit the same mistake that the Government of Indonesia made of executing a psychosocial disability (Schizophrenia) in 2016. At least the Singapore Government provides access to a psychiatrist to assess his mental health condition and provide optimal care for the two convicts.

Koalisi HATI members:

  1. Human Rights Working Group (HRWG)
  2. Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)
  3. Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor)
  4. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
  5. International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)
  6. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  7. LBH Jakarta
  8. LBH Masyarakat (LBHM)
  9. LBH Pers
  10. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)
  11. Migrant Care
  12. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
  13. Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI)
  14. PILNET (Public Interest Lawyer Network)
  15. SETARA Institute
  16. The Association for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST)
  17. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  18. Yayasan Satu Keadilan

Perbudakan Modern Berkedok Rehabilitasi (Illegal)

Tertangkapnya Bupati Langkat Terbit Peranging-angin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berbuntut panjang paska turut ditemukannya kerangkeng besi sebagai ‘fasilitas’ rehabilitasi narkotika. Para penghuni kerangkeng adalah pengguna narkotika yang juga dipekerjakan di ladang sawit tanpa upah seperti pekerja dengan hanya diberi makan dan ekstra pudding. Metode ini dilakukan dengan dalih agar selepas menyelesaikan rehabilitasi, mereka memiliki keahlian untuk bekerja. Setidaknya ada 3 (tiga) persoalan yang mengemuka dari kasus ini.

Pertama, berdasarkan hukum, setiap tempat yang menjalankan aktivitas rehabilitasi harus terdaftar di institusi terkait. UU Narkotika hanya mengenal rehabilitasi medis dan sosial. Intitusi terkait yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan rehabilitasi medis adalah Kementerian Kesehatan, sementara rehabilitasi sosial oleh Kementerian Sosial. Di tengah kebutuhan penggunaan narkotika yang belum terakomodasi oleh kedua institusi tersebut, Badan Narkotika Nasional (BNN) menyelenggarakan rehabilitasi dengan metode tersendiri. Ujungnya, pengobatan/perawatan (treatment) rehabilitasi narkotika memiliki payung masing-masing.

Berkaca dari kasus Bupati Langkat di atas, legalitas dan ketentuan operasional yang akan dijalankan harus mendapatkan izin terlebih dahulu dan mengikuti ketentuan dari intitusi terkait, antara BNN, Kemenkes, atau Kemensos. Tidak dipenuhinya persyaratan tersebut, maka tempat rehabilitasi narkotika bisa dikategorikan ilegal dan perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Sebagaimana banyak diberitakan juga, rupanya BNN pernah mengunjungi kerangkeng besi tersebut dan justru membiarkannya. Perlu penelusuran lebih lanjut untuk mencari tahu apakah ada pejabat BNN yang mendapat keuntungan dari praktik kerangkeng besi ini, dan apakah ada fasilitas rehabilitasi ilegal lainnya yang didiamkan oleh BNN. Berdasarkan data Polri, sampai pertengahan tahun 2021, terdapat lebih dari 19 ribuan kasus narkotika yang menyeret 24.878 orang yang menjadi tersangka narkotika. Seandainya 10% dari kelompok ini dialihkan ke lembaga rehabilitasi, bisa dipastikan beroperasinya tempat rehabilitasi menjadi potensi bisnis yang menggiurkan.

Kedua, terkuaknya dalih tempat rehabilitasi narkotika yang menghimpun pekerja di ladang sawit sebagai upaya untuk mendapatkan keterampilan adalah skema perawatan yang keliru. BNN dan Kemenkes, Kemensos memiliki standar perawatan pasien rehabilitasi yang melarang aktivitas memperkerjakan pasien. Relasi pasien rehabilitasi dengan tempat rehabilitasi tidak bisa dianggap layaknya majikan dengan buruh. Model relasi demikian justru mendelegitimasi skema perawatan pasien rehabilitasi. Dalam kacamata bisnis, memperkerjakan pasien rehabilitasi narkotika tanpa upah jelas berpeluang mendapat keuntungan besar. Artinya, pemilik fasilitas rehabilitasi bisa mendapatkan sekian banyak buruh murah (atau bahkan gratis) untuk bekerja menghasilkan suatu produk atau jasa, dan meraup keuntungan finansial. Berkaca dari praktik kerangkeng besi Bupati Langkat, maka evaluasi dan verifikasi lapangan oleh institusi terkait terhadap keberadaan tempat rehabilitasi narkotika untuk memastikan kepatuhan standar pelaksanaan rehabilitasi menjadi mendesak dilakukan dalam waktu dekat.

Ketiga, dalam konteks industri sawit, tingginya permintaan terhadap minyak sawit meningkatkan kebutuhan tenaga kerja yang banyak. Namun beberapa studi menunjukkan problem perburuhan di industri sawit menyangkut praktik kerja eksploitatif. Bentuk-bentuk eksploitasi sebagaimana digariskan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang antara lain, kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan dan praktik-praktik serupa perbudakan.

Dalam makna tradisional, perbudakan dipahami sebagai tindakan kepemilikan atas manusia oleh manusia lainnya layaknya properti atau hewan ternak yang bisa diberikan, diwariskan, dijual, atau dipindahtangankan. Evolusi perbudakan menunjukkan bahwa variasi dehumanisasi tumbuh semakin kompleks, baik secara kasat mata maupun secara implisit menyusup ke dalam ruang personal dan struktural. Di titik inilah fenomena perbudakan modern muncul.

David Weissbrodt dan Anti-Slavery International merumuskan bahwa dalam konteks perbudakan modern faktor berikut perlu diperiksa secara seksama: (a) aspek pembatasan kebebasan bergerak, (b) tingkat kendali atas barang pribadi, (c). adanya pemahaman penuh atas persetujuan tentang relasi antara para pihak. Sementara itu, Walk Free Foundation memberikan contoh bentuk-bentuk perbudakan modern, diantaranya kerja paksa, buruh tidak dibayar upahnya karena untuk melunasi hutangnya, pernikahan paksa, dan perdagangan manusia. Praktik semacam ini kerap ditemukan di banyak industri, termasuk manufaktur garmen, pertambangan, dan pertanian; dan dalam banyak konteks, dari rumah pribadi hingga pemukiman bagi para pengungsi internal dan pengungsi.

Baik perbudakan tradisional maupun modern sama-sama memiliki corak eksploitasi manusia atas manusia lainnya dalam rangka dimiliki atau dipindahtangankan kepada pihak lain. Namun, seiring semakin kompleksnya persoalan, semakin sulit pula regulasi nasional dan internasional merumuskan cakupan perbudakan modern secara rigid. Walk Free Foundation mengkategorikan perbudakan modern pada dasarnya merujuk pada situasi eksploitasi yang tidak dapat ditolak atau ditinggalkan oleh seseorang karena ancaman, kekerasan, pemaksaan, penipuan, dan/atau penyalahgunaan kekuasaan. Ruang lingkup ini mengakomodir problem perbudakan dewasa ini dalam spektrum yang lebih luas. Tapi di sisi lain, pemaknaan yang demikian dikhawatirkan mengaburkan karakteristik lain dari perbudakan atau ditafsirkan terlalu luas yang menghambat efektifitas upaya menghapus perbudakan.

Dalam konteks kasus kerangkeng besi Bupati Langkat, penghuni yang ditempatkan di kerangkeng besi diduga kuat terjadi perampasan kemerdekaan. Ditinjau dari aspek kewenangan, otoritas yang oleh hukum dapat melakukan perampasan kemerdekaan seseorang hanya aparat penegak hukum, bukan Bupati. Sehingga patut diduga terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Bupati. Jika pun penempatan tersebut untuk membantu orang yang membutuhkan perawatan adiksi, tidak bisa dijadikan alasan menggugurkan tindakan perampasan kemerdekaan melalui penyalahgunaan wewenang. Bahkan praktik rehabilitasi diyakini bukan dalam kerangkeng besi. Namun demikian di awal kasus ini terkuak, BNN seketika mengkonfirmasi bahwa rehabilitasi yang dijalankan ternyata illegal. Pernyataan ini semakin meneguhkan dugaan semata-mata yang dilakukan yaitu praktik kerja dengan dalih praktik rehabilitasi.

Indeks Perbudakan Global (Global Slavery Index) edisi 2018 yang dilaporkan oleh Walk Free Foundation mencatat Indonesia masih menerapkan praktik perbudakan dengan jumlah korban perbudakan yang banyak. Kondisi ini menunjukan bahwa praktik perbudakan tidak hilang dari keseharian. Praktik ini semakin berpeluang terus terjadi. Dalam konteks kasus narkotika, tingginya ledakan kasus narkotika saat ini dengan memanfaatkan skema rehabilitasi potensial terjebak dalam praktik kerja eksploitatif. Alih-alih menawarkan perawatan adiksi, justru yang terjadi praktik eksploitatif dengan iming-iming mendapatkan skill paska keluar dari fasilitas rehabilitasi. Terlebih pintu masuk mendapatkan rehabilitasi narkotika berdasarkan regulasi saat ini diantaranya melalui proses hukum yang tentunya syarat dengan keterpaksaan karena bagian proses hukum yang harus dijalani dan bisa jadi-mempertimbangkan tingkat adiksi yang tidak terlalu parah-tidak membutuhkan perawatan rehabilitasi.

Instrumen hukum model seperti ini yang diadopsi dalam UU Narkotika saat ini potensial disalahgunakan dengan kedok mendirikan fasilitas rehabilitasi padahal nyatanya praktik eksploitatif berupa perbudakan. Oleh sebab itu jebakan-jebakan yang mengarahkan pada tindakan eksploitatif karena problem struktural yang gagal sejak awal menganggap pecandu narkotika sebagai krimiminal padahal butuh integrasi sosial, mengandung potensi disalahgunakan. Meskipun solusi atas hal ini saling terkait dan multi dimensi, tapi meninjau kembali perawatan rehabilitasi sebagai solusi yang diwajibkan bagi pasien narkotika menjadi mutlak.

Tulisan ini ditulis oleh Direktur LBHM – M. Afif Abdul Qoyim. Tulisan ini juga sudah dipublikasikan pada kanal opini Koran Tempo: Perbudakan Modern Berkedok Rehabilitasi

Laporan Pendokumentasian: Pendampingan Kasus Focal Point Konsorsium Crisis Resnponse Mechanism

Pandemi COVID-19 yang terjadi sejak awal 2020 secara global, termasuk Indonesia tidak hanya berimplikasi pada persoalan kesehatan masyarakat, tetapi juga menyebabkan rentetan krisis pada berbagai sektor kehidupan masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan yang selama ini sudah ditempatkan dalam kondisi yang krisis dan juga keterbatasan terhadap akses hak-hak dasarnya. Salah satu kelompok yang paling terdampak adalah kelompok LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks dan Queer).

Berbagai kasus stigma, diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBTIQ selama pandemi COVID-19 semakin memperdalam jurang keterbatasan pemenuhan hak-hak kelompok LGBTIQ di Indonesia. Hal ini lah yang mendorong Konsorsium CRM semakin memperkuat respon dan strategi respon krisis terhadap kasuskasus yang dialami oleh kelompok LGBTIQ. Salah satunya melalui penguatan penanganan krisis berbasis komunitas yang melibatkan 13 paralegal LGBTIQ atau yang disebut sebut sebagai focal point Konsorsium CRM yang tersebar di provinsi di Indonesia.

Selama 6 bulan, Konsorsium CRM melakukan penguatan dan pemberdayaan terhadap paralegal-paralegal untuk mampu mendokumentasikan dan menangani kasus-kasus yang dialami komunitas LGBTIQ. Laporan ini merupakan hasil dari kerja-kerja bersama dan tentunya paralegal Focal Point CRM.

Laporan ini bisa menjadi alat penyambung lidah komunitas LGBTIQ kepada pemerintah, masyarakat dan setiap orang yang membacanya, untuk menyampaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh komunitas LGBTIQ selama pandemi COVID-19, upaya-upaya yang dilakukan oleh komunitas ini sendiri untuk menyelesaikan persoalan tersebut, serta tantangan dan pembelajaran yang dihasilkan dari proses pendampingan kasus-kasus ini. Sehingga dapat mendorong menguatkan dukungan dan komitmen dalam pemenuhan dan penghormatan Hak Asasi Manusia kelompok LGBTIQ di Indonesia.

Reka-rekan dapat membaca laporan lengkapnya pada tautan di bawah ini:

Laporan Pendokumentasian: Pendampingan Kasus Focal Point Konsorsium Crisis Resnponse Mechanism

Kondisi Disabilitas Bukan Alasan Mengecualikan Mereka dari Akses Terhadap Keadilan

Pada 8 Februari 2022, media nasional memberitakan soal adanya tindak kekerasan seksual yang menimpa kepada seorang perempuan penyandang disabilitas psikososial di Musi Bayuasin, Sumatera Selatan. Dalam kasus tersebut, korban WD diperkosa hingga hamil, dan buruknya kasus kekerasan seksual ini baru diketahui setalah 6 bulan berlalu.

Pasalnya dalam kasus tersebut terdapat satu keterangan dari pihak Kepolisian yang kesulitan untuk berkomunikasi dengan mereka. Kami melihat menandakan pihak kepolisian belum bisa menghadirkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses pemeriksaan.

LBHM menyoroti bagaimana penanganan dan pemberian akses keadilan terhadap penyandang disabilitas. Kami menilai kondisi Disabilitas bukanlah sebuah alasan untuk  mengecualikan hak mereka untuk mendapatkan akses terhadap keadilan. Secara kebijakan Indonesia Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) sejak tahun 2011 dan telah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Salah satu Pasal CRPD, yaitu pasal 13, menerangkan bahwa negara wajib memberikan akses terhadap keadilan bagi penyandang disabilitas, termasuk dengan cara melatih penegak hukum, salah satunya polisi, agar lebih akomodatif terhadap penyandang disabilitas dalam rangka menjamin akses terhadap keadilan bagi mereka.

Akomodasi yang layak yang seharusnya diberikan adalah Pengembangan komunikasi yang efektif, dan Pengembangan standar pemeriksaan oleh lembaga penegak hukum. Metode komunikasi yang efektif bisa berupa penghadiran alat bantu atau individu yang dapat menerjemahkan tindakan/perkataan penyandang disabilitas sesuai dengan preferensi atau maksud mereka.

Oleh karenanya kami mendorong Polri untuk:

1. Mengembangkan standar pemeriksaan berupa pedoman penunjukan penyidik yang memiliki kompetensi berkomunikasi dengan penyandang disabilitas;

2) Mengembangkan pedoman pengendalian situasi dan kondisi di lingkungan lokasi pemeriksaan agar penyandang disabilitas merasa senyaman mungkin dan dapat mengekspresikan kehendak/perkataan sesuai yang penyandang disabilitas maksudkan.

3) Memberikan akomodasi yang layak untuk akses terhadap keadilan terhadap penyandang disabilitas.

Kami percaya Polri mampu belajar memahami metode/cara melakukan pemeriksaan penyandang disabilitas sesuai mandat Undang-Undang dan Pearturan Pemerintah lainnya tentang akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Kami juga percaya bahwa polri dapat memberikan rasa keadilan dan keamanan bagi perempuan penyandang disabilitas yang menjadi korban perkosaan ataupun penyandang disabilitas lain yang menjadi korban tindak pidana.

Fact Sheet: Penahanan Sewenang-wenang Berkaitan dengan Kebijakan Narkotika

Sejak tahun 1991, Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang (The Working Group on Arbitrary Detention) yang dibentuk oleh Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah melakukan penyelidikan khusus kasus-kasus perampasan kebebasan yang dilakukan secara sewenang-wenang atau bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, atau instrumen hukum internasional yang diakui oleh suatu negara. Salah satunya adalah permasalahan penahanan dalam kasus Narkotika.

Dalam studi yang dilakukan oleh Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang untuk Indonesia, ditemukan jika orang yang menggunakan narkotika memiliki resiko yang tinggi untuk ditahan secara sewenang-wenang. Hal ini terlihat dari jumlah pengguna narkotika yang banyak menghuni penjara di Indonesia.

Setidaknya dalam temuannya disebutkan jika 1 dari 5 orang yang yang ada di penjara di seluruh dunia saat ini dipidana karena tindak pidana narkotika.

Masih banyak lagi temuan dari Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang terkait proses penahanan yang sewenang-wenang dalam kasus Narkotika.

Laporan lengkapnya dapat rekan-rekan unduh dengan mengklik tautan di bawah ini:

Fact Sheet: Penahanan Sewenang-wenang Berkaitan dengan Kebijakan Narkotika

Lowongan Staf Magang Keuangan (Internship)

LBHM merupakan sebuah lembaga non-profit yang berfokus pada kerja-kerja pemajuan Hak Asasi Manusia melalui bantuan hukum, riset-riset serta juga kampanye. Sudah selama 14 tahun kami berdiri kami masih 14 tahun beridiri kami tetap gigih mendorong pemajuan HAM dan inklusifitas bagi kelompok terpinggirkan, dan kelompok yang rentan.

Setiap tahunnya LBHM selalu membuka lowongan magang atua volunteer bagi rekan-rekan mahasiswa maupun umum yang ingin berkiprah atau berkontribusi bagi pemajuan HAM di Indonesia. Saat ini LBHM sedang membukan lowongan magang untuk bagian keuangan, dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Pendidikan Min. SMA dengan kekhususan Akuntasi/Komputer Akuntasi;
  2. Memiliki pengalaman bekerja sebagai akuntan minimal 1 tahun. Mempunyai pengalaman di NGO lebih diutamakan;
  3. Menguasai program M. Office (excel, word, power point) dan program akuntansi (accurate, dll);
  4. Jujur, teliti, mempunyai integritas dan loyalitas tinggi terhadap organisasi;
  5. Memahami perpajakan di Indonesia;
  6. Berkomitmen mau belajar , dan mampu bekerja dalam tim dan/atau individu, serta dapat bekerja dengan supervisi yang minim;
  7. Mempunyai kemampuan berkomunikasi dan persentasi yang baik;
  8. Memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang memadai.

Kerja-kerja kami selama ini didukung dengan tim yang profesional, dan menjujung tinggi sikap inklusif dan anti terhadp segala bentuk pelanggaran HAM. Apakah kamu adalah orangnya?

Segera submit aplikasi kamu sebelum tanggal 11 Februari 2022 (23.59 WIB), dan kirimkan ke:

Contact@lbhmasyarakat.org
Subjek email: Aplikasi Staf Magang Keuangan_Nama Kamu.

Pengumuman Bantuan Hukum LBHM Dimasa Pandemi Covid-19

LBHM merupakan lembaga bantuan hukum yang konsisten memberikan bantuan dan kosneling hukum secara pro-bono kepada masyarakat tidak mampu dan termarjinalkan. Seiringan dengan adanya pandemi COVID-19 terjadi beberapa penyesuaian terhadap layanan konseling dan bantuan hukum kami.

Melihat situasi pandemi COVID-19 yang saat ini trennya kembali naik di Indonesia akibat penyebaran varian baru Omicron, khususnya di wilayah DKI Jakarta. Mengingat hal ini LBHM memutuskan beberapa hal yakni:

  1. Mencabut pengumuman nomor: 598/SK/PK-LBHM?XI/2021, tertanggal 15 November 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Konsultasi dan Permohonan Bantuan Hukum Secara Tatap Muka;
  2. Mengalihkan kegiatan Konsultasi dan Permohonan Bantuan Hukum menjadi daring, yang dapat diakses melalui link: bit.ly/FIKonline atau melalui pesan WhatsApp di nomor: 0818-8289-0066;
  3. Menetapkan jadwal kegiatan Konsultasi dan Permohonan Bantuan Hukum secara daring pada hari Senin-Kamis (10.00 – 16.00 WIB);
  4. Meminta masyarakat yang ingin mengakses Kegiatan Konsultasi dan Permohonan Bantuan Hukum untuk menyiapkan kartu identitas, bukti-bukti pendukung pengaduan, ringkasan kasus, Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau surat lain seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) Mandiri, dan lain sebagainya.

Pengumuman lengkap dapat dilihat kembali pada Surat Keputusan di bawah ini:
Surat Keputusan: Nomor 052/SK/PK-LBHM/II/2022

Bayangkan Jika Kamu Saat Ini Tinggal di Penjara

Jakarta, 2 Februari – Bayangkan jika kamu narapidana atau warga binaan yang harus hidup dalam penjara dengan
kondisi penuh sesak di tengah pandemi COVID-19! Saat ini ada hampir sebanyak 275.000 tahanan dan warga binaan di dalam penjara-penjara Indonesia. Padahal, penjara-penjara Indonesia hanya bisa menampung 132.107 orang. Fenomena ini dikenal dengan nama prison overcrowding dan sudah berlangsung lama tanpa solusi yang jelas.

Menurut data dari Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham pada Januari 2022, penjara-penjara di Indonesia rata-rata disesaki penghuni 181% melebihi daya tampungnya. Prihatin akan kondisi ini, KontraS, LBH Masyarakat, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aksi Keadilan Indonesia, dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) membentuk Koalisi Peduli Penjara.

“Overcrowding di tempat-tempat penahanan di tengah pandemi berdampak pada hak atas kesehatan para warga binaan. Ruang gerak dan akses informasi yang sangat terbatas, akses medis yang kurang memadai menjadikan mereka kelompok paling rentan. Pemerintah perlu segera mengubah pendekatan penanganan overcrowding, seperti perubahan pada sistem peradilan pidana supaya masalah ini tuntas.”” ujar Fatia Maulidiyanti, Koordinator KontraS.

“Kondisi penjara kita itu sudah tidak layak huni. Mulai dari tidur berdesakan, sanitasi dan sirkulasi
udara yang buruk, sampai kualitas makanan yang tidak bergizi. Semua ini membuat warga binaan masuk kelompok rentan di tengah pandemi. Penjara kita belum mengikuti standar internasional Mandela Rules. Melalui change.org/reformasipenjara kami meminta para pemangku kebijakan segera menuntaskan permasalahan di dalam penjara,” kata Muhammad Afif, Direktur LBH Masyarakat.

Meskipun pada April 2020, upaya pengeluaran warga binaan melalui mekanisme integrasi dan asimilasi telah dilakukan sebagai respon terhadap pandemi Covid-19, Koalisi Peduli Penjara merasa upaya ini belum maksimal.

“Kementerian Hukum dan HAM harus kembali melakukan upaya untuk mengurangi overcrowding, setidaknya hingga seluruh lapas dapat dengan maksimal menjalankan protokol kesehatan, mengingat saat ini kasus COVID-19 kembali meningkat,” ucap Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif ICJR.

Data Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham menyatakan hampir 50% penghuni penjara adalah mereka yang terlibat dalam kasus narkotika. “Penjara penuh karena pengguna, pengedar, dan bandar narkotika bisa dijerat dengan pidana yang sama berat dalam pasal 111 dan 112 UU Narkotika. Pemerintah perlu memaksimalkan pidana alternatif bagi kasus pengguna narkotika,” ujar R. Suhendro Sugiharto, Direktur Aksi Keadilan Indonesia.

Jika terus dibiarkan, tujuan pemasyarakatan terhadap para warga binaan justru semakin sulit untuk dicapai dan cenderung berakibat fatal. “Overcrowding itu seperti bom waktu yang bisa meledak kapan pun. Ini sudah terbukti dengan peristiwa kebakaran Lapas Kelas I A Tangerang September 2021 lalu, yang merenggut 48 nyawa warga binaan,” kata Muhammad Rizaldi Warneri, Research Associate IJRS.

Ayo tandatangani petisi Koalisi Peduli Penjara di change.org/reformasipenjara yang meminta kepada:

  1. Kejaksaan dan Mahkamah Agung untuk mengedepankan opsi hukuman alternatif terhadap
    kasus-kasus hukum supaya penjara tidak semakin penuh;
  2. Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk segera menciptakan penjara yang
    humanis bagi warga binaan dan tahanan di Indonesia sesuai Mandela Rules, standar internasional
    tentang dasar-dasar perlakuan narapidana yang ditetapkan PBB. Terutama pemenuhan hak
    seperti sanitasi, sirkulasi udara, standar makanan yang layak dan penerapan protokol kesehatan
    yang memadai.

Dukungan kalian akan sangat berarti bagi perubahan kondisi penjara, serta nasib para tahanan dan warga binaan di Indonesia saat ini. Karena #napijugamanusia.

Koalisi Peduli Penjara:
LBH Masyarakat, Aksi Keadilan Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia
Judicial Research Society (IJRS), dan KontraS.

Kerangkeng Bupati Langkat: Bukti Suburnya Praktik Rehabilitasi Liar

Oleh LBH Masyarakat (LBHM) & Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)

Jakarta, 25 Januari 2022 – Penangkapan Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin atas kasus korupsi, yang diikuti dengan penemuan kerangkeng besi yang diduga digunakan sang koruptor untuk mengurung pekerja yang menggarap sawitnya, turut menguak dugaan praktik perbudakan.

Jeruji besi tersebut diketahui sudah ada sejak 2012, dan dikatakan hendak digunakan sebagai tempat rehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika meski tidak layak secara fasilitas. Pemberitaan menyebutkan bahwa pada 2017 Badan Narkotika Nasional Kabupaten Langkat sempat meminta Terbit mengurus perizinan jika hendak menjadikan ruangan tersebut sebagai tempat rehabilitasi. Namun, hingga kini tempat tersebut dilaporkan tidak berizin.

Publik patut menduga jika alibi fasilitas rehabilitasi ini hanya jadi alasan untuk menutupi dugaan perbudakan yang terjadi. Penempatan manusia ke dalam kerangkeng seperti yang dilakukan Terbit jelas telah merampas kemerdekaan seseorang untuk bergerak, yang hanya bisa dilakukan oleh otoritas berwenang dan dengan dasar putusan pengadilan. Masalah ini pun tidak bisa dikecilkan sebatas masalah legalitas perizinan. Jika pun benar digunakan sebagai panti rehabilitasi, hal ini tidak lantas menghapuskan pelanggaran berat yang dilakukan, sekalipun dengan dalih untuk membantu orang-orang yang mengalami adiksi. Konsep panti rehabilitasi bukan penjara, dan tidak bisa dipersamakan dengan penjara.

Kecenderungan menggunakan pendekatan pemidanaan terhadap pengguna narkotika hanya akan menciptakan ruang-ruang korupsi yang masif, tak terkecuali pada proses rehabilitasi. Banyak pengguna narkotika yang diserahkan begitu saja pada tempat-tempat rehabilitasi tanpa asesmen mengenai adiksinya. Beberapa orang yang tertangkap namun tidak memiliki bukti, tetap dipaksa direhabilitasi hanya karena memiliki urine positif, serta kerap dimintai sejumlah uang. Padahal secara medis tidak semua pengguna narkotika perlu direhabilitasi.

Kondisi ini memikul segudang masalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius di samping dugaan praktik perbudakan. Ditinjau dari aspek kewenangan, otoritas yang oleh hukum dapat melakukan perampasan kemerdekaan seseorang hanya aparat penegak hukum, bukan Bupati. Tindakan perampasan kemerdekaan itu bahkan dapat dijerat dengan Pasal 333 ayat 1 KUHP tentang perampasan kemerdekaan, yang berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja menahan (merampas kemerdekaan) orang atau meneruskan tahanan itu dengan melawan hak, dihukum penjara selama-lamanya delapan tahun”. Bahkan hukuman atas perbuatan tersebut dapat diperperberat jika ditemukan luka berat bagi orang yang dirampas kemerdekaannya.

Meskipun alasan Bupati Terbit adalah terkait rehabilitasi narkotika, justru tindakan tersebut menambah satu persoalan lagi mengenai pelanggaran aspek prosedur operasional dan legalitas, yang dapat diancam pidana dengan Undang-Undang tentang Kesehatan atau peraturan perundang-undangan lainnya.

Ditemukannya tempat rehabilitasi ilegal di kediaman Bupati Langkat, justru meneguhkan temuan lapangan dalam kasus-kasus narkotika. Pertama, bagi seorang pecandu yang ditangkap aparat banyak yang dikirim ke tempat-tempat rehabilitasi bukan dalam skema proses hukum. Praktik ini dikategorikan sebagai penahanan sewenang-wenang. Sebab seseorang ditahan tanpa diputus melalui persidangan sebagai mekanisme legal untuk merampas kemerdekaan seorang. Kedua, pecandu yang dikirim ke tempat rehabilitasi sebagai rangkaian dari proses hukum. Tindakan ini alih-alih untuk melakukan pemulihan, justru secara hukum dianggap bagian dari menjalani penghukuman.

Praktik serupa kerap terjadi pada panti-panti sosial bagi penyandang disabilitas mental. Mereka dikurung dalam jeruji besi sehingga tidak dapat berinteraksi dengan masyarakat dan berkomunikasi dengan pihak luar. Praktik yang diklaim sebagai upaya penyembuhan justru
menghadirkan permasalahan baru karena abai terhadap pelindungan hak-hak dasar para korbannya. Praktik pengurungan seperti ini merupakan bukti akan adanya pengambilan keputusan secara sepihak, sewenang-wenang, dan di luar pengawasan medis, sehingga tergolong sebagai bentuk kejahatan.

Lebih jauh, praktik ilegal demikian berpotensi sebagai tempat penyiksaan. Temuan masyarakat sipil terhadap tempat penyiksaan biasanya dilakukan di tempat tertutup. Institusi kepolisian menempati tempat yang paling banyak terjadi penyiksaan. Terakhir kejadian yang menimpa FNS, seorang pecandu narkotika yang ditahan di Polres Metro Jakarta Selatan meninggal diduga kuat disiksa karena ditemukan luka disekujur tubuhnya. Di beberapa tempat lain seperti panti-panti
rehabilitasi dan panti-panti sosial, tidak luput dari ruang potensial terjadinya penyiksaan. Situasi ini mengkhawatirkan karena praktik penyiksaan dilakukan di tempat-tempat tertutup. Dari aspek pembuktian, kondisi tersebut menghambat pengungkapan kasusnya dan menyeret pelaku. Sehingga tidak jarang, kasus-kasus penyiksaan mandek tanpa ada kejelasan status hukumnya.

Berdasarkan uraian di atas, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menuntut:

  1. Polri untuk meminta pertanggung jawaban hukum kepada Bupati Terbit atas tindakannya melakukan dugaan tindak pidana perampasan kemerdekaan seorang;
  2. Polri menutup tempat-tempat serupa tahanan seolah-olah sebagai tempat rehabilitasi narkotika atau panti sosial;
  3. Penutupan oleh Polri disertai dengan koordinasi dengan lembaga negara terkait untuk memastikan hak-hak dasar para korban tidak terabaikan, khususnya perihal tempat tinggal yang layak serta menghindari stigma dari masyarakat;
  4. Kelompok kerja untuk pencegahan penyiksaan yang terdiri dari Komnas HAM, KPAI, Ombudsman, LPSK, Komnas Perempuan untuk mengintensifkan kembali kunjungan ke tempat-tempat penahanan dan serupa tahanan.

Modul – Pelatihan Untuk Pendampingan Orang yang Berhadapan dengan Hukuman Mati

Hukuman mati masih merupakan salah satu persoalan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Lebih dari separuh negara di dunia telah menghapus praktik hukuman ini dan tren global menunjukan penurunan vonis mati pada tahun 2020. Namun, di Indonesia jumlah penjatuhan hukuman mati tetap tinggi.

Sikap pemerintah Indonesia mendua dalam hukuman mati karena memberlakukan hukuman mati secara keras di dalam negeri, namun, berupaya untuk membebaskan warganya yang divonis mati di luar negeri. Bahkan dalam situasi pandemi Covid-19 dengan pelaksanaan sidang secara virtual dengan penuh keterbatasan, penjatuhan hukuman mati tetap saja dilakukan.

Menghapus hukuman yang keji seperti hukuman mati akan menjadi sebuah perjalanan yang panjang.

Untuk mewujudkan ini tentunya perlu dilakukan kolaborasi atau kerjasama dari berbagai elemen baik dari pemerintah maupun masyarakat sipil itu sendiri. Salah satunya hal yang bisa dimulai untuk mewujudkan itu adalah dengan memberikan pendampingan hukum (litigasi) terhadap mereka yang dihukum mati.

LBH Masyarakat telah melakukan hal ini sejak lama, dan untuk memperkuat litigasi atau pendampingan hukum bagi warga yang berhadapan dengan sanksi pidana mati kami membuat modul Pelatihan untuk Pendampingan Orang yang Berhadapan Dengan Hukuman Mati.

Modul pelatihan dapat rekan-rekan unduh dengan mengklik tautan di bawah ini:

Modul Pelatihan Untuk Pendampingan Orang yang Berhadapan dengan Hukuman Mati

Rumah Tahanan Polisi Ladang Penyiksaan: Hentikan Penahanan di Kantor-Kantor Kepolisian, Revisi KUHAP dan UU Narkotika Sekarang!

Oleh LBH Masyrakat (LBHM), ICJR & Rumah Cemara

17 Januari 2022 – Lagi dan lagi, tahanan kepolisian meninggal. Beberapa media melaporkan korban kejadian ini terjadi pada FNS seorang tahanan narkotika Polres Metro Jakarta Selatan. Kematian FNS terjadi di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta pada Kamis, 13 Januari 2022.

Menurut rekannya yang pernah menjenguk di rumah sakit, bahwa ia pernah mendengar FNS mengeluhkan sakit disekujur tubuhnya. Bahkan rekan FNS melihat luka di kaki kulitnya pecah yang menimbulkan bercak darah di bagian paha. FNS mengaku kepada rekannya bahwa dirinya kerap dipukuli. Terkait kematian tahanan tersebut, Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto membenarkan adanya tahanan Polres Metro Jakarta Selatan yang meninggal dunia, namun pihak Polres menyatakan sebab kematian karena sakit demam dan tidak nafsu makan.

Meskipun Kapolres Metro Jakarta Selatan mengklaim bahwa kematian tahanan tersebut disebabkan sakit, Pernyataan ini patut diperiksa kebenarannya. Karena FNS meninggal pada saat menjalani masa penahanan, terlebih lagi ada klaim darinya bahwa ia pernah dipukuli dan ada tanda-tanda luka.

Indikasi penyiksaan seseorang yang sedang menjalani proses hukum bukanlah kejadian pertama kali, terlebih dalam perkara narkotika. Sebelumnya, pada Agustus tahun 2020 lalu, publik dihebohkan atas dugaan penyiksaan yang dialami Hendri Alfred Bakar. Kematian Hendri saat menjadi tahanan Polresta Barelang Batam diduga akibat penyiksaan. Dugaan penyiksaan tersebut terjadi karena ketika meninggal kepala Hendri ketat dibungkus plastik dengan selotip coklat yang tebal. Selain itu, terdapat bekas memar di tubuh Hendri.  

Praktik penyiksaan dalam proses hukum ini sesungguhnya telah lama dilaporkan komunitas pengguna narkotika di seluruh Indonesia. Berdasarkan temuan lapangan yang dilakukan oleh LBH Masyarakat pada 2011 menyebutkan bahwa dari 388 tersangka kasus narkotika terdapat 115 tersangka mengalami penyiksaan. Studi tersebut dipertegas kembali pada tahun 2021 yang menemukan bahwa dari 150 peserta penyuluhan hukum di rumah tahanan di Jakarta terdapat 22 orang mengalami penyiksaan di tingkat kepolisian. Dalam konteks penyiksaan tersebut, peristiwa yang diduga menimpa FNS dan Hendri ini telah menjadi tanda keras.

Tiga Permasalahan Mendasar

Terdapat 3 permasalahan mendasar yang menjadi faktor pendorong terjadinya praktik penyiksaan pada tahanan kepolisian ini.

Pertama, berkaitan dengan hukum acara pidana di Indonesia. Saat ini ada catat mendasar dalam KUHAP, bahwa keputusan untuk menahan ada di tangan penyidik, ataupun di otoritas yang melakukan penahanan. Padahal sesuai dengan ketentuan ICCPR dan Komentar Umum mengenai hak kemerdekaan, keputusan mehanan dalam peradilan pidana harus datang dari otoritas lain untuk menjamin pengawasan berjenjang. Pun penilaian kebutuhan penahanan harus substansial, tidak hanya berbasis ancaman pidana. Mau tak mau KUHAP harus direvisi, kewenangan penahanan di kantor-kantor kepolisian juga harus dihapuskan.

Kedua, kebijakan keras narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mudah sekali menjerat pidana seseorang. Terbukti kasus paling banyak datang dari implementasi kebijakan narkotika, banyak korban penyiksaan datang dari kasus penggunaan narkotika yang sedari awal tidak perlu diproses secara pidana, harusnya dapat diintervensi dengan pendekatan kesehatan. Revisi UU Narkotika yang menjamin dekriminalisasi bagi penggunaan narkotika harus didorong.

Ketiga, minimnya pengawasan yang efektif pada tempat-tempat penahanan secara real time. Penahanan pada tersangka/terdakwa adalah situasi yang timpang, dimana tersangka/terdakwa berhadap langsung dengan kewenangan negara. Sehingga dalam proses ini harus ada pengawasan yang ekstra dan berlapis, baik internal maupun eksternal. Untuk mencegah agar kejadian penyiksaan tidak terus berulang, secara normatif sepatutnya Indonesia segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT) guna memperkuat pengawasan dan pemantauan di tempat-tempat penahanan atau serupa tempat tahanan. Untuk sementara ini, lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, dan LPSK, dapat segera melakukan pemantauan dan pengawasan pada rutan dan lapas yang diduga berpeluang menjadi tempat penyiksaan, termasuk tempat-tempat penahanan di kepolisian. Kedepan, ratifikasi OPCAT diperlukan untuk menjamin pengawasan KuPP tersebut tersistem dan real time.

Atas hal ini, ICJR, LBH Masyarakat dan Rumah Cemara mendesak:

  1. Lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) segera melakukan respon cepat dengan melakukan pemantauan dan asesmen pada tempat-tempat penahanan dan melakukan investigasi mandiri pada kasus ini agar memperoleh lebih banyak data, serta memberikan rekomendasi kebijakan pada Polri agar hal serupa tidak terjadi lagi; Polri juga perlu  menyelidiki kasus ini secara menyeluruh dan memberi hukuman pada anggota yang terbukti melanggar prosedur dan melakukan penyiksaan;
  2. dalam tataran normatif, Pemerintah dan DPR segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention against Torture (OPCAT) untuk memperkuat pengawasan dan pemantauan tempat-tempat penahanan yang menjadi ruang terjadinya penyiksaan, dan;
  3. Dalam tataran normatif yang lebih besar, Pemerintah dan DPR segera melakukan langkah konkret melakukan revisi KUHAP dan UU Narkotika. Penahanan di kantor kepolisian harus dilarang dalam KUHAP ke depan, dekriminalisasi pengguna narkotika harus disusun dalam revisi UU Narkotika.

Hentikan Pendekatan Punitif Dalam Kasus Narkotika & Penjatuhan Hukuman Mati

Oleh LBH Masyarakat (LBHM)

14 Januari 2022 – LBH Masyarakat (LBHM) merupakan organisasi non-profit yang aktif melakukan advokasi kasus serta reformasi kebijakan narkotika dan hukuman mati di Indonesia. Hal ini tidak terlepas pada dua kasus yang marak dalam pemberitaan media belakangan ini. Pertama, kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Herry Wirawan pada Pengadilan Negeri Bandung. Kedua, kasus penyalahgunaan narkotika yang dialami oleh Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

LBHM mengecam keras seluruh pelaku kekerasan seksual dan tidak mentoleransi tindakan tersebut, termasuk pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Herry Wirawan terhadap 13 santriwati di daerah Bandung. LBHM senantiasa mendorong seluruh aparat penegak hukum agar setiap pelaku kekerasan seksual diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalamnya. Namun, LBHM menyatakan tidak sepakat dengan tuntutan maupun hukuman mati yang dijatuhkan dalam kasus tersebut.

Pasal 67 KUHP menegaskan bahwa bagi setiap orang yang dijatuhi hukuman mati dan hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhi pidana lain lagi selain pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim. Menuntut maupun menjatuhkan hukuman mati bagi Herry Wirawan akan menjauhkan upaya pemulihan bagi korban dalam memperoleh restitusi baik secara materil maupun immateril. Penjatuhan hukuman sepatutnya menggunakan pendekatan yang rehabilitatif dan tidak bersifat retributif atau pembalasan semata. Mengedepankan opsi hukuman mati menegaskan kegagalan peran negara dalam menjawab persoalan kekerasan seksual yang menjamur di lingkungan masyarakat.

LBHM menyayangkan putusan yang diberikan oleh majelis hakim kepada Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie pada nomor perkara: 770/PID.SUS/2021/JKT.PST. Setiap orang yang mengalami permasalahan adiksi narkotika seharusnya menerima layanan rehabilitasi medis maupun sosial, hal ini berlaku universal sebagaimana tertuang dalam Pasal 54 UU Narkotika. Pendekatan punitif yang dipertahankan dalam kebijakan dan penanganan kasus narkotika telah secara nyata tidak menurunkan angka penyalahguna narkotika di Indonesia. Kondisi adiksi seseorang tidak akan terjawab melalui hukuman pemenjaraan. Selain menjauhkan dari layanan rehabilitasi, persoalan pada kebijakan punitif pada akhirnya akan berdampak pada penuhnya lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Hal ini berkonsekuensi pada pembinaan dan pengawasan yang tidak optimal di setiap lapas di Indonesia. Pendekatan medis melalui rehabilitasi medis maupun sosial seharusnya menjadi opsi utama dan pertama atas kondisi adiksi seseorang. Indonesia sepatutnya belajar dari negara-negara yang gagal dalam mengedepankan kebijakan war on drugs (perang terhadap narkotika) dan bertransformasi pada pendekatan medis yang humanis.

Narahubung:
0822-4114-8034

Tunda dan Gratiskan Vaksin Booster: Prioritaskan Kelompok Rentan dan Kesetaraan Vaksin Untuk Semua

Oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan

09 Januari 2022 – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan mendesak pemerintah mengkaji ulang rencana pemberian vaksin booster atau dosis ketiga untuk masyarakat umum. Sebab, cakupan vaksinasi dosis 1 dan 2 belum optimal untuk kelompok masyarakat rentan, terutama warga lanjut usia. Kondisi ini bisa memperpanjang pandemi Covid-19. Pemerintah juga harus memastikan vaksin diberikan untuk semua, tanpa skema berbayar.

Hingga Kamis (6/1/2022), cakupan vaksinasi dosis kedua di Indonesia masih relatif rendah, yakni 55,58%. Vaksinasi lansia dosis penuh (kedua) juga baru mencapai 42,86%. Artinya, masih ada sekitar 6,9 juta lansia yang belum mendapatkan vaksin sama sekali. Jumlah ini belum termasuk kelompok rentan, seperti warga dengan penyakit penyerta, ibu hamil, masyarakat adat, difabel, dan lainnya. Pemerintah pusat belum menyediakan data cakupan vaksinasi kelompok masyarakat rentan.

Padahal, mereka merupakan kelompok yang memiliki risiko terinfeksi tinggi. Situasi ini memperlihatkan ketimpangan vaksinasi di Indonesia masih relatif tinggi. Kondisi ini berpotensi membuat masyarakat rentan terpapar Covid-19. Oleh karena itu, rencana pemberian vaksin booster bukan langkah bijak. “Rencana ini justru akan menempatkan mereka yang belum mendapatkan vaksin sama sekali semakin rentan terinfeksi dan meningkatkan risiko kematian,” ucap Firdaus Ferdiansyah, anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan.

Rencana pemerintah menyalurkan vaksin booster juga memicu ketimpangan capaian vaksinasi di daerah. Vaksin booster, misalnya, hanya diberikan kepada kabupaten/kota yang sudah mencapai vaksinasi dosis pertama sebanyak 70% dan 60% dosis kedua. Per 7 Januari 2022, hanya terdapat 244 kabupaten/kota yang mencapai syarat tersebut. Artinya, masih ada 290 kabupaten/kota yang cakupan vaksinasi dosis penuh kurang dari 60%.

“Kondisi ini menunjukkan ketimpangan dalam distribusi dan penerimaan vaksin kepada masyarakat masih terjadi. Padahal, transmisi lokal Omicron sudah berlangsung,” ungkap Firdaus yang juga relawan LaporCovid-19. Apabila booster diberikan kepada 244 kabupaten/kota saja, maka dapat menyebabkan ketidakadilan akses vaksin. Sebab mereka terproteksi lebih dahulu dibandingkan warga di 290 kabupaten/kota lainnya.

No one is safe until everyone is safe

Mengingat pandemi adalah krisis kesehatan global, maka perlindungan menyeluruh bagi seluruh warga sangat menentukan keselamatan bersama, demikian pula di Indonesia. Jika mereka yang telah divaksin mendapatkan kesempatan untuk booster sementara masih banyak warga belum divaksin sama sekali, penularan Covid-19 masih sangat mengancam. Pemerintah harus memastikan semua orang mendapatkan perlindungan melalui vaksinasi dosis 1 dan 2, sebelum booster diberikan. “Ingat, no one is safe until everyone is safe,” ucapnya.

Rencana pemerintah memberikan vaksin booster berbayar bagi mereka yang bukan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) juga akan menghambat capaian vaksinasi dan tujuan peningkatan kekebalan penduduk. Padahal, konstitusi, UU Kesehatan, UU Wabah Penyakit Menular, dan UU Kekarantinaan Kesehatan, telah memandatkan pemerintah untuk memberikan akses terhadap layanan kesehatan, termasuk vaksinasi yang setara. 

“Skema vaksin berbayar hanya menguntungkan mereka yang memiliki kemampuan membeli vaksin sedangkan masyarakat miskin semakin sulit mendapatkan vaksin,” kata Agus Sarwono dari Transparency International Indonesia yang juga tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan. 

Oleh karena itu, dua puluh sembilan organisasi yang tergabung di dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan telah mengirimkan surat kepada Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO), Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus. Surat itu untuk meminta WHO memberikan saran kepada Pemerintah Indonesia agar segera menunda rencana pemberian vaksin booster pada 12 Januari 2022 sebelum vaksinasi dosis primer diberikan kepada seluruh target sasaran vaksinasi. Koalisi juga mendesak agar vaksinasi diberikan gratis kepada semua warga. Sebab, vaksin adalah barang publik yang tidak boleh diperjualbelikan di masa krisis.

Vaksin yang ada saat ini didapat secara gratis dari kerja sama bilateral antar negara dan kerja sama multilateral, serta pembelian langsung yang menggunakan dana APBN. Dengan begitu, pemerintah seharusnya tidak boleh memperjualbelikan vaksin Covid-19 di Indonesia.

Bersamaan dengan surat kami kepada Badan Kesehatan Dunia (WHO), Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan mendesak pemerintah untuk: 

  1. Menunda pemberian vaksin booster hingga 70-80% dari populasi mendapatkan dosis 1 dan 2, terutama lansia dan kelompok rentan lainnya di seluruh wilayah secara proporsional sesuai tingkat infeksi di masyarakat.
  2. Memastikan perbaikan tata laksana infrastruktur pemberian vaksin dosis 1 dan 2 sehingga cakupan vaksin dosis penuh dapat tercapai tepat dan cepat.
  3. Memastikan ketersediaan vaksin secara merata dan proporsional di setiap daerah agar vaksin dapat mudah diakses oleh semua.
  4. Membatalkan rencana vaksin berbayar dan memberikan vaksin booster kepada seluruh warga secara gratis.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan terdiri dari:

Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas(Pusako), Centre for Economic and Law Studies (CELIOS), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan(PSHK), Koalisi Bersihkan Indonesia, LBH Masyarakat, Covid Survivor Indonesia (CSI), SERBUK Indonesia, Hakasasi.id, Indonesia Corruption Watch(ICW), Indonesia Global Justice(IGJ), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia(YLBHI), Serikat Pengajar HAM Indonesia(SEPAHAM Indonesia), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat(ELSAM), islambergerak.com, Kurawal Foundation, Lokataru Foundation, Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar, Nalar.tv, Perhimpunan Pendidikan Demokrasi(P2D), Yayasan Perlindungan Insani Indonesia(YPII), LaporCovid-19, RUJAK Centre for Urban Studies, Salam Institute, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan(KontraS), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara(AMAN), Forum Bantuan Hukum Untuk Kesetaraan Indonesia(FBUHK), LBH Jakarta, Trade Union Rights Centre(TURC), Transparency International Indonesia.

Rilis Pers – Menjatuhkan Pidana Mati adalah Tindakan yang Keliru: Tinjauan & Rekomendasi Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) Dalam Perkara Okonkwo Kingsley

Okonkwo Nonso Kingsley atau biasa dipanggil Kingsley, merupakan terpidana mati sejak tahun 2004. Kingsley menjadi korban perdagangan manusia karena dimanfaatkan untuk menjadi kurir yang membawa heroin dalam kapsul dengan metode telan, metode yang sangat berbahaya bagi seorang kurir karena kapsul tersebut bisa pecah dalam tubuh dan membunuh Kingsley. Merasa putus asa tidak mendapat keadilan sejak tahun 2004, Kingsley pun menyanggupi untuk membagikan sebuah nomor handphone kepada seorang bandar dengan imbalan ongkos membayar pengacara yang layak untuk upaya hukum Kingsley. Sayangnya atas peran tersebut Kingsley ditangkap oleh aparat penegak hukum.

Kingsley saat ini sedang ditahan di salah satu Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) di Jakarta, hal ini cukup membingungkan, sebab tempat dia diadili berada di pulau dan provinsi yang berbeda dari tempat dia ditahan saat ini, yakni di Meulaboh, Aceh Barat, jika dihitung secara matematis, tempat persidangan dan tempat Kingsley di tahan itu terpisah oleh jarak sejauh 2000km. Dalam sidang yang digelar dalam jaringan, Kingsley harus mengikuti persidangan dalam bahasa yang tidak dia kuasai. Petugas LAPAS yang menemani pun menekan Kingsley untuk menyetujui pertanyaan dan pernyataan yang dia tidak pahami. Kondisi ini diperparah dengan tidak ada pemberitahuan kepada perwakilan negara asal Kingsley, yakni Nigeria. Hal ini membuat petugas perwakilan konsuler kesulitan untuk mengunjungi Kingsley untuk memberikan bantuan yang dibutuhkan sejak proses penyidikan serta tidak ada penasihat hukum yang berinisiatif untuk menghubungi dan menemui Kingsley untuk menjelaskan perkara dan memberikan bantuan pada pembelaan Kingsley.

Pada tanggal 6 Desember 2021, Penuntut Umum menuntut Kingsley dengan tuntutan Pidana Mati. Tuntutan tersebut tidak mencerminkan prinsip peradilan yang adil (fair trial), dimana Terdakwa diberi posisi yang setara dengan Aparat Penegak Hukum lainnya dalam persidangan, dan hak-hak terdakwa dipenuhi secara maksimal sehingga Terdakwa berkesempatan untuk membela dirinya. LBHM dan Reprieve menyusun Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan untuk memberikan catatan mengenai hak-hak terdakwa yang dilanggar dalam persidangan. Berdasarkan pengamatan LBHM dan Reprieve selama dalam proses hukum yang dilalui oleh Kingsley mendapati jika Kingsley tidak mendapatkan hak atas kunjungan konsuler, tidak mendapatkan bantuan penerjemah, hak untuk menyampaikan keterangan secara bebas dari tekanan dan hak atas bantuan hukum.

Berikut ini adalah poin-poin rekomendasi yang disusun oleh LBHM dan Reprieve susun dalam Amicus Curiae untuk kasus Kingsley:

  1. Bahwa LBHM dan Reprieve sepakat bahwa setiap pelaku tindak pidana harus dihukum sesuai derajat kejahatannya, namun tidak jika hukuman tersebut berupa pencabutan hak hidup karena hal tersebut akan menutup semua kemungkinan kesalahan pemidanaan yang diketahui kemudian hari, dan menutup kemungkinan reparasi dari korban keselahan tersebut;
  2. Bahwa LBHM dan Reprieve memandang bahwa hukuman yang dijatuhkan harus proporsional dengan kenyataan pelaksanaan pemenuhan Hak Asasi Manusia mengingat peran terdakwa dalam perkara a quo adalah terbatas pada membagikan nomor telepon. Jika pengadilan menemukan Kingsley bersalah, maka patut mendapat hukuman secara proporsional tanpa melanggar hak untuk hidup dan dengan pemenuhan hak terdakwa secara maksimal;
  3. Bahwa LBHM dan Reprieve merekomendasikan dan berharap kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo untuk dapat mempertimbangkan catatan dan saran yang telah diberikan dengan menekankan pendapat dari ahli hukum pidana Indonesia R. Soesilo untuk tidak menjatuhkan pidana mati (pidana maksimal) untuk kedua kalinya.

Salam Hormat,
LBHM dan Reprieve

Dokumen amicus curiae dapat diunduh melalui pranala berikut:
Menjatuhkan Pidana Mati adalah Tindakan yang Keliru: Tinjauan dan Rekomendasi Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) Dalam Perkara Okonkwo Kingsley

Rilis Pers – Peluncuran Pokja P5 HAM bagi Penyandang Disabilitas Mental

Dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia ke-73 dan Hari Disabilitas Internasional, pada tanggal 13 Desember 2021, Direktorat Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM bekerja sama dengan Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) melaksanakan peluncuran Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-01.HA.04.02 Tahun 2021 tentang Kelompok Kerja (Pokja) Penghormatan, Pelindungan, Pemenuhan, Penegakan, dan Pemajuan Hak Asasi Manusia Bagi Penyandang Disabilitas Mental. Acara ini dihadiri secara offline oleh 64 orang dan secara online oleh 245 orang.

Sebagai pembuka, Mualimin Abdi, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia menjelaskan latar belakang pembentukan Pokja PDM. Ia menyampaikan bahwa PDM masih merupakan kelompok rentan (vulnerable groups) yang kerap mendapatkan stigma. Sebagai komitmen pemerintah untuk P5HAM bagi PDM, Direktorat Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM bekerja sama dengan Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menginisiasi pokja ini. Mengingat kompleksitas isu PDM, upaya yang komprehensif diperlukan agar PDM dapat kembali hidup secara inklusif di tengah-tengah masyarakat. Penanganan permasalahan PDM membutuhkan kerja sama dan koordinasi lintas lembaga dan kementerian, serta peran serta masyarakat, ujar Mualimin Abdi

“Hal lain yang diperlukan dalam Pokja yaitu untuk mendeklarasikan komitmen Pemerintah dalam upaya Penanganan dan Pemenuhan HAM PDM, mendiskusikan permasalahan hukum dan HAM yang dialami oleh PDM khususnya di panti-panti rehabilitasi sosial yang menjadi fokus kerja awal Kelompok Kerja,” terang Mualimin Abdi.

Setelah kata sambutan, acara peluncuran dilanjutkan dengan keynote speech dari Eddy O.S Hiariej, Wakil Menteri Hukum dan HAM, yang menegaskan peran pemerintah dalam melindungi PDM dari tindak kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi di panti.

“Peraturan yang jelas dibutuhkan mulai dari syarat perizinan, standar layanan panti, aturan ketat mengenai sikap petugas terhadap penghuni panti, pengawasan, evaluasi, sanksi bagi panti-panti yang melanggar, layanan kesehatan, mekanisme pengaduan, pelatihan keterampilan dan lain sebagainya,” terang Eddy O.S. Hariej. Selanjutnya disampaikan bahwa Upaya yang komperhensif diperlukan sehingga PDM yang sebelumnya terkurung bisa kembali hidup secara inklusif di tengah-tengah masyarakat dan merupakan permasalahan yang kompleks membutuhkan kerja sama dan koordinasi lintas lembaga dan kementerian serta pemerintah daerah. Pemaparan tersebut langsung disambut dengan peluncuran secara simbolik dengan video bumper yang menampilkan secara singkat foto-foto dokumentasi kegiatan Pokja.

Setelah peluncuran, ungkapan apresiasi diberikan oleh Wakil Duta Besar Australia, Steve Scott, yang mengapresiasi pembentukan Pokja ini karena menjadi cerminan komitmen Indonesia dalam mengarusutamakan hak penyandang disabilitas. Ia juga menyampaikan, “Australia siap untuk kolaborasi lanjutan yang mendukung implementasi kebijakan disabiitas di Indonesia.”

Apresiasi dan dukungan juga disampaikan oleh Kantor Staf Kepresidenan Republik Indonesia (KSP) sebagai salah satu pihak yang juga mengawal pembentukan Pokja ini dari awal. Mewakili Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan dan Hak Asasi Manusia Strategis, menyampaikan, “Inklusi harus kita tingkatkan terus, persepsi terhadap penyandang disabilitas mental. Permasalahan yang kompleks harus melibatkan pemerintah lintas sektor untuk menjawab permasalah yang kompleks, yang mana Pokja harus bekerja sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.”

Kegiatan peluncuran kemudian dilanjutkan oleh diskusi panel yang menghadirkan empat orang pembicara dan dua orang penanggap. Diskusi panel dipandu oleh Sonya Hellen Sinombor, Jurnalis Kompas.

Sebagai pembicara pertama, Timbul Sinaga, Direktur Instrumen HAM, Kementerian Hukum dan HAM, menjelaskan bahwa pekerjaan pertama Pokja adalah menginformasikan terbentuknya Pokja sehingga setiap pemangku kepentingan bersiap-siap menyelaraskan kerjanya dengan visi-misi Pokja. Ia berkata, “Langsung kerja dengan buat surat ke gubernur dan bupati serta pengurus panti yang berisi bahwa Pokja sudah terbentuk.”

Penjelasan ini dilanjutkan oleh penerangan dari Emma Widianti, Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas, Kementerian Sosial. Ia menjelaskan, “Dengan adanya Pokja mampu mendorong pemenuhan HAM bagi PDM (Penyandang Disabilitas Mental), dengan adanya perbaikan sistim terdekat dengan PDM”.

Pembicara berikutnya datang dari Kementerian Kesehatan, yakni Celestinus Eigya Munthe, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA. Ia menerangkan, “Ini merupakan suatu komitmen penting dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia, perlu kita sosialisasikan ke masyarakat sehingga penanganan kejiwaan harus mendapatkan dukungan dari masyarakat”.

Pembicara terakhir datang dari perwakilan Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD), yakni Yeni Rosa Damayanti, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat. Ia menerangkan, “Yang menjadi korban kekerasan justru PDM cuman saat kita menjadi korban tidak pernah dimuat di media, bahkan pemasungan itu paling banyak terjadi di dalam panti-panti. Tidak ada yang memonitor panti dan bahkan tidak ada mekanisme pengaduan.”

Paparan dari para narasumber direspon positif oleh Sunarman Sukamto, Tenaga Ahli Madya Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan dan HAM Strategis, Kantor Staf Presiden. Ia menjelaskan, “Pembentukan Pokja merupakan inisiator yang baik sebab selama ini belum ada pelindungan dan penghormatan HAM bagi penyandang disabilitas mental (PDM).”

Penanggap terakhir datang dari Muhammad Afif Abdul Qoyim, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, yang menjelaskan juga peran bantuan hukum di dalam Pokja ini. Ia menerangkan, “Panti yang sekarang tertutup sehingga ketika ada kekerasan tidak ada pengawasan, mirip seperti tindakan penyiksaan. Butuh akses bantuan hukum bagi penghuni yang ada di dalam.”

Acara peluncuran ditutup pada jam 17.00 WIB. Para hadirin yang terdiri dari perwakilan kementerian, lembaga, kantor wilayah, dinas, dan organisasi masyarakat sipil sepakat untuk mengawal kerja Pokja dan menanti perubahan yang signifikan terhadap penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM bagi PDM di Indonesia.

Dokumen Kelompok Kerja (Pokja) P5 HAM dapat diunduh pada link berikut:
Keputusan Menteri (Kepmen) Hukum dan HAM, Nomor 4 Tahun 2021

Rilis Pers Bersama:
LBH Masyarakat (LBHM), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dan Kementerian Hukum dan HAM

Rilis Pers – Tuntutan Pidana Mati Koruptor: Melenceng dari Pemberian Efek Jera dan Menghambat Pemenuhan Keadilan Korban

Terdakwa tindak pidana korupsi dalam perkara ASABRI dituntut dengan pidana mati oleh Kejaksaan Agung. Ia diduga menikmati hasil kejahatan sebesar Rp 12,6 triliun dari total kerugian keuangan negara sebanyak Rp 22,7 triliun. Dari segi jumlah korupsi, perkara ini memang terbilang cukup besar, namun permasalahannya: apakah hukuman mati efektif untuk memberikan efek jera kepada pelaku?

Penerapan tuntutan pidana mati dalam perkara korupsi sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Jauh sebelum ini, tepatnya pada tahun 2006, Korps Adhyaksa juga pernah menuntut mati terdakwa pembobol Bank BNI, Dicky Iskandar Dinata. Saat itu, majelis hakim menolak tuntutan tersebut dengan alasan pasal yang digunakan jaksa penuntut umum tidak ada dalam dakwaan. Sebab, secara hukum, majelis hakim bukan berpegang pada tuntutan, akan tetapi pasal-pasal yang tertera dalam surat dakwaan.

Penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dalam perkara ini sangat terlihat masih berorientasi pada pelaku semata. Padahal, esensi pemidanaan modern harus turut mempertimbangkan keadilan bagi korban kejahatan. Maka dari itu, tuntutan pidana mati ini menihilkan kerugian korban untuk mendapatkan pemulihan, baik melalui mekanisme ganti rugi atau pengembalian uang atas perkara korupsi di ASABRI.

Skema pemulihan kerugian korban sangat panjang, berliku dan banyak hambatan. Hal ini bisa dipengaruhi karena minimnya regulasi, rendahnya kapasitas aparat penegak hukum, dan skema pengembalian aset yang juga tidak transparan. Di tengah sengkarut dan ketidakmampuan untuk memaksimalkan upaya restorative jutice / pemulihan korban, Kejaksaan justru menyuguhkan tuntutan pidana mati dalam perkara ASABRI sebagai pencapaian agenda pemberantasan korupsi yang diklaim berpihak pada korban. Faktanya, korban tindak pidana korupsi hanya dijadikan bantalan dalam melegitimasi tuntutan pidana mati yang belum tentu dapat menimbulkan efek jera kepada pelaku dan tidak berperspektif pada pemulihan korban.

Sudah sepatutnya Kejaksaan Agung memaksimalkan upaya pemulihan dalam bentuk pengembalian kerugian negara dari tindak pidana korupsi. Sebab, jika dilihat dari data tren vonis korupsi yang dilansir oleh ICW, pada tahun 2020 Kejaksaan menyidangkan perkara korupsi dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 56,7 triliun, akan tetapi uang pengganti yang dikabulkan oleh majelis hakim hanya berkisar Rp 19,6 triliun. Dengan sederhana masyarakat dapat memahami bahwa pemulihan kerugian keuangan negara belum tuntas dikerjakan oleh Kejaksaan Agung.

Atas uraian di atas, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak agar:

  • Majelis Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang memeriksa dan mengadili kasus ASABRI, menolak tuntutan pidana mati yang diajukan tim Kejaksaan dan memberikan vonis maksimal seumur hidup kepada terdakwa;
  • Kejaksaan Agung memaksimalkan upaya perampasan aset dari perkara tindak pidana korupsi ASABRI;
  • Kejaksaan Agung melakukan pemulihan terhadap korban tindak pidana korupsi dalam perkara ASABRI.

RIlis pers bersama LBHM & ICW

Rilis Pers – Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) Untuk Yorita Sari, Perempuan Korban Peredaran Gelap Narkotika

Pada 30 November 2021, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menyerahkan amicus curiae untuk Yorita Sari ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Perkara dengan nomor: 569/Pid.Sus/2021/PN. JKT. BRT ini dalam agenda penuntutan pada 17 November 2021 lalu, dituntut oleh jaksa penuntut umum dengan pidana mati. Melihat barang bukti yang berjumlah 3.7 kg akan mudah menjeratnya dengan pidana mati berdasarkan ketentuan Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Namun ada yang gagal dilihat oleh penegak hukum dalam kasus Yorita Sari dan keterlibatannya dalam tindak pidana narkotika. Kegagalan ini adalah kesalahan berulang yang seringkali dilakukan oleh penegak hukum, bahkan menjadi pola dalam penangkapan kasus tindak pidana narkotika. Berikut catatan LBHM:

  1. Menghukum Yorita Sari dengan Pidana Mati Tidak Memutus Rantai Peredaran Gelap Narkotika
    Posisi Yorita Sari perlu dilihat sebagai korban, yakni rantai yang berposisi paling rendah tapi memiliki resiko yang paling tinggi. Yorita Sari diperlakukan bak boneka sebagai perantara yang dimanfaatkan oleh sindikat. Para penegak hukum seringkali berfokus pada menghukum rantai-rantai kecil seperti Yorita Sari daripada membongkar jaringan narkotika yang lebih besar. Di persidangan Yorita Sari bersedia untuk memberikan informasi mengenai jaringan yang merekrutnya, tapi keterangan ini sama sekali tidak dipertimbangkan. Bahkan informasi ini seakan sengaja tidak ditindaklanjuti.
  2. Perempuan dengan Beban Ganda Rentan Terlibat dalam Jerat Sindikat Narkotika
    Yorita Sari adalah seorang perempuan berumur 50 tahun dan orang tua tunggal untuk dua orang anaknya. Yorita Sari sebagai satu-satunya orang tua untuk anak-anaknya dihadapkan dengan masalah sulit ketika harus diputus kontrak oleh perusahaan tempatnya bekerja akibat Covid-19. Dia akan bekerja apapun untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Tidak jarang menempuh jalan yang instan seringkali menggoda pikirannya ketika lelah mencari nafkah. Di samping itu, Yorita Sari juga harus bertanggung jawab atas pengobatan adiknya yang menderita gagal ginjal. Sementara usia Yorita Sari yang tidak muda dan pendidikannya yang rendah, membuatnya sulitnya mendapatkan akses pekerjaan yang layak dan gaji yang memadai. Kondisi ini rentan sekali dimanfaatkan oleh sindikat narkotika dengan disertai bujukan rayuan atau imbalan besar.
  3. Paradigma War on Drugs Menyebabkan Pendekatan yang Punitif
    Hukum narkotika Indonesia yang mengadopsi paradigma war on drugs mendorong negara untuk keras terhadap kurir narkotika, yang akhirnya memberikan pidana berat kepada kurir narkotika dengan pidana maksinal yakni pidana mati. Dalam perkara a quo, tuntutan pidana mati oleh Penuntut Umum terhadap Yosita Sari tidak bisa lepas dari pengaruh paradigma war on drugs. Pendekatan yang punitif ini telah mengesampingkan kerentanan perempuan, khususnya perempuan sebagai kurir narkotika.

LBHM berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan hal-hal berikut dalam memutus perkara Yorita Sari:

  1. Mempertimbangkan kondisi Yosita Sari sebagai perempuan yang rentan akan jerat sindikat narkotika dan pidana mati;
  2. Mempertimbangkan perbuatan Yosita Sari sebagai dampak dari beban ganda yang ditanggungnya;
  3. Mempertimbangkan posisi Yorita Sari hanyalah sebagai rantai paling kecil dari jaringan sindikat narkotika sehingga tidak layak dipidana mati;
  4. Mempertimbangkan dampak paradigma perang terhadap narkotika (war on drugs) dalam kasus perempuan kurir narkotika;
  5. Memutus Yorita Sari dengan pidana seringan-ringannya.

Dokumen amicus curiae dapat diunduh melalui pranala berikut:
Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) Untuk Yorita Sari, Perempuan Korban Peredaran Gelap Narkotika

Rilis Pers – REKAYASA KASUS NARKOTIKA: ANGGOTA DPRD PAPUA AJUKAN PRA PERADILAN

Senin, 27 September 2021, seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua, Thomas Sondegau (Thomas) ditangkap oleh anggota Direktorat Reserse Narkotika (Ditresnarkoba) Polda Metro Jaya karena diduga menyalahgunakan narkotika. Dari penangkapan tersebut, ditemukan 1 (satu) butir ekstasi dari saku celana Thomas, padahal Thomas menyatakan tidak pernah mengetahui apalagi menggunakan obat tersebut. Atas penangkapan tersebut, Thomas kini sedang menjalani rehabilitasi inap di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur berdasarkan permohonan yang diajukan oleh Ditresnarkoba Polda Metro Jaya.

Dalam proses penanganan perkara Thomas tersebut, LBH Masyarakat (LBHM) dan Kantor Hukum Haris Azhar & Partner (HAP) selaku Tim Kuasa Hukum Thomas melihat ada sejumlah kejanggalan yang berakibat pada tercederainya hak-hak Thomas. Kasus Thomas juga dilihat sebagai salah satu bentuk kriminalisasi terhadap seseorang dengan melanggengkan praktik stigma dan diskriminasi terhadap penggunaan narkotika.

Pertama, penangkapan yang dilakukan terhadap Thomas menyalahi proses yang diatur dalam KUHAP. Dalam penangkapan, Thomas tidak diperlihatkan Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penggeledahan. Hal ini menunjukkan indikasi adanya praktik penjebakan yang dilakukan pihak kepolisian dengan memanfaatkan pihak ketiga untuk melakukan jebakan dalam penangkapan Thomas;

Kedua, proses penahanan dilakukan secara sewenang-wenang karena tidak ada surat penahanan yang ditunjukkan kepada Thomas dan kepada keluarga Thomas. Pada proses penahanan, Thomas juga tidak diperkenankan untuk didampingi oleh tim kuasa hukumnya;

Ketiga, proses penetapan tersangka terhadap Thomas tidak sesuai dengan prosedur hukum acara pidana. Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, setidaknya harus didasari 2 (dua) alat bukti. Dalam proses penanganan perkara Thomas, bukti yang ditemukan menunjukkan keterangan yang berbeda;

Keempat, adanya dugaan penjebakan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian dengan menggunakan perempuan berinisial R sebagai alat untuk merekayasa kasus Thomas, seolah-olah Thomas memiliki dan menyalahgunakan narkotika. Dugaan penjebakaan tersebut semakin kuat karena perempuan yang ditangkap bersama Thomas tidak dilakukan penahanan. Padahal saat dilakukan pemeriksaan oleh pihak Kepolisian, perempuan tersebut dinyatakan positif (+) menggunakan narkotika;

Kelima, hasil tes laboratorium yang dilakukan oleh RSKO dan hasil tes laboratorium yang dilakukan oleh BNN Provinsi DKI Jakarta menyatakan Thomas negatif (-) menggunakan narkotika, berbeda dengan hasil penyidikan Kepolisian;

Keenam, terdapat intervensi dari pihak Kejaksaan kepada keluarga Thomas untuk meminta Thomas mencabut surat kuasa kepada salah seorang tim kuasa hukum. Hal ini menunjukan pihak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta yang menangani perkara Thomas tidak menjalankan tugas dengan professional, bahkan mengingkari doktrin Tri Krama Adhyaksa.

Terkait segala dugaan tersebut, Tim Kuasa Hukum Thomas kemudian mendaftarkan permohonan pra peradilan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Adapun persidangan pertama pra peradilan tersebut akan diselenggarakan pada tanggal 29 November 2021. Upaya pra peradilan tersebut diajukan sebagai sarana koreksi atas segala tindakan yang dilakukan pihak Kepolisian dan Kejaksaan dalam menangani perkara Thomas, agar penegakan hukum dalam tindak pidana narkotika tidak menjadi sarana rekayasa kasus yang terus berulang.

Praktik penegakan hukum yang sarat dengan rekayasa dalam tindak pidana narkotika sesungguhnya telah lama disaksikan komunitas pengguna Napza di seluruh Indonesia. Peristiwa yang diduga kembali terjadi kepada Thomas ini seakan menjadi bukti sahih atas pengalaman kolektif ini. Adapun rekayasa kasus narkotika yang menyita perhatian publik karena dianulir oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk dibebaskan pada tahap kasasi, seperti kasus Iwan dan Benny, maupun Ket San. Kasus-kasus tersebut dianulir karena terbukti terdapat perekayasaan fakta atau konstruksi hukum sejak ditangani oleh pihak kepolisian.

Berdasarkan hal tersebut di atas, LBHM dan HAP selaku Tim Kuasa Hukum Thomas mendesak:

Hakim yang memeriksa permohonan pra peradilan yang diajukan Thomas agar mengadili perkara ini secara independen, bijaksana, dan menjatuhkan putusan dengan mendasarkan pada kebenaran materil yang terungkap dalam persidangan;

Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus Thomas secara menyeluruh dan memberi hukuman pada Anggota Kepolisian yang terbukti melanggar prosedur;

Jaksa Agung Republik Indonesia untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus Thomas secara menyeluruh dan memberi hukuman pada Anggota Kejaksaan yang terbukti melanggar prosedur;

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, dan Ombudsman Republik Indonesia melakukan investigasi mandiri terhadap kasus ini untuk memperoleh lebih banyak data, serta memberikan rekomendasi kebijakan agar hal serupa tidak terjadi lagi; dan

Pemerintah dan Parlemen untuk membuat peraturan yang mendekriminalisasi pemakaian, penguasaan, dan pembelian narkotika dalam jumlah kecil agar mereduksi masifnya pendekatan hukum pidana dan perekayasaan kasus terhadap permasalahan narkotika.

Jakarta, 25 November 2021

Tim Kuasa Hukum Thomas Sondegau:
LBH Masyarakat (LBHM) & Kantor Hukum Haris Azhar dan Partner (HAP)

Jurus \’Mas Menteri\’ Tangkal Kekerasan Seksual

Nampaknya, Nadiem Makarim, akrab disapa Mas Menteri, menjadi menteri yang paling sibuk menghadapi pro kontra publik saat ini. Pasalnya, baru-baru ini beliau menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayan Riset dan Teknologi RI  Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek 30/2021) atau dikenal di masyarakat dengan sebutan PPKS. Kita tinggalkan dahulu pro dan kontra yang terjadi. Tentu publik juga perlu tahu, mengapa Permendikbudristek 30/2021 ini begitu mendesak untuk dikeluarkan oleh, Mas Menteri?

Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2020, pada kanal lembaga negara tahun 2015-2020, menyebutkan, sebanyak 27 persen kekerasan seksual terjadi disemua jenjang pendidikan tinggi. Sementara itu, berdasarkan 174 testimoni dari 79 kampus di 29 kota, sebanyak 89 persen perempuan dan 4 persen laki-laki menjadi korban kekerasan seksual. Sebanyak 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen dari korban tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. Pada banyak kesempatan, Mas Menteri kerap mengacu pada data dan fakta di atas sebagai dasar keluarnya peraturan tersebut. Yang secara objektif, menurut saya keputusannya merupakan satu langkah kongkret dan tepat untuk mengatasi fenomena kekerasan seksual di perguruan tinggi kita. Jika dibaca dengan seksama, salah satu fokus utama Permendikbudristek ini adalah untuk melindungi kepentingan korban. Ya korban! Dari data di atas, 63 persen korban tidak melaporkan kasusnya tentu perlu mendapatkan perhatian serius. Banyak faktor disinyalir menjadi penghambatnya, seperti sistem hukum yang belum memihak korban, victim blaming, persekusi, eksploitasi data pribadi semisal kasusnya  diliput media massa yang membuat kehidupan pribadinya jadi konsumsi publik, hingga anggapan masyarakat (yang nampaknya) permisif kepada pelaku, membuat para korban memilih untuk diam. Belum lagi, dibanyak kasus, korban yang melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya malahan berujung menjadi terlapor atau tersangka pelaporan kasus pencemaran nama atau UU ITE.

Momentum untuk Mendengar Korban

World Health Organization (WHO) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai “any sexual act, attempt to obtain a sexual act, unwanted sexual comments or advances, or acts to traffic, or otherwise directed, against a person’s sexuality using coercion, by any person regardless of their relationship to the victim, in any setting, including but not limited to home and work”.  Terkait dengan inisiatif-inisiatif pembahasan terkait kekerasan seksual, lanjut WHO, justru terfokus kepada kriminalisasi perbuatan kekerasan, melupakan persoalan yang lebih penting dan mendesak yaitu mengenai hak korban. Korban sebagai pihak yang paling menderita seolah termarjinalisasi. Dampak kekerasan seksual bagi korban tentunya tidak bisa disepelekan. Dampaknya tidak hanya pada kesehatan fisik saja, tetapi juga berdampak pada mental dan sosial korban. Kekerasan seksual juga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada korban, baik secara fisiologis, emosional, maupun psikologis. Dampak secara fisiologis berupa luka fisik, kesulitan tidur dan makan, kehamilan yang tidak diinginkan, tertular penyakit seksual, dan lain-lain. Selanjutnya, dampak secara emosional berupa perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, perasaan malu, penyangkalan, dan lain-lain. Selanjutnya, dampak secara psikologis berupa post-traumatic stress disorder (PTSD), depresi, kecemasan, penurunan self-esteem, simtom obsesif-kompulsif, dan lain-lain.  Korban kekerasan seksual juga dapat mengalami berbagai masalah interpersonal, seperti ketidakpercayaan pada orang lain, kesulitan dalam hubungan, mengisolasi dan mengasingkan diri sendiri, serta ketakutan terhadap laki-laki.  Selain itu, korban yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat kemungkinan memiliki dorongan yang kuat untuk bunuh diri. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Kilpatrick dan kolega (1985) yang menemukan bahwa 1 dari 5 korban kekerasan seksual pernah melakukan percobaan bunuh diri. Jumlah tersebut lebih besar daripada jumlah percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh korban dari tindak kejahatan lain.

Dengan melihat besarnya dampak bagi keselamatan jiwa korban, Permendikbudristek 30/2021 ini merupakan langkah positif yang tentunya patut mendapatkan apresiasi. Dalam peraturan yang ditandatangani Mas Menteri ini telah mengatur beberapa hal penting bagi korban. Pertama, adanya upaya pencegahan untuk mencegah potensi terjadinya kekerasan seksual dan juga adanya upaya serius untuk memutus mata rantai kekerasan seksual yang sudah terjadi selama ini. Kedua, aspek penanganan kekerasan seksual turut juga diakomodasi dalam peraturan ini. Di mana, dalam hal terjadinya kekerasan seksual, perguruan tinggi wajib untuk melakukan perlindungan, pendampingan dan pemulihan bagi korbannya. Hal-hal tersebut tentunya penting. Terlebih, Permendikbudristek 30/2021 juga memberikan ancaman sanksi bagi si pelaku kekerasan seksual itu sendiri.  Dalam upaya mewujudkan program “Kampus Merdeka”, rasanya Mas Menteri berhasil mewujudkan kemerdekaan bagi banyak peserta didik dari rasa takut atas kekerasan seksual di perguruan tinggi saat ini. Kemerdekaan yang tentunya menyelamatkan jiwa dan masa depan generasi mendatang. Bravo, Mas Menteri!

Tulisan opini ini merupakan respon sekaligus dukungan atas diterbitkannya Peraturan Anti Kekerasan Seksual di lingkungan pendidikan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Riset Teknologi. Tulisan ini ditulis oleh Dominggus Christian – Manajer Pengetahuan dan Jaringan.

Sumber:

  1. World Health Organization, World Report on Violence and Health (UN World Health Organization 2002).
  2. Survei Kemendikbud Tahun 2020
  3. Tsai, M., & Wagner, N. (1978). Therapy group for women sexually molessed as children. Archives of Sexual Behavior, 7, 417-429.
  4. Sulistyaningsih, E., & Faturochman. (2009). Dampak sosial psikologis perkosaan. Buletin Psikologi, 10(1), 9-23.
  5. Permendikburistek REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2021 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI
  6. https://www.kominfo.go.id/content/detail/38072/tetaskan-solusi-cegah-kekerasan-seksual-di-perguruan-tinggi/0/berita
  7. https://www.nsvrc.org/statistics-about-sexual-violence.pdf 
  8. http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jpkk66bc3a3824full.pdf 
  9. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211111093436-20-719583/survei-nadiem-77-persen-dosen-akui-ada-kekerasan-seksual-di-kampus 

Informasi Bantuan Hukum LBHM

Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia termasuk Indonesia selama satu setengah tahun lebih ini membuat dampak dan perubahan yang signifikan bagi elemen kehidupan sosial masyarakat, salah satunya penyedia layanan jasa seperti kami (LBHM).

Semenjak pandemi itu kami pun merubah skema layanan konsultasi dan bantuan hukum yang sehari-hari kami lakukan dari luring (offline) menjadi daring (online). Melihat situasi tren penularan virus yang sudah menurun dan dirasa sudah cukup kondusif. Per 18 November 2021, kami akan kembali memberlakukan layanan konsultasi dan bantuan hukum secara luring (tatap muka).

Masyarakat dapat mengakses layanan dan konsultasi bantuan hukum kami setiap hari Senin sampai Kamis (10.00 – 16.00 WIB), bertempat di Kantor LBHM, Jl. Tebet Timur Dalam VI E No.3, RT.1/RW.6, Tebet Tim., Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12820

Informasi lengkap dapat dilihat pada tautan berikut:
Pengumuman Layanan Konsultasi dan Bantuan Hukum LBHM

Rilis Pers – Audiensi Koalisi Pemantau Peradilan ke Komisi Yudisial

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah memutuskan 7 nama yang terpilih menjadi Hakim Agung pada 21 September 2021 lalu. Adapun 7 nama yang terpilih  mengisi berbagai formasi, diantaranya yaitu 5 nama pada Kamar Pidana, 1 nama pada Kamar Perdata, dan 1 nama pada Kamar Militer.

Dari hasil pemantauan yang telah dilakukan oleh Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) selama proses seleksi di Komisi Yudisial (KY) dan proses uji kelayakan dan kepatutan di DPRI RI, terdapat beberapa catatan dan evaluasi mengenai kepatutan calon terkait dengan integritas, komitmen dalam pemberantasan korupsi, visi misi, serta komitmen dalam mendukung reformasi peradilan yaitu:

A. Transparansi dan Akuntabilitas Pelaksanaan Seleksi Calon Hakim Agung

  1. Beberapa CHA yang lolos ke tahap wawancara diduga memiliki rekam jejak bermasalah, mulai dari jumlah harta kekayaan yang tidak wajar hingga dugaan pelanggaran integritas dan profesionalitas.
  2. Pintu untuk memberikan masukan dari masyarakat tidak dibuka secara luas oleh Komisi Yudisial. Sebagai contoh, Kantor Penghubung Komisi Yudisial tidak cukup aktif dalam menjaring masukan.
  3. Panelis dan Komisioner Komisi Yudisial memberikan kesan intimidatif saat melemparkan pertanyaan, tetapi justru tidak terdapat pendalaman yang berarti secara substansi.

Banyak pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Pansel memiliki nuansa yang tidak bermanfaat bagi seleksi CHA dan hanya menunjukkan kegarangan Pansel terhadap CHA. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak punya korelasi dengan pengetahuan dan keahlian seorang CHA. Dalam jangka panjang, tipikal wawancara seperti ini akan mengakibatkan calon-calon terbaik enggan mendaftar menjadi CHA.

  1. Proses pendalaman profil berupa klarifikasi rekam jejak CHA dalam wawancara CHA sempat dilakukan secara tertutup dengan menonaktifkan suara (mute) pada saat live Youtube berlangsung, namun pada hari kedua mekanisme ini diubah dan dapat disaksikan secara daring oleh publik. Hal ini menunjukkan bahwa tahap wawancara tidak sepenuhnya dilakukan dengan transparan, akuntabel, dan partisipatif. Hal ini tidak sejalan dengan UU Komisi Yudisial dan Peraturan Komisi Yudisial No. 2 Tahun 2016 tentang Seleksi Calon Hakim Agung yang mengatur bahwa “seleksi calon hakim agung dilaksanakan secara transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel.” Dalam Peraturan KY ini, diatur dalam Pasal 21 ayat (6) bahwa wawancara dilakukan secara tertutup dalam hal terdapat informasi baru terkait kesusilaan.
  2. Setelah proses wawancara yang kurang transparan, akuntabel dan partisipatif, proses pengumuman CHA yang lolos ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak dipublikasikan oleh Komisi Yudisial.

B. Kebutuhan Mahkamah Agung atas Hakim Agung dan Kaitannya dengan Pelaksanaan Sistem Kamar di Mahkamah Agung

1. Keadaaan Perkara dan Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung
Persyaratan utama sistem kamar adalah tersedianya hakim agung yang memiliki spesialisasi atau keahlian yang sesuai dengan kebutuhan penanganan perkara pada Kamar. Saat ini beban perkara di Mahkamah Agung masih tergolong tinggi.

Jumlah perkara yang ditangani Mahkamah Agung tidak sedikit jumlahnya. Salah satu cara untuk meminimalisir banyaknya perkara berada di Mahkamah Agung adalah mempercepat proses penanganan perkara melalui jumlah hakim agung yang mendukung pada setiap kamar. Jumlah beban perkara seharusnya berbanding lurus dengan jumlah hakim agung pada kamar. Namun, saat ini jumlah perkara belum seimbang dengan jumlah hakim agung dan spesialisasinya pada kamar-kamar.

2. Mekanisme Penentuan Kebutuhan Pengisian Jabatan Hakim Agung

  • Parameter Kebutuhan Pengisian Jabatan Hakim Agung
    Undang-undang hanya mengatur pengisian jabatan untuk hakim agung yang akan pensiun tetapi tidak mengatur untuk pengisian dengan alasan hakim agung meninggal dunia atau kebutuhan Mahkamah Agung terkait penerapan sistem kamar. Secara ideal, KPP memandang parameter kebutuhan pengisian jabatan hakim agung harus melihat 3 (tiga) faktor, yaitu:
  1. Hakim agung yang akan memasuki usia pensiun dalam waktu dekat;
  2. Hakim agung yang meninggal dunia;
  3. Komposisi jumlah hakim agung dan jumlah beban perkara dalam setiap kamar.

Ketiga faktor tersebut akan menjadi valid sebagai ukuran pengisian jabatan hakim agung ketika diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait seleksi calon hakim agung serta menjadi pedoman Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan DPR yang terlibat dalam proses seleksi.

  • Pihak yang Berwenang Menentukan Kebutuhan Pengisian Jabatan Hakim Agung dan Menyatakan Diadakannya Seleksi Calon Hakim Agung
    Secara ideal, Mahkamah Agung seharusnya adalah pihak yang menentukan kebutuhan pengisian jabatan hakim agung. Hal ini didasari alasan Mahkamah Agung adalah rumah hakim agung dan seharusnya mengetahui kebutuhannya dalam menjaga kesatuan hukum.

    Meskipun Mahkamah Agung adalah pihak yang seharusnya berwenang menentukan kebutuhan, peran Komisi Yudisial tidak bisa dikesampingkan. Komisi Yudisial seharusnya ikut dalam menganalisis kebutuhan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial seharusnya berkoordinasi mengenai kebutuhan pengisian jabatan hakim agung dengan tetap mengacu pada parameter yang ada. Sebagai pintu awal seleksi, Komisi Yudisial pada dasarnya dapat memberikan masukan kepada Mahkamah Agung terkait kebutuhan pengisian jabatan hakim agung.

C. Rekomendasi

  1. Komisi Yudisial menyelenggarakan proses seleksi Calon Hakim Agung secara terbuka dan dapat diakses oleh publik secara tatap muka (offline) dan daring (online).
  2. Memilih Calon Hakim Agung yang memiliki profil:
    • CHA yang memiliki visi dan misi yang jelas sebagai Hakim Agung;
    • CHA yang tidak memiliki catatan integritas yang buruk;
    • CHA yang memiliki harta kekayaan yang wajar;
    • CHA yang memiliki pemahaman mumpuni mengenai hukum dan peradilan sesuai kamar perkara yang dipilih;
    • CHA yang berkomitmen untuk berperan aktif dalam reformasi peradilan khususnya di Mahkamah Agung;
  1. CHA yang memahami peran hakim dan pengadilan dalam pemenuhan HAM sesuai kedudukan pengadilan dalam konsep negara hukum; serta
  2. CHA yang memiliki keberpihakan pada kelompok rentan, yaitu perempuan, anak, masyarakat miskin dan kelompok minoritas, serta perlindungan lingkungan hidup.
  3. Komisi Yudisial sebaiknya terus mengupdate database calon hakim agung yang bisa dijaring ketika proses seleksi calon hakim agung akan dimulai.
  4. Dibutuhkan forum rutin antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk membahas seleksi calon hakim agung. Mulai dari membahas kebutuhan hakim agung, kondisi MA, sampai dimulainya pelaksanaan seleksi.

Koalisi Pemantau Peradilan:
TII, LeIP, IJRS, PBHI, LBH Masyarakat (LBHM), ICEL, ICW, YLBHI, PUSKAPA, KontraS, ELSAM, LBH Jakarta, PSHK, Imparsial, LBH Apik Jakarta, PILNET Indonesia.

Dokumen Kebijakan – Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021

Jaksa Agung baru-baru ini mengeluarkan sebuah pedoman yang mengatur tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.

Pedoman ini dimaksudkan sebagai acuan penututan umum dalam penyelsaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika dengan pendekatan restoratif justice. Selain itu pedoman ini bertujuan untuk mengoptimalisasi penyelesaian penanganagn perkara tindak pidana narkotika melalui rehablitasi.

Baca dokumennya lengkapnya pada tautan di bawah ini:
Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021

Hiring – Konsultan Video Jajak Pendapat ODP

Visual grafis menjadi salah satu medium kampanye yang dipakai untuk mendorong upaya-upaya advokasi serta mendapatkan empati dan dukungan dari publik terkait apa yang dikampanyekan. LBHM percaya jika semua orang dapat berkontribusi dalam memajukan HAM, salah satunya melalui bentuk Video.

LBHM saat ini sedang aktif mengkampanyekan hak-hak seorang disabilitas. khususnya Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) yang masih mengalami ragam diskriminasi dan stigma di kehidupan sosial. Berangkat dari hal tersebut, LBHM membuka kesempatan bagi teman-teman yang memiliki kemampuan dalam dunia sinematografi/videografi dan juga mempunyai kemampuan copywritting, serta memiliki pemahaman isu HAM (khususnya isu Kesehatan Jiwa) yang baik.

Jika, kalian memiliki semua kriteria seperti di atas, langsung aja segera daftarkan diri kalian atau tim kalian untuk menjadi Konsultan Pembuat Video. Untuk mendaftarkan diri silahkan teman-teman membaca kerangka acuan di bawah ini.

Unduh dokumennya di sini:
Pembuatan Video Jajak Pendapat tentang Orang dengan Disabilitas Psikososial

Surat Dukungan Publik Untuk Merri Utami

Merri Utami sudah memasuki usia pemenjaraan yang ke-20 tahun pada 31 Oktober 2021 yang lalu. Sudah 5 tahun permohonan grasi Merri Utami belum mendapatkan balasan sama sekali dari Presiden.

Pada momentum 20 tahun pemenjaraan Merri Utami, tim kuasa hukum (LBHM) bersama dengan anak dari Merri Utami, Devi Christa mendatangi Kantor Staf Presiden (KSP), untuk menyerahkan surat dukungan dari publik terkait jawaban atas grasi dari ibunya Devi Christa yakni Merri Utami. Surat dukungan ini juga dibuat untuk mendorong Presiden untuk segera memberikan jawaban dan mengabulkan permohonan grasi Merri Utami yang sudah diajukan sejak tahun 2016.

Selain surat dukungan yang sudah ditandatangani oleh lebih dari 100 organisasi masyarakat sipil, kami juga menyerahkan petisi dukungan yang sudah kami buat dan kumpulkan sejak tahun 2020. Setidaknya terdapat lebih dari 50.000 orang yang sudah menandatangani petisi dan sepakat untuk mendukung pemberian grasi terhadap Merri Utami. Momentum ini tidak hanya kami pakai untuk berdiplomasi dengan negara, kami juga mengekspresikannya lewat aksi simbolis dengan cara mimbar bebas, sampai dengan teatrikal sebagai bentuk ekspresi dan dukungan terhadap Ibu Merri Utami yang selama ini terampas hak-haknya.

Surat dukungan dapat teman-teman lihat dan unduh pada link berikut:

Surat Dukungan Publik Untuk Merri Utami

Rilis Pers – Buruk Rupa Pemerintah dalam Menanggulangi Kebakaran Lapas Tangerang kepada Keluarga Korban

Pada Rabu, 8 September 2021, dini hari, telah terjadi kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan kelas I Tangerang (Lapas Tangerang). Dalam peristiwa tersebut setidaknya telah memakan korban jiwa sejumlah 49 orang. Hampir satu bulan peristiwa tersebut terjadi, pemerintah telah melakukan tindakan pasca terbakarnya Lapas Tangerang, seperti pengidentifikasian para korban yang meninggal, pengobatan para korban yang terluka, penguburan korban yang meninggal dan pemberian sejumlah uang kepada keluarga korban yang meninggal.

Pasca terjadinya peristiwa kebakaran tersebut Tim Advokasi Korban Kebakaran (TAKK) yang terdiri dari LBH Masyarakat (LBHM), LBH Jakarta, Imparsial, dan LPBH NU Tangerang menginisiasi pembukaan posko pengaduan kepada para keluarga korban yang ingin menuntut pemerintah dihadapan hukum atas peristiwa kebakaran Lapas Tangerang. Setidaknya ada 9 pengadu yang membuat pengaduan kepada koalisi dan dari 9 pengadu tersebut terdapat 7 keluarga korban yang meminta pendampingan hukum kepada koalisi.

Para keluarga korban tersebut memberikan keterangan kepada koalisi terkait proses pengidentifikasiaan yang dilakukan pemerintah terhadap para korban kebakaran Lapas Tangerang. Dari keterangan keluarga korban tersebut terdapat setidaknya tujuh temuan yang ditemukan dari proses penanggulangan pasca kebakaran Lapas Tangerang yang disampaikan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas Ham).

Pertama, ketidakjelasan proses identifikasi tubuh korban meninggal. Bahwa proses identifikasi tubuh korban tidak jelas dan transparan. Bahkan, sampai terakhir korban meninggal dimakamkan tidak ada informasi yang akurat yang menunjukkan atas dasar apa jenazah korban bisa benar-benar teridentifikasi.
 
Kedua, ketidakterbukaan penyerahan jenazah korban meninggal. Bahwa pada saat penyerahan jenazah korban kepada keluarga, jenazah  dimasukan ke dalam peti yang telah ditutup rapat sehingga tidak memungkinkan untuk di buka sendiri oleh pihak keluarga. Ketika keluarga korban meminta untuk peti di buka agar mereka bisa melihat jenazah korban, alih-alih diizinkan melihat tubuh korban, pihak keluarga justru seolah-olah diberikan sugesti bahwa akan mengalami trauma jika melihat kondisi tubuh korban tersebut. Meskipun demikian, keluarga masih tetap ingin melihat jenazah korban, akan tetapi tetap tidak diizinkan dan pada akhrinya tetap tidak bisa melihat konidisi tubuh korban untuk yang terakhir kali.
 
Ketiga, ketidaklayakan peti jenazah korban. Bahwa berdasarkan keterangan keluarga korban yang mengambil jenazah korban, jenazah dimasukan ke dalam peti yang sudah tertulis nama masing-masing korban dengan ditempel kertas pada peti jenazah. Peti tersebut berbahan triplek biasa yang tidak layak untuk digunakan sebagai peti jenazah. Oleh karena itu, terdapat keluarga korban yang bahkan membeli sendiri peti jenazah agar bisa ditempatkan ke dalam peti yang layak.
 
Keempat, terdapat intimidasi saat penandatanganan dokumen-dokumen administrasi dan pengambilan jenazah korban. Bahwa pada saat penandatanganan dokumen-dokumen, lokasi penandatangan dan lokasi penempatan jenazah di lokasi berbeda. Lokasi jenazah di lantai satu, sedangkan penandatanganan di lantai dua. Keluarga korban kemudian dibawa lewat tangga ke lantai dua untuk masuk ke sebuah ruangan yang dirasa keluarga korban tidak layak untuk dijadikan tempat penandatanganan dokumen. Pada saat penandatanganan tersebut, keluarga korban diminta tanda tangan dengan tergesah-gesah dengan dikerumuni banyak orang.
 
Kelima, terdapat upaya pembungkaman agar keluarga korban tidak menuntut pihak manapun atas peristiwa kebakaran Lapas Tangerang. Pada saat penandatanganan dokumen-dokumen saat penyerahan jenazah korban dengan kondisi yang berindikasi intimidatif, terdapat surat pernyataan yang diberikan kepada keluarga korban untuk ditanda-tangani, yakni berisi pernyataan tidak akan ada tuntutan ke pihak lapas dan pihak lainnya di kemudian hari.

Keenam, tidak ada pendampingan psikologis yang berkelanjutan kepada keluarga korban pasca penyerahan jenazah korban. Bahwa kejadian kebakaran Lapas Tangerang menyisakan derita pilu yang tidak akan ada akhirnya kepada keluarga korban. Akan tetapi, pemerintah pasca penyerahan jenazah seolah lepas tangan dan tidak memberikan bantuan psikologis kepada keluarga korban yang setidaknya membutuhkan bantuan pengobatan dari trauma pasca kejadian kebakaran Lapas Tangerang.

Ketujuh, pemberian uang 30 juta oleh pemerintah sama sekali tidak membantu keluarga korban. Bahwa berdasakan keterangan keluarga korban pemerintah memberikan uang setidaknya sejumlah 30 juta. Uang tersebut dikatakan sebagai bentuk “uang tali kasih” dari pemerintah atas peristiwa kebakaran Lapas Tangerang. Alih-alih sebagai bentuk tali kasih atau bantuan kepada keluarga yang ditinggalkan, uang tersebut hanya habis untuk kepentingan penghiburan atau pendoan terhadap korban meninggal.

Ketujuh temuan tersebut menunjukan empat persoalan mendasar dalam proses penanggulangan pasca terjadinya peristiwa kebakaran Lapas Tangerang. Pertama, ketidakterbukaan informasi pengidentifikasian jenazah korban meninggal; kedua, ketidaklayakan pemulasaraan jenazah korban meninggal; ketiga, adanya penyalahgunaan keadaan saat proses penyerahan jenazah korban yang berdampak pada dugaan pelanggaran HAM yang dialami keluarga korban; keempat, ketiadaan pertanggungjawaban ganti kerugian yang diberikan kepada keluarga korban.

Disamping hal tersebut, komisioner Komnas Ham, Mohammad Choirul Anam juga menyampaikan penting memperhatihan pemulihan status korban meninggal untuk menghilangkan stigma narapidana yang melekat kepada korban yang meninggal. Karena seseorang yang menjalani proses peradilan pidana di lembaga pemasyarakatan untuk menjalani pembinaan dan setelah menjalani pembinaan tersebut akan keluar menjadi manusia seutuhnya. Namun demikian, dalam peristiwa kebakaran Lapas Tangerang, korban yang meninggal mengenyam status ” narapidana” tersebut sampai akhir hayat karena kelalaian yang disebabkan pemerintah. Oleh karena itu, penting juga memperhatikan pemulihan status korban yang meninggal.

Bahwa atas peristiwa dan temuan proses penanggulangan pasca kebakaran Lapas Tangerang tersebut setidaknya telah berdampak pada pengakuan, pengurangan, penikmatan dan penggunaan hak asasi keluarga korban sebagaimana juga telah dijamin dalam Pasal 28A, Pasal 28G ayat (1)) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 (Konstitusi RI) dan Pasal 17 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yakni, hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya, hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, dan hak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi.
 
Berdasarkan hal-hal di atas Tim Advokasi Korban Kebakaran (TAKK) menuntut Pemerintah dan meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk:

  1. Menuntut Pemerintah memulihkan status korban meninggal dengan memberikan amnesti massal terhadap korban meninggal.

2.  Menuntut Pemerintah beritikad baik untuk memberikan ganti kerugian yang layak sesuai dengan kebutuhan masing-masing keluarga korban;

3.  Meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran HAM atas peristiwa kebakaran Lapas Tangerang.

Tim Advokasi Korban Kebakaran (TAKK)
LBH Masyarakat (LBHM); IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights Monitor; LBH Jakarta; LPBH NAHDLATUL ULAMA TANGERANG

[Laporan Penelitian] Gambaran Disabilitas Psikososial di Indonesia: Pemetaan Isu-Isu Strategis

Pasca melakukan ratifikasi CRPD di tahun 2011, Indonesia menyikapi ratifikasi itu dengan serius, dimana Pemerintah Indonesia membentuk suatu perundang-undangan yang menjami hak penyandang disabilitas, hal ini dapat kita lihat sekarang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 atau dikenal dengan istilah UU Penyandang Disabilitas.

Pembentukan UU Penyandang Disabilitas ini merupakan sebuah bentuk tanggung jawab nyata dari negara terhadap kelompok disabilitas untuk menghormati Hak Asasi Manusianya. Namun, seiring berjalannya waktu, ternyata implementasi kebijakan ini masih belum mencakup semua kelompok disabilitas. Salah satu yang luput adalah kelompok Disabilitas Psikososial atau Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP).

Selama ini ODP masih mengalami diskriminasi dan stigma yang akhirnya menyebabkan terjadi kekangan hak dan halangan partisipasi yang dirasakan ODP, salah satunya dalam bidang hukum dan HAM. Selama ini masih terjadi perdebatan apakah ODP dapat bertanggung jawab secara pidana atau tidak, dalam satu penelitian disebutkan jika ODP
ODP tidak mungkin bertanggung jawab secara pidana–pendapat ini dilandaskana pada keberadaan pasal 44 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa seseorang tidak dipidana jika ‘jiwanya cacat’, karena dianggap tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Dalam penelitian ini kami ingin membalika stigmatisasi yang ditujukan kepada ODP. Secara garis besar HAM, ODP itu masih mempunyai hak, salah sataunya adalah hak atas kapasitas hukumnya. Upaya mendenied hak tersebut seudah termasuk dalam pelanggaran hak. Teman-teman dapat membaca laporan lengkap tentang ODP di bawah ini:

Versi Indonesia

Versi Inggris

Hiring – Konsultan Video LBHM

Visual grafis menjadi salah satu medium kampanye yang dipakai untuk mendorong upaya-upaya advokasi serta mendapatkan empati dan dukungan dari publik terkait apa yang dikampanyekan. LBHM percaya jika semua orang dapat berkontribusi dalam memajukan HAM, salah satunya melalui bentuk Video.

Berangkat dari hal tersebut, LBHM kembali membuka kesempatan bagi teman-teman yang memiliki kemampuan dalam dunia sinematografi/videografi dan juga mempunyai kemampuan copywritting, serta memiliki pemahaman isu HAM (khususnya isu Kesehatan Jiwa) yang baik. Jika, kalian memiliki semua kriteria seperti di atas, langsung aja segera daftarkan diri kalian atau tim kalian untuk menjadi Konsultan Pembuat Video.

Info lengkapnya bisa kalian cek di bit.ly/Daftar-Video-Konsultan

Rilis Pers – Seleksi Calon Hakim Agung Tahun 2021: Mampukah Menghasilkan Hakim Agung yang Berintegritas dan Profesional?

Komisi Yudisial (KY) telah menyelenggarakan tahap akhir seleksi calon hakim agung (CHA) berupa wawancara (fit and proper test) terhadap 24 orang calon pada tanggal 3-7 Agustus 2021. Rangkaian seleksi CHA ini diselenggarakan oleh KY untuk memenuhi jumlah kebutuhan Hakim Agung sebanyak 13 orang yang diminta Mahkamah Agung (MA) dengan rincian 2 orang Hakim Agung kamar perdata, 8 orang Hakim Agung kamar pidana, 1 orang Hakim Agung kamar militer, dan 2 orang Hakim Agung kamar tata usaha negara khusus pajak.

Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mencatat beberapa isu perihal keterbukaan yang terjadi selama diselenggarakannya wawancara CHA oleh KY. Pertama, beberapa CHA yang lolos ke tahap wawancara diduga memiliki rekam jejak bermasalah, mulai dari jumlah harta kekayaan yang tidak wajar hingga dugaan pelanggaran integritas dan profesionalitas. Kedua, Koalisi menilai beberapa panelis dan komisioner memberikan kesan intimidatif saat melemparkan pertanyaan, tetapi justru tidak terdapat pendalaman yang berarti secara substansi. Ketiga, proses pendalaman profil berupa klarifikasi rekam jejak CHA dalam wawancara CHA sempat dilakukan secara tertutup dengan menonaktifkan suara (mute) pada saat live Youtube berlangsung, namun pada hari kedua mekanisme ini diubah dan dapat disaksikan secara daring oleh publik.

Poin kedua dan ketiga menunjukkan bahwa tahap wawancara tidak sepenuhnya dilakukan dengan transparan, akuntabel, dan partisipatif. Hal ini tidak sejalan dengan UU Komisi Yudisial dan Peraturan Komisi Yudisial No. 2 Tahun 2016 tentang Seleksi Calon Hakim Agung yang mengatur bahwa “seleksi calon hakim agung dilaksanakan secara transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel.” Dalam Peraturan KY ini, diatur dalam Pasal 21 ayat (6) bahwa wawancara dilakukan secara tertutup dalam hal terdapat informasi baru terkait kesusilaan.

Koalisi mencatat bahwa seleksi CHA kali ini merupakan sebuah kemunduran bagi Komisi Yudisial. Setelah proses wawancara yang kurang transparan, akuntabel dan partisipatif, proses pengumuman CHA yang lolos ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak dipublikasikan oleh KY. Pasca wawancara di KY yang selesai pada 7 Agustus 2021, tidak ada kabar mengenai hasil seleksi CHA baik di website dan media sosial KY maupun di media massa. Hingga pada Jumat, 27 Agustus 2021, beredar file surat perihal Pengajuan Nama Calon Hakim Agung Tahun 2021 yang dikirimkan Komisi Yudisial kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Ketua Komisi III DPR. Surat tersebut bertanggal 9 Agustus 2021 dan memuat 11 nama CHA yang dinyatakan lolos oleh KY dan akan diseleksi lebih lanjut oleh DPR.

Kemunculan surat ini di berbagai platform sebagai dokumen yang tidak resmi dikeluarkan oleh KY tentu menjadi hal yang mengejutkan mengingat dalam proses seleksi CHA yang telah berlangsung di tahun-tahun sebelumnya, KY selalu mengumumkan nama-nama Calon yang lolos dan akan mengikuti seleksi ke DPR bersamaan dengan pengiriman surat ke DPR. Sedangkan, pada seleksi tahun 2021 ini, tidak terdapat pengumuman resmi oleh KY. Sejak berakhirnya proses wawancara pada 7 Agustus 2021, tidak terdapat kabar berita dari KY mengenai kemajuan pelaksanaan seleksi CHA hingga akhirnya surat rahasia tersebut beredar. Bagi Koalisi, hal ini sekali lagi mengundang tanda tanya akan transparansi KY dalam menyelenggarakan proses seleksi CHA. Hari ini 17 September 2021, Pimpinan KY menyerahkan nama-nama calon hakim agung secara simbolis kepada Pimpinan DPR secara langsung di DPR.

Proses seleksi di DPR sudah dimulai hari ini 17 September 2021 dengan agenda pertama penulisan makalah oleh para CHA. Selanjutnya akan dilakukan fit and proper test berupa wawancara CHA pada Senin-Selasa, 20 dan 21 September 2021. Komisi III DPR akan mengambil keputusan mengenai CHA yang lolos menjadi Hakim Agung pada Selasa 21 September 2021.

Penerapan keterbukaan dan transparansi yang rumpang dalam pelaksanaan seleksi CHA di tahap sebelumnya menyadarkan kita bahwa diperlukan pengawalan yang lebih intensif lagi dalam proses seleksi CHA yang akan dilaksanakan di DPR. Untuk itu, Koalisi menuntut Dewan Perwakilan Rakyat untuk:

  1. Menyelenggarakan proses seleksi Calon Hakim Agung secara terbuka dan dapat diakses oleh publik secara daring (online). Dalam hal ini, DPR dapat menerapkan praktik yang sudah dilakukan oleh KY dalam tahap sebelumnya.

2. Memilih Calon Hakim Agung yang memiliki profil:

  • CHA yang memiliki visi dan misi yang jelas sebagai Hakim Agung;
  • CHA yang tidak memiliki catatan integritas yang buruk;
  • CHA yang memiliki harta kekayaan yang wajar;
  • CHA yang memiliki pemahaman mumpuni mengenai hukum dan peradilan sesuai kamar perkara yang dipilih;
  • CHA yang berkomitmen untuk berperan aktif dalam reformasi peradilan khususnya di Mahkamah Agung;
  • CHA yang memahami peran hakim dan pengadilan dalam pemenuhan HAM sesuai kedudukan pengadilan dalam konsep negara hukum; serta
  • CHA yang memiliki keberpihakan pada kelompok rentan, yaitu perempuan, anak, masyarakat miskin dan kelompok minoritas, serta perlindungan lingkungan hidup.

3. Tidak meloloskan CHA yang memiliki rekam jejak buruk dan tidak berintegritas.

KOALISI PEMANTAU PERADILAN:
Transparency International Indonesia (TII), Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Public Interest Lawyer Network (PILNET), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Imparsial, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA), LBH Apik Jakarta.

Join Letter – Civil society requests for the 42nd ASEAN Senior Officials Meeting on Drug Matters (ASOD) and 7th ASEAN Ministerial Meeting on Drug Matters (AMMD)

Menjelang pertemuan penting dengan ASEAN pada 14 September 2021, LBHM bersama dengan 24 organisasi masyarakat sipil lainnya di Asia Tenggara bergabung untuk mengangkat isu terkait buruknya penerapan kebijakan narkotika di wilayah Asia Tenggara yang sudah bertahun-tahun terjadi. Selain itu LBHM dan 24 CSO lainnya juga mengirimkan surat terbuka kepada Kepala BNN terkait penanganan narkotika di Indonesia. Ada beberapa isu yang menjadi konsern dari kelompok masyarakat sipil:

  1. Dampak buruk dari Overkriminalisasi, Pemaksaan Rehabilitasi, hingga Hukuman Mati;
  2. Mempromosikan alternatif penghukuman dan peradilan yang adil (fair trial) terhadap kasus narkotika (minor);
  3. Mendorong ASEAN untuk menyesuaikan rekomendasi kebijakan dari badan UN terkait posisi narkotika dan pemenjaraan, termasuk pengurangan dampak buruk;
  4. Mendorong adanya pelibatan aktif dari kelompok masyarakat sipil dalam pembuatan kebijakan terkait narkotika.

Dokumen tersebut dapat di akses di link berikut:

Rilis Pers – Kebakaran Lapas Tangerang: Saatnya Reformasi Kebijakan Hukum Pidana

LBH Masyarakat (LBHM) turut berduka cita atas kebakaran yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang (Lapas Tangerang) Rabu, 8 September 2021, dini hari tadi. Dalam peristiwa tersebut telah memakan korban jiwa sebanyak 41 orang, dan sebagian di antaranya mengalami luka berat (8 orang) dan luka ringan (72 orang).

Peristiwa kebakaran yang terjadi di Lapas Tangerang merupakan salah satu dampak dari permasalahan lapas yang tiada habisnya serta ekses kebijakan hukum pidana yang dominan dengan pendekatan penjara.

Berdasarkan hal tersebut, LBHM memberikan beberapa respon atas kejadian kebakaran di Lapas Klas I Tangerang, diantaranya:

Pertama, berdasarkan sistem database pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, per 7 September 2021, Lapas Tangerang termasuk lapas yang memiliki overcrowding yang tinggi sebesar 245% . Sedangkan daya tampung Lapas Tangerang hanya mampu menampung sebanyak 600 orang. Akan tetapi, faktanya Lapas Tangerang hari ini per 7 September 2021 dihuni sebanyak 2.072 orang. Di mana terdapat 1.805 orang merupakan warga binaan pemasyarakatan yang terkait kasus narkotika. Kondisi overwcrowding dan banyaknya warga binaan pemasyarakatan terkait kasus narkotika yang masuk kategori pengguna atau pecandu semakin menambah daftar permasalahan pendekatan pidana penjara dalam perumusan hukum pidana narkotika di Indonesia yang berkonstribusi terhadap overcrowding lapas dan berdampak terhadap pengelolaan lapas di Indonesia yang tidak sigap terhadap kondisi bencana;

Kedua, kebakaran yang terjadi di Lapas Tangerang dini hari tadi hanyalah puncak gunung es dari problematika pengelolaan lapas di Indonesia. Tragedi kemanusiaan dini hari tadi pagi semakin menunjukan betapa buruknya pengelolaan lapas di Indonesia baik dari sisi kebijakan peradilan pidana terpadu maupun dari manajemen dan keamanan lapas;

Ketiga, pada awal pandemi tahun 2020, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan kebijakan terkait asimilasi, pembebasan bersayarat, cuti menjelang bebas, cuti bersyarat dalam rangka penanggulangan Covid-19 di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara bagi narapidana dan anak. Kebijakan ini responsif dalam mengurangi overcrowding tapi dalam kasus narkotika yang masuk kategori pecandu atau pengguna yang divonis di atas lima tahun penjara tidak masuk dalam skema kebijakan tersebut. Sehingga penting untuk memastikan kembali pemberlakukan kebijakan tersebut bagi warga binaan pemasyarakatan kategori pecandu atau pengguna;

Keempat, penting bagi jajaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melakukan pemulihan terhadap warga binaan pemasyarakatan melakukan healing terhadap korban kebakaran mengingat kejadian kebakaran ini sangat kuat membekas dan menimbulkan trauma yang berkepanjangan;

Berdasarkan hal tersebut di atas, LBHM menuntut:

  • Melakukan langkah-langkah evakuasi dan penyelamatan bagi korban kebakaran Lapas Tangerang dan memberikan perawatan yang intensif bagi korban yang selamat serta pemerintah menanggung biayanya;
  • Menuntut Pemerintah meminta maaf atas peristiwa kebakaran di Lapas Tangerang dan mendorong dilakukan penyelidikan dan menyampaikan hasilnya secara terbuka kepada publik terkait kebakaran di Lapas Tangerang;
  • Mendorong reformasi pendekatan pidana penjara dalam hukum pidana dengan alternatif penghukuman non penjara;
  • Mendorong pemerintah untuk kembali melakukan upaya asimilasi dan integrasi warga binaan pemasyarakatan terutama yang terkait kasus narkotika dengan kualifikasi pengguna atau pecandu.

Kasus Nia Ramadhani: Potret Si Buruk Rupa Kepolisian

Sabtu, 10 Juli, di Polres Metro Jakarta Pusat (Polres Metro Jakpus), melalui konferensi pers, Nia Ramadhani mengucapkan maaf kepada publik atas kasus narkotika yang menimpanya. Polisi menangkap Nia pasca menemukan 0.78 gram sabu pada supir Nia, Zen Vivanto, serta mendapatkan alat isap, bong di kediaman Nia. Kemudian Ardi Bakrie, suami Nia, yang tidak memiliki barang bukti apapun, turut menyerahkan diri karena kerap memakai sabu bersama dengan Nia.

Konferensi pers ini adalah yang kedua. Polres Metro Jakpus sebelumnya telah menggelar konferensi pers pertama pada Kamis, 8 Juli, tapi tanpa kehadiran mereka. Publik menganggap tidak adil jika Nia, Ardi, dan Vivanto tidak ditampilkan, seperti publik figur serupa yang tersandung kasus narkotika. Namun apakah sebenarnya publik memerlukan permohonan maaf mereka, terutama Nia Ramadhani? Atau jika pertanyaannya dibalik, apakah Nia perlu meminta maaf atas kasus penggunaan narkotikanya?

Permohonan maaf itu tidak sepatutnya ada. Ini bukan cuma pada kasus Nia, tapi pengguna narkotika lain yang diminta untuk memohon maaf kepada publik melalui konferensi pers. Publik tidak mengalami kerugian apapun atas perbuatan mereka. Justru yang menjadi masalah, situasi ini menyalahi asas praduga tidak bersalah, sebab orang-orang ramai ‘menghakimi’ mereka, bahkan sebelum pengadilan memeriksa kasus mereka. Penggunaan narkotika adalah tindakan tanpa korban, dan tidak dapat disamakan kejahatan dengan kekerasan (violent crime). Namun melalui permohonan maaf publik, pengguna narkotika seolah ditempatkan sebagai pendosa besar dan meyalahi kepentingan banyak orang.

Sesungguhnya apa yang polisi ingin capai dari penyelenggaraan konferensi pers semacam itu? Apakah polisi ingin melanggengkan citra pengguna narkotika adalah kriminal, bahwa penggunaan narkotika perlu dihindari karena merusak,  atau sebuah tontonan untuk memberitahukan kepada khalayak betapa kerasnya hukum narkotika di negeri ini?

Setidaknya ada empat persoalan yang mengemuka dari penanganan polisi di kasus ini.

Pertama, terkait perempuan dan narkotika. Di kasus ini, Nia-lah yang paling banyak disorot media dan publik. Bukan hanya karena Nia dianggap sebagai figur publik dan memberi contoh yang tercela. Tetapi juga ada sisi di mana Nia adalah seorang perempuan sekaligus ibu, dan muncullah seribu alasan untuk menyalahkannya. Nia dicap gagal menjadi istri yang baik bagi Ardi dan malah menjerumuskannya, serta ibu yang buruk bagi anak-anaknya.

Perempuan yang terlibat tindak pidana narkotika memiliki beban moral lebih tinggi daripada laki-laki dan kerap mengalami stigma dan diskriminasi yang berlapis. Alasan-alasan perempuan menggunakan narkotika, seperti doping, atau penghilang stress selalu dianggap tidak valid. Perempuan kerap dianggap kehabisan akal dan tidak berpikir jangka panjang, jika memutuskan untuk mengonsumsi narkotika ketika menghadapi masalah. Namun latar belakang penggunaan narkotika pada perempuan jarang terungkap. Pun terangkat, hal itu tidak terdokumentasikan. Jika polisi dapat menggali alasan Nia menggunakan narkotika dan menuangkannya ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), seharusnya perempuan lain di kasus serupa juga memiliki hak yang sama. Hal itu penting untuk memberikan intervensi atau rekomendasi yang tepat, serta mencapai keadilan gender yang proporsional. 

Kedua, mengenai penggunaan narkotika. Seperti diberitakan di sejumlah media, kepolisian menyebut bahwa Nia menggunakan sabu ketika sedang sibuk syuting stripping dan membantunya ketika sedang banyak tekanan. Hal ini penting untuk diperhatikan. Sebab, hal ini berarti bahwa Nia tidak sedang menggunakan narkotika dalam konteks rekreasional (untuk bersenang-senang), dan juga tidak bersifat ketergantungan. Penggunaan sabunya itu justru untuk membantu staminanya selama syuting. Jika benar Nia menggunakan sabu untuk menunjang dirinya menjalani syuting, publik juga kemudian menikmati hasil karyanya dan bisa melihat kemampuannya dalam berakting. Kasus ini menunjukkan kepada kita betapa spektrum penggunaan narkotika itu luas, dan tidak sehitam-putih rekreasional versus adiksi.

Ketiga, perlakuan diskriminatif kepolisian. Senin, 11 Juli – selang satu hari setelah konferensi pers kedua – berdasarkan rekomendasi dari tim asesmen terpadu Badan Narkotika Nasional (BNN), polisi menempatkan Nia, Ardi, dan supirnya ke lembaga rehabilitasi. Tidak sulit bagi publik untuk menyimpulkan bahwa polisi pilih kasih di kasus ini yang akan memudahkan mereka lolos dari jerat hukum. Nia dan Ardi memiliki posisi sosial tinggi, tenar, kaya, dan punya kuasa. Kepolisian seharusnya wawas diri atas kritik publik ini.

Tindakan polisi memang sejalan dengan SE Bareskrim Nomor: SE/01/II/2018 tentang Petunjuk Rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, yakni memberikan hak rehabilitasi bagi pengguna. Tapi kegusaran publik terletak pada fakta bahwa di kasus pengguna lainnya yang miskin dan tidak punya kuasa, polisi cenderung lambat atau berbelit-belit mengalihkan mereka ke proses rehabilitasi. Kalaupun polisi mengarahkan pengguna narkotika ke fasilitas rehabilitasi, dan tidak diproses secara hukum, nampaknya hal itu terjadi karena adanya praktik jual beli pasal penggunaan narkotika.

Keempat, inkonsistensi penggunaan pasal. Banyak media melaporkan bahwa Nia dan Ardi hanya akan didakwa dengan Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika terkait penyalahgunaan narkotika. Pasal 127 memungkinkan seorang pengguna mendapatkan vonis rehabilitasi. Biasanya di kasus-kasus yang tidak melibatkan figur publik, kedapatan 0.78 gram sabu akan disertai dengan Pasal 112 ayat (1) tentang kepemilikan atau penguasaan narkotika. 

Keberadaan Pasal 112 dan Pasal 127 sendiri tidak akan melepas pengguna dari ancaman hukuman penjara. Sebab, Pasal 127 (1) diikuti dengan ancaman maksimal empat tahun penjara, sedangkan Pasal 112 ayat (1) dengan minimum empat tahun penjara. Bahkan kepemilikan sabu yang tidak lebih dari 1 gram ini juga sangat mungkin untuk mendakwa pengguna dengan Pasal 114, yang identik dengan pengedaran narkotika (‘bandar’). Di kasus ini Nia, Ardi, dan Vivanto beruntung jika hanya didakwa dengan Pasal 127, tetapi tidak bagi pengguna narkotika lainnya yang berasal dari masyarakat menengah ke bawah. Keberadaan pengacara yang kompeten tentu turut membantu hak Nia mendapatkan asesmen dan rekomendasi rehabilitasi terpenuhi. Namun, bagi pengguna narkotika dengan gramatur yang sama di kasus Nia, tetapi  tidak mampu atau tidak didampingi oleh pengacara, peluang mereka mendapatkan akses rehabilitasi sangat kecil.[1]

Inkonsistensi kepolisian atas aturan-aturan yang mereka buat sendiri juga terlihat dalam proses pemberian asesmen rehabilitasi untuk menilai ketiganya adalah pengguna atau bukan. Polisi menyebut permohonan asesmen harus datang dari keluarga. Meski pernyataan ini kurang tepat, namun Peraturan BNN Nomor 11 Tahun 2014 memang memberi ruang untuk keluarga mengajukan permohonan asesmen melalui penyidik. Pernyataan polisi ini seolah menggambarkan bahwa penyidik tidak memiliki wewenang untuk mengajukan asesmen. Sementara berdasarkan Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi, yang disepakati oleh tujuh lembaga, termasuk lembaga kepolisian, menyebutkan bahwa polisi berwenang untuk mengajukan asesmen rehabilitasi. 

Di luar keempat persoalan tersebut, ada hal yang lebih mendasar dan mendesak untuk direspon, yakni sudah waktunya Indonesia mendekriminalisasi penggunaan narkotika. Artinya, penggunaan narkotika – maupun kepemilikan, penguasaan, atau pembelian narkotika untuk kepentingan pribadi (atas alasan apapun) – tidak sepatutnya dikenakan pidana penjara. Energi dan sumber daya penegak hukum lebih baik diarahkan untuk menangani kasus-kasus besar yang jauh lebih membahayakan kepentingan publik. Dekriminalisasi penggunaan narkotika juga akan membantu mendorong pengguna narkotika mengakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan, tanpa rasa malu akan stigma sebagai penjahat. Pengguna narkotika membutuhkan dukungan, bukan hukuman.

Tulisan opini ini merupakan respon dari Kasus Penangkapan Artis Nia Ramadhani yang terjerat hukum karena narkotika. Tulisan ini ditulis oleh Aisya Humaida – Tim Penanganan Kasus LBH Masyarakat.


[1] Kondisi ini bersesuaian dengan temuan LBHM, di mana 43% dari 103 tahanan narkotika adalah mereka dengan kepemilikan narkotika di bawah 1 gram (Yosua Octavian & Aisya Humaida, 2021).

Rilis Pers – Tuduhan Kekerasan Tanpa Bukti Terhadap Dua Aktivis Papua

Pada Rabu, 30 Juni 2021, persidangan terhadap dua aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yakni Ruland Rudolof Karafir dan Finakat Molama (Kevin) dengan agenda persidangannya adalah Pembuktian. Pada persidangan tersebut hadir saksi korban, yakni Rajid Patiran, dengan saksi security dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), yakni Nurdiansyah dan Syahroni.

Pada persidangan tersebut, saksi-saksi didengarkan keterangannya mengenai dugaan tindakan pengeroyokan yang dilakukan oleh Ruland dan Kevin. Namun, di dalam keterangan yang bunyi di persidangan pada hari ini tidak ada satu pun keterangan meyakinkan yang dapat membuktikan bahwa Ruland dan Kevin lah yang melakukan pemukulan sehingga mengakibatkan Rajid Patiran luka-luka ringan. 221e46

Di dalam persidangan, pada intinya Rajid menyatakan bahwa dirinya mendapatkan tiga (3) pukulan, yang masing-masing didapatkan dari Ruland, Kevin, dan satu orang lagi yang dia tidak ketahui identitasnya. Berdasarkan kesaksian Rajid Patiran, pemukulan pertama dilakukan oleh Ruland dan mengenai bagian mata sebelah kirinya. Namun, keterangan tersebut disangkal oleh Ruland di persidangan dan menerangkan bahwa pukulannya tersebut tidak mengenai Rajid Patiran. Pemukulan Kedua, disangkakan kepada Kevin. Hal ini dikarenakan Rajid Patiran melihat video yang menampilkan Kevin. Namun, setelah video tersebut dipertontonkan di dalam persidangan, tidak ada satu video pun yang secara jelas memperlihatkan Kevin melakukan pemukulan kepada Rajid Patiran. Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Kevin di dalam persidangan bahwa dirinya tidak ada melakukan pemukulan kepada Rajid Patiran.

Selain itu, security BKN yang hadir hari ini pun menyatakan bahwa mereka tidak melihat secara langsung mengenai adanya pemukulan kepada Rajid Patiran dan tidak melihat adanya luka-luka pada Rajid Patiran. Bahkan para saksi ini menyatakan bahwa mereka tidak dapat mengidentifikasi siapa-siapa saja yang ada pada saat itu karena merasa orang-orang yang ada pada saat kejadian hampir mirip secara ciri-ciri fisiknya.

Atas hasil pemeriksaan saksi-saksi di atas, Tim Penasihat Hukum kedua aktivis Papua dari Tim Advokasi Papua, yang terdiri dari  LBH Masyarakat (LBHM), LBH Jakarta, serta Komisi untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menilai bahwa tidak ada satu pun keterangan meyakinkan yang dapat membuktikan bahwa Ruland dan Kevin lah yang melakukan pemukulan dan memiliki relasi sebab-akibat pada luka-luka yang dimiliki oleh Rajid Patiran.

Sedari awal, kami, Tim Advokasi Papua, sangat menyayangkan kasus ini bisa sampai sejauh ini masuk ke dalam persidangan yang mulia dengan alat bukti dan barang bukti yang sangat kabur, sehingga terkesan sangat dipaksakan. Selain itu, dalam kasus ini juga ditemukan kejanggalan-kejanggalan, dari proses penangkapan dan penetapan sebagai tersangka yang langsung diberikan kepada Ruland dan Kevin, tanpa memeriksa kedua aktivis AMP tersebut sebagai saksi sebagaimana biasanya dalam kasus tuduhan Pasal 170 KUHP. Maka dari itu, Tim Advokasi Papua menilai patut dipertanyakan apa sebenarnya yang menjadi motif untuk meneruskan kasus ini.

Kami khawatir proses hukum yang menimpa dua orang Aktivis Papua ini hanyalah upaya untuk meredam gerakan demonstrasi yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan oleh mahasiswa Papua untuk menuntut pertanggungjawaban negara atas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

Melihat hal-hal di atas, maka Tim Advokasi Papua menyatakan:

  1. Menghentikan segala diskriminasi dan Pelanggaran HAM terhadap warga Papua;
  2. Melakukan penegakan hukum secara adil dan bertanggungjawab sesuai dengan prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia;
  3. Menghentikan segala diskriminasi dan Pelanggaran HAM terhadap warga Papua;
  4. Meminta agar Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa perkara ke dua aktivis Papua memeriksa secara jernih dan mengabaikan segala intervensi serta mengedepankan kebenaran materil dalam menjatuhkan putusannya.

Tim Advokasi Papua:
LBH Masyarakat (LBHM), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Papua itu Kita.

[Laporan Penelitian] Mengungkap Sikap Publik Indonesia Terhadap Hukuman Mati

Penelitian baru yang mengungkap sikap publik Indonesia terhadap hukuman mati memberikan data baru yang dapat memfasilitasi wacana segar tentang masa depan hukuman mati di Indonesia

Penelitian yang dilakukan oleh The Death Penalty Project, dalam kemitraan dengan LBH Masyarakat dan Universitas Indonesia, dan dilakukan oleh Prof. Carolyn Hoyle dari Unit Penelitian Hukuman Mati di Universitas Oxford, menemukan bahwa pembentuk opini di Indonesia menginginkan untuk meninggalkan hukuman mati dan bahwa publik terbuka untuk berubah.

Penelitian ini menyelidiki kepercayaan yang diterima secara luas bahwa mayoritas orang Indonesia mendukung hukuman mati. Melalui penyelidikan yang bernuansa, penelitian ini hendak memahami lebih dalam sikap publik dan mengkaji seberapa mengakar pandangan tersebut untuk dapat memfasilitasi wacana yang konstruktif.

Studi ini menunjukkan bahwa semakin banyak informasi yang diberikan kepada masyarakat mengenai penerapan hukuman mati, semakin sedikit mereka mendukungnya. Demikian pula, ketika disajikan dengan faktor yang meringankan, dukungan publik terhadap hukuman mati turun drastis. Temuan menunjukkan bahwa masyarakat tidak menentang penghapusan, tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk dapat sepenuhnya memahami persoalan.

Laporan Penelitian lengkapnya dapat di unduh dengan mengklik link di bawah ini:

Versi Bahasa Indonesia

  1. Pandangan Para Pembentuk Opini tentang Hukuman Mati di Indonesia (Bagian Pertama)
  2. Opini Publik tentang Hukuman Mati di Indonesia (Bagian Kedua)

English Version

  1. Investigating Attitudes to the Death Penalty in Indonesia, (Part One): An Appetite for Change
  2. Investigating Attitudes to the Death Penalty in Indonesia, (Part Two): No Barrier to Abolition

Rilis Pers – Mengungkap Sikap Publik Indonesia Terhadap Hukuman Mati

Penelitian baru yang mengungkap sikap publik Indonesia terhadap hukuman mati memberikan data baru yang dapat memfasilitasi wacana segar tentang masa depan hukuman mati di Indonesia.

Studi dua bagian tersebut menyimpulkan bahwa pembentuk opini di Indonesia menginginkan untuk meninggalkan hukuman mati dan bahwa publik terbuka untuk berubah.

Penelitian ini ditugaskan oleh The Death Penalty Project, dalam kemitraan dengan LBH Masyarakat dan Universitas Indonesia, dan dilakukan oleh Prof. Carolyn Hoyle dari Unit Penelitian Hukuman Mati di Universitas Oxford untuk menyelidiki kepercayaan yang diterima secara luas bahwa mayoritas orang Indonesia mendukung hukuman mati. Melalui penyelidikan yang bernuansa, penelitian ini hendak memahami lebih dalam sikap publik dan mengkaji seberapa mengakar pandangan tersebut untuk dapat memfasilitasi wacana yang konstruktif. Studi ini menunjukkan bahwa semakin banyak informasi yang diberikan kepada masyarakat mengenai penerapan hukuman mati, semakin sedikit mereka mendukungnya. Demikian pula, ketika disajikan dengan faktor yang meringankan, dukungan publik terhadap hukuman mati turun drastis. Temuan menunjukkan bahwa masyarakat tidak menentang penghapusan, tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk dapat sepenuhnya memahami persoalan.

  • 67% pembentuk opini mendukung penghapusan hukuman mati;
  • 69% publik pada awalnya mendukung hukuman mati dipertahankan, tetapi hanya 35% yang sangat mendukungnya;
  • Hanya 2% publik yang merasa sangat mengetahui tentang hukuman mati dibandingkan dengan pembentuk opini yang pada umumnya lebih luas pengetahuannya tentang hukuman mati dan sistem peradilan pidana yang lebih luas;
  • Hanya 4% publik yang merasa sangat prihatin dengan persoalan ini.

Indonesia adalah salah satu dari minoritas negara yang masih mempertahankan hukuman mati dalam undang-undang. Ada beberapa kejahatan yang dapat dihukum mati, termasuk pembunuhan, perampokan, terorisme, dan tindak pidana narkoba. Lebih dari 60% hukuman mati yang dijatuhkan di negara ini, dan setengah dari semua eksekusi yang dilakukan dalam 20 tahun terakhir, adalah untuk tindak pidana terkait narkoba. Laporan tersebut juga menemukan bahwa dukungan untuk hukuman mati dalam skenario realistis lebih rendah daripada secara abstrak, dan ketika ditunjukkan kemungkinan bahwa orang yang tidak bersalah dapat dieksekusi, dukungan publik untuk abolisi meningkat dari 18% menjadi 48%.

Seperti banyak negara tetangganya di Asia Tenggara, Indonesia mempertahankan hukuman mati dengan asumsi bahwa hukuman ini berfungsi sebagai pencegah yang efektif terhadap kejahatan, khususnya perdagangan narkoba, namun belum ada penelitian akademis yang mendukung keyakinan tersebut.

Parvais Jabbar, Ko-Direktur Eksekutif dari The Death Penalty Project mengatakan; “Dukungan publik terus disebut-sebut oleh pemerintah Indonesia sebagai alasan untuk mempertahankan hukuman mati, tetapi temuan penelitian kami menunjukkan bahwa publik sebenarnya terbuka untuk perubahan kebijakan tentang persoalan penting ini. Ada dukungan yang jelas untuk abolisi di antara pembentuk opini dan temuan membuktikan bahwa semakin banyak publik tahu tentang hukuman mati, semakin sedikit mereka mendukungnya. Kami berharap data dan analisis yang dikumpulkan dalam kedua laporan ini dapat digunakan untuk memfasilitasi dialog konstruktif tentang masa depan hukuman mati di Indonesia.”

Muhammad Afif, Direktur LBH Masyarakat mengatakan; “Dua laporan ini menunjukkan bahwa mewujudkan penghapusan hukuman mati bukanlah hal yang mustahil di Indonesia. Pendapat publik dan elit memberikan harapan kepada terpidana mati bahwa suatu hari kita bisa mengakhiri adanya regu tembak.”

Rilis ini ditulis oleh The Death Penalty Project

Rilis Pers – LBHM Menggunggat Kepala BNN dan Presiden ke PTUN Jakarta Atas Pernyataan War On Drugs

Pada Selasa (21 Juni 2021) yang lalu, LBH Masyarakat (LBHM) melayangkan gugatan tata usaha negara kepada Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan ini merupakan langkah hukum lanjutan atas pernyataan war on drugs yang disampaikan kepala BNN saat konferensi pers pada 8 Januari 2021.

LBHM menilai pernyataan war on drugs tersebut menjadi berbahaya karena dapat dimaknai sebagai suatu kebijakan yang akan mengancam eksistensi negara hukum Indonesia yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pernyataan ini kemudian LBHM gugat ke PTUN Jakarta dengan semangat agar mekanisme peradilan dapat membatalkan kebijakan atau tindakan pejabat tata usaha negara yang mengancam sendi negara hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, seperti kebijakan war on drugs, yang juga dijadikan tema besar oleh pemerintah pada peringatan Hari Narkotika Internasional tahun ini yang diperingati setiap tanggal 26 Juni. Oleh karenanya gugatan LBHM ini menjadi penting dimaknai sebagai suatu paradoks terhadap kebijakan pemerintah yang menggunakan narasi war on drugs secara keliru dalam mengentaskan kejahatan peredaran gelap narkotika di Indonesia.

War on drugs selalu menjadi narasi berulang untuk menunjukkan keseriusan negara dalam menangani tindak pidana narkotika. Padahal narasi perang terhadap narkotika ini semakin melanggengkan praktik pemerasan, penyiksaan, extra judicial killing, bahkan menormalisasi tindakan ilegal penegak hukum. LBHM mengajukan gugatan ini sebagai upaya untuk mereformasi kebijakan narkotika yang punitif, tidak mengutamakan pendekatan kesehatan, dan menyuburkan peredaran gelap narkotika.

Narahubung:
Awalaudin Muzaki: 0812-9028-0416
Nixon Randy: 0822-4114-8034

Rilis Pers – Penghambatan Akses Kesehatan Terdakwa 2 Aktivis Mahasiswa Papua (AMP)

Penghambatan Akses Kesehatan Terdakwa 2 Aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Bentuk Diskriminasi Yang Melanggar HAM & Menambah Deretan Perlakuan Tidak Adil Terhadap Warga Papua Dihadapan Hukum.

Jakarta, 15 Juni 2021,
2 orang aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), yakni Ruland Rudolof Karafir yang merupakan Kepala Biro Pendidikan dan Pembinaan Pengurus Pusat AMP dan Finakat Molama yang merupakan Sekretaris Jenderal AMP, yang saat ini tengah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan di tahan di Polda Metro Jaya mengalami hambatan untuk mendapatkan pengobatan.

Sebelumnya, Penasihat Hukum kedua aktivis tersebut dari Tim Advokasi Papua, yang terdiri dari LBH Masyarakat (LBHM), LBH Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Papua itu Kita, dalam persidangan pada hari Rabu, 9 Juni 2021, telah meminta kepada Majelis Hakim agar dapat memberikan izin kepada keduanya untuk melakukan pengobatan karena memiliki kondisi penyakit khusus yang membutuhkan intervensi medis yang memadai. Pada persidangan tersebut Ketua Majelis Hakim telah memenuhi permintaan Tim Penasihat Hukum dan memberikan perintah kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Timur untuk memberikan akses agar Tim Penasehat Hukum bisa mendampingi terdakwa untuk mendapatkan pengobatan.

Selanjutnya, menindaklanjuti perintah Ketua Majelis Hakim tersebut, Tim Penasihat Hukum dan JPU menyepakati jadwal pengobatan ditentukan pada hari Senin, 14 Juni 2021. Tim Penasihat Hukum dan JPU kemudian menjadwalkan untuk bertemu di Polda Metro Jaya pukul 10.00 WIB. Akan tetapi, pada saat Tim Penasihat Hukum telah berada dan menunggu di Polda sejak dari Pukul 10.00, alih-alih bertemu JPU untuk diberikan akses agar kedua orang tersebut dapat dikeluarkan dari tahanan untuk mendapatkan pengobatan di tempat biasa berobat, JPU justru menginformasikan bahwa bagian tahanan Polda bisa mengeluarkan bila ada penetapan hakim. Setelah menginfromasikan hal tersebut kepada Tim Penasihat Hukum, Tim Penasihat Hukum menunggu hampir seharian tanpa kejelasan dan sampai rilis pers ini terbit belum ada kejelasan dari JPU mengenai upaya pengeluaran terdakwa dari tahanan Polda Metro Jaya untuk pengobatan.

Bahwa sepatutnya informasi yang didapatkan JPU tersebut tidak dapat dijadikan justifikasi sebagai alasan untuk menghalangi keduanya untuk dikeluarkan agar bisa berobat. Alasan tersebut hanya mengada-ada karena tidak didukung dasar hukum yang jelas. Justru sebaliknya, fakta bahwa terdakwa yang memiliki penyakit khusus sangat memerlukan intervensi medis yang memadai dan berkelanjutan, jelas merupakan alasan yang kuat agar terdakwa bisa dikeluarkan untuk mendapatkan pengobatan semaksimal mungkin untuk mengobati penyakit yang dideritanya.

Selain itu, jika merujuk butir 6 Surat Edaran Mahakamah Agung No. 1 Tahun 1989 bahkan untuk melakukan rawat inap di rumah sakit tidak perlu ada penetapan tersendiri dari Ketua Pengadilan Negeri. Oleh karena sebelumnya telah ada perintah dari Ketua Majelis Hakim dalam persidangan untuk memberikan akses kepada terdakwa berobat. Maka dari itu perintah dari Ketua Majelis Hakim sepatutnya dimaknai bahwa terdakwa yang telah diberikan izin untuk melakukan pengobatan dan telah memerintahkan JPU untuk membukakan akses kesehatan kepada terdakwa dihadapan persidangan yang terbuka untuk umum, tidak memerlukan lagi penetapan agar bisa mengeluarkan terdakwa dari tahanan untuk berobat.

Sejak awal Tim Advokasi Papua menilai bahwa kasus yang menimpa dua orang Aktivis Papua ini merupakan upaya untuk meredam gerakan demonstrasi yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan oleh mahasiswa Papua untuk menuntut pertanggungjawaban negara atas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Kondisi penghambatan akses kepada terdakwa untuk melakukan pengobatan jelas menambah deretan permasalahan pelanggaran HAM yang berkaitan dengan warga Papua, karena berdasarkan Pasal 28H ayat 1 UUD Negara RI Tahun 1945 menyebutkan bahwa hak atas pelayanan kesehatan sebagai hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi.

Bahwa proses hukum yang sedang dijalani oleh kedua orang aktivis tidak bisa dijadikan alasan untuk menghambat dan mengurangi hak atas pelayanan kesehatan sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi. Oleh karena itu, kami Tim Advokasi Papua menuntut kepada pimpinan kelembagaan aparat penegak hukum, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Mahkamah Agung Republik Indonesia Kepolisian Negara Republik Indonesia:

  1. Menghentikan segala diskriminasi dan Pelanggaran HAM terhadap warga Papua
  2. Melakukan penegakan hukum secara adil dan bertanggungjawab sesuai dengan prinsip negara
    hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia;
  3. Menghormati hak atas pelayanan kesehatan kedua orang aktivis Aliansi Mahasiswa Papua;
  4. Memerintahkan Jaksa Penuntut umum (JPU) dan Polda Metro Jaya membukakan akses kesehatan agar kedua Mahasiswa Papua dapat berobat dengan memadai dan berkelanjutan;
  5. Tidak mempersulit Tim Penasehat Hukum dalam memberikan bantuan hukum kepada ke dua orang aktivis Aliansi Mahasiswa Papua.

Hormat Kami,
Tim Advokasi Papua
[Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Papua itu Kita]

Narahubung:
1.Maruf Bajammal (081280505706)
2.Michael Hilman (082234750472)

Rilis Pers -RKUHP BUTUH DIBAHAS TERBUKA BUKAN SOSIALISASI SEARAH

Koalisi Nasional Reformasi KUHP Merespon, Diskusi Publik Rancangan KUHP KEMENKUMHAM Minim Pelibatan Masyarakat Secara Substansial: RKUHP Butuh Dibahas Terbuka Bukan Sosialisasi Searah Koalisi Nasional Reformasi KUHP Merespon

Kementerian Hukum dan HAM telah menyelenggarakan 11 kegiatan sosialisasi Rancangan KUHP (RKUHP), dan dimana senin, 14 Juni 2021 merupakan giliran sosialiasi RKUHP di Jakarta. Untuk merespon kegiatan ini, maka beberapa catatan Aliansi adalah sebagai berikut:

Pertama, dalam acara kegiatan ini, Aliansi tidak melihat ada perubahan dari susunan pembicara. Pemerintah tetap tidak melibatkan baik dari masyarakat sipil ataupun akademisi dari bidang ilmu dan perspektif berbeda untuk memberikan masukan pada RKUHP pada porsi yang berimbang dengan Pemerintah dan DPR. Acara diskusi ini lebih pada sosialisasi searah dari pada diskusi substansi yang lebih genting untuk dilakukan agar RKUHP tidak lagi mendapatkan penolakan dari masyarakat.

Beberapa anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP memang diketahui diundang dalam sosialisasi 14 Juni 2021 ini, namun, porsi masukan hanya dialokasikan 1 jam itupun di sesi tanya jawab, tidak seimbang dengan materi substansi yang melibatkan 6 pembicara dari tim perumus pemerintah dan DPR dengan alokasi waktu selama 3 jam lebih. Hal lain, tidak semua kalangan masyarakat sipil yang berpotensi terdampak diundang oleh Pemerintah, seperti dari kelompok penyandang disabilitas, kelompok advokasi Kesehatan reproduksi, kelompok rentan dan lain sebagainya.

Kedua, ketidakjelasan proses dan draf RKUHP yang akan dibahas. Baik Pemerintah dan DPR tidak secara jelas memberikan ketegasan apakah draf yang diedarkan pada acara sosialisasi RKUHP di Manado (Sosialisasi ke-11 sebelum Jakarta) merupakan draf terbaru atau hanya sosialisasi draf lama yang ditolak masyarakat pada September 2019. Apabila ini adalah draf terbaru, Aliansi tidak melihat adanya perubahan sedikitpun dalam draf tersebut, draf yang diedarkan masih merupakan draf versi September 2019 yang ditolak oleh masyarakat. Publik nampaknya perlu mengetahui proses kajian dan pembaruan RKUHP selama hampir 2 tahun ini paska penolakan September 2019 yang sudah dilakukan oleh Pemerintah. Apabila tidak ada perubahan, maka sosialisasi ini bukan mendengarkan masukan publik paska penolakan RKUHP September 2019 yang bahkan sampai memakan korban jiwa dan munculnya pernyataan Presiden untuk menunda dan mengkaji ulang RKUHP.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP jelas mendukung upaya-upaya pembaruan KUHP, kami juga sejalan dengan DPR dan Pemerintah yang ingin menciptakan KUHP baru yang jauh dari sifat kolonial, KUHP baru yang modern dan sesuai dengan konstitusi. Untuk itu, Pemerintah dan DPR nampaknya perlu diingatkan lagi bahwa dasar penundaan RKUHP adalah substansial, terkait dengan materi muatan RKUHP. Presiden sendiri yang menyatakan hal ini. Maka RKUHP butuh dibahas secara substansial dengan keterbukaan pemerintah dan DPR untuk adanya perubahan rumusan, penghapusan pasal atau bahkan koreksi pola pembahasan yang harusnya lebih inklusif melibatkan ahli tidak hanya ahli hukum pidana, bukan hanya sosialisasi searah terus menurus seakan masyarakat tidak paham masalah RKUHP. Dan apabila Pemerintah dan DPR masih ingkar, nampaknya penolakan masyarakat akan sulit untuk dibendung.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP:
ICJR, ELSAM, AJI, LBH Pers, Imparsial, KontraS, ICW, HuMA, PBHI, LeIP, LBH Jakarta, PKBI, PSHK, Arus Pelangi, HRWG, YLBHI, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, MaPPI FHUI, CDS, ILR, ICEL, Rumah Cemara, WALHI, Jatam, YPHA, Ecpat Indonesia, ILRC, Epistema Institute, Yayasan Kesehatan Perempuan, Aliansi Satu Visi, PKNI, PUSKAPA, AMAN Indonesia, AMAN Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, JKP3, OPSI, Pusat Kajian Gender dan Seks UI, Institut Perempuan, Lintas Feminis Jakarta, Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia, Pusham UII, OHANA, SEHATI Sukoharjo, Green Peace Indonesia, SAFEnet, IJRS, Pamflet.

Rilis Pers – Surat Dakwaan Terhadap Dua Aktivis Aliansi Mahasiswa Papua Tidak Dapat Diterima

Tim Advokasi Papua
Rabu, 2 Juni 2021, persidangan dua (2) orang aktivis Aliansi Mahasiswa Papua, yakni Ruland Rudolof Karafir yang merupakan Kepala Biro Pendidikan dan Pembinaan Pengurus Pusat Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Finakat Molama yang merupakan Sekretaris Jenderal Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Jakarta, telah memasuki agenda Pembacaan Eksepsi Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua.

Sejak awal Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua menilai bahwa kasus yang menimpa dua orang Aktivis Papua ini merupakan upaya untuk meredam gerakan demonstrasi yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan oleh mahasiswa Papua untuk menuntut pertanggungjawaban negara atas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

Maka dari itu, Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua mengajukan keberatan terhadap surat dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hal ini karena surat dakwaan tersebut disusun berdasarkan fakta yang keliru yang pada akhirnya membuat substansi dalam surat dakwaan No. Reg. Perkara: PDM-37/JKT-TM/EKU/04/2021 sangat kacau dan menyesatkan (misleading). Tidak hanya menyesatkan, tetapi dakwaan tersebut disusun dengan mengabaikan syarat materiil dalam penyusunan surat dakwaan, yakni harus disusun secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. JPU terkesan tidak mengerti secara jelas mengenai pemaknaan Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP yang dijadikan dasar proses persidangan dalam perkara a quo. Hal tersebut dapat tergambar dari tidak mampunya JPU menguraikan unsur Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP secara jelas, cermat dan lengkap mengenai perbuatan yang dilakukan oleh PARA TERDAKWA. Bahkan, ada beberapa unsur yang sama sekali tidak diuraikan dalam surat dakwaan. Hal ini diperparah lagi dengan prosedural penyusunan surat dakwaan No. Reg. Perkara: PDM-37/JKT-TM/EKU/04/2021 tersebut berdasarkan proses penyidikan, penangkapan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan yang tidak sah.

Untuk diketahui bersama, bahwa persidangan dua (2) aktivis Papua ini dilakukan secara online (daring). Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua sudah mengirimkan Surat Permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada tanggal 25 Mei 2021 untuk menghadirkan PARA TERDAKWA ke ruang persidangan secara langsung (tatap muka). Namun, hari ini, 2 Juni 2021, Ketua Majelis Hakim menyatakan secara lisan menolak permohonan tersebut tanpa membacakan penetapan di persidangan dan dasar hukum yang jelas, melainkan hanya berdalih bahwa semua persidangan se-Indonesia dilaksanakan secara daring.

Maka dari itu, atas alasan penolakan yang tidak dilandasi hukum tersebut Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua menyatakan keberatan. Hal ini didasari oleh karena sidang secara daring sangat bermasalah secara hukum dan HAM, yang secara teknis telah dan akan mempersulit PARA TERDAKWA untuk membela diri, sehingga berdampak pada tidak terpenuhinya hak PARA TERDAKWA untuk mendapatkan persidangan yang jujur dan adil (fair trial).

Selain itu, Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua berpendapat bahwa penolakan permohonan sidang tatap muka yang disampaikan secara lisan oleh Majelis Hakim tersebut sangat diskriminatif. Hal ini didasari adanya fakta bahwa sudah banyak sidang yang dilakukan secara tatap muka, misalnya dalam persidangan a.n. Habib Rizieq Shihab di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, persidangan a.n. Moh. Jumhur Hidayat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, persidangan a.n. Ahmad Shabri Lubis di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, persidangan a.n. Eddy Prabowo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, persidangan a.n. Ruslan Buton di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, serta persidangan a.n. Anton Permana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Untuk itu Tim Advokasi Papua meminta agar:

  1. Majelis Hakim membatalkan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum atau setidaknya menyatakan tidak dapat diterima;
  2. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur mencabut Penetapan Sidang Online dan melakukan sidang secara tatap muka jika proses persidangan akan dilanjutkan ke agenda berikutnya.

Narahubung:
Michael Himan (Papua Kita)
Ade Lita (KontraS)
Ma’ruf Bajamal (LBH Masyarakat)
Teo Reffelsen (LBH Jakarta)

Laporan Tahunan 2020

Tahun 2020 menjadi tahun yang cukup berat bagi semua masyarakat baik di Indonesia maupun global. Pandemi Covid-19 yang melanda global cukup berdampak signifikan pada semua sektor kehidupan, termasuk juga kepada sektor hukum. Salah satunya pemberlakuan sidang secara virtual, hal ini membuat kami harus mengubah strategi dan metode kerja kami agar lebih efektif, dan tentunya akan memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan situasi baru ini.

Sepanjang tahun 2020, kami juga terus berkolaborasi bersama dengan gerakan masyarakat sipil lintas isu dan elemen, seperti buruh, komunitas, paralegal, pelajar, jurnalis, akademis, tenaga kesehatan, dan mendorong pembaharuan hukum yang sistemik.

Annual Report ini merupakan pertanggung jawaban LBHM kepada publik dalam memberitahukan apa saja yang dikerjakan oleh LBHM sepanjang tahun 2020, sekaligus juga refleksi kerja-kerja LBHM selama satu tahun kebelakang. Kami menemukan tantangan dan meraih beberapa pencapaian. Semuanya, berkat dukungan pihak-pihak yang telah menudukung jerih payah kami.

Annual Report kami dapat teman-teman unduh pada link di bawah ini:

Rilis Pers – Pemerintah Harus Membuka Informasi Pembahasan Perubahan RKUHP Secara Partisipatif

Pada 6 Mei 2021, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyelenggarakan Dialog Masyarakat dengan tema “RKUHP: Hukum Untuk Siapa?”. Dialog Masyarakat ini diselenggarakan untuk merespon adanya rangkaian diskusi yang diselenggarakan oleh Kementerian Hukum dan HAM tentang RKUHP di berbagai wilayah di Indonesia diantaranya di Medan, Semarang, Bali, Yogyakarta, Ambon, Makassar, Padang, Banjarmasin, dan Surabaya. Rangkaian diskusi tersebut dijalankan tanpa pemerintah terlebih dahulu memberikan kepada publik perkembangan draft RKUHP yang ada.

Pemerintah juga seharusnya bisa memaparkan kepada publik terlebih dahulu dinamika pembahasan RKUHP di sisi pemerintah yang memuat perubahan subtansial RKUHP. Setiap perubahan tersebut perlu dipertanggungjawabkan kepada publik. Sebelum pemerintah masuk ke ide sosialisasi.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyelenggarakan Dialog Masyarakat ini dengan tujuan untuk mendiskusikan kepada publik masalah RKUHP pasca September 2019 untuk mendorong keterbukaan pemerintah, agar perkembangan RKUHP dapat diketahui masyarakat luas, untuk perubahan RKUHP yang demokratis.

Dialog Masyarakat tersebut membahas berbagai tema, yaitu: Partisipasi Publik dan Kritik Keterbukaan Proses Perkembangan Pembahasan RKUHP, Dampak RKUHP terhadap Perempuan dan Kelompok Rentan lainnya, Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat, Perlindungan Masyarakat Adat Dan Potensi Aturan Diskriminasi, Dampak RKUHP terhadap Program Pembangunan Berkelanjutan Pemerintah, RKUHP dan Ancaman Pada Demokrasi, serta RKUHP dan Proyeksi Penyelesaian Masalah Overcrowding Lapas.

Intinya, tujuan pembaruan hukum pidana lewat RKUHP tidak dapat didasarkan sebatas pada semangat untuk mengganti hukum warisan penjajah. Jika Pemerintah dan DPR benar-benar berkomitmen untuk mereformasi hukum pidana dan mendukung pembangunan nasional, maka Pemerintah dan DPR harus secara seksama menghadirkan kebijakan yang berbasis bukti (evidence based policy) dan melibatkan para pihak yang akan terdampak oleh RKUHP.

Atas dasar hal tersebut, Aliansi Nasional Reformasi RKUHP meminta Pemerintah dan DPR selaku perumus RKUHP untuk:

  1. Segera membuka draft RKUHP terbaru agar dapat diakses oleh masyarakat luas.
  2. Memaparkan kepada publik apa saja perubahan dan pembahasan yang dilakukan pasca September 2019.
  3. Melibatkan partisipasi para pihak terdampak dan membahas kembali RKUHP yang lebih dalam dan evaluasi kebijakan berbasis data (evidence based policy) di seluruh lapisan masyarakat di Indonesia.

Jakarta, 6 Mei 2021
Hormat kami,
Aliansi Nasional Reformasi KUHP

Anggota Aliansi:
ICJR, ELSAM, AJI, LBH Pers, Imparsial, KontraS, ICW, HuMA, PBHI, LeIP, LBH Jakarta, PKBI, PSHK, Arus Pelangi, HRWG, YLBHI, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, MaPPI FHUI, CDS, ILR, ICEL, Rumah Cemara, WALHI, Jatam, YPHA, Ecpat Indonesia, ILRC, Epistema Institute, Yayasan Kesehatan Perempuan, Aliansi Satu Visi, PKNI, PUSKAPA UI, AMAN Indonesia, AMAN Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, OPSI, Pusat Kajian Gender dan Seks UI, Institut Perempuan, Lintas Feminis Jakarta, Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia, Pusham UII, OHANA, SEHATI Sukoharjo, Green Peace Indonesia, SAFEnet, IJRS, HWDI, Pamflet, Remisi.

Dokumen – Uji Materil UU Narkotika Terhadap UUD 1945 terkait Larangan Narkotika Golongan I untuk Pelayanan Kesehatan di Mahkamah Konstitusi

Ketentuan UU Narkotika yang melarang penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan Kesehatan digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh 3 orang ibu dari anak dengan Cerebral Palsy. Narkotika Golongan I yang salah satunya meliputi ganja telah terbukti dalam berbagai penelitian internasional mengandung manfaat kesehatan dan juga telah digunakan secara legal untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan di banyak negara.

Koalisi masyarakat sipil bersama-sama dengan 3 orang ibu dari anak-anak dengan Cerebral Palsy, yakni penyakit lumpuh otak yang mengakibatkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh, mengajukan permohonan Uji Materi UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi. Para pemohon berdalil bahwa pelarangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan melalui ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika telah bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat 1) dan memperoleh manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 26C ayat 1).
Para pemohon meminta MK agar mencabut Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika dan menyatakan pelarangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan bertentangan dengan Konstitusi. Selain itu juga meminta Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika untuk diubah dengan mencabut definisi Narkotika Golongan I menjadi dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan/terapi, dengan tetap menyebutkan potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Pengajuan uji materil ini diharapkan dapat membuka ruang-ruang penelitian ilmiah untuk menekankan kembali ide dasar pemanfaatan narkotika yakni untuk kepentingan kesehatan. Hal ini juga dapat dilihat sebagai kritik yang keras pula terhadap penerapan kebijakan narkotika di Indonesia yang saat ini terlampau berat pada metode penegakan hukum pidana. Kebijakan narkotika sudah saatnya mulai dievaluasi dan diarahkan untuk lebih memperhatikan aspek kesehatan masyarakat dan diambil berbasiskan bukti ilmiah (evidence-based policy). Untuk itu, ketentuan pelarangan penggunaan semua jenis narkotika termasuk Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dalam UU Narkotika ini perlu dihapuskan supaya dapat memfasilitasi dan mendorong adanya penelitian-penelitian klinis yang berorientasi untuk menggali pemanfaatan narkotika di Indonesia.

Dokumen Permohonan dapat teman-teman baca pada link di bawah ini:
Permohonan Uji Materil UU Narkotika Terhadap UUD 1945

Rilis Pers – Decarceration: Solusi Permasalahan Pemasyarakatan Yang Menahun

Jakarta, 27 April 2021

Setiap tanggal 27 April di Indonesia kerap diperingati sebagai Hari Bhakti Pemasyarakatan, Peringatan ini merupakan pengingat bagaimana sistem pemasyarakatan itu lahir sejak dibentuk pada tahun 1964, namun nama Pemasyarakatan sendiri lahir setahun sebelumnya, dan diungkapkan pertama kali oleh Menteri Kehakiman Sahardjo, pada 5 Juli 1963, dimana ia menyatakan jika Pemasyarakatan merupakan tujuan dari pidana penjara. Selama proses nama Pemasyarakatan pun dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Pemasyarakatan merupakan suatu usaha untuk mencapai keadilan dengan tujuan menciptakannya reintegrasi sosial dalam pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan—konsep Pemasyarakatan pun masih diterapkan hingga saat ini. Namun, sayangnya lembaga Pemasayarakatan yang kini dikelola penuh oleh Ditjenpas di bawah naungan Kemenkumham, harus mengalami banyak permasalahan lapas. Salah satunya yan menjadi sorotan adalah permasalahan overcrowding lapas. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) per-Maret 2021 saja, tingkat overcrowding narapidana dan tahanan masih cukup tinggi yakni sebesar 88%.[1] Kondisi tersebut sudah terjadi sekiranya selama 5 tahun kebelakang, di mana kesesakan institusi pemasyarakatan itu didominasi oleh narapidana narkotika dengan kenaikan cukup signifikan sebanyak 96.648 terpidana narkotika (2018-2020). Kondisi ini juga dialami secara global, menurut laporan IDPC, per Februari 2021, terdapat 504.000 narapidana dan tahanan yang terpapar COVID-19 dari 121 negara, dan 3.800 nya mengalami kematian dari 47 negara. Hal ini menunjukkan betapa bahayanya virus COVID-19 ini terhadap narapidana dan tahanan, terlebih masih banyak negara yang tidak terbuka secara data & informasi terkait testing COVID-19 yang sudah dilakukan.[2]

Kondisi penjara yang penuh sesak juga menimbulkan berbagai permasalahan lain, sepeti pemenuhan hak atas kesehatan narapidana dan kriminalitas di dalam penjara. Merujuk pada Mandela Rules (1957), pemenuhan hak kesehatan narapidana menjadi tanggung jawab dari Negara, dan pemenuhan kesehatan ini sebagaimana amanat konstitusi bahwa narapidana berhak mendapat layanan kesehatan dan makanan yang layak (Rules 24).[3] Pandemi COVID-19 menjadi kabar buruk bagi institusi pemasyarakatan yang cenderung tertutup dengan kapasitas tempat yang terbatas. Kondisi pandemi COVID-19 yang belum stabil dan berlanjut di Indonesia membuat narapidana masuk kedalam kategori kelompok rentan.

Demi mengatasi kepadatan di dalam penjara dan mengurangi risiko dampak penyebaran virus COVID-19, Pada April tahun 2020, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 Asimilasi dan Integrasi bagi Narapidana.[4] Semenjak peraturan tersebut berlaku, Dalam laporan LBH Masyarakat (LBHM) yang berjudul Analisis Kebijakan: Asimilasi dan Integrasi Narapidana dimasa Pandemi COVID-19, mencatat jika jumlah narapidana & tahanan yang telah keluar dari Lapas atau Rutan yaitu sebanyak 40.388. Hal ini sedikit berbeda dengan klaim Pemerintah sendiri yang menyatakan jika 40.504 tahanan dan narapidana sudah mendapatkan asimilasi dan integrasi selama periode April-Agustus 2020[5]. Di samping itu, pengeluaran narapidana dari lembaga pemasyarakatan juga tidak bisa menjadi solusi-untuk-semua dalam upaya mengatasi pandemi COVID-19 di lembaga pemasyarakatan dan lembaga penahanan lainnya. Perhatian terhadap isu kesehatan dan perlindungan kelompok rentan juga harus menjadi bagian dari kebijakan, sayangnya hal tersebut tidak muncul dalam kebijakan berskala nasional penanggulangan Covid-19 di lembaga pemasyarakatan. 

Oleh karenanya dengan kondisi pemasyarakatan yang masih carut marut, serta pandemic COVID-19 yang belum juga selesai, LBHM mendorong Pemerintah untuk:

1. Melanjutkan program asimilasi dan integrasi, dengan juga mengikutsertakan narapidana narkotika sebagai penyumbang terbesar angka overcrowding lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Mengingat saat ini dunia internasional sedang bergerak melakukan program pembebasan narapidana.  Mengutip data Harm Reduction International setidaknya lebih dari 100 negara sudah dan akan melakukan program pembebasan narapidana atau decarceration.[6]

2. Membuat mekanisme kesehatan publik bagi mereka yang telah mendapatkan program asimilasi, mulai dari memberikan tempat tinggal hingga support psikososial, dengan perhatian khusus yang mereka alami selama COVID-19.

3. Sesegera mungkin melakukan dekriminalisasi terhadap pengguna narkotika yang masih selama ini menjadi penyumbang besar angka overcrowding penjara. Mengingat angka terpidana narkotika mencapai 52% [7]dari jumlah total narapidana dan tahanan yang ada saat ini.

4. Mendorong Pemerintah untuk memberikan jaminan kesehatan bagi terpidana dan penghuni lembaga pemasyarakatan lainnya (Staf, pegawai pemasyarakatan, dan manajemen lapas).  Dalam hal ini menjadikan penghuni lembaga pemasyarakatan sebagai kelompok prioritas yang harus mendapatkan vaksin COVID-19 segera mungkin dan melakukan test swab PCR secara berkala pada penghuni pemasyarakatan.

Narahubung:
1) Hisyam Ikhtiar (Research and Program officer LBHM): 0857-8049-2233
2) Tengku Raka (Communication Specialist LBHM): 0896-3451-0046

Rilis Pers ini dapat diunduh pada link di bawah ini:
Decarceration: Solusi Permasalahan Pemasyarakatan Yang Menahun


[1] Smslap.Ditjenpas.go.id

[2] Prison and COVID-19: Lesson from an Ongoing Crisis, IDPC, Alexander Soderholm, Hlm. 3

[3] The United Nations Standar Minimum Rules for Treatment of Prisoners (the Nelson Mandela Rules), UNODC.

[4] https://covid19.hukumonline.com/wp-content/uploads/2020/04/peraturan_menteri_hukum_dan_hak_asasi_manusia_nomor_10_tahun_2020-2.pdf

[5] Analisis Kebijakan: Asimilasi dan Integrasi Narapidana di Masa Pandemi COVID-19, LBHM, Hisyam Ikhtiar, Hlm. 13

[6] https://www.hri.global/covid-19-prison-diversion-measures

[7] Ibid., Alexander Soderholm, Hlm. 13

Rilis Pers – Kasus Jeff Smith: Pendekatan Kesehatan untuk Pengguna dan Edukasi Publik Berbasis Penelitian

Jakarta, 23 April 2021

Pada 23 April 2021, LBH Masyarakat (LBHM) memberikan pendapat kepada Kepala Polres Jakarta Barat melalui surat nomor: 172/SK/LBHM-JS/IV/2021. Dalam surat tersebut LBHM meminta kepada Kepala Polres Jakarta Barat untuk dapat melakukan asesmen terhadap publik figur Jeff Smith yang ditangkap atas tindak pidana narkotika pada 15 April 2021. Alasan permohonan asesmen ini berdasarkan pada gramatur kepemilikan narkotika Jeff Smith tidak melebihi ambang batas ketentuan dari beberapa peraturan, yakni 0.52 gram dari batas 5 gram. Serta untuk dapat melihat status dari Jeff Smith yang termasuk pengguna narkotika atau justru terlibat dalam peredaran gelap narkotika.

Barang bukti lain yang turut menjadi perhatian LBHM adalah tersitanya empat buku tentang ganja dari mobil Jeff Smith. LBHM menilai tindakan Polres Jakarta Barat ini cukup reaktif dan berlebihan. Serta sikap Polres Jakarta Barat yang menghentikan kesempatan Jeff Smith saat mengutarakan pendapatnya bahwa ganja seharusnya tidak termasuk dalam narkotika golongan I. Pernyataan Jeff Smith sepatutnya menjadi refleksi untuk segera melakukan penelitian terhadap penggunaan ganja.

LBHM berasumsi ada dua alasan Polres Jakarta Barat tidak memberikan kesempatan bagi Jeff Smith untuk menyelesaikan argumentasinya, yakni:

  • Polres Jakarta Barat alergi terhadap peluang pengembangan pengetahuan atas narkotika jenis ganja.
  • Polres Jakarta Barat menganggap Jeff Smith tidak memiliki kapabilitas untuk berpendapat mengenai ganja.

Pernyataan Jeff Smith tersebut bukan tanpa dasar, pengkategorian narkotika jenis ganja pada golongan I adalah bentuk validasi ganja tidak memiliki nilai manfaat medis. Sementara banyak orang menggunakan ganja untuk pengobatan. Beberapa di antaranya, Fidelis Ari pada tahun 2017 dan tiga orang ibu yang membuktikan manfaat ganja pada terapi anak-anak mereka, yang saat ini sedang mengajukan judicial review pemanfaatan ganja untuk medis ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Jika biasanya polisi menggunakan momentum penangkapan publik figur sebagai bentuk pembelajaran publik untuk menjauhi narkotika. Kemudian, mengapa tidak jika saat ini juga menjadi momentum untuk membuka mata akan nilai pemanfaatan medis pada narkotika, sekaligus memberikan edukasi publik yang berbasis penelitian dan ilmiah.

Narahubung: 081297789301 (Yosua Octavian)

File siaran pers ini dapat di unduh pada link di bawah ini:

File Surat Pendapat LBHM atas Kasus Jeff Smith dapat diunduh pada link di bawah ini:

Rilis Pers – Dalam Semangat Hari Kartini, Tiga Ibu Lanjutkan Perjuangan Uji Materil Larangan Narkotika Untuk Pelayanan Kesehatan di Mahkamah Konstitusi

Pagi pukul 10 WIB hari ini, 21 April 2021 Mahkamah Konstitusi RI kembali menggelar persidangan untuk perkara permohonan uji materil pasal pelarangan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan. Permohonan ini diajukan oleh tiga orang Ibu dari anak-anak yang menderita Cerebral Palsy yang menginginkan adanya pengobatan menggunakan narkotika golongan I (senyawa ganja) sebagaimana sudah banyak berkembang di dunia. Mereka adalah Ibu Dwi Pertiwi, Ibu Santi Warastuti, dan Ibu Nafiah Murhayanti.

Agenda sidang kali ini membahas poin-poin perbaikan permohonan yang telah disampaikan oleh kuasa para pemohon pada Desember 2020, yakni mengenai kedudukan hukum para pemohon, redaksi petitum, serta beberapa hal formal lainnya termasuk juga penambahan argumentasi untuk menguatkan substansi permohonan.

Dalam sidang ini, tim kuasa pemohon juga menyampaikan beberapa perkembangan terkait perkara ini salah satunya yakni berita duka dari Pemohon Ibu Dwi Pertiwi yang kehilangan puteranya, Musa IBN Hassan Pedersen atau yang sering dipanggil Musa. Musa meninggal dunia pada 26 Desember 2020 setelah berjuang 16 tahun hidup dengan kondisi Cerebral Palsy, yakni lumpuh otak yang disebabkan oleh perkembangan otak yang tidak normal. Cerita Musa ini menjadi titik awal yang melatarbelakangi pengajuan permohonan uji materil UU Narkotika yang diinisiasi oleh Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan pada 19 November 2020.

Selain itu, sebagai bagian dari perbaikan permohonan tim kuasa pemohon juga menyampaikan perkembangan dari PBB yang telah mengubah sistem penggolongan narkotika dengan memperkuat posisi penggunaan narkotika Golongan I yakni ganja untuk kepentingan medis. Sebagaimana diketahui pada 2 Desember 2020, Komisi PBB untuk Narkotika yaitu CND (the UN Commission on Narcotic Drugs) melalui pemungutan suara/voting telah menyetujui rekomendasi WHO untuk menghapus cannabis dan cannabis resin (ganja dan getahnya) dari Golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961. Konsekuensinya, ganja tidak lagi dipersamakan dengan jenis narkotika Golongan I lainnya yang memiliki ancaman resiko tertinggi hingga menyebabkan kematian. Bahkan sebaliknya, hal ini memperkuat pengakuan dari dunia internasional akan manfaat kesehatan dari tanaman ganja yang dibuktikan dari hasil penelitian dan praktik-praktik pengobatan ganja medis di berbagai negara, baik dalam bentuk terapi, pengobatan gejala epilepsi, dan lain-lain.

Koalisi berharap dengan adanya perkembangan-perkembangan di atas dapat semakin memperkuat keyakinan hakim Mahkamah Konstitusi bahwa isu ini sangat relevan untuk mendapatkan perhatian sehingga persidangan dapat berlanjut ke proses pembuktian. Sebagaimana juga harapan para pemohon dalam perkara ini supaya apa yang terjadi pada Musa tidak terjadi pada anak-anak Indonesia yang lain. Untuk itu, koalisi mendesak agar Pemerintah dan DPR segera bergerak cepat untuk menyikapi perkembangan dari PBB terkait potensi penggunaan Narkotika Golongan 1 yakni ganja untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Sebagai negara anggota, Pemerintah Indonesia secara sikap politis harus mau mengakui dan mengikuti perubahan ketentuan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tersebut sebagai rujukan UU Narkotika.

Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan
(Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, EJA, LGN)

Rilis pers bisa diunduh pada link di bawah ini:

Dokumentasi – Risalah Sidang MK: Judicial Review Narkotika Medis

Koalisi Masyarakat Sipil Kembali Menjalani Sidang Gugatan di MK

Kemarin di tanggal 21 April 2021, Koalisi Masyarakat Sipil yang diwakili oleh LBHM, ICJR dan Rumah Cemara bersama dengan ibu-ibu tangguh, yakni Ibu Dwi Pertiwi, Ibu Santi Warastuti, dan Ibu Nafiah Murhayati kembali menjalani persidangan Uji Materil Larangan Narkotika Untuk Pelayanan Kesehatan di Mahkamah Konstitusi, melanjutkan agenda pertama yang digelar pada Desember lalu.

Addapun agenda persidangan kemarin, 21 April, yakni membahas poin-poin perbaikan permohonan yang telah disampaikan oleh para pemohon pada Desember 2020, yakni mengenai kedudukan hukum para pemohon, redaksi petitum, serta beberapa hal formal lainnya termasuk juga penambahan argumentasi untuk menguatkan substansi permohonan.

Risalah persidangan dapat teman-teman baca secara rinici pada link di bawah ini:
Risalah Perkara-Nomor-106.PUU-XVIII.2020_Sidang ke-2

Publikasi – Kelompok Keragaman Seksual dan Gender di Tengah Pusaran Pandemi: Antara Kerentanan dan Resiliensi

Pandemi COVID-19, yang menghantam Indonesia genap setahun yang lalu, telah memberikan
dampak yang luar biasa bagi setiap orang, tanpa terkecuali.

Namun, meskipun setiap orang terdampak oleh COVID-19, tetapi tidak semuanya merasakan beban yang sama. Sebagian kelompok masyarakat Indonesia merasakan penderitaan yang jauh lebih berat di banding kelompok lainnya. Kelompok keragaman seksual dan gender salah satu kelompok yang merasakan dampak dari COVID-19, bahkan sebelum pandemi terjadi pun, kelompok ini sudah mengalami beragam marjinalisasi dalam segala bidang kehidupan. Pada masa awal pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diterapakan di beberapa wilayah di Bulan Maret 2020 sebagai upaya pemerintah untuk menghambat penyebaran COVID-19, Konsorsium CRM mengidentifikasi dan mendistribusikan bantuan kepada ribuan kelompok LGBTQ yang kehilangan mata pencarian dan membutuhkan dukungan bagi pemenuhan kebutuhan pangan dan sewa tempat tinggal mereka.

Laporan studi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Konsorsium CRM untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam dan multidimensional terkait dengan kondisi kelompok LGBTQ yang berada di wilayah-wilayah yang terdampak berat oleh pandemi COVID-19. Dalam laporan ini dapat teman-teman temukan secara mendalam tentang dampak pandemi COVID-19 yang dialami oleh komunitas LGBTQ. Salah satu temuan penting dalam laporan ini adalah bahwa lebih dari delapan puluh persen (80%) komunitas LGBTQ yang menjadi responden dari penelitian ini mengalami penurunan pendapatan sampai 25% hingga 50% selama pandemi berlangsung. Penurunan yang signifikan dari pendapatan ini menempatkan setidaktidaknya 63% dari komunitas LGBTQ jauh bawah garis kemiskinan Nasional yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Penelitian dan publikasi laporan studi ini merupakan bagian dari program kerja Konsorsium CRM untuk menguatkan resiliensi kelompok keragaman seksual dan gender di Indonesia di dalam menghadapi krisis, dengan dukungan dari Yayasan Kurawal.

Menggantung Asa pada GANJA

Kegusaran Jeff Smith soal ganja tentu bukan hal baru di Indonesia. Banyak kalangan sudah melakukan berbagai upaya supaya ganja dapat restu untuk diteliti. Tahun 2013, Yayasan Sativa Nusantara (YSN) dan Lingkar Ganja Nusantara (LGN) tercatat pernah mengupayakannya. Meski sempat mendapat angin segar dari Menteri Kesehatan saat itu, Nila F Moeloek, nyatanya perjuangan mereka mentok direstu Badan Narkotika Nasional (BNN). Permintaan mereka untuk mendapatkan ganja demi penelitian tidak pernah ditanggapi oleh BNN. Maklum saja, untuk melakukan penelitian itu, mereka harus mendapatkan lampu hijau dari BNN. Lalu, setelah hampir satu dasawarsa berlalu, penelitian dan pemanfaatan ganja sudah sangat progresif khususnya untuk kepentingan medis dan rekreasional.

Ganja Medis: Membantu Pengobatan Kanker Usus Besar

Berdasarkan data yang dirilis dari Global Cancer Observatory pada 2018, jumlah penderita kanker mencapai 18 juta orang dengan jumlah kematian sebesar 9,6 juta kasus setiap tahun. Artinya, setiap 2 detik, akan ada 1 orang baru yang menderita kanker dan setiap 3 detik, ada 1 orang yang meninggal dunia karena kanker. Sementara itu, penderita kanker di Indonesia mencapai 348.000 kasus atau 1.362 kasus per 1 juta penduduk, dengan total kematian sebanyak 207.000 kasus. Dari total tersebut, angka kejadian tertinggi pada perempuan adalah kanker payudara dengan total 58.256 kasus (30,9%), disusul kanker serviks sebanyak 32.469 kasus (17,2%), dan kanker ovarium 13.310 kasus (7,1%). Adapun kasus terbesar untuk pria adalah kanker paru sebesar 22.440 (14%), disusul kanker usus besar dan rectum dengan total 19.113 kasus (11,9%), dan kanker hati sebanyak 14.238 kasus (8,9%). Secara umum, kanker paru merupakan jenis kanker yang paling mematikan, disusul kanker payudara, kanker serviks, dan kanker hati.

Studi terbaru dari peneliti di University of South Carolina menguji coba pendekatan anyar untuk mencegah kanker usus besar. Pengujian pada tikus ini mendapati senyawa yang terkandung dalam ganja secara efektif menekan peradangan dan menghentikan perkembangan kanker usus besar. Senyawa ini berupa zat psikoaktif yakni tetrahydrocannabinol (THC) yang disebut dapat mencegah peradangan. “Fakta bahwa kami dapat menunjukkan pengobatan dengan THC mencegah peradangan di usus besar dan pada saat yang sama menghambat perkembangan kanker usus besar, ini mendukung gagasan bahwa peradangan dan kanker usus besar sangat erat kaitannya,” terang penulis studi. Penelitian itu seperti mengafirmasi studi yang pernah dilakukan oleh peneliti dari California Pacific Medical Center di San Francisco pada tahun 2007 yang menyatakan bahwa sebuah zat bernama cannabidiol dalam ganja dapat menghentikan kanker dengan mematikan gen yang disebut Id-1. Selain itu, terdapat pula bukti yang menunjukkan bahwa ganja juga bisa membantu melawan mual dan muntah sebagai efek samping kemoterapi. Penelitian ganja di atas secara keilmuan tentu dapat dibuktikan kemanfaatannya. Banyak negara pun sudah memanfaatkan ganja untuk kepentingan medis di negara mereka. Sebut saja Thailand, mereka menjadi negara Asia Tenggara pertama yang melakukan pemanfaatan ganja untuk medis. Bahkan, negara serumpun Indonesia, Malaysia, sudah mulai melakukan penelitian ganja demi kepentingan medis. Bagaimana dengan Indonesia? Pasca upaya YSN dan LGN membentur tembok, penelitian ganja untuk medis bisa dikatakan terhenti. Pemerintah hingga saat ini masih tidak mau melakukan penelitian terkait manfaat medis ganja. Salah satu sumber masalahnya adalah masuknya ganja sebagai golongan 1 di UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Kenapa? Karena UU Narkotika mengatur soal zat narkotika yang masuk golongan 1 tidak dapat dilakukan penelitian. Pertanyaan besar muncul, jika ganja tidak dapat diteliti, bagaimana (misalnya) nasib pengobatan hampir 20 ribu pasien kanker usus besar di Indonesia?

Kewajiban Negara

Dalam pembukaan konstitusi, pemerintah diperintahkan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Perintah konstitusi itu amat jelas. Sejelas hampir 20 ribu pasien kanker usus besar di Indonesia yang memerlukan peran pemerintah untuk memastikan hak untuk hidup dan hak atas kesehatan mereka terpenuhi. Kemajuan teknologi dan pengetahuan di bidang kedokteran atau farmasi, telah mampu mengekstak ganja demi pengobatan kanker. Tentu saja, validitas dan keamanannya tentu berbasis data nan empiris. Jadi, dibanding berlindung dibalik hukum dan pasal-pasal terkait narkotika saat ini, sebaiknya pemerintah mulai berani mengambil langkah konkret untuk menyelamatkan nyawa puluhan ribu pasien kanker. Langkah konkret (mungkin) bisa dengan mengeluarkan ganja dari golongan 1 dalam UU Narkotika. Sehingga pintu penelitian terhadap ganja menjadi terbuka. Alternatif lain adalah meminta Kementerian Kesehatan melakukan riset holistik terkait manfaat ganja. Pemerintah rasanya tidak perlu khawatir bila nantinya ada pro dan kontra di masyarakat. Toh, di dalam hukum dikenal kaidah hukum tertinggi yaitu untuk menyelamatkan keselamatan masyarakatnya. Dan saat ini, ada hampir 20 ribu pasien kanker usus besar yang penting diselamatkan. Atau (mungkin) kita berharap saja pada koalisi masyarakat sipil yang tengah melakukan Judicial Review (Uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penggunaan ganja untuk medis. Bila dikabulkan MK, maka ganja dapat legalitas untuk segera diteliti guna kepentingan medis. Bisa jadi pula, putusan MK nanti membuat puluhan ribu pasien kanker (juga pasien penyakit lain) pun mendapat secercah asa. Asa untuk tetap hidup.

Tulisan opini ini merupakan respon dari Kasus Jeff Smith yang terjerat hukum karena narkotika ganja. Tulisan ini ditulis oleh Dominggus Christian – Manajer Pengetahuan dan Jaringan LBH Masyarakat.


Laporan Penelitian – Pemenuhan Hak Pengguna Narkotika di Masa Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 yang melanda hingga saat ini telah berdampak pada seluruh sektor kehidupan. Dampaknya telah dirasakan langsung oleh masyarakat, begitupun dengan mereka yang termasuk dalam kelompok rentan. Pasca kasus Covid-19 pertama terdeteksi di Indonesia, Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) adalah jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Transformasi ini juga dibarengi oleh peraturan-peraturan baru, baik di tingkat nasional maupun lokal, untuk mencegah dan menekan penyebaran yang masif COVID-19 semisal Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 9 Tahun 2020 dan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Nomor 33 Tahun 2020.

Sekalipun banyak peraturan yang lahir, nyatanya kasus Covid-19 terus meningkat angkanya di Indonesia. Kenaikkan angka ini juga menimbulkkan kekhawatiran terhadap perlindungan hak kelompok rentan selama pandemi.

World Health Organization (WHO) sendiri telah mengkategorikan beberapa kelompok rentan yang berisiko mengalami kondisi kronis jika terpapar COVID-19, yakni para lanjut usia (lansia) dan orang-orang dengan penyakit
bawaan atau yang sedang dalam kondisi sakit kritis/serius.

Pengguna narkotika bisa dikatakan sebagai salah satu kelompok rentan, karena pengguna narkotika berpotensi mengalami kondisi yang buruk jika terpapar COVID-19 karena penggunaan narkotika jenis tertentu dapat menimbulkan penyakit penyerta. Di mana penyakit–penyakit tersebut dapat menjadi komorbid sehingga dapat berakibat fatal dan menyebabkan kematian.

Situasi kesehatan kian riskan ini pun diperburuk dengan stigma dan diskriminasi bagi pengguna narkotika. Stigma dan diskriminasi telah menempatkan penguna narkotika sebagai kriminal. Hal tersebut semakin diperburuk dengan vokalnya pemerintah Indonesia dalam ” War on Drugs” .

Lewat laporan ini LBHM mencoba melacak bagaimana situasi pemenuhan pengguna narkotika di masa pandemi COVID-19 ditengah gempuran stigma dan diskriminasi serta pandemi berkepanjangan.

Simak laporan lengkapnya di link berikut:
Pemenuhan Hak Pengguna Narkotika di Masa Pandemi Covid-19

Polemik UU ITE, Bukti Anti Kebebasan Berpendapat?

Publik sempat berekspektasi besar terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika ia menyerukan untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun ekspektasi itu seolah pupus ketika bahasan Revisi UU ITE tidak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021.

Wakil Ketua Badan Legislatif DPR Willy Aditya, dalam pernyataannya di Cnnindonesia.com, menyebutkan bila Revisi UU ITE masih dikaji oleh pemerintah sehingga tidak masuk Prolegnas. Sementara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, dalam pernyataannya di Tempo.com, menyebutkan bila RUU ITE masih dalam tahap dengar pendapat publik (public hearing). Yasonna juga mengungkapkan bila Revisi UU ITE bisa menyusul dalam daftar Prolenas Prioritas 2021.

Hasrat publik saat ini, pemerintah perlu segera merevisi UU ITE. Kondisi yang ada saat ini, UU ITE bisa dibilang menjadi simbol pengekangan kebebasan berpendapat. Bagaimana tidak, sejak disahkan pada tahun 2008, undang-undang tersebut telah mengirimkan sejumlah orang untuk merasakan dinginnya dinding penjara. Peristiwa paling anyar mungkin menimpa anggota band rock Superman Is Dead, yakni Jerinx. Lalu ada juga peristiwa penangkapan aktivis Ravio Patra. Selain itu, peristiwa yang cukup fenomenal terjadi kepada Baiq Nuril, mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Banyaknya pasal “karet” di dalam UU ITE yang dapat mengkriminalisasi disinyalir menjadi biang keladinya. Menurut data SafeNet, setidaknya ada sembilan pasal karet yang membuat banyak orang harus terjerat pidana oleh UU ITE. Masih berdasarkan catatan SAFEnet, terdapat 381 korban dari UU ITE sejak pertama kali diundangkan pada tahun 2008 hingga tahun 2018. Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil juga melaporkan bahwa kasus-kasus yang dijerat dengan Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE menunjukkan penghukuman mencapai 96,8 persen (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi, yakni mencapai 88 persen (676 perkara).

Tingginya tingkat penghukuman ini bisa berdampak kepada masalah lainnya, seperti overcrowding penjara. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, angka keterisian penjara sudah mencapai 84% pada tahun 2020. Narapidana kasus Narkotika menjadi penyumbang terbesar dalam keterisian penjara itu.

Berdasarkan data-data di atas, maka pemerintah sudah sepatutnya segera melakukan revisi UU ITE. Pemerintah perlu memasukkanya ke dalam Prolegnas Prioritas. Selain itu, masukan dari masyarakat sipil selama ini terhadap UU ITE, mulai dari penghapusan pasal-pasal karet sampai masukan tentang peran pemerintah yang harus lebih mengedepankan pendekatan restoratif, perlu diakomodir.

Pengekangan Kebebasan Berpendapat

Hal terpenting adalah bahwa jangan sampai UU ITE menjadi landmark pengekangan kebebasan berpendapat. Sejarah mencatat bahwa pada pemerintah Indonesia pernah memberlakukan kebijakan yang mengekang kebebasan berpendapat. Jadi UU, ITE bukanlah yang pertama.

Pada masa Orde Lama, Soekarno pernah melakukan pemberedelan terhadap beberapa surat kabar yakni PedomanAbadi dan Indonesia Raja. Soekarno pada saat itu beralasan jika media tersebut Kontrarevolusi. Indonesia pada saat itu memang sedang melakukan revolusi sosialisme.

Sejarah juga mencatat ketika Orde Baru berkuasa, negara membungkam suara-suara kritis. Banyak sekali aktivis-aktivis yang ‘vokal’ berakhir dipenjarakan atau diasingkan, bahkan ‘dihilangkan’ sampai saat ini dengan UU Anti Subversi (Perpres 11 Tahun 1963). Hal ini pada akhirnya membuat semua orang takut mengemukakan pendapatnya.

Tidak hanya aktvis, media pun tidak luput menjadi target dari pembungkaman yang dilakukan pemerintahan Orde Baru. Seperti kita tahu, surat kabar menjadi salah satu medium favorit yang dipakai untuk menyampaikan kritik atau pendapat. Nahasnya, setelah Soeharto setahun berkuasa, ia menerbitkan Undang-Undang Pers Baru yang membatasi kebebasan media cetak. Penerbit-penerbit yang memuat suara-suara sumbang terhadap pemerintah bisa dicabut izinnya. Hal ini terbukti dengan dicabutnya izin 46 penerbit surat kabar dari 163 penerbit surat kabar. Te​mpo menjadi salah satu media yang mendapat pembredelan pada tahun 1994.

Pengekangan Kebebasan 4.0?

Pasca reformasi, kebebasan pun mulai mendapat ruangnya kembali. Semua orang sudah berani menyuarakan hal yang di masa sebelumnya dianggap tabu.  Namun, sebagaimana dijelaskan di atas, jika pada masa orde baru dan orde lama banyak pengekangan kebebasan berpendapat dibentuk dalam sebuah kebijakan (Perpres Anti Subversif, UU Pers Orde Baru) dan banyak diarahkan kepada medium surat kabar, maka di era pasca reformasi, UU ITE menjadi satu kebijakan yang cukup kontroversial karena bisa dikatakan membungkam kebebasan berekspresi.

UU ITE bisa dikatakan terbentuk karena adanya kekosongan hukum pada medium baru yang banyak digandrungi publik yakni medium digital (Internet). Ketiadaan produk hukum yang dapat menyentuh dan mengatur medium baru tersebut menjadi salah satu pendorong dibentuknya UU ITE.

UU ITE ini hadir dengan maksud baik yakni untuk melindungi masyarakat di medium digital, khususnya dalam hal bertransaksi elektronik. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 4 UU ITE yang menyebutkan tentang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang bertujuan untuk “membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab”; dan “memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.”

Namun, realitas di lapangan berkata sebaliknya, UU ITE justru ramai digunakan untuk mengkriminalisasi seseorang. UU ITE justru menampakkan pola yang sama dengan apa yang terjadi pada dua rezim sebelumnya (Orde Lama dan Orde Baru), yakni memunculkan kembali pengekangan kebebasan berpendapat. Sejarah pun berulang kembali dalam pola yang sama, L’histoire se repete, namun dalam medium yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut, jangan sampai UU ITE ini menjadi landmark pengekangan kebebasan berpendapat 4.0 yang dikenang dalam buku sejarah kedepannya.

Tulisan ini merupakan respon dari gagalnya UU ITE masuk ke dalam agenda Prolegnas 2021. Tulisan ini ditulis oleh Tengku Raka – Communication Specialist, LBH Masyarakat (LBHM).

Tulisan ini sudah pernah dimuat di kanal Asumsi.co: Polemik UU ITE, Bukti Anti Kebebasan Berpendapat?

Briefing Release – Prison and COViD-19: Lesson From an Ongoing Crisis

Pandemi COVID-19 telah memperlihatkan kepada publik jika kesehatan merupakan permasalahan global. Dampak Covid-19 pun telah menyasar dan mengancam kesehatan dan jiwa setiap orang. Salah satu kelompok yang paling terdampak dan rentan adalah mereka yang kini berada di dalam penjara. Orang yang berada di dalam penjara memiliki resiko yang tinggi untuk terpapar virus COVID-19. Jamak diketahui, situasi pemenjaraan dibeberapa negara masih memprihatinkan terutama terkait buruknya kualitas sarana dan prasarana, fasilitas kesehatan, sanitasi dan tingkat overcrowding penghuni penjara.

Berangkat dari latar belatar tersebut, sejumlah organisasi masyarakat sipil dunia (termasuk Indonesia) berinisiatif membuat briefing release berjudul Prison and COViD-19: Lesson From an Ongoing Crisis. Briefing realese yang telah disusun ini berfokus kepada 3 poin utama, yaitu:

 1. Pembentukan prosedur kebijakan sebelum menempatkan seseorang ke dalam penjara, altetarif pemenjaraan dan program diversi untuk menghindari pemenjaraan.

2. Dampak COVID-19 terhadap kondisi penjara, termasuk pemenuhan pelayanan harm reduction.

3. Memperhatikan pemenuhan perawatan pasca terlaksananya program pembebasan narapidana dan integrasi, khususnya terhadap kelompok pengguna narkotika

Harapannya, briefing release ini dapat menjadi acuan dan rekomendasi kepada Pemerintah dan pemangku kebijakan terkait untuk segera melakukan langkah mitigasi. Langkah cepat mitigasi tersebut diharapkan dapat segera memutus rantai penyebaran Covid-19 serta menyelamatkan jiwa para penghuni penjara. Disisi lain, pemenuhan  Harm Reduction bagi banyak pengguna narkotika tetap menjadi prioritas di masa pandemi ini.

Untuk membaca Briefieng Release ini selengkapnya, silahkan klik tautan berikut:
Prison and COViD-19: Lesson From an Ongoing Crisis (English)

Rilis Pers – Pemerintah Beralasan Revisi UU ITE Tidak Masuk Prolegnas Karena RKUHP, Aliansi: Langkah Mundur!

Menteri Hukum dan HAM pada 9 Maret 2021 menjelaskan alasan UU ITE tidak masuk Prolegnas 2021. Beliau mengatakan karena pemerintah masih terus menjaring masukan publik untuk kajian UU ITE, selain itu juga pemerintah tengah melakukan sosialisasi RKUHP, sehingga Revisi UU ITE tidak masuk dalam Prolegnas karena keterkaitannya dengan RKUHP itu.

Secara konsep, Aliansi sepakat bahwa dalam konteks kodifikasi, beberapa tindak pidana yang sifatnya konvensional (cyber-enable crimes) dalam UU ITE memang harusnya cukup diatur dalam KUHP, tidak perlu diatur kembali dalam UU ITE. Namun dalam konteks urgensi perubahan UU ITE, maka menurut Aliansi, pernyataan Menteri Hukum dan HAM ini adalah langkah mundur dalam semangat Presiden Jokowi dalam komitmen untuk merevisi UU ITE.

Perlu diketahui, Revisi RKUHP sudah berjalan dari tahun 2016, namun gagal digoalkan di tahun 2019 dikarenakan masih adanya permasalahan dalam materi RKUHP itu sendiri, seta masyarakat sipil menilai masih banyaknya kecacatan dalam proses penyusunannya. Pada akhirnya menimbulkan gelombang penolakan pengesahan RKUHP karena dinilai terburu-buru dan masih memuat banyak masalah.

Rilis lengkap dapat teman-teman lihat di:

Buku Panduan – Ruang Aman Untuk Pekerja Media & Seni

Keamanan dan kenyamanan seseorang ketika beraada di ruang publik adalah hal yang harus dihormati oleh setiap orang, tanpa memandang latar belakang gender dan orientasi seksual seseorang. Di situasi saat Ini yang masih tidak ramah terhadap kelompok minoritas gender dan seksual, menjadikan ruang aman sebagai barang mahal yang sangat sulit didapati seperti \’oase\’ ditengah padang pasir.

Ketiadaan ruang aman bagi kelompok minoritas membuat mereka kesulitan untuk mengembangkan bakat dan mengekspresikan dirinya. Ruang publik yang seharusnya dinikmati oleh seluruh warga negara, nyatanya dikapitalisasi oleh sekelompok orang yang membenci kelompok lain yang dianggap berbeda. Banyak kasus terjadi, salah satunya kasus pembatalan acara Grand Final Mister dan Miss Dewata di Bali tahun 2018. Pembatalan dipicu karena adanya keberatan dari beberapa pihak, salah satunya adalah karena alasan moral (LGBT dianggap bertentangan dengan niali norma dan konstitusi). Pembatasan maupun pelarangan terhadap kegiatan terhadap kelompok rentan yang terjadi selama ini merupakan sebuah bentuk pelanggaran hak, terlebih kelompok rentan ini memanfaatkan ruang publik yang ada untuk berkespresi, yang dimana kebebasan berekspresi dan berpendapat sendiri sudah dijamin dalam konstitusi dasar Indonesia (Pasal 28I Ayat 2 UUD 1945).

Kita bisa lho menciptakan Ruang Aman bagi kelompok rentan yang khususnya sering memanfaatkan ruang publik untuk berkespresi. Caranya bagaimana? yuk cek Panduan Ruang Aman di bawah ini:

  1. Buku Panduan: Panduan Ruang Aman Untuk Pekerja Media & Seni
  2. Tools/Produk Ruang Aman

Rilis Pers – 6 CATATAN UNTUK PARA HAKIM DI HARI KEHAKIMAN

Setiap tanggal 1 Maret di Indonesia, terdapat yang namanya Hari Kehakiman. Situasi kehakiman di Indonesia menjadi sorotan oleh kelompok masyarakat sipil beberapa waktu kebelakang ini. Secara undang-undang Hakim merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, berdasarkan Pancasila juga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana amanat yang tercantum Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Selain itu, sebagai pelaku cabang kekuasaan negara dalam bidang yudisial, hakim bertanggung jawab untuk memastikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).

Sayangnya, LBHM dan LBH Jakarta menemukan beberapa praktik-pratik yang mencoreng nama Hakim itu sendiri seperti:
1) Hakim Terlibat Praktik Judicial Corruption;
2) Hakim Kerap Mengabaikan Fakta Persidangan; 
3) Hakim Masih Sering Menjatuhkan Pidana Mati;
4) Hakim Memakai Alat Bukti yang Didapat dengan Tidak Sah (Penyiksaan) dan permasalahan Praperadilan (upaya paksa dan ganti kerugian);
5) Persidangan Virtual (Online) Banyak Melanggar Hak Terdakwa;
6) Mekanisme Pelaporan/Pengaduan Hakim Tidak Transparan, Imparsial, Efektif dan Akuntabel.

Oleh karenanya LBHM dan LBH Jakarta mendesak adanya segera perbaikan (evaluasi dan reformasi kehakiman) dalam tubuh Mahkamah Agung. Adapun poin tuntutan dari LBHM dan LBH Jakarta dapat teman-teman lihat dalam rilis pers di link berikut:

Rilis Pers – JERAT NARKOTIKA DI BADAN POLRI: BUKTI HUKUMAN MATI TIDAK LAGI RELEVAN, SEKALIGUS MENYUBURKAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA

Tertangkapnya Kapolsek Astanaanyar, Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi beserta 11 anggotanya atas dugaan penyalahgunaan narkotika, bukanlah tindak pidana narkotika pertama yang terjadi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Pada Oktober 2020 lalu, publik juga dikejutkan dengan seorang polisi berpangkat perwira inisial IZ yang terlibat peredaran narkotika jenis sabu seberat 16 kg di Provinsi Riau. 

Sayangnya reaksi yang ditunjukkan aparat sangatlah \’bahaya\’ yakni dengan mengamini hukuman mati bagi mereka (anggota polri) yang terlibat dalam kasus narkotika–Irjen Argo Yuwono menyebut, Anggota Polri yang terlibat tindak pidana narkotika, tanpa memandang sebagai pemakai atau pengedar harus dihukum mati, karena dianggap paham hukum dan konsekuensinya–Realita yang ada justru membuktikan jika hukuman mati tidak dapat mencegah seseorang untuk tidak melakukan tindak pidana lagi (narkotika).

Tentu hal ini membuat institusi Polri tercerung, dan dengan adanya kejadian ini sudah seharusnya Polri mulai melakukan evaluasi dalam perihal penangkapan atas tindak pidana narkotika.

Selengkapnya di link berikut:

Rilis Pers – Presiden Jokowi Segera Cabut Pasal Karet UU ITE, Rakya Mendesak dan Siap Mengawal

Senin, 15 Februari 2021, dalam rapat tertutup dengan pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa Pemerintah akan membuka ruang untuk duduk bersama dengan DPR RI guna merevisi UU ITE. Koalisi mendukung pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam membuka wacana Revisi UU ITE tersebut, namun pernyataan tersebut tidak boleh sebatas pernyataan retorik ataupun angin segar demi populisme semata. Pernyataan tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkrit.

Seluruh pasal – pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus. Rumusan pasal-pasal dalam UU ITE, yang sudah diatur dalam KUHP, justru diatur secara buruk dan tidak jelas rumusannya disertai dengan ancaman pidana lebih tinggi.

Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara). Laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis.

Rilis lengkap dapat dibaca di link berikut:

Koalisi Masyarakat Sipil:
ICJR, LBH Pers, IJRS, Elsam, SAFENet, YLBHI, KontraS, PBHI, Imparsial, LBH Masyarakat, AJI Indonesia, ICW, LeIP, LBH Jakarta, Greenpeace Indonesia, PUSKAPA, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), WALHI

Laporan Penelitian – Asesmen Hukum Pengampuan Indonesia: Perlindungan Hak Orang dengan Disabilitas Psikososial

Sekalipun narasi seputar kesehatan jiwa semakin populer belakangan ini, Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) di Indonesia masih sering mengalami tindakan diskriminasi. Stigma buruk yang dilekatkan terhadap mereka sebagai orang yang ‘berbahaya’ atau ‘irasional’ membuat negara dan pihak-pihak lain menganggap mereka tidak mampu melakukan tindakan hukum. Sistem pengampuan yang Indonesia atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan salah satu manifestasi di mana hak atas kapasitas hukum bagi ODP ini dilanggar.

LBHM bersama dengan Monash University melakukan penelitian terkait dengan kerangka hukum pengampuan serta implementasinya di lapangan. Menggunakan data penetapan pengadilan dan hasil FGD, penelitian ini memperlihatkan bagaimana pengampuan merenggut hak ekonomi, ditetapkan tanpa memperhitungkan alat bukti yang tepat, diberikan seringkali tanpa batas, dan mengabaikan kehendak dan preferensi ODP. Unduh laporan lengkapnnya di sini.

Living in Human Rights (LIGHTS)

Bergabung Bersama Kami Mewujudkan Keadilan bagi Kelompok Rentan!

Kamu resah melihat banyak ketidakadilan dan kebijakan yang ngawur di masyarakat, terlebih pada kelompok rentan? Kamu ingin belajar lebih banyak tentang situasi HAM dan cara advokasi yang tepat dan sesuai dengan kapasitasmu. Program LIGHTS adalah program yang tepat untukmu.

Apa itu LIGHTS?

Living in Human Rights atau biasa disingkat sebagai LIGHTS, merupakan program pengenalan Hak Asasi Manusia (HAM) intensif bagi mahasiswa/i yang sudah diadakan sejak tahun 2008 oleh LBH Masyarakat (LBHM). Lewat LIGHTS, LBHM membuka peluang terbuka bagi para peserta untuk bergabung dan menjadi bagian dari badan pekerja LBHM sebagai upaya menjaga keberlanjutan gerakan HAM yang telah kami lakukan selama lebih dari 17 tahun.

Mengapa Perlu Belajar HAM Lewat LIGHTS?

LBHM meyakini jika gerakan advokasi dan kampanye publik mengenai hak asasi manusia haruslah terlebih dahulu ditopang dengan pendidikan yang baik sejak dini, dan kehadiran LIGHTS berusaha memfasilitasi hal itu. Terlebih lagi, sebagai lembaga yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, LBHM juga merasa punya tanggung jawab dalam menyebarluaskan pengetahuan tentang hak asasi manusia dan demokrasi kepada masyarakat.

Siapa Saja yang Bisa Menjadi Peserta LIGHTS?

Program ini menargetkan para mahasiswa dan komunitas rentan yang haknya seringkali dilanggar dan partisipasinya jarang diperhitungkan dalam proses demokrasi dan pengambilan kebijakan. Sehingga, lewat pendidikan kritis yang diberikan kepada mereka, harapannya kami dapat membantu mereka dalam menciptakan iklim kebijakan yang lebih demokratis, berbasiskan pada nilai-nilai hak asasi manusia, dan berpihak pada kelompok rentan.

Apa Saja yang Dipelajari di LIGHTS?

Selama 14 hari (2 minggu), para peserta akan mendapatkan berbagai materi mengenai hak asasi manusia. Peserta akan mendapatkan kesempatan untuk mempelajari teori-teori HAM, implementasi pemenuhan HAM serta mengunjungi lembaga-lembaga negara dan organisasi masyarakat sipil yang juga memiliki perhatian besar pada pemenuhan HAM.

Kata Mereka tentang LIGHTS

Gimana sih pengalaman mereka belajar bareng di LIGHTS? Yuk lihat di sini:

NamaAsalTahun AngkatanTestimoni
Bima GilangFakultas Ilmu Pendidikan, Prodi Pendidikan Khusus, Universitas Negeri Jakarta2023Aku sangat senang mengikuti kegiatan LIGHTS yang diadakan LBHM. Sebelumnya aku betul-betul tidak paham dan tidak mengerti sedikitpun terkait HAM dan mengapa kita harus peduli serta menuntut perlindungan yang setara. Lewat pelatihan atau program LIGHTS aku juga menjadi paham bahwa semua orang berhak mendapatkan perlindungan tanpa memandang apapun latar belakangnya. LIGHTS tidak hanya berfokus pada teori-teori yang diajarkan di kelas namun kami juga diajak melihat langsung kelompok-kelompok rentan yang diadvokasi LBHM. Tentu saja itu membuka mata kami bahwa harapan itu ada, dan kami generasi muda harus menjaga nyala api harapan tersebut.
Intan ShabiraFakultas Ilmu Sosial dan Politik, Prodi Kriminologi, Universitas Indonesia2023Belajar HAM, gender, apalagi SOGIESC tuh enggak cukup kalau cuma 1 SKS, apalagi cuma 7 hari. Meski gitu, pelatihan ini bener-bener ngubah cara pandangku. Aku makin sadar bahwa banyak hal dalam hidup ini yang sebenarnya sedang direpresi—oleh sistem, norma, bahkan negara. Buatku, HAM itu bukan cuma soal hak. HAM itu sebuah privilese. Enggak semua orang punya akses buat baca, paham, atau bahkan sadar kalau mereka punya hak. Bahkan, enggak semua orang punya akses untuk sekadar baca atau mengerti tulisan ini. Jadi daripada ngirim orang ke barak militer, mendingan kirim pejabatnya aja ke pelatihan ini biar makin peka dan pa-HAM.
Novia PuspitasariFakultas Ilmu Hukum, Universitas Negeri Jember2018LIGHTS merupakan media edukasi bagi mahasiswa dan generasi muda mengenai demokrasi, hukum, dan Hak Asasi Manusia yang unik, mendalam, dan inklusif bagi beragam latar belakang peserta.   Forum ini dirancang untuk memfasilitasi pemahaman komprehensif peserta tentang demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia, baik secara teoritis maupun aplikatif.  Pemahaman konseptual yang saya peroleh di kelas kemudian dipertajam melalui analisis realitas sosial dan interaksi langsung dengan berbagai kelompok marginal.  Metodologi pembelajaran ini terbukti efektif bagi saya sehingga saya memiliki pemahaman yang lebih komprehensif tentang demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia, serta menumbuhkan empati terhadap kelompok-kelompok marginal.  Sesuai dengan namanya yang berarti cahaya, bagi saya LIGHTS berperan sebagai katalisator dan bekal untuk berpartisipasi aktif dalam membangun Indonesia yang lebih baik.
Teresa PrasetioFakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada2018LIGHTS merupakan salah satu pengalaman pengubah hidup bagi saya sebagai seorang mahasiswa dari Jogja. Melalui LIGHTS saya belajar kekayaan dimensi hak asasi manusia dan tantangannya dalam melindunginya demi kemanusiaan. Setelah dari LIGHTS, saya semakin yakin untuk berkarir di isu HAM. LIGHTS menjadi sarana yang tepat untuk tidak hanya untuk yang tertarik bekerja di isu HAM tapi juga memperkaya wawasan terhadap berbagai wajah kemanusiaan.

Pertanyaan Lebih Lanjut (Frequently Answer Question/FAQ)

  1. Apakah LIGHTS Memungut Biaya dari Peserta?

Tidak. Para peserta yang mengikuti LIGHTS tidak dipungut biaya.

  • Bagaimana metode pembelajaran dalam LIGHTS?

Pelaksanaan LIGHTS akan berlangsung selama 2 minggu atau 14 hari. Para peserta akan melakukan pembelajaran secara langsung di kantor LBHM, Jakarta, yang difasilitasi oleh Badan Pekerja LBM dan akan menghadirkan berbagai akademisi, praktisi, dan perwakilan kelompok rentan untuk memberikan pengetahuan tentang hak asasi manusia.

  • Bagaimana dengan Para Peserta LIGHTS yang Berasal dari Luar Jakarta?

Kami sebisa mungkin mencoba untuk memberikan beasiswa bagi peserta yang berasal dari luar Jabodetabek, tetapi jumlahnya sangat terbatas.

  • Apakah Peserta LIGHTS Mendapatkan Sertifikat?

Ya, peserta akan mendapatkan sertifikat dari LBHM.

  • Apakah Peserta LIGHTS Berpotensi Menjadi Bagian dari LBHM?

Sangat memungkinkan. Banyak alumni peserta LIGHTS yang menjadi staf tetap dari LBHM, banyak juga yang berkarya di organisasi sejenis. Namun, pembukaan pendaftaran staf baru juga mengikuti kesediaan lowongan dan submer daya LBHM.

Terus pantau media sosial dan website LBHM untuk mengetahui pendaftaran LIGHTS. 

Narapidana Bukan Tumbal Proyek: LBHM Memperingatkan Pemerintah Pentingnya HAM dalam Rencana Mengubah Lapas Jadi Rumah

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengkritisi rencana Menteri PKP, Maruarar Sirait (Ara), terkait pemindahan lahan penjara Cipinang dan Salemba. Upaya ini berpotensi melanggar hak-hak narapidana dan tidak menyelesaikan akar masalah yang selama ini terjadi di lapas maupun rutan di seluruh Indonesia terkait kelebihan kapasitas (overcrowded), jika rencana pemindahan tersebut tidak dibarengi dengan kajian HAM yang matang, transparansi, dan partisipasi publik yang bermakna dari masyarakat, narapidana maupun keluarganya akan merasakan dampak langsung kebijakan tersebut.

Pada hari Senin, 19 Mei 2025 lalu, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait (Ara), dalam Rapat Kerja dengan Komisi V DPR RI di Jakarta Pusat, melempar wacana terkait pemanfaatan lahan penjara untuk pembangunan perumahan rakyat. Beberapa penjara yang direncanakan akan dialihfungsikan untuk hunian warga tersebut di antaranya Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang di Jakarta Timur dan Salemba di Jakarta Pusat. Kata Ara, gagasan tersebut berasal dari arahan Presiden Prabowo Subianto yang disampaikan secara langsung kepadanya melalui sambungan telepon.

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pengalihfungsian kedua penjara tersebut menurut Ara. Pertama, kedua penjara tersebut (Cipinang dan Selemba) berada di tengah-tengah kota Jakarta, di mana ini lokasi yang cukup strategis digunakan untuk membangun hunian bagi rakyat. Hunian tersebut dibangun sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam merealisasikan program 3 juta rumah per tahun. Kedua, kondisi Lapas Cipinang dan Salemba tersebut sudah sangat penuh (overcrowded) sehingga berpotensi menciptakan kondisi yang tidak manusiawi terhadap para penghuninya. Dengan rencana pemindahan tersebut, situasi overcrowding itu dapat ditekan lewat pembangunan lapas baru, yang memperhatikan kapasitas dan jumlah narapidana.

Ara juga menyampaikan, untuk merealisasikan rencana ini, akan dibentuk Satgas Penjara Menjadi Rumah dan melibatkan berbagai pihak seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kejaksaan, Dirjen Kekayaan Negara, serta perbankan BUMN dan swasta. Pendanaan pembangunan perumahan ini juga direncanakan oleh Ara akan melibatkan Danantara sebagai penyedia likuiditas pembiayaan dan investor yang bersedia mendanai proyek ini.

Menyikapi rencana pemindahan penjara yang bakal berdampak signifikan terhadap kurang lebih 4,114 narapidana ini, terdapat beberapa poin penting yang menjadi peringatan kami untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak akan berdampak pada hak-hak narapidana.

Pertama, pemindahan berpotensi menghambat hak narapidana untuk mendapatkan kunjungan keluarga dan pengacara. Pasal 9 huruf (l) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan) menegaskan bahwa narapidana berhak untuk menerima kunjungan dari keluarga, advokat, pendamping, dan masyarakat. Pemindahan narapidana ke luar kota atau bahkan luar pulau akan menyulitkan narapidana merealisasikan hak ini. 

Sekalipun tidak semua penghuni Lapas Cipinang dan Salemba berdomisili di Jakarta, sebagian besar narapidana berkasus di Jakarta. Banyak di antara mereka yang memiliki keluarga dan teman di wilayah Jakarta atau sekitarnya. Jika para narapidana ini dipindahkan ke luar kota atau luar pulau, keluarga narapidana bisa menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk menemui mereka. Apalagi banyak keluarga narapidana yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah dan tidak mampu membayar ongkos bolak-balik untuk menjenguk keluarganya di penjara.

Keinginan untuk mempersulit akses besuk ini juga terlihat dari ungkapan Ara ketika menjelaskan instruksi Presiden Prabowo Subianto atas relokasi lapas menjadi rumah ini. Kepada media, Ara menjelaskan, “Pak Prabowo sudah telepon saya, ‘Ara, kita pindahkan penjara-penjara di daerah strategis buat rumah. Kita pindahkan penjara keluar kota, biar dibesuknya susah,’ begitu,”

Padahal kunjungan keluarga kepada narapidana merupakan bagian yang amat penting dari proses rehabilitasi. Dukungan emosional dari keluarga bisa mengurangi risiko stres dan depresi yang dialami narapidana, menjaga keterikatan sosial yang membantu integrasi kembali ke masyarakat usai bebas, dan mengurangi peluang kekambuhan atau menjadi residivisme.

Kedua, pemindahan narapidana akan menghambat mereka mendapatkan hak atas bantuan hukum yang efektif. Pasal 9 Huruf (f) UU Pemasyarakatan menjelaskan bahwa narapidana berhak atas bantuan dan penyuluhan hukum. Sekalipun mereka sudah berstatus sebagai narapidana, mereka masih memiliki hak-hak untuk melakukan upaya hukum, seperti Peninjauan Kembali (PK) atau pengajuan grasi. 

Karena banyak narapidana yang bermukim di Lapas Cipinang dan Salemba adalah hasil dari proses peradilan pidana di Jakarta dan sekitarnya, banyak di antara mereka menyewa jasa pengacara di Jakarta. Dengan dipindahkannya para narapidana ini keluar dari Jakarta, mereka akan mendapatkan kesulitan untuk bertemu dan berdiskusi dengan pengacaranya, sehingga mereka tidak akan bisa mendapatkan layanan bantuan hukum yang efektif.

Seringkali, lapas juga menampung orang-orang yang masih berstatus sebagai tahanan yang belum berkekuatan hukum tetap. Dari 4.114 orang yang ditahan di Lapas Salemba dan Cipinang, sebanyak 25 orang berstatus sebagai tahanan. Jika mereka dipindahkan ke daerah lain yang terpencil, mereka akan kesulitan untuk mendapatkan bantuan hukum yang dibutuhkan untuk menjalani persidangan. Aparat penegak hukum juga akan mengeluarkan biaya tambahan yang besar untuk membawa para tahanan ini pulang-pergi dari lapas ke pengadilan.

Sekalipun di lapas sudah menyediakan fasilitas telepon, banyak pengacara masih kesulitan untuk berkomunikasi dengan kliennya. Narapidana umumnya yang harus menelpon pengacaranya dari wartel berbayar di lapas dan itu pun bergantian dengan narapidana lainnya. Karena itulah, masih banyak pengacara yang mengandalkan pertemuan tatap muka langsung dengan kliennya yang berada di dalam.

Ketiga, ada kekhawatiran bahwa rencana pemindahan ini justru lebih didorong oleh kepentingan ekonomi semata, terlihat dari alasan yang diberikan dalam pemilihan lapas mana yang akan diganti menjadi pemukiman semata-mata mengacu pada landasan bahwa Lapas Cipinang dan Salemba berada di lahan strategis di tengah kota. 

Apalagi pertemuan yang dilangsungkan oleh Ara dengan Agus Indriarto, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, turut mengajak pengembang-pengembang properti besar, seperti PT Ciputra Development Tbk, Sinarmas Land Herry Hendarta, PT Summarecon Agung Tbk, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, PT Pakuwon Jati Tbk, dan Paramount Land. Sementara itu, secara kontras, belum ada kejelasan pembangunan lapas baru sebagai pengganti tempat tinggal ribuan orang yang sekarang berada di Lapas Salemba dan Cipinang. 

Dengan konteks demikian, seolah-olah terlihat bahwa pengembangan rumah hunian di kawasan strategis ini membutuhkan ‘tumbal’ yang mudah untuk dilupakan. Posisi narapidana sebagai pihak yang masih terstigma bisa dengan mudah digusur untuk kepentingan nasional yang dianggap lebih penting. 

Padahal, negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa kebijakan pemindahan penjara di Cipinang dan Salemba ini tidak hanya mempertimbangkan nilai ekonomi atau infrastruktur semata, tetapi juga menjunjung tinggi prinsip non-diskriminasi dan keadilan sosial bagi para narapidana maupun keluarga narapidana. Sebab, lapas bukan sekadar bangunan fisik, tetapi ruang reintegrasi yang harus mencerminkan penghormatan terhadap martabat manusia.

“Kebijakan yang dicanangkan Pemerintah tentang pengalihfungsian Lapas Cipinang dan Salemba menjadi perumahan rakyat menumbalkan berbagai pihak khususnya narapidana yang sedang menjalani proses reintegrasi. Rencana ini bisa melanggar hak narapidana sebagaimana yang tertuang pada Pasal 9 Huruf F dan Huruf I UU Pemasyarakatan,” kata Awaludin Muzaki, Pengacara Publik LBHM, Jumat (23/5/2025) di Jakarta.

“Alasan over kapasitas penjara juga tidak menyelesaikan akar permasalahan penjara, diperlukan perubahan regulasi yang mumpuni untuk menyelesaikan permasalahan over kapasitas penjara, bukan malah mengubah penjara. Fakta bahwa saat ini penghuni penjara didominasi oleh kasus narkotika harusnya pemerintah mengutamakan perubahan regulasi khususnya pada UU Narkotika ketimbang merubah alih fungsi Lapas Cipinang dan Salemba. Seharusnya juga pemerintah tidak langsung menyetujui perintah Presiden Prabowo, tetapi mengkaji lebih dahulu secara transparan dengan melibatkan partisipasi publik dan juga memperhatikan aspek kemanusiaan,” tambahnya.

Jakarta, Jumat, 23 Mei 2025

 

Narahubung:

Awaludin Muzaki, Pengacara Publik LBHM – (+62 812-9028-0416)

 


Referensi:

  1. Aji Cakti, Menteri PKP Ungkap Alasan Rencana Manfaatkan Lahan Penjara Jadi Rumah, antara.com, 19 Mei 2025. Diakses di https://www.antaranews.com/berita/4844109/menteri-pkp-ungkap-alasan-rencana-manfaatkan-lahan-penjara-jadi-rumah 
  2.  Jumlah total narapidana di Lapas Cipinang dan Salemba per 23 Mei 2025, data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dilihat dari https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh
  3.  Almadinah Putri Brilian, “Soal Penjara Jadi Perumahan, Ara: Harus Bangun Lapas Pengganti Dulu,” detik.com, 23 April 2025, diakses di https://www.detik.com/properti/berita/d-7881972/soal-penjara-jadi-perumahan-ara-harus-bangun-lapas-pengganti-dulu
  4.  Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dilihat dari https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh per 23 Mei 2025.
  5.  “Menteri PKP Ajak Pengembang Besar Tinjau Lahan Lapas untuk Bangun Rumah,” rctiplus.com, 15 Mei 2025, diakses di https://www.rctiplus.com/news/detail/terkini/4755391/menteri-pkp-ajak-pengembang-besar-tinjau-lahan-lapas-untuk-bangun-rumah 

 

 

Anak dengan Disabilitas Mental Ditelantarkan Negara Sendirian dalam Ruangan Arsip Kantor Polisi Tanpa Perawatan: MAS Ajukan Permohonan Praperadilan

Jakarta, 19 Mei 2025 – Seorang anak berhadapan dengan hukum (ABH), berusia 15 tahun, MAS, yang mengalami disabilitas mental telah ditahan secara sewenang-wenang di sebuah ruang penyimpanan berkas kantor Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan (Polres Jakarta Selatan) selama hampir lima bulan tanpa perawatan medis dan kepastian hukum mengenai kelanjutan kasusnya. Tidak ada dokter. Tidak ada psikolog. Tidak ada teman bermain sebaya. Tentunya juga tanpa ada perhatian dari Negara. Hanya ada tumpukan dokumen dan doa tulus dari ibunya yang menemani malam-malamnya.

Sebelumnya, pada 30 November 2024, ABH tersebut dituduh melakukan dugaan tindak pidana menyebabkan kematian ayah dan neneknya serta menganiaya ibunya pada peristiwa yang terjadi di Lebak Bulus. Namun, hasil pemeriksaan psikologi forensik dari Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR) dan Visum et Repertum Psikiatrikum (VeRP) dari RS Polri bekerjasama dengan Tim Dokter Psikiatri Forensik dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) justru mengungkapkan hal lain: ABH tersebut memiliki disabilitas mental yang bisa mempengaruhi kemampuannya dalam memahami dan menilai tindakannya.

Dari pemeriksaan tenaga ahli kesehatan telah jelas memberikan rekomendasi agar ABH tersebut mendapatkan terapi psikiatri, pendampingan psikologis, serta penanganan di institusi yang memiliki fasilitas kesehatan mental memadai, bukan dikurung dalam sebuah ruangan kecil untuk penyimpanan arsip bersama tumpukan dokumen. Meskipun Kuasa Hukum telah melakukan serangkaian langkah persuasif yang diperlukan agar ABH tersebut bisa diberikan akomodasi yang layak oleh Negara. Namun, hingga hari ini, Negara belum berbuat apa-apa untuk pemenuhan hak-hak ABH tersebut.

Melihat Negara yang terus abai dalam memenuhi hak-hak ABH tersebut. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) selaku Kuasa Hukum yang mendampingi dan mewakili ABH tersebut kemudian pada hari Senin, 19 Mei 2025, secara resmi mengajukan Permohonan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permohonan Praperadilan ini diajukan oleh ABH tersebut sebagai upaya untuk menuntut Negara (dalam hal ini Polres Jakarta Selatan dan Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (KemenPPPA), melalui mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh Hakim Praperadilan, agar penahanan kepada ABH tersebut dinyatakan tidak sah dan melanggar hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum serta prinsip-prinsip perlakuan yang layak terhadap anak dengan disabilitas mental.

Negara Abai, Hak Anak Dilanggar

Permohonan Praperadilan tersebut juga diajukan karena dilatarbelakangi oleh berbagai pelanggaran serius yang Kuasa Hukum catat, di antaranya:

Pertama, Negara tidak menjalankan sepenuhnya prinsip tujuan kepentingan terbaik bagi anak dalam penegakan hukum kasus ABH tersebut. Khususnya, mengenai ketidakpastian hukum menyangkut kasus ABH tersebut, apakah kasus ABH tersebut akan dilanjutkan sampai tahapan persidangan atau dihentikan pada tahapan penyidikan. Ketidakpastian hukum tersebut telah berdampak pada nasib ABH tersebut menjadi terkatung-katung dan tidak jelas mengenai kelanjutan proses hukum kasusnya. 

Kedua, ABH tersebut ditahan melebihi batas waktu yang diperbolehkan oleh hukum, bahkan masih ditempatkan di kantor polisi hingga hari ini, padahal masa tahanannya telah habis sejak Desember 2024. Penempatan ABH tersebut di kantor polisi tentunya juga bertentangan menurut hukum.

Ketiga, tidak adanya pemenuhan hak atas rehabilitasi dan habilitasi yang dibutuhkan oleh seorang anak dengan disabilitas.

Keempat, tidak adanya akses terhadap pendidikan, lingkungan sosial, atau aktivitas layak anak lainnya.

Kelima, tidak ada respons memadai dari Polres Jakarta Selatan maupun dari KemenPPPA, meskipun permintaan tertulis telah diajukan.

Bukan Cuma Sekadar Penegakan Hukum, Pemenuhan Hak Anak Berhadapan dengan Hukum tetap Harus Dipenuhi Negara

Dalam SPPA, ABH sepatutnya tidak dapat dipandang sebagai pelaku tindak pidana semata, melainkan harus juga dilihat sebagai korban, terlebih jika ABH tersebut memiliki disabilitas mental. Oleh karenanya ABH tersebut pantas dipulihkan, bukan dikurung dalam sebuah ruangan kecil untuk penyimpanan arsip bersama tumpukan berkas dokumen Polres Jakarta Selatan. 

Permohonan Praperadilan ini bukan sekadar tuntutan hukum semata. Ini seruan untuk menyelamatkan satu jiwa anak yang masih punya hak atas masa depan yang cerah, yang seharusnya mendapat perlindungan dari Negara, bukan justru penelantaran.

Berdasarkan hal tersebut, Kuasa Hukum mendesak hal-hal, sebagai berikut:

  1. Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan penahanan ABH tidak sah secara hukum.
  2. Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memerintahkan pemindahan segera ABH ke institusi rehabilitasi kesehatan yang layak dan memadai, yaitu RSCM. Dengan biaya yang ditanggung oleh Negara.
  3. Lembaga pengawasan seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Negara dalam pemenuhan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum.
  4. Pembenahan sistemik oleh Negara agar kasus serupa tidak terulang lagi di masa depan.

Hormat Kami,

Kuasa Hukum ABH

Ma’ruf Bajammal

 

Kontak:

Maruf (Pengacara Publik LBH Masyarakat) – 0812 8050 5706

LBHM Dukung Riset Ganja untuk Medis Selama Masih Partisipatoris

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) turut mengapresiasi pernyataan komitmen Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk melakukan riset ganja medis. Apresiasi ini kami sampaikan sebagai salah satu lembaga yang selama ini mendukung adanya riset tentang pemanfaatan narkotika yang partisipatif, akademik, dan sesuai dengan standar-standar internasional.

Pada hari Senin, 5 Mei 2025, Badan Narkotika Nasional melakukan Rapat Bersama dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). Dalam kesempatan tersebut, Hinca Panjaitan dari Fraksi Partai Demokrat, mengingatkan kembali anggota parlemen dan BNN tentang Pika yang meninggal dunia sembari menunggu hasil riset ganja medis. Hinca Panjaitan kemudian bertanya, “Sejauh mana komunikasi BNN dengan Kementerian Kesehatan terkait dengan rencana penelitian ganja medis ini?”

Martinus Hukom, Kepala BNN, pun menjawab,“Kami akan melakukan penelitian dan menjadi kebetulan kami punya laboratorium forensik sendiri dan cukup terbaik di Asia Tenggara. Jadi kami akan melakukan itu sebagai kewajiban konstitusional.” Pernyataan ini kemudian dilanjutkan dengan kesediaan BNN untuk bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Kementerian Kesehatan. 

Atas pernyataan BNN berikut, LBHM turut mendukung dilakukannya riset pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis. Namun, ada beberapa poin yang menjadi perhatian dan rekomendasi kami untuk memastikan bahwa riset ini betul-betul membawa kejernihan dalam memandang ganja dan narkotika lainnya.

Pertama, riset medis tidak boleh terjebak hanya mengukur kadar toksisitas dari kandungan ganja tetapi kegunaan ganja baik untuk mengobati penyakit dan meredakan rasa sakit. Uji materi terhadap ganja medis yang dilayangkan koalisi pada tahun 2022 silam berargumen bahwa ganja dapat membantu orang dengan cerebral palsy untuk meredakan sakit kronis yang dialaminya, meskipun bukan menghilangkan penyebab utama dari gangguan kesehatan tersebut.

Efek ganja yang bersifat analgesik ini menunjukkan bahwa meskipun ganja bukanlah peluru perak untuk mengobati suatu penyakit, ganja memiliki potensi untuk meredakan gejala yang menyulitkan seseorang hidup sehari-hari. Karena pengurangan penderitaan ini, pengobatan menggunakan ganja membantu seseorang untuk hidup secara bermartabat sebab ia bisa menjalankan aktivitasnya tanpa rasa sakit. 

Dengan melihat dampak ganja secara menyeluruh ini dan bukan hanya terjebak dalam melihat toksisitas ganja, masyarakat akan terinformasi secara berimbang tentang apa manfaat medis penggunaan ganja dan bukan mengerti bahwa ganja bisa berpotensi menyembuhkan atau menjadi anestesi yang bisa dimanfaatkan perseorangan dalam meredakan gejalanya.

Kedua, pemerintah harus membuka keterlibatan publik yang bermakna dalam riset ini. Bukan hanya BRIN dan Kementerian Kesehatan yang memiliki kompetensi dalam menjalankan riset ini, melainkan juga masyarakat sipil, khususnya akademisi di bidang medis dan farmakologi yang selama ini memang sudah lama menaruh perhatian pada isu-isu narkotika.

Selain itu, penelitian ini juga perlu untuk melibatkan orang-orang yang selama ini sudah terdampak dari kebijakan pelarangan ganja untuk kepentingan medis, bahkan sampai harus dipenjara karena ingin menjadi sehat. Kita tentu berbicara tentang keluarga almarhum Pika dan Fidelis Arie yang dipenjara karena menanam ganja untuk menyembuhkan penyakit Syringomyelia istrinya.

Orang-orang ini adalah pejuang hak atas kesehatan yang mengorbankan hidup mereka untuk mendukung adanya kebijakan kesehatan yang berbasis rasionalitas bukan ketakutan. Mengingat kesulitan dan penderitaan yang sudah mereka rasakan, hanya akan menjadi adil jika perspektif dan pengalaman mereka turut menjadi data bagi penelitian ini.

Ketiga, penelitian juga harus mencangkup pemanfaatan ganja oleh masyarakat adat. Bagaimanapun ganja adalah tanaman yang sudah tumbuh ratusan tahun di Indonesia. Sebagian masyarakat asli Indonesia sudah lama memanfaatkan ganja bagi kepentingan komunitasnya. Sebut saja masyarakat Aceh yang menggunakan ganja untuk kepentingan ritual, pengobatan dan makanan.

Penelitian ini harus bisa menangkap kekhususan masyarakat adat ini dalam mengelola ganja sebagaimana tercantum dalam Universal Declaration on the Rights of Indigenous People (UNDRIP). Pasal 3 UNDRIP menyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan sendiri cara mereka untuk berkembang secara ekonomi, sosial, dan kultural.

Riset ini bisa mengambil pelajaran dari bagaimana pemerintah Bolivia melakukan riset untuk pemanfaatan daun koka. Pada tahun 2023, Pemerintah Bolivia menuntut dilakukannya asesmen kritis atas penggolongan daun koka ke Golongan I narkotika dengan mengedepankan perspektif masyarakat adat yang tinggal di kawasan Andean-Amazonian.

Keempat, pemerintah perlu memberikan transparansi dalam pelaksanaan riset ini. Transparansi ini mencangkup tenggat waktu, rencana kerja, metode penelitian, tim peneliti, dan lain-lain. Dengan transparansi ini, masyarakat sipil dapat memastikan padanan dan arah riset dijalankan dengan sesuai dengan standar-standar akademik yang ada.

Sebagai contoh, pemerintah perlu memberikan kejelasan soal timeline riset ini. Pada saat rapat bersama kemarin, Martinus Hukom hanya mengatakan, “Kami memohon waktu untuk melakukan penelitian. Karena masalah ganja ini masalah yang lagi diperbincangkan apakah bisa dilegalkan untuk masalah kesehatan, kami butuh hasil riset yang lebih akurat.”

Adanya waktu yang cukup memang penting dalam sebuah riset. Namun, pemerintah perlu memberikan tanggal atas pencapaian-pencapaian ini supaya masyarakat, terutama yang membutuhkan, tidak mencurigai bahwa ini adalah upaya mengulur-ulur waktu. Kecurigaan ini wajar saja sebab Mahkamah Konstitusi sudah memandatkan penelitian ganja medis nyaris tiga tahun silam. Selama itu, belum ada kejelasan tentang apakah penelitiannya sudah dilakukan atau belum.

Kelima, jika BNN dan pemerintah sungguh-sungguh ingin membuka ruang penelitian ganja medis, maka langkah pertama yang harus mereka dorong secara aktif adalah pembuatan regulasi transisi: semacam peraturan pemerintah atau peraturan setingkat menteri yang memungkinkan kegiatan riset dilakukan secara legal, transparan, dan akuntabel. 

Pemerintah dan DPR perlu segera merevisi UU Narkotika yang berlaku saat ini dengan menambahkan pengecualian untuk kepentingan medis yang berbasis bukti. Kepastian hukum ini akan membuka peluang yang positif bagi beberapa pihak seperti lembaga riset dan universitas, tenaga medis, dan pasien untuk juga berkontribusi dalam proses penelitian tanpa ketakutan akan dipidana.

Secara keseluruhan, LBHM menyambut perkembangan riset ganja medis dalam Rapat Komisi III dan BNN kemarin dengan catatan-catatan kritis.

Albert Wirya, Direktur LBHM, menyampaikan, “Dalam Rapat Bersama kemarin, Hinca Panjaitan menyitir pernyataan Nelson Mandela bahwa, “Sebuah bangsa tidak seharusnya diukur dari bagaimana ia memperlakukan warganya yang paling kuat tetapi dari bagaimana ia memperlakukan yang paling lemah.” Pernyataan ini sungguh tepat untuk memastikan sikap pemerintah dalam penelitian ganja medis. Pemerintah harus menunjukkan keberpihakannya kepada kelompok yang miskin, mereka yang sakit, masyarakat adat, dengan memastikan riset tersebut bersifat komprehensif, partisipatif, akademis, dan transparan.”

Jakarta, 6 Mei 2025

Narahubung

Albert (085939676720)


Referensi:

  1. Raja Eben Lumbanrau, “Sejarah dan budaya ganja di Nusantara: Ritual, pengobatan, dan bumbu rempah makanan,” BBC Indonesia, 10 Februari 2020, diakses di https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/indonesia-51441909.amp
  2.  IDPC, “Righting a historical wrong: The UN review of the international status of the coca leaf – Version 2,” diakses di file:///C:/Users/cleoi/Downloads/Coca%20review%20advocacy%20note_EN_REV%20Feb%202025.pdf

 

Pelarangan Menjadi Waria di Gorontalo: Surat Edaran yang Membuka Keran Diskriminasi

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengecam sikap pemerintah dan parlemen Gorontalo dalam membuat Surat Edaran yang melarang keterlibatan waria (transpuan) dalam acara hiburan, pesta, karaoke, dan turnamen pertandingan. Surat Edaran ini kontradiktif dengan kewajiban pemerintah daerah untuk mewujudkan ruang yang aman bagi semua penduduk untuk bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan publik, terlepas dari identitasnya. 

Pada hari Selasa, 22 April 2025, Pemerintah Kabupaten Gorontalo melakukan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten Gorontalo. Hasil dari forum ini kemudian disahkan ke dalam Surat Edaran Nomor 800/BKBP/76/IV/2025 Tentang Larangan Kegiatan Keramaian Hiburan Rakyat dan Hajatan Pesta yang Melibatkan Waria, Biduan, Alkohol, Narkoba dan Judi yang ditandatangani oleh Pj. Sekretaris Daerah atas nama Bupati Gorontalo pada tanggal 25 April 2025. 

Surat edaran ini menghimbau camat, kepala desa, kepala kelurahan di Gorontalo untuk selektif memberikan izin keramaian pada acara hiburan rakyat, usaha karaoke, turnamen pertandingan, dan hajatan pesta. Poin ketiga dalam surat edaran ini mendesak aparat pemerintah setempat memantau dan mencegah acara keramaian yang melibatkan waria (transpuan).

Para pejabat pemerintahan dan anggota parlemen lokal ikut menyuarakan dukungan atas konten surat edaran ini. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Gorontalo, Irwan Hunawa, menyatakan bahwa hampir seluruh daerah di Gorontalo, khususnya Kota Gorontalo, sudah sepakat menolak kehadiran dan aktivitas komunitas tersebut. Pelarangan ini, menurutnya, karena ‘kegiatan waria’ merusak moral bangsa. Wakil Ketua DPRD Kota Gorontalo, Rivai Bukusu, juga mengatakan bahwa mereka menolak kegiatan-kegiatan yang melibatkan transpuan atau komunitas LGBT lainnya, karena bertentangan dengan nilai-nilai agama dan adat.

Atas situasi ini, LBHM memandang ada sesat pikir dan akar stigmatif dari penerbitan surat edaran ini dan juga pernyataan-pernyataan yang turut mendukungnya. Ada setidaknya empat poin mengapa surat edaran ini bermasalah:

Pertama, surat edaran ini melegitimasi marginalisasi dan diskriminasi transpuan di ruang-ruang publik. Surat edaran ini tidak menjelaskan pelibatan waria seperti apa yang dilarang atau dianggap berbahaya. Akibatnya, bukan hanya sebagai penampil (performer), transpuan yang menghadiri acara tersebut sebagai peserta atau penonton pun bisa dianggap terlibat dalam kegiatan tersebut dan akhirnya acara tersebut harus dibatasi. Ini akan membuat kelompok masyarakat menolak kehadiran transpuan secara total dalam kegiatan-kegiatan mereka karena takut acara mereka akan dibatalkan.

Diskriminasi semacam ini bertentangan dengan hak kebebasan berkumpul (freedom to assembly) sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Lebih jauh lagi, Pasal 24 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga sudah menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.” Hak ini diberikan tanpa ada distingsi atas identitas gender seseorang, tidak peduli apakah dia laki-laki, perempuan, transpuan, atau identitas gender lain. Keikutsertaan transpuan dalam acara-acara publik dan sipil seperti pertandingan olahraga dan acara kesenian adalah cara mereka melaksanakan kemerdekaan berkumpul.

Kedua, tindakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Gorontalo melalui surat edaran tersebut tidak berlandaskan hukum. Indonesia adalah negara hukum dan konsekuensinya adalah setiap perbuatan yang hendak atau sedang dilakukan dan keputusan yang diambil oleh pejabat pemerintah harus memiliki landasan hukum serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Memiliki identitas sebagai transpuan bukan sebuah tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Di samping itu, pelarangan transpuan untuk berpartisipasi atau menikmati hak untuk berkumpul, berserikat, dan berekspresi melalui Surat Edaran ini menunjukkan kebijakan yang dibuat bersifat subjektif tanpa ada landasan hukum mengapa kehadiran transpuan dalam kegiatan-kegiatan tersebut dilarang. Pola-pola legislasi serampangan tanpa ada dasar hukum yang jelas ini berisiko memprovokasi kebencian terhadap kelompok transpuan dan bahkan dapat mengarah pada eigenrichting (main hakim sendiri). Apalagi kelompok transpuan adalah kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan sebab masyarakat lebih mudah mengidentifikasi berdasarkan ekspresi gendernya.      

Ketiga, pelarangan transpuan untuk hadir di kegiatan-kegiatan hiburan melanggar tanggung jawab pemerintah untuk menjamin hak atas pekerjaan bagi warganya. Menurut sebuah survei, sekitar 8.7% anggota komunitas LGBTIQ+ berprofesi di sektor hiburan, seperti pengamen jalanan ataupun artis (penyanyi, penyanyi lip sinc, penari, dan lain-lain). Mereka yang bekerja sebagai pekerja informal ini menghadapi berbagai risiko ekonomi dan seringkali tidak mendapatkan jaminan perlindungan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan.

Salah satu urusan wajib dari Pemerintah Daerah adalah memberikan lapangan kerja yang aksesibel bagi semua sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Pemerintah dan DPRD Gorontalo seharusnya bisa melindungi hak pekerja sesuai dengan aturan ketenagakerjaan yang dimiliki Indonesia, tidak terkecuali pekerja seni informal, bukan malah melarang transpuan untuk bekerja sebagai pekerja seni dan pertunjukkan. 

Ada alasan mengapa banyak transpuan bekerja di sektor informal, karena mereka kerap kali sudah tersingkir dan terdiskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan formal. Ketimbang memberikan solusi atas diskriminasi hak atas pekerjaan yang selama ini sudah dialami oleh transpuan, surat edaran pemerintah Kabupaten Gorontalo ini semakin menyudutkan kelompok transpuan.

Keempat, alasan penolakan transpuan di kegiatan-kegiatan hiburan mengulang kembali alasan usang tentang transpuan melanggar norma kesusilaan. Bahkan ada simplifikasi argumen bahwa transpuan yang melakukan pekerjaan seni sudah pasti orang yang tidak beragama dan tidak bermoral. Dalam keterangannya Adhan Dambea, Walikota Gorontalo, menyatakan, “Saya mengajak kepada seluruh masyarakat Kota Gorontalo, untuk jangan mengundang penyanyi seperti waria. Di Kota Gorontalo masih banyak penyanyi-penyanyi yang bermoral dan punya agama.”

Padahal beberapa budaya lokal Indonesia juga mengakui keberadaan gender lain, seperti budaya Bugis yang mengenal lima jenis kelamin yang berbeda. Ada pula interpretasi-interpretasi ajaran keagamaan yang memberikan pandangan yang lebih toleran bagi individu trans. Otoritas kesehatan internasional seperti WHO dan nasional seperti Kementerian Kesehatan pun berulang kali menyatakan bahwa menjadi transpuan bukanlah sebuah gangguan kejiwaan. 

“Tindakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Gorontalo melalui Surat Edaran ini tidak mencerminkan visi Asta Cita yang diusung Presiden Prabowo. Padahal poin pertama dari Asta Cita adalah memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia. Maka praktik diskriminasi seperti ini tidak seharusnya dibiarkan menjamur atau bahkan dilegitimasi karena justru menghambat terwujudnya Indonesia Maju menuju Indonesia Emas 2045”, ucap Novia Puspitasari, Koordinator Riset dan Program LBHM.

Dari poin-poin di atas, LBHM mendesak pemerintah dan DPRD Kabupaten Gorontalo untuk mencabut Surat Edaran Nomor 800/BKBP/76/IV/2025 Tentang Larangan Kegiatan Keramaian Hiburan Rakyat dan Hajatan Pesta yang Melibatkan Waria, Biduan, Alkohol, Narkoba dan Judi. Kami juga mendesak Pemerintah Kabupaten dan Kota Gorontalo untuk menginstruksikan jajaran di bawahnya untuk menjaga dan melindungi hak kelompok rentan, tak terkecuali transpuan.  

Selain itu, LBHM juga meminta kepada Kementerian Dalam Negeri yang memiliki kewenangan untuk memastikan kebijakan pemerintah daerah sejalan dengan aturan yang lebih atas untuk mengevaluasi surat edaran ini. LBHM juga berpendapat bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai pihak yang melakukan pengawasan atas praktik dan kebijakan yang berdampak negatif pada pemenuhan HAM untuk melakukan investigasi pemberangusan hak yang terjadi di Gorontalo pada kelompok transpuan. 

Jakarta, 30 April 2025

 

Narahubung:
Novia – 081297566190

 

Referensi
  1. Dian, “Ketua DPRD Kota Gorontalo Tegaskan Menolak Seluruh Kegiatan yang Melibatkan Waria,” read.id, 28 April 2025, diakses di https://read.id/ketua-dprd-kota-gorontalo-tegaskan-menolak-seluruh-kegiatan-yang-melibatkan-waria/ 
  2.  Deden Arya, “Rivai Bukusu Tegas! Tolak Kegiatan Waria di Gorontalo,” gorontalo.totabuan.news, 28 April 2025, diakses di https://gorontalo.totabuan.news/dprd-kota-gorontalo/rivai-bukusu-tegas-tolak-kegiatan-waria-di-gorontalo/ 
  3.  Arief Rahadian, Gabriella Devi Benedicta, Fatimah Az Zahro, Kelompok Keragaman Seksual dan Gender di Tengah Pusaran Pandemi: Antara Kerentanan dan Resiliensi, Studi Dampak COVID-19 terhadap Situasi Sosial, Ekonomi, dan Hukum Kelompok Keragaman Seksual dan Gender di Indonesia, (Jakarta: Konsorsium Crisis Response Mechanism (CRM), 2021).
  4.  Lukman Husain, “Aksi Waria Berujung Pencekalan, ‘Padahal Bulan Depan Musim Pesta’,” Gorontalo Post, 29 April 2025, diakses di https://gorontalopost.co.id/2025/04/29/aksi-waria-berujung-pencekalan-padahal-bulan-depan-musim-pesta/  
  5.  Daniel Stables, “Mengenal lima gender dalam Suku Bugis di Sulawesi yang kerap alami stigma dan diskriminasi, ‘Di masa depan, bissu akan terancam punah’,” bbc.com, 25 April 2021, diakses di https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-56854166 
  6.  “Heboh Isu LGBT, WHO dan Kemenkes RI Turut Berkomentar,” tvonenews.com, 13 Mei 2022, diakses di https://www.tvonenews.com/berita/nasional/40482-heboh-isu-lgbt-who-dan-kemenkes-ri-turut-berkomentar?page=1 

Koalisi Menuntut Sembilan Materi Krusial dalam RUU KUHAP Dibahas Secara Mendalam dan Tidak Buru-Buru

RILIS PERS KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEMBARUAN KUHAP

Setelah  menggelar  konferensi  pers  terkait dengan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara   Pidana   (RUU   KUHAP),   Komisi   III   DPR   RI   kemudian   pada   24   Maret menyelenggarakan serangkaian kegiatan Rapat Dengar Pendapat Umum (RPDU) dengan sejumlah  organisasi  masyarakat  dan  organisasi  advokat.  Setelahnya, sepanjang 24-27 Maret 2025, bergulir berbagai narasi yang disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR RI, yang mengklaim bahwa banyak materi progresif dalam RUU KUHAP.

Sebelumnya  pada 20 Maret 2025, Ketua Komisi III DPR RI, menyatakan bahwa RUU KUHAP memuat lima materi yang disebut progresif, yaitu CCTV di tempat penahanan, pengaturan tentang hak kelompok rentan, penguatan advokat, perbaikan syarat penahanan, hingga kebaruan pengaturan tentang keadilan restoratif. Namun sayangnya, dalam rilis pers yang kami sampaikan 21 Maret 2025, kami membuktikan bahwa klaim materi progresif tersebut tak sepenuhnya tepat. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai Draft RUU KUHAP yang dipublikasikan DPR (versi 20 Maret 2025) masih memiliki banyak catatan dan belum menjawab akar masalah dalam praktik sehari-hari KUHAP saat ini (UU No. 8/1981) yang tidak akuntabel, tidak adil dan tidak memihak pada kepentingan hak-hak warga negara.

Sedangkan di sisi lain, DPR terkesan buru-buru dalam membahas RUU KUHAP. Menurut Ketua Komisi III DPR RI, target pembahasan RUU KUHAP tidak akan melebihi 2 (dua) kali masa sidang,  sehingga  paling  lama  akan  disahkan  sekitar  Oktober-November  2025. Padahal RUU KUHAP secara keseluruhan memuat sebanyak 334 pasal dengan rincian total daftar inventarisasi masalah yang perlu dibahas sebanyak 1570 pasal/ayat pada bagian batang tubuh dan 590 pasal/ayat pada bagian penjelasan. Dengan demikian, tidak masuk akal jika pembahasan terhadap RUU KUHAP dilakukan secara mendalam hanya dalam beberapa bulan. Bila tidak dibenahi dan dibahas secara hati-hati dengan melibatkan publik dan pihak-pihak yang langsung terdampak, maka RUU KUHAP yang dihasilkan malah justru akan berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia yang tersistematisasi dalam proses peradilan pidana.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mencatat sembilan masalah krusial yang seharusnya diselesaikan dalam RUU KUHAP, yaitu:

  1. Kejelasan tindak lanjut laporan tindak pidana dari masyarakat secara akuntabel, perlu ada jaminan bahwa korban dapat mengajukan keberatan kepada Penuntut Umum atau Hakim apabila laporan atau aduan tindak pidana tidak ditindaklanjuti oleh Penyidik;
  2. Mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dan ketersedian forum komplain untuk pelanggaran prosedur penegakan hukum oleh aparat, harus ada jaminan bahwa  seluruh upaya paksa dan tindakan lain penyidik dan penuntut umum harus dapat diuji ke pengadilan dalam mekanisme keberatan dengan mekanisme pemeriksaan yang substansial untuk mencari kebenaran materil dari dugaan pelanggaran ketimbangan pemeriksaan administrasi kelengkapan persuratan;
  3. Pembaruan   pengaturan   standar   pelaksanaan   penangkapan,   penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan yang objektif dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia, perlu ada jaminan bahwa seluruh tindakan tersebut harus  dengan izin pengadilan sedangkan pengecualian untuk kondisi mendesak tanpa izin pengadilan diatur secara ketat, serta dalam waktu maksimal 48 jam pasca orang ditangkap harus dihadapkan secara fisik ke muka pengadilan untuk dinilai bagaimana perlakuan aparat yang menangkap dan apakah dapat selanjutnya perlu penahanan;
  4. Prinsip    keberimbangan    dalam    proses    peradilan    pidana    antara    negara (penyidik-penuntut umum) dengan warga negara termasuk advokat yang mendampingi, harus ada jaminan peran advokat yang diperkuat dalam melakukan fungsi pembelaan terutama pemberian akses untuk mendapatkan atau memeriksa semua   berkas/dokumen   peradilan   dan   bukti-bukti   memberatkan,   perluasan pemberian bantuan hukum yang dijamin oleh negara dan pemberian akses pendampingan  hukum  tanpa  pembatasan-pembatasan,  hingga perlu meluruskan definisi advokat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
  5. Akuntabilitas pelaksanaan kewenangan teknik investigasi khusus seperti pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan yang diawasi (controlled delivery), perlu  ada  pembatasan  jenis-jenis  tindak  pidana  pidana  yang  dapat  diterapkan dengan teknik investigasi khusus, syarat dapat dilakukannya kewenangan ini, serta jaminan bahwa kewenangan ini harus berbasis izin pengadilan. Kewenangan ini tidak boleh dilakukan pada penyelidikan, tidak boleh penyidik yang menginisiasi niat jahat melakukan tindak pidana;
  6. Sistem hukum pembuktian, perlu definisi bukti tanpa mengotak-kotakkan alat bukti dan barang bukti serta memastikan unsur relevansi dan kualitas bukti, memastikan adanya prosedur pengelolaan setiap jenis/bentuk bukti, serta harus ada jaminan “alasan yang cukup” secara spesifik pada masing-masing kebutuhan tindakan bukan hanya mengacu pada 2 (dua) alat bukti di awal untuk terus menerus digunakan sebagai alasan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan tindakan lainnya;
  7. Batasan pengaturan tentang sidang elektronik, perlu ada definisi mengenai “keadaan tertentu” di mana sidang elektronik dapat dilakukan tanpa mengurangi esensi dari upaya pencarian kebenaran materiil dan untuk menghindarkan dari penjatuhan putusan  yang  bias,  keliru,  dan merugikan para pihak dalam persidangan, serta jaminan agar sidang elektronik tidak dijadikan alasan untuk membatasi akses publik termasuk   keluarga   korban   maupun   terdakwa   untuk   berada   dalam   platform komunikasi audio visual guna menyaksikan jalannya pemeriksaan;
  8. Akuntabilitas dalam penyelesaian perkara di luar persidangan, harus ada perbaikan konsep  restorative  justice  yang  saat  ini  hanya  dipahami  sebagai  penghentian perkara, jaminan bahwa mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan yang tersedia nantinya dapat dilakukan pada tahap pasca penyidikan, saat fakta tindak pidana sudah disepakati pada pihak, akuntabilitas harus dijamin untuk mencegah terjadinya praktik-praktik transaksional dan pengancaman/pemerasan;
  9. Penguatan  hak-hak  tersangka/terdakwa,  saksi,  dan korban, perlu ada kejelasan mekanisme restitusi sebagai bentuk pemulihan kerugian korban mulai dari proses pengajuan hingga pembayaran dana diterima korban, jaminan adanya pasal-pasal operasional  agar  hak-hak  hak-hak  tersangka/terdakwa, saksi, dan korban dapat diakses secara efektif dalam praktik termasuk pihak-pihak yang dibebani kewajiban pemenuhan hak, mekanisme untuk melaporkan dugaan pelanggaran hak-hak hingga konsekuensi-konsekuensi jika terbukti hak-hak tersebut tidak dipenuhi atau dilanggar.

Jakarta, 28 Maret 2025

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP

  1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  2. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
  3. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
  4. PBHI Nasional
  5. KontraS
  6. AJI Indonesia
  7. AJI Jakarta
  8. Aksi Keadilan
  9. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
  10. Koalisi Reformasi Kepolisian
  11. 1 Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI)
  12. LBH Masyarakat
  13. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
  14. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers)
  15. Imparsial
  16. Perhimpunan Jiwa Sehat
  17. LBH APIK Jakarta
  18. Themis Indonesia
  19. PIL-Net
  20. Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)

Uraian masing-masing masalah diatas serta rujukan rumusan pasal masalah dalam RUU KUHAP di atas dijabarkan secara mendalam pada dokumen berikut.

Pasal-Pasal Bermasalah dalam RUU KUHAP

 

PERAN FAKTOR SOSIAL EKONOMI DALAM REZIM KEBIJAKAN NARKOTIKA PUNITIF DI INDONESIA

Selama beberapa dekade terakhir, Indonesia menerapkan kebijakan-kebijakan yang keras dan berfokus pada pemidanaan perdagangan narkotika terlarang dengan menjatuhkan hukuman penjara yang panjang untuk berbagai pidana narkotika, termasuk penggunaan dan penguasaan, serta menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi. Pembenaran terhadap pendekatan punitif ini adalah argumen efek jera: keyakinan bahwa hukuman yang cukup keras akan menggetarkan calon pelaku untuk tidak terlibat dalam pidana narkotika. Namun pada kenyataannya, perdagangan narkotika terus berkembang, dan pendekatan punitif ini justru telah mengakibatkan krisis kepadatan penjara. Situasi ini mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan reformasi peraturan perundang-undangan.

Laporan ini hendak mengisi kesenjangan pengetahuan mengenai dampak sosial ekonomi dari pendekatan Indonesia saat ini terhadap kebijakan narkotika: siapa dalam masyarakat yang paling terdampak, dan bagaimana. Tulisan ini menelaah peran berbagai faktor sosial ekonomi dalam jalur menuju kriminalisasi untuk pidana narkotika, serta efek sosial ekonomi dari pendekatan punitif itu sendiri. Laporan ini didasarkan pada wawancara dengan narapidana yang menjalani hukuman untuk pidana narkotika serta dengan perwakilan organisasi masyarakat sipil (OMS) yang bergiat dalam bidang kebijakan narkotika dan dukungan kepada narapidana.

Penelitian ini dijalankan oleh Death Penalty Research Unit (DPRU), Oxford University, bekerja sama dengan LBH Masyarakat (LBHM).

Unduh penelitian selengkapnya

Hentikan Narasi Pidana Mati dalam Tiap Kasus Korupsi

LBH Masyarakat, Jakarta — Tingkah heroik dalam menanggap kasus korupsi terulang kembali. Kali ini datang dari Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin yang memberi pernyataan bahwa para tersangka kasus korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina berpeluang untuk dituntut dengan pidana mati. Pernyataan ini didasarkan pada tempus perkara yang dilakukan oleh para tersangka berada di masa pandemi Covid-19.

LBHM menilai tanggapan tersebut hanyalah bualan untuk meredam kemarahan publik. Pemberlakuan pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilakukan secara terbatas. Yakni dengan dua prasyarat: korupsi harus dilakukan dalam keadaan tertentu, seperti kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi, dan moneter; serta pengulangan tindak pidana korupsi.

Narasi penggunaan pidana mati pada kasus-kasus korupsi yang sangat menyita perhatian publik seolah menempatkan pidana mati sebagai obat mujarab. Gagah-gagahan dalam penggunaan pidana mati ini tidak menyelesaikan akar permasalahan korupsi di Indonesia dan tidak mengembalikan kerugian yang diderita oleh rakyat utamanya dalam korupsi tata kelola minyak mentah ini.

Jaksa Agung sepatutnya berfokus pada penegakan hukum yang mencegah keberulangan terhadap tindak pidana korupsi lain dan memaksimalkan pengembalian kerugian yang ditimbulkan oleh para tersangka kepada negara dan masyarakat. Selain itu, tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan pemberlakuan pidana mati terhadap para koruptor membuat tata kelola menjadi transparan dan akuntabel.

Indeks Persepsi Korupsi Tahun 2024 membuktikan mayoritas dari 10 negara di dunia dengan nilai tertinggi justru tidak menerapkan pidana mati. Sebaliknya, negara-negara seperti Cina, Iran, dan Korea Utara yang menerapkan penjatuhan pidana mati terhadap kasus korupsi justru menempati posisi bawah. Ini menegaskan perbaikan sistem pengawasan menjadi faktor utama yang harus dibenahi dalam menangani dan memberantas tindakan-tindakan koruptif.

Tak hanya itu, penguatan regulasi, salah satunya melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset juga krusial sebagai prosedur legal negara dalam memaksa para pelaku koruptor untuk mengembalikan kerugian yang timbul. Langkah-langkah nyata demikian yang sepatutnya dikedepankan pemerintah ketimbang memainkan narasi usang, yakni ancaman menghukum koruptor dengan pidana mati.

Selain usang, pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) telah diposisikan sebagai pidana alternatif yang penggunaannya perlu untuk mempertimbangkan rasa penyesalan terdakwa, harapan terhadap terdakwa untuk memperbaiki diri, serta peran terdakwa. Maka, sebagai salah satu penegak hukum yang memiliki peran vital dalam menentukan nasib para terdakwa, sepatutnya Jaksa Agung/Kejaksaan Agung sejalan dengan KUHP Baru tersebut.

Berdasarkan hal tersebut di atas, LBHM meminta Kejaksaan Agung untuk berhenti menggunakan narasi pidana mati dalam merespon kasus korupsi. Sekaligus meminta Kejaksaan Agung untuk menangani dan memberantas kasus-kasus korupsi tanpa tebang pilih, berfokus pada pembenahan tata kelola pemerintahan, dan memaksimalkan kerugian yang timbul untuk dikembalikan kepada negara, serta memperbaiki kerusakan-kerusakan yang telah terjadi agar dapat dipergunakan kembali untuk kepentingan publik.

Narahubung:

Yosua (+62 812-9778-9301)

Ilusi Kebaruan Peraturan Menteri Kesehatan No.02 Tahun 2025

Ilusi Kebaruan Peraturan Menteri Kesehatan No.02 Tahun 2025:

Regulasi Berbahaya yang Memukul Mundur Pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi

06 Maret 2025

Kami, aliansi masyarakat sipil yang konsisten mengawal perkembangan aturan turunan pada UU Kesehatan No.17 Tahun 2023 serta aktif memberikan masukan pada proses penyusunan aturan turunan guna mendapatkan akses layanan yang adil dan inklusif 1, menyatakan keberatan atas substansi di dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.02 tahun 2025. Keberatan ini utamanya kami tujukan pada pasal-pasal diskriminatif yang justru mencederai perlindungan kelompok rentan, menghilangkan otonomi tubuh tiap individu, serta menjauhkan korban dari akses layanan kesehatan yang terjangkau dan memulihkan.

Secara substansi, PMK No.2 Tahun 2025 ini bertentangan dengan Pasal 28 ayat 4 UU Kesehatan No.17 Tahun 2023, yang mengamanatkan Negara–baik Pemerintah Pusat maupun Daerah–wajib menyediakan layanan kesehatan primer dan lanjutan bagi masyarakat rentan dengan prinsip inklusif non-diskriminatif. Kelompok ini mencakup individu yang termarjinalisasi secara sosial, baik berdasarkan agama/kepercayaan, ras atau suku, disabilitas, orientasi seksual dan identitas gender, serta individu yang tinggal di wilayah tertinggal, terpencil, dan perbatasan.

Proses Penyusunan yang Tidak Partisipatif

Sejak awal dalam proses penyusunan PMK ini (dan turunan aturan lain dari UU 17 tahun 2023 tentang Kesehatan) tidak melibatkan partisipasi bermakna dari kelompok terdampak. Kementerian Kesehatan cenderung mengabaikan pengalaman hidup kelompok rentan, padahal yang diatur dalam PMK ini adalah tubuh tiap individu. Mekanisme konsultasi yang ada tidak transparan dan tidak memberikan ruang yang cukup bagi organisasi penyandang disabilitas, perempuan, serta kelompok rentan lainnya untuk menyampaikan pandangan dan pengalaman mereka secara substansial. Proses penyusunan aturan ini menunjukkan kegagalan Kementerian Kesehatan dalam melibatkan partisipasi bermakna masyarakat sipil. Kementerian Kesehatan nyatanya masih menggunakan pendekatan yang menempatkan masyarakat hanya sebagai objek kebijakan, bukan sebagai subjek dengan hak penuh untuk menentukan kebijakan yang mempengaruhi hidup mereka. Akibatnya, aturan ini tidak hanya diskriminatif tetapi juga berpotensi memperburuk ketidakadilan struktural yang sudah lama dialami oleh kelompok masyarakat.

Hilangnya Otonomi Tubuh Perempuan Disabilitas

Hari ini kami kecewa mendapati PMK No.02 Tahun 2025 masih memiliki problem kritis dalam menempatkan Orang Dengan Disabilitas. Kementerian Kesehatan terang-terangan menunjukan perspektif ableismenya melalui aturan ini. Alih-alih melindungi hak otonomi tubuh perempuan disabilitas, aturan ini justru secara gamblang menghilangkan kecakapan Orang Dengan Disabilitas terutama Disabilitas Mental dan Disabilitas Intelektual. Melalui Pasal 62 Ayat (5) “…orang yang dianggap tidak cakap dalam mengambil keputusan, persetujuan dapat dilakukan oleh keluarga lainnya..”. Ketentuan ini merampas hak penyandang disabilitas untuk menentukan keputusan terkait tubuhnya sendiri, termasuk dalam layanan aborsi. Mestinya daripada mencabut hak pengambilan keputusan dari Orang Dengan Disabilitas, negara seharusnya menyediakan mekanisme supportive decision-making yang memungkinkan mereka membuat keputusan dengan berbagai dukungan yang menghormati hak dan otonomi mereka, bukan malah mencabut hak tersebut.

Selain itu, penggunaan istilah “cacat” dalam regulasi ini memperkuat stigma diskriminatif. Aturan ini seharusnya berlandaskan Hak Asasi Manusia, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 yang meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas serta Undang-Undang No. 8 Tahun 2016. Sejalan dengan itu, pendekatan medical model yang menempatkan disabilitas sebagai sesuatu yang harus “diperbaiki” harus ditinggalkan, dan kebijakan kesehatan harus beralih ke human rights-based

1https://lbhapik.or.id/siaran-pers-masyarakat-sipil-mendesak-pemenuhan-hak-atas-kesehatan-yang-inklusif-adil-dan-setara-dalam-seluruh-proses-penyusunan-kebijakan-turunan-uu-no-17-tahun-2023-tentang-kesehatan/
approach yang menghormati kemandirian, martabat, serta hak penuh penyandang disabilitas dalam mengambil keputusan atas hidup mereka sendiri.

Diskriminasi terhadap Orientasi Seksual dan Identitas Gender

Permenkes ini kembali menempatkan orientasi seksual sebagai disfungsi dan gangguan (Pasal 52). Ini sangat bertentangan dengan UU Kesehatan yang telah mengakui dan melindungi individu yang mengalami diskriminasi secara sosial karena orientasi seksual dan identitas gendernya. Ketentuan ini juga berlawanan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, yang secara tegas menyatakan bahwa orientasi seksual bukanlah gangguan jiwa.

Lebih dari itu, Permenkes ini secara eksplisit mempromosikan upaya-upaya korektif paksa terhadap orientasi seksual yang dianggap sebagai kelainan melalui deteksi dini (Pasal 54) dan upaya rehabilitatif (Pasal 56). Padahal, upaya korektif yang dulu dikenal dengan istilah “terapi konversi” telah dinyatakan Komite Anti Penyiksaan PBB sebagai tindak penyiksaan yang harus dihentikan. Indonesia telah berulang kali ditegur PBB dan didorong untuk mencabut kebijakan diskriminatif dan memberikan perlindungan yang memadai bagi kelompok rentan. Alih-alih memberikan perlindungan, Negara semakin melanggar mandat dan komitmennya untuk menegakkan Hak Asasi Manusia lewat Permenkes yang menambah daftar panjang kebijakan diskriminatif. Tenaga medis yang seharusnya bebas dari tindak diskriminasi dan mengutamakan keselamatan pasien justru diberi kuasa penuh oleh Negara untuk melakukan kekerasan dan penyiksaan.

Dampak dari kebijakan ini tidak bisa diabaikan. Permenkes ini jelas memperburuk terwujudnya pemenuhan hak dasar atas kesehatan fisik dan mental kelompok rentan, secara khusus kelompok LGBTIQ, yang selama ini sudah sangat kesulitan mengakses layanan kesehatan karena stigma sebagai gangguan/kelainan seksual. Upaya korektif terhadap orientasi seksual ini memenuhi unsur-unsur penyiksaan2, yang diantaranya adalah menimbulkan penderitaan fisik dan mental luar biasa yang berdampak pada kehilangan keberhargaan diri dan trauma berkepanjangan; serta dilakukan untuk tujuan tertentu – berdasarkan keyakinan keliru bahwa orientasi seksual adalah gangguan sehingga upaya korektif bertujuan untuk mengembalikan martabat kemanusiaannya. Melalui Permenkes ini, unsur-unsur penyiksaan berikutnya terpenuhi, yakni Negara secara sengaja melakukan serta menyetujui upaya korektif melalui pejabat-pejabat yang berwenang, dalam hal ini tenaga medis, kesehatan, maupun institusi layanan kesehatan. Dengan memberlakukan kebijakan yang menegaskan orientasi seksual sebagai gangguan yang perlu ‘dikoreksi’, negara tidak hanya mengabaikan hak warganya tetapi juga memperkuat sistem yang menyetujui, menormalisasi serta melakukan penyiksaan.

Pembatasan Akses Layanan Aborsi

Dalam hal layanan aborsi, PMK ini berpeluang menambah pengalaman traumatis bagi korban akibat alur yang berlapis, rumit dan penuh dengan syarat administratif. Mekanisme ini mengabaikan pengalaman perempuan korban, pengalaman individu dengan kondisi darurat medis yang membutuhkan layanan aborsi untuk mengambil keputusan secara utuh. Aturan ini menyaratkan empat (4) surat yang harus diperoleh secara kumulatif untuk mengakses layanan, termasuk Surat Keterangan Penyidik (pasal 60), berpotensi menghambat korban mengakses layanan aborsi. Faktanya, tidak semua korban kekerasan seksual dan korban perkosaan dapat dan berkehendak untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian. Sebagai tambahan, bahkan ketika korban memilih untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan dan membutuhkan layanan aborsi, hingga ini belum ada mekanisme internal dalam kepolisian yang dapat menerbitkan surat keterangan tersebut. Oleh karena itu, pelaporan pidana seharusnya dipisahkan dari hak individu atas keputusan prokreasi.

Layanan aborsi adalah layanan kesehatan yang menjadi bagian dari hak pemulihan kesehatan korban kekerasan seksual dan perkosaan, sebagaimana telah diatur dalam UU TPKS No.12 Tahun 2022. Tim pertimbangan yang terdiri dari lebih dari satu (1) tenaga medis juga dapat menjadi penghambat yang tidak sensitif terhadap situasi korban. Selain itu, aturan ini juga mengabaikan fakta terbatasnya tenaga medis terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Secara geografis dan ketersediaan akses, tidak

2 Berdasarkan Pasal 1 UU. No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia semua korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan berada di wilayah dengan fasilitas kesehatan tingkat lanjut.

Dalam hal situasi darurat medis, aturan ini mengharuskan persetujuan suami dan/atau keluarga untuk mengakses layanan aborsi sebagaimana tertuang dalam Pasal 62. Ketentuan ini mencabut otonomi perempuan atas tubuhnya sendiri, bahkan dalam kondisi yang mengancam nyawa. Oleh karena itu, persyaratan persetujuan suami atau keluarga harus dihapus demi menjamin hak perempuan atas keputusan medisnya sendiri.

Tuntutan Kami

Masyarakat Sipil telah mengajukan catatan kritis dalam proses advokasi sebelumnya terkait kebijakan ini. Namun, hingga kini, peraturan yang dikeluarkan masih belum mencerminkan perlindungan bagi kelompok rentan dan korban. Oleh karena itu, kami kembali mendesak Kementerian Kesehatan untuk menyediakan regulasi yang efektif, berperspektif korban, dan tidak diskriminatif dengan: revisi terhadap Permenkes No. 02 Tahun 2025, khususnya dalam hal berikut:

  1. Merevisi Peraturan Menteri Kesehatan 02 Tahun 2025 dan melakukan perubahan di antaranya:
    1. Menghapus semua penggolongan orientasi seksual sebagai disfungsi, kelainan, dan/atau gangguan serta upaya kuratif dan rehabilitatif yang mengikutinya;
    2. Menghapus Surat Keterangan Penyidik sebagai syarat administratif dalam layanan aborsi;
    3. Menghapus Tim Pertimbangan dalam alur akses layanan aborsi, karena prosedur ini menambah hambatan bagi korban dalam situasi darurat dan berisiko mengurangi aksesibilitas layanan;
    4. Menghapus persetujuan Suami dan keluarga untuk akses aborsi dalam situasi darurat medis;
    5. Menghapus ketentuan yang menyatakan bahwa Orang Dengan Disabilitas tidak cakap mengambil keputusan, dan memastikan bahwa Individu Dengan Disabilitas berhak memberikan persetujuan sendiri tanpa harus melalui wali/tenaga medis serta mendorong penyediaan mekanisme supportive decision-making sebagai dukungan kepada Orang Dengan Disabilitas untuk membuat keputusan;
    6. Menghapuskan segala bentuk perlukaan termasuk penghapusan upaya-upaya simbolis dalam bagian P2GP
  2. Memastikan prinsip penyediaan layanan kesehatan yang inklusif, non-diskriminatif serta patuh pada standar hak asasi manusia, termasuk rekomendasi WHO dan perjanjian HAM internasional yang menegaskan bahwa orientasi seksual dan identitas gender bukan penyakit. Dalam implementasinya, sistem, budaya, dan infrastruktur layanan kesehatan harus mengakomodasi kebutuhan LGBTIQ dengan cara yang bermartabat dan inklusif, serta melindungi kelompok LGBTIQ dari praktik berbahaya seperti diskriminasi, penyiksaan berbentuk upaya korektif, dan kekerasan berbasis SOGIESC.
  3. Melakukan perluasan akses dan metode aborsi (tidak terbatas pada metode prosedural, tetapi juga medikamentosa) di dalam kerangka task shifting untuk memastikan keterlibatan profesi lain seperti bidan, apoteker, paramedis, sebagaimana diatur dalam KUHP 2023 dan mengacu pada panduan termutakhir WHO terkait aborsi. Adanya perluasan akses dan metode ini adalah cara untuk memastikan tata laksana aborsi aman dapat diberikan mulai dari fasilitas kesehatan tingkat primer dan mengakomodir situasi keterbatasan layanan.
  4. Melibatkan masyarakat sipil dalam proses monitoring dan evaluasi. Untuk menjamin bahwa masyarakat sipil, khususnya kelompok advokasi perempuan, penyandang disabilitas, serta kelompok LGBTIQ, terlibat secara aktif dalam pemantauan implementasi regulasi kesehatan yang menyangkut hak dan perlindungan mereka. Sekaligus mendorong penyedia layanan kesehatan untuk mengedepankan pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam penanganan korban kekerasan seksual, tanpa stigma atau diskriminasi.

Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi

  1. Save All Women and Girls (SAWG)
  2. Yayasan Kesehatan Perempuan
  3. Perhimpunan Jiwa Sehat
  4. Samsara
  5. Asosiasi LBH APIK Indonesia
  6. Arus Pelangi
  7. Qbukatabu
  8. Institute for Criminal Justice Reform
  9. PKBI Yogyakarta
  10. Front Anti Kekerasan Maluku Utara
  11. Woi Sulawesi Utara
  12. Gerak 28 September
  13. Transmen Indonesia
  14. Koalisi Perempuan Indonesia
  15. id
  16. Alemu
  17. LBH Masyarakat
  18. Amerta Raksa Kayana
  19. Komunitas Perempuan Bumi
  20. Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia
  21. SIGAB Indonesia
  22. Diksi Foundation
  23. HWDI – Sulawesi Selatan
  24. Yayasan Pelopor Peduli Disabilitas Situbondo
  25. Jakarta Feminist
  26. Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS)
  27. Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN)
  28. OHANA
  29. CIQAL
  30. SAPDA
  31. Feminis Themis
  32. PPDI Kalimantan Timur

Kontak person:

Ika Ayu – 0818278587
Nanda Dwinta – 081586602575
Tama – 085234831703
Tama – 085234831703

1. Peraturan Menteri Kesehatan menempatkan layanan Aborsi sebagai peristiwa hukum dan bukan tindakan medis; korban wajib mendapatkan 4 surat sebelum bisa mengakses layanan.

2. Peraturan Menteri Kesehatan melanggengkan patologisasi LGBTIQ dan mempromosikan tindak penyiksaan berbentuk upaya korektif paksa terhadap kelompok LGBTIQ

3. Peraturan Menteri Kesehatan menghilangkan otonomi tubuh orang dengan disabilitas dalam hal pengambilan keputusan

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan

Menyikapi Pembahasan Revisi UU TNI

“Hentikan Pembahasan Revisi Undang-Undang TNI! yang Menghidupkan Dwifungsi”

DPR berencana akan membahas revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) dalam waktu dekat. Langkah ini dilakukan setelah sebelumnya Prabowo Subianto mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR RI untuk membahas Rancangan Revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI). Dalam draft yang diperoleh oleh masyarakat sipil terdapat beberapa masalah krusial terutama kembali dihidupkannya Dwifungsi TNI.

Koalisi masyarakat sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan memandang, Berdasarkan draft revisi UU TNI yang diperoleh oleh masyarakat sipil terdapat usulan-usulan perubahan yang problematik.

Pertama, usulan perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif menjadi isu yang sangat kontroversial karena hal ini dapat mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil. Hal ini dapat dilihat dalam usulan perubahan Pasal 47 Ayat (2) UU TNI yang mengusulkan penambahan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”. Penambahan frasa tersebut sangat berbahaya karena memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, yang sebelumnya dibatasi hanya pada 10 kementerian dan lembaga sebagaimana diatur dalam UU TNI. Dengan adanya frasa ini, peluang interpretasi yang lebih longgar terbuka, sehingga memungkinkan penempatan prajurit aktif di berbagai kementerian atau lembaga lain di luar yang telah diatur sebelumnya. Hal ini berisiko mengikis prinsip supremasi sipil dalam pemerintahan dan dapat mengarah pada dominasi militer dalam ranah birokrasi sipil.

Penempatan TNI di luar fungsinya sebagai alat pertahanan bukan hanya salah, tetapi akan memperlemah profesionalisme TNI itu sendiri. Profesionalisme TNI dapat terwujud menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara, bukan dalam jabatan sipil yang sangat jauh dari kompetensinya. Menempatkan TNI pada jabatan sipil jauh dari tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan sama saja dengan menghidupkan kembali Dwifungsi TNI yang sudah lama dihapus.

Penempatan TNI di luar fungsinya juga akan berdampak pada rancunya kewenangan/yurisdiksi prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana termasuk pelanggaran HAM – apakah diadili di peradilan umum atau di peradilan militer. Mengingat sampai saat ini Pemerintah dan DPR enggan melakukan revisi terhadap UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan Militer. Berdasarkan UU tersebut, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, baik militer maupun umum, diadili di peradilan militer. Ketentuan ini menimbulkan persoalan ketika prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil, karena jika mereka terlibat dalam tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pejabat sipil, mereka tetap diadili di peradilan militer, bukan di peradilan umum sebagaimana berlaku bagi pejabat sipil lainnya. Hal ini tentu menghambat proses penegakan hukum karena peradilan militer memiliki karakteristik yang berbeda dengan peradilan umum, terutama dalam aspek independensi, transparansi, serta akuntabilitas bagi masyarakat dan media untuk mengawasi jalannya persidangan.

Perubahan Pasal 47 ini nantinya akan semakin merusak pola organisasi dan jenjang karir ASN karena akan semakin memberikan ruang lebih luas bagi TNI untuk masuk ke semua jabatan sipil yang tersedia. Sebelumnya, Imparsial mencatat terdapat 2.569 prajurit TNI aktif di jabatan sipil pada tahun 2023. Sebanyak 29 perwira aktif menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh Undang-Undang TNI. Penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil mengabaikan spesialisasi, kompetensi, pengalaman, serta masa pengabdian ASN di instansi terkait. Hal ini mengacaukan pola rekrutmen dan pembinaan karis  ASN yang seharusnya diatur ajeg dan berjenjang.

Kedua, usulan penghapusan larangan berbisnis bagi anggota TNI. Ketentuan ini merupakan pandangan keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi di tubuh TNI. Prajurit militer dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya yaitu pertahanan, bukan berbisnis. Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara.

Pada titik ini, sudah seharusnya pemerintah tidak lempar tanggung jawab dalam mensejahterakan prajurit dengan menghapus larangan berbisnis bagi prajurit TNI. Penting untuk diingat bahwa, tugas mensejahterakan prajurit merupakan kewajiban negara dan bukan tanggung jawab prajurit secara individu. Seharusnya alih-alih menghapus larangan berbisnis bagi TNI aktif, pemerintah dan TNI fokus di dalam mensejahterakan prajurit dan bukan malah mendorong prajurit berbisnis.

Ketiga Kekhawatiran lain yang muncul adalah adanya usulan perubahan Pasal 65 ayat 2 UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998. Penting dicatat, reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR No. VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Ke dua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.

Pelaksanaan agenda tersebut menjadi penting, tidak hanya sebagai bentuk implementasi prinsip equality before the law sebagai salah satu prinsip penting negara hukum, tapi juga untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, termasuk mencegah impunitas terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.

Koalisi juga memandang upaya perluasan peran aktor keamanan melalui revisi UU Polri juga harus dihentikan. Alih-alih meluaskan peran TNI-Polri sudah seharusnya Pemerintah dan DPR fokus memperkuat lembaga pengawas seperti Komnas HAM, Kompolnas, Komnas Perempuan dan lain sebagainya dan bukan justru melemahkan lembaga pengawas tersebut dengan memotong anggarannya secara signifikan.

Berdasarkan pandangan di atas, kami mendesak Pemerintah dan DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi UU TNI. Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR RI seharusnya bersikap responsif terhadap kritik dan penolakan yang berkembang di masyarakat. Lebih baik DPR dan Pemerintah memfokuskan pada mendorong agenda reformasi TNI yang tertunda, seperti membentuk UU Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI. Kami juga berharap agar DPR tidak tunduk pada tekanan eksekutif, menolak segala intervensi dan lebih mengedepankan prinsip hak asasi manusia.

Jakarta, 6 Maret 2025

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan:

Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, Dejure.

Narahubung:

– Dimas Bagus Arya (KontraS)

– Hussein Ahmad (Imparsial)

– ⁠Ikhsan Yosarie (SETARA)

– ⁠Arif Maulana (YLBHI)

– ⁠Teo Reffelsen(WALHI)

– ⁠ Gina Sabrina (PBHI)

– ⁠Nurina Savitri (Amnesty International Indonesia)

– ⁠Sonya Andomo (AJI Jakarta)

– ⁠Anas Robbani (BEM SI)

– ⁠Latifah Anum Siregar (Aliansi Demokrasi untuk Papua)

– ⁠Al araf (Centra Initiative)

– ⁠Bhatara I Reza (De Jure)